Minggu, 22 September 2013

Bila Cinta Jangan Selingkuh

Akhirnya bagian terakhir novelku, yang telah tertunda beberapa lama, berhasil juga aku selesaikan. Entah mengapa begitu sulit rasanya membuat ending yang meninggalkan kesan untuk cerita yang tengah aku tulis ini. Walaupun akhirnya selesai juga, sebetulnya aku belum benar-benar puas.
Baru pukul sembilan malam tetapi Rahmi istriku telah tertidur pulas. Aku yakin dia pasti sangat kelelahan setelah seharian mengurus rumah sekaligus mengasuh dua anak buah cinta kasih kami. Telah banyak masa yang kami lewati bersama. Tak hanya bahagia tetapi juga duka kami jalani bersama. Rahmi telah buktikan padaku bahwa dia istri yang baik bahkan nyaris sempurna.
Di luar hujan turun sangat deras disertai angin yang bertiup kencang. Hembusan angin dingin yang menerobos melalui ventilasi jendela kamar menerpa tubuhku, aku menggigil dibuatnya. Cuaca akhir tahun selalu seperti ini.
Setelah mematikan laptop dan menyimpannya kembali di dalam laci meja, tempat aku biasa duduk berjam-jam untuk menguraikan semua isi kepalaku, aku lalu menghampiri Rahmi dan mencium keningnya. Rahmi menggeliat tanpa membuka matanya, aku kemudian merapikan selimutnya yang agak tersingkap lalu ikut berbaring di sisinya.
Sudah hampir satu jam aku mencoba tidur tetapi ternyata tidak mudah. Mataku tetap saja terbuka dengan pikiran yang terus menari-nari, melompat kian kemari. Bosan di tempat tidur aku kembali bangkit dan berjalan ke ruang tengah. Di ruang tengah aku menyalakan televisi. Setelah berpindah dari satu kanal ke kanal lainnya dan tidak satupun acara yang mengundang minatku. Televisi kembali aku matikan.
Pilihan terakhirku membaca sebuah novel lama yang ditulis oleh Barbara cartland. Kisah romantic yang selau berakhir bahagia. Sepuluh halaman selesai kubaca, ketika membuka halaman ke sebelas, mataku tertumpu pada sehelai kertas yang warnamya sudah agak kusam. Kuamati kertas itu, sebuah puisi dengan tulisan tangan yang sangat aku kenal. Eka Wijaya, nama penulisnya.
Jantungku tiba-tiba berdegup keras. Kertas kusam itu telah mencuri sepenggal kesetiaanku pada Rahmi. Degupan yang semakin keras telah menumbuhkan rindu dengan sangat cepatnya. Tak ada ragu di hatiku ketika aku menekan beberapa angka pada ponselku. Tak juga harus menunggu lama karena dia segera menjawab ponselku.
“Ya, halo” suara halus di seberang sana semakin mempercepat degup jantungku.
“Maaf mengganggu, belum tidur?” aku berbasa-basi
“Belum, masih menunggu suami pulang.” Jawabnya tenang.
“Oh” aku mulai kehilangan kata-kata.
“Ada apa, Mas? Tumben menelepon.” Lanjutnya lagi.
“Eh, gak ada apa-apa kok, cuman kangen aja.” Jawaban konyol ini meluncur begitu saja dari mulutku.
“Ah, si Mas ini.” Dia hanya tergelak ringan.
“Aku serius lho. Kamu kangen juga, gak?” kembali aku mengajuk hatinya.
“Mas, rasa kagen itu sesuatu yang alamiah, aku juga sering tiba-tiba kangen sama Mas. Rasa kangen itu mungkin karena cerita masa lalu kita tak mudah untuk dilupakan.” Sejenak dia terdiam, akupun hanya menunggu sambil terus berharap dia segera melanjutkan ucapannya.
“Mas, rasa kangen yang tumbuh di hatiku maupun di hati Mas sendiri itu hanya boleh sebatas kangen saja, semua cerita itu telah selesai. Kita sekarang mempunyai kehidupan yang berbeda. Mas dengan istri Mas dan aku dengan suamiku,” lanjutnya.
“Ya, semua memang sudah selesai. Mas minta maaf. Tak ada niatan untuk mengubah semua keadaan ini. Mas hanya terbawa rasa rindu ini saja.”
“Saya mengerti, Mas. Selamat malam.” Klik. Dia mengakhiri percakapan.
“Mas…” Rahmi muncul dari balik pintu kamar.
“Aku di sini, kok bangun?” aku mengembalikan novel ke rak buku berikut puisi yang berada di dalamnya. Kenangan itu akan tetap aku simpan di situ.
“belum tidur, Mas?” Rahmi menghampiri dan duduk di sampingku sambil menyandarkan kepalanya ke bahuku.
“Belum mengantuk.” Jawabku singkat. Kukecup keningnya sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya.
“Maafkan Mas, ya” bisikku pelahan. Rahmi menatapku bingung.
Aku biarkan saja dia dengan kebingungannya. Rahmi tidak terus bertanya karena aku kini tidak hanya mencium keningnya tetapi melumat bibir mungilnya dengan penuh cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....