Rabu, 11 September 2024
Yang Tak Pernah Usai Sebuah cerpen yang terinspirasi dari lagu Bougenville (Bimbo)
Selasa, 11 Agustus 2020
Pulang
Pulanglah, Nak. Sudah terlalu lama. Semua sudah terjadi dan tak akan bisa diperbaiki lagi. Setidaknya pulanglah untuk kami. Keluarga yang selalu menyayangi dan merindukanmu.
Bagian akhir surat ibu yang diterima Lulu seminggu lalu. Surat itu dibawakan Ratri yang baru saja mudik. Lulu membacanya berulang-ulang. Kerinduan pada keluarga yang selama ini berhasil kalah oleh ego dan rasa kecewa yang bersemayam dalam hatinya, mendesak-desak rongga dadanya dan menimbulkan rasa nyeri.
Surat ibu telah berulang kali dibacanya sehingga dia hapal betul isinya, apa lagi bagian akhir surat itu.
"Lu, menurutku, memang sudah saatnya kamu pulang. Kasian ibumu. Sudah tiga tahun, Lu." Ratri teman sekampung yang sekarang menampungnya di Jakarta memulai percakapan malam itu.
"Aku tahu, peristiwa itu sangat menyakiti hatimu, tapi melarikan diri seperti ini juga bukan solusi. Belum cukup kamu menghukum kedua orang tuamu? atau kamu berprasangka mereka memang menginginkan kejadian itu?"
"Entahlah, Tri. Awalnya aku sudah menolak, tapi mereka selalu membicarakan hal itu, hampir setiap hari sampai aku bosan dan akhirnya mengiyakan...lalu peristiwa itu terjadi."
Sebutir bening menggantung di sudut matanya, disekanya sebelum benar-benar jatuh.
"Kamu harus bisa melihat dari sisi pandang mereka, Lu. Mereka menginginkan kebahagiaanmu, itu yang utama." Ratri masih berupaya membuka hatinya.
"Mereka menginginkan kebahagiaan mereka sendiri. Mereka berharap aku bisa mengubah segalanya." Wajah Lugu Lulu kini memyiratkan kemarahan yang masih tersimpan.
"Sudah tiga tahun, Lu. Tidak bisakah kamu memahami kesederhanaan dan keluguan mereka? Aku ini hanya temanmu, bukan siapa-siapa bagi mereka, tapi aku masih bisa memahami itu, Lu. Kenapa hati kamu begitu tertutup?" Ratri tak bisa lagi menahan ucapannya. Dia ingin hidup Lulu bahagia. Dia tak tega melihat teman masa kecilnya terus menerus terbelenggu dalam rasa marah dan kecewa yang tentunya menyakitkan.
Lulu hanya diam, hatinya bergemuruh. Sebenarnya dia sendiri tak tahu pada siapa kemarahan ini ditujukan. Orang tuanya, laki-laki pembobong itu, atau pada Tuhan. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, suara isakan lirih terdengar.
Ratri memeluk Lulu. Matanya ikut mengembun.
"Maaf, Lu kalau ucapanku melukaimu," ujarnya kemudian.
"Aku bingung, Tri. Aku merindukan mereka, sangat rindu. Tapi, di sana, di kampung kita akan ada tatapan-tatapan kejam. Mereka akan menuduhku sebagai perebut suami orang. Aku tidak siap, Tri."
Ratri semakin mempererat pelukannya, tangannya mengusap-usap punggung Lulu dengan lembut.
_______
Perhelatan sederhana tengah berlangsung. Pengantin cantik dengan seorang pemuda kota duduk bersanding di pelaminan berwarna putih. Perhelatan yang menjadi perbincangan banyak orang. Ada yang kagum bahkan ada pula yang ikut bersyukur karena gadis sebaik Lulu dipersunting pemuda kota yang terlihat mapan. Tapi, ada pula yang menatap iri. Mulut mereka mendesis-desis seperti suara ular menebar racun ke mana-mana.
Tamu undangan terus berdatangan, semua orang tampak sibuk. Perempuan-perempuan muda berdandan menor ikut memeriahkan suasana perhelatan. Nasi dan lauk pauk tak henti-henti ditambahkan.
Meriahnya suasana pesta membuat orang tak menyadari saat seorang perempuan muda dengan anak kecil sekitar 5 tahun yang menemaninya telah berada di atas pelaminan. Secara agresif dia menyerang Lulu disertai kalimat-kalimat makian. Lulu yang kebingungan tak bisa berbuat apa-apa. Pemuda yang ada di sampingnya seperti kerbau dicucuk hidung saat ditarik perempuan itu turun dari pelaminan dan akhirnya menghilang bersama kendaraan yang terparkir di pinggir jalan.
Suasana bahagia yang tadi menyelimuti hati seluruh keluarga tiba-tiba saja berubah. Semua orang kasak- kusuk, berbisik-bisik ada yang bersimpati dan tak sedikit pula yang mencemooh.
"Oh, jadi itu suami orang."
"Gak nyangka, kok dia mau menikah dengan suami orang?" dan masih banyak lagi kalimat-kalimat ejekan lain yang terdengar. Lulu merasa dunianya menjadi gelap. Dia lari ke kamar dan mengurung diri di sana. Tak ada yang bisa membujuknya.
Hari masih gelap. Sebagian orang masih terlelap. Hanya Ayah dan Ibu yang duduk tepekur menatap lantai di ruang depan.
Perlahan Lulu membuka pintu kamar. Tangan kananya menjinjing tas berisi pakaian.
"Ayah, Ibu aku pamit. Aku mau ke Jakarta.'
Ayah dan Ibu tak berdaya mencegah. Perdebatan kecil sempat terjadi, tapi tekad Lulu terlalu kuat untuk dihentikan. Dengan berat hati mereka melepas kepergian Lulu.
Tiga tahun sudah Lulu tak pulang. Pulang baginya adalah luka. Dia bahkan mengabaikan kerinduan kepada kedua orang tuanya. Tapi, surat Ibu yang terakhir dan ucapan Ratri menggoyahkan kekerasan pendiriannya.
Foto Ayah dan Ibu yang diperlihatkan Ratri mengusik hatinya. Betapa cepat mereka menua. Ada penderitaan di mata mereka.
Hari ini Lulu memutuskan untuk pulang. Dia ingin menghapus derita kedua orang tuanya. Selama ini dia berusaha menyembuhkan lukanya sendiri, tapi pada saat yang sama dia semakin memperparah luka di hati kedua orang tuanya. Aku mau pulang, bisik hatinya.
Tapi, luka Lulu dan kedua orang tuanya belum dapat disembuhkan. Tak ada tiket pulang yang bisa diperolehnya. PSBB dan larangan mudik membuatnya masih harus menunggu entah sampai kapan.
Tamat
Selasa, 04 Agustus 2020
Rahasia Hati
Arum membuka matanya perlahan, sentuhan lembut Tio di
dahinya membuatnya terjaga.
"Maaf, aku mengganggu tidurmu," ujar Tio yang tengah duduk di sisi
ranjang. Tangannya mempermainkan rambut Arum. Perempuan yang sudah mulai menua
itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Aku selalu suka terbangun karena belaianmu," Arum
menyentuh wajah Tio.
Tio membaringkan tubuhnya di sisi Arum, setelah terlebih dahulu merapikan
selimut istri yang dinikahinya tiga puluh tahun lalu. Arum memiringkan tubuhnya
menghadap ke arah Tio, tubuh mungilnya kini berada dalam rengkuhan lengan Tio.
Sejenak dia menikmati walau kemudian menggeser lengan Tio yang mulai lelap.
Saat Tio tertidur, lengannya terasa semakin berat dan membuat dada Arum sesak.
Usai solat subuh, Arum menuju ke dapur untuk menyiapkan
sarapan bagi Tio dan dua buah hatinya. Pekerjaan rutin yang tak pernah
membuatnya bosan. Bagaimana dia bisa bosan, setiap makanan yang dihidangkan
selalu saja membuat Tio dan kedua anaknya makan dengan lahap dan berujung
dengan pujian.
"Bilang terima kasih pada Mama, Mama selalu menyediakan
sarapan enak untuk kita," selalu begitu, bahkan sampai kedua gadisnya
beranjak dewasa.
Setelah melepas ketiga orang kesayangannya Arum mulai sibuk
dengan dirinya sendiri. Membuka laptop dan menulis. Sejak kelahiran anak pertama mereka, Arum memilih
berhenti bekerja. Dia ingin konsen mengurus keluarga. Sebagai suami, Tio tak
pernah melarang atau menyuruh Arum bekerja. Dia menyerahkan pilihan pada Arum.
Hidup mereka tampak sempurna.
@@@
Arum berpindah dari satu rak ke rak lainnya, memindahkan beberapa barang dari
rak ke troli yang ada di sisinya. Berbagai barang kebutuhan rumah tangga sudah
hampir memenuhi keranjang
besi itu
Setelah memeriksa catatan belanja yang tertulis di HP dan yakin
semua yang dibutuhkannya sudah masuk ke troli, Arum mendorong troli ke arah kasir
kemudian membayar. Setelah itu, Arum menuju honda yaris putih yang terparkir di sisi
kanan gedung pusat perbelanjaan.
Arum merasa risi sekaligus cemas karena ada sosok yang
mensejajarinya. Dia mempercepat langkah tanpa merasa perlu tahu, siapa sosok
yang berjalan di sisinya. Sosok itu mengimbangi, berjalan secepat langkah Arum.
Sebelum mencapai kendaraan, dengan paduan rasa takut dan
ingin tahu, Arum memberanikan diri menoleh ke arah
sosok yang ada di samping kananya.
"Selamat sore, Arum. Apa kabar?" Arum terperanjat.
Suara itu sangat dikenalnya. Dia tak perlu melihat wajahnya, dia tahu siapa
sosok yang berdiri di sampingnya. Suara yang dulu selalu menemani jelang
tidurnya. Untuk yang tersayang di peraduan, selamat tidur, kalimat itu begitu
jelas melekat di pikiran Arum. Dia adalah cerita yang tak pernah selesai.
"Baik, kamu?" Percakapan singkat, miskin kata-kata, tetapi
menciptakan gemuruh yang maha dasyat di hati keduanya.
"Boleh aku menghubungimu lagi?" Angga mengeluarkan
HP dari saku celananya, dan menulis angka-angka yang disebutkan oleh Arum. Keduanya
berlalu menuju kendaraan masing-masing. Gemuruh di
dada Arum ternyata tak segera hilang.
@@@
"Arum, cerita kita belum selesai, kan?" Pesan whatsap dari Angga
menyapa Arum saat dia akan menyalakan laptop. Arum tak segera membalas. Lama dia
tercenung menatap layar HP. Ya, cerita itu memang tak pernah selesai. Tak
pernah ada kata akhir yang jelas. Semua mengambang lalu menguap, tapi di hati
terdalam masih tetap ada. Arum berbisik pada hatinya. Terkadang aku masih punya
mimpi tentang kita. Aku tak ingin kita kalah, aku ingin kita memenangkannya.
Nyatanya, kita memang kalah. Kita tak mampu bertahan.
Satu denting kecil terdengar lagi,
"Arum, salahkah jika aku masih menyimpan cerita tentang
kita?"
Bagaimana mungkin aku melarangmu karena aku melakukan hal
yang sama. Aku masih menyimpan semua dengan utuh.
"Tahukah kamu, aku selalu saja menyayangimu?"
Menyayangimu bagiku adalah simfoni hati yang indah, aku tak
akan menghentikannya. Dan mengetahui kau masih menyayangiku, menjadikannya
sebuah orkestra yang sempurna.
"Arum, mengapa pesanku hanya kau baca?"
Arum menghirup udara dengan tarikan dalam, setelah
sejenak terdiam kemudian mengetikkan beberapa kalimat,
"Aku tak mau kita selalu berada di wilayah terlarang,
itu menyakitkan. Aku tak mau lagi merasa kalah. Biarlah semua kusimpan rapat-rapat sebagai sebuah
rahasia. Rahasia hatiku dan hanya kamu yang tahu. Kamu akan tetap jadi warna
merah di darahku. Yang tak pernah hilang dari ingatanku. Tapi itu
bukan berari aku tak bahagia saat ini, sama denganmu, aku percaya kamu adalah
pencinta yang pandai membahagiakan orang yang kamu cintai."
Setelah menekan enter, Arum menekan tombol power, mematikan
HP-nya. Dia ingin mengakhiri percakapan pagi ini. Setidaknya dia
berusaha agar tak larut dalam kenangan masa lalu, kisah yang tak pernah
dilupakan, atau dia memang tak pernah mencoba melupakan.Dia ingin tetap
menyimpannya walau dia tak tahu untuk apa.
Sementara di ujung sana, Setelah menghapus semua
percakapan yang baru saja dilakukannya dengan Arum, Angga menghampiri istrinya lalu duduk sambil menyandarkan
kepala di bahu perempuan yang telah mendampingi dan berbagi cinta dengannya
hampir di sebagian terbesar usianya. Angga memainkan telapak tangan istrinya sementara
wanita itu menatapnya bingung.
“Bahagiakah kamu menjadi istriku?” tanyanya tiba-tiba.
Istrinya yang masih merasa aneh dengan sikap Angga hanya bisa mengangguk.
“Syukurlah, karena aku tak mau istri yang aku cintai
tak bahagia hidup denganku.”
“I love you,” bisiknya lembut sambil terus menggenggam
lengan wanita itu.
TAMAT
Senin, 03 Agustus 2020
Yang Tak Pernah Hilang #5
Sudah sepuluh hari aku kembali berada di sini, di keindahan dan
kemurnian alam raya. Di kesunyian dan kerinduan yang masih saja mengganggu. Yang berbeda, aku menikmati pekerjaanku.
Sekarang bukan lagi sekadar tempat menyembunyikan rasa kecewa. Sekian lama berinteraksi
dengan alam perawan, menjaganya dari
tangan-tangan tak bertanggung jawab, menumbuhkan kecintaan yang sesungguhnya.
Aku mulai mengerti bahwa pekerjaanku bukan saja soal komitmen dan janji
terhadap negara, tapi lebih dari itu. Ini soal bagaimana harus bertanggung
jawab kepada-Nya. Bumi yang diciptakan-Nya merupakan sebuah ekosistem besar,
merusak salah satu rantainya akan menimbulkan banyak kerugian bagi manusia.
Sepuluh hari cukup lama karena hingga pagi ini aku
belum mendapat kabar dari Eka, mungkin dia sudah kembali ke Bandung. Belum ada cerita tentang apa yang kemudian
dihadapinya malam itu. Aku hanya mengingat bagaimana dia berlari menembus hujan
meninggalkanku, tanpa dapat berbuat apa-apa. Sesekali terlintas pula keinginan untuk
mengakhiri, mungkin semua akan menjadi lebih baik. Hanya saja aku ragu, apakah
dia akan mengerti bila kulakukan hal itu?
“Sudah siap?” Budi sudah berdiri
di depanku dengan pakaian lengkap. Kami akan menyeberang ke Cidaon lalu berjalan
kaki menyusuri jalan setapak menuju Cibunar untuk memandu beberapa wisatawan yang berkunjung.
Cibunar termasuk pantai selatan dan
masih berada dalam kawasan TNUK. Diperlukan
waktu berlayar sekitar 15 menit untuk sampai ke sana dengan menumpang
kapal.
Seharian
mendampingi wisatawan menyaksikan satwa liar berkumpul di tengah padang
yang luas. Menjadi tanggung jawab kami, para petugas, menjaga keselamatan
pengunjung karena di sini segala sesuatu bisa terjadi, bahkan yang tak masuk
akal sekalipun. Di sini kesalahan bertindak
bisa berakibat fatal. Menyaksikan kawanan banteng merumput atau rusa
berkejaran, jika beruntung bisa juga melihat badak jawa melintas, tentunya
pengalaman luar biasa bagi para pengunjung. Tetapi, di sini juga ada macan,
ular berbisa, atau satwa berbahaya lainnya,
Pukul tiga
sore, kami kembali ke Pulau Peucang.
Tugas memandu wisatawan sudah selesai. Tiba di daratan aku menghempaskan
diri di atas pasir, berbantalkan ransel yang sedari tadi kusandang di bahu.
Menatap langit berwarna jingga ditingkah debur ombak yang datang berirama.
Suasana tenang ternyata membuatku ingat lagi pada masalah yang tak jelas akan
ada penyelesaiannya atau tidak.
Apa kabar
kamu di sana?
@@@
Cerita dari
Eka
Liburanku
masih sisa dua hari, tapi Ayah menyuruhku segera kembali ke Bandung. Seharusnya
hari ini aku tengah berkumpul dengan teman-teman SMP-ku sesuai yang kami
rencanakan sebelumnya, tapi sekarang aku di sini, sendiri dalam kebimbangan.
Sepucuk surat kutulis untuk Rio, mudah-mudahan bisa segera sampai ke tangannya.
Menulis untuknya membuat rasa sesak di dadaku sedikit berkurang.
Hari-hari
selanjutnya adalah perjuangan untuk pindah jurusan. Waktuku habis di sekolah
karena harus masuk di dua kelas, pagi dan sore. Walau dikemudian hari akhirnya
aku bisa membuktikan bahwa aku mampu. Di kedua kelas nilaiku cukup memuaskan. Kesibukkan
sekolah ternyata bisa pula membantu mengusir gulana. Bahagiakah aku d sini?
Entahlah!
Pagi ini aku melintas di depan ruang Tata Usaha Sekolah, beberapa amplop surat berjajar di kaca Aku berharap salah satunya untukku. Kubaca satu persatu alamat tujuan surat, dadaku bergemuruh saat kutahu ada satu surat untukku. Aku segera masuk ke ruang TU dan meminta izin untuk mengambil surat itu. Seperti biasa, aku selalu tak sabar ingin segera membaca suratnya, walau akhirnya tetap saja harus menunggu sampai nanti tiba di rumah.
Kedatangan surat Rio yang selalu kuharap, walau membacanya selalu saja
menyadarkanku betapa sulitnya memperjuangkan cinta ini, mengabarkan sedang
mengikuti Diklat di Bogor dan akan ke Bandung. Setelah itu hari-hariku adalah menunggu,
berharap waktu itu segera datang.
@@@
Penulis:
Masih
pagi, Eka sudah bingung. Pagi ini dia harus ke Jalan Setiabudi, di sana ada Rio
menunggu. Eka panik dan gugup, dia takut untuk minta izin. Dia takut Kakak akan
curiga.
“Antar Kakak
ke Margahayu, ya?” Tiba-tiba saja Kakak mengajaknya pergi. Eka tak segera
menjawab. Otaknya berputar-putar mencari alasan yang paling tepat dan tidak
dicurigai. Bagaimana pun dia harus bilang karena kalau tidak, dari mana dia
dapat uang untuk ongkos.
“Enggak
bisa, mau pergi, ada janji sama teman,” ujarnya kemudian dengan degup jantung
yang sangat keras, bahkan dia takut
suara jantungnya terdengar oleh Kakak.
“Mau ke mana?”
“Ke
Setiabudi, teman-teman SMP mau kumpul di sana,” kali ini Eka sudah semakin
tenang dengan kebohongannya. Kebetulan Kakak memang tahu, ada teman SMP nya
yang tinggal di situ.
Eka sangat
beruntung pagi ini karena Kakak tidak banyak bertanya, setelah memberinya uang
untuk ongkos, Kakak berangkat ke Margahayu dan Eka pun berangkat menuju Jalan
Setiabudi.
Rindu
membuat Eka lupa bahwa sejak tadi malam kepalanya sakit. Jalanan macet dan
udara dingin tak menghalangi. Rindu memang bisa meleburkan rasa sakit, tak
disadarinya suhu tubuhnya terus naik. Ketika akhirnya mereka bertemu, Rio menyadari
bahwa Eka kurang sehat. Upaya Rio mengajaknya ke dokter, tak diturutinya. Eka
hanya tak ingin ada yang mencuri waktu yang singkat ini, tidak juga seorang
dokter.
Sabtu, 25 Juli 2020
Buku yang Tertukar
Hari ini rapat kenaikan kelas. Semua guru di tempat Aini mengajar diwajibkan hadir, tentu tetap dengan mengikuti protokol kesehatan di masa pandemi. Didorong oleh rasa rindu pada sekolah yang telah lama dirasakannya, Aini berangkat dengan bersemangat.
Tiba di gerbang Aini
berhenti sesaat. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang.
"Selamat pagi, Bu
Aini," suara Abah Ihin yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya,
membuat Aini terperanjat.
"Tumben ke
sekolah," sapa Abah Ihin ramah.
"Kangen dengan
suasana sekolah, Bah. Gak enak di rumah terus," timpalnya tak kalah ramah.
Mereka berbincang sejenak,
Aini jadi tahu kalau Abah Ihin tidak bekerja dari rumah seperti yang lainnya.
Sebagai penjaga dan sekaligus bertanggung jawab memelihara kebersihan sekolah,
setiap hari dia tetap harus datang. Pantas saja bunga-bunga di halaman sekolah
tetap segar dan rapi, Aini bergumam. Aini selalu kagum pada Abah Ihin. Dengan
penghasilan yang tak seberapa, dia tetap melakukan tugas dengan penuh tanggung
jawab. Abah bilang, ini juga ibadah.
Sikap yang layak ditiru, menurut Aini
Bu Ratna yang baru saja turun dari ojeg
menggamit lengan Aini, mengajaknya melangkah bersama menuju ruang guru. Aini
langsung menuju bangku yang di depannya ada meja bertuliskan namanya. Di atas meja imasih ada beberapa buku
latihan siswa yang belum sempat dibacanya, tersusun rapi.
Sambil mendengarkan
obrolan santai di antara guru yang sudah berkumpul dalam ruangan, Aini
menyempatkan diri memeriksa buku tugas siswa, sambil menunggu rapat kenaikan
dimulai. Sesekali dia ikut menimpali dan tertawa bersama mereka.
Sebelum Aini selesai
mengoreksi, Bapak Kepala Sekolah sudah memasuki ruang guru, rapat pun dumulai.
Aini menghentikan kegiatannya dan tergesa
memasukkan beberapa buku tugas ke dalam tas ranselnya.
Rapat kenaikan kelas
hari ini berbeda dari biasanya, berlangsung cepat. Tidak ada perdebatan alot
untuk menentukan seorang siswa bermasalah masih
layak naik kelas atau tidak.
Semua guru kekurangan
data. Ada anak yang dua bulan pertama sering tak masuk pun naik kelas
karena guru wali kelas bersama Guru
Bimbingan dan Penyuluhan sudah melakukan
pembinaan, walau hasilnya tak terlihat karena pandemi covid 19 memaksa mereka
belajar di rumah saja, tidak ada lagi data kehadiran ril di kelas. Kegiatan
belajar daring juga tak efektif. Banyak kendala, guru dan siswa sama -sama tak
siap. Kondisi luar biasa melahirkan keputusan fantastis, semua siswa naik
kelas.
Selama rapat
berlangsung Aini malah sibuk dengan aplikasi note yang ada di gawainya. Sebuah
puisi tercipta,
Ada yang memfitnah, ada
yang difitnah
Siapa memfitnah?
Siapa difitnah?
Ada yang diuntungkan
ada yang dirugikan
Siapa menguntungkan
siapa?
Siapa merugikan siapa?
Ada yang berbohong dan
ada yang dibohongi.
Siapa pembohong?
Siapa yang dibohongi?
Semua berseliweran tak
jelas
Semua tak tahu harus
percaya pada siapa
Ada yang takut, ada
yang terlalu berani
Yang takut melepas
semua peluang
Yang terlalu berani
menentang risiko
Ada yang hanya bisa
diam
Ada yang terus bergerak
Ada aku, kamu, kita,
dan mereka
Melangkah ragu
Antara cemas dan
harapan
Wakasek kurikulum sudah
menutup acara rapat Aini pun menutup aplikasi note setelah menyimpan catatan yang baru
ditulisnya lalu memasukkan gawai ke kantong beresleting di bagian luar tas
ransel besarnya.
@@@
Pembagian rapot
kenaikan kelas baru saja dilakukan. Walau protokoler jaga jarak telah
disosialisasikan, pada kenyataannya tak bisa dilaksanakan. Anak-anak yang
terlalu lama menyimpan rindu di antara mereka, tak dapat menahan diri untuk
saling memeluk. Para guru terus saja mengingatkan. Daerah hijau, status ini
yang membuat kecemasan agak berkurang.
Aini telah selesai
membagikan raport di kelas 8 B saat hendak beranjak meninggalkan kelas,
beberapa anak menghampiri,
"Bu, foto bersama
dulu." Aini tak segera menjawab, itu artinya harus saling berdekatan dan
mengabaikan protokol jaga jarak, pikirnya.
"Kan harus jaga
jarak," Aini mencoba menolak.
"Bu, please! Ini
hari terakhir kita berkumpul. Setelah ini gak akan ada kesempatan foto
bareng," bujukan dari wajah-wajah
penuh harap ini menggoyahkan hati Aini. Ya, kapan lagi?
"Oke, tapi
sebentar saja. Setelah itu kalian segera pulang." wajah-wajah yang tadi
harap-harap cemas kini tampak gembira. Siswa kelas 8B mendadak menjadi sangat
mudah diatur. Mereka berjajar menghadap kamera dengan gayanya masing-masing.
----
Aini tengah menikmati
hari libur pertama. Tak ada lagi kegiatan belajar daring. Kegiatan belajar
semester genap telah usai. Para siswa telah pula menerima hasil belajar. Pandangnya
tertumbuk pada tas ransel besar yang masih tersandar di kaki meja kecil yang
ada di kamar. Aini teringat ada beberapa buku siswa yang ada dalam tas. Aini
ingin melanjutkan memeriksa buku tugas siswa, walaupun sudah tak mempengaruhi
nilai hasil belajar karena rapot sudah
dibagikan, Aini tetap ingin melakukannya.
Ada lima buku yang
dikeluarkannya dari dalam tas. Tapi salah satu buku terlalu kecil sebagai buku tugas, buku siapa
ini? Aini membolak balik halaman buku yang ada di tangannya. Bukan, ini bukan
buku tugas siswa. Ini buku diari. Punya siapa? Masih diliputi rasa ingin tahu,
kembali diperiksanya halaman demi halaman untuk
mencari identitas si pemilik. Aini terkejut, ada namanya di buku itu.
Segera ditutupnya halaman buku itu, hatinya bergejolak antara rasa ingin tahu
dan rasa bersalah karena membuka catatan harian orang lain.
Sudah hampir sepuluh
menit, Aini masih saja ragu-ragu. Buku diari masih ada di tangannya. Terbayang
lagi apa yang baru saja dia lihat, namanya.
Ada pertarungan hebat
di hati Aini, rasa penasaran dan merasa tidak berhak mengetahui isi tulisan
itu, dia sadar bahwa diari adalah sesuatu yang sangat pribadi, tempat seseorang
bisa menulis secara jujur tentang rasa. Marah, benci, bahagia, dan ekspresi
jiwa lainnya.
Jika aku tidak
membaca, selamanya aku tidak tahu orang lain bicara apa tentangku. Jika hal
baik sih tidak masalah, kalau hal buruk? Aku akan kehilangan kesempatan
memperbaiki diri.
"Bismillah..."
Dia buka lagi halaman buku itu, mencari tulisan yang tadi sempat dilihatnya.
"Aku kira Bu Aini
itu guru hebat, nyatanya sama saja dengan guru lain. Pilih kasih. Apa kurangnya
aku dari Septi, dari Rizka, nilai-nilaiku juga bagus seperti mereka, aku juga
masuk 10 besar. Tapi Bu Aini tak pernah peduli. Dia pilih kasih.
Satu persatu kata yang
terangkai itu dibaca Aini dengan rasa yang campur aduk. Ada rasa tersinggung,
sedih, marah, dan entah apa lagi. Aini merasa sedang di hukum tanpa
persidangan. Dia jadi ingin tahu, siapa yang menulis?
Dibolak-baliknya lagi
halaman buku itu untuk menemukan identitas pemiliknya. Risan, selalu ini yang muncil di akhir setiap
tulisan. Tapi, tak ada nama Risan yang tertera di daftar absen.
Nyaris putus asa, itu
yang dirasakan Aini. Sedari tadi mencari, tapi tak juga dia tahu siapa pemilik
buku diari itu.
Risan, siapa dia? Dia
pasti siswaku karena menulis namaku
dengan sebutan Ibu Aini. Aini melihat lagi ke buku absen, berharap ada nama
yang mirip atau mengarah. Tak juga ada. Kini matanya tertuju ke 4 buku latihan
siswa yang barus saja dikoreksinya. Aini teringat pada catatan tugas yang telah
dikoreksinya saat menjelang rapat. Ada lima nama yang tersisa saat Wakasek
Humas mengajak para guru untuk memulai rapat.
Aini segera memeriksa
nama nama yang tertera di halaman depan buku dan melanjutkan catatan kemarin
dengan menambahkan nama serta nilai keempatnya.
AURIA SINTIA, nama ini
yang belum ada dalam daftar catatannya. RIS? RIAS? ARIS? Aini memutar-mutar
urutan huruf nama Aria, Mengapa RISAN?
Keningnya berkerut, tapi ada senyum kecil di sudut bibir Aini ketika mengetahui
Auria mengidolakan artis korea yang memiliki nama depan San. Satu langkah
permulaan telah dilalui, Aini kini tahu anak yang menyebutnya guru pilih kasih.
Aini tak pernah
menduga, Auria punya pendapat begitu. Selama ini Aini selalu bersikap adil,
memberi perhatian pada semua siswa. Kalau ada siswa yang mendapat perhatian
lebih, itu karena mereka memang membutuhkan. Doni, Septi, atau beberapa anak
lainnya, mereka dalam masalah dan butuh perhatian khusus.
Auria, anak cerdas. Dia
rajin dan berprestasi. Tak ada tanda-tanda dia menyimpan masalah. Ada apa
dengannya?
"Padahal capek,
tapi kalau tidak, Mama pasti makin cuek. Dapet nilai bagus aja Mama cuman
bilang, baguslah."
"Lagi-lagi Mama
bikin aku malu di depan temannya. Mama selalu bangga-banggain Kak Riri dan
nganggap aku gak ada."
"Pa, kenapa sih
perginya lama? Mama cuman sayang sama Kak Riri."
dan masih banyak
catatan lain yang membuat Aini mengerti, mengapa Auria berprilaku seperti itu. Aiuria
merasa diperlakukan berbeda. Bahkan
usaha untuk menarik perhatian mamanya, seolah tak ada arti. Mungkin ini yang
membuat dia selalu mencurigai orang lain, termasuk mencurigaiku. Batin Aini.
Auria, ada satu tugasmu
yang belum kamu kumpulkan, pesan Aini lewat watsapp. Bisa kamu kirimkan ke ibu?
Pesan Aini berikutnya. Pesan yang terkirim itu belum mendapat jawaban hingga
sore hari.
Auria justru muncul di
rumah Aini untuk menyerahkan buku tugasnya.
"Kita makan seblak
dulu, yuk" ajak Aini sambil merengkuh bahu remaja hitam manis itu ke
samping rumah, ke warung Bi Ida. Auria tak bisa menolak karena rengkuhan itu
cukup kuat dan membuat dia melangkah mengikuti.
"Saya tidak bawa
uang," bisiknya dekat telinga Aini.
"Ibu yang
traktir."
Kini mereka sudah duduk
berdampingan menghadap meja panjang yang menempel ke dinding. Dua mangkuk
seblak juga sudah terhidang.
Aini mengajak Auria
mengobrol hal-hal yang disukainya, sesekali terdengar derai tawa mereka yang
membuat beberapa pengunjung melirik. Keduanya menjadi sangat akrab.
Dua mangkuk seblak
sudah kosong. Wajah mereka pun telah memerah karena pedas level 5 yang tadi
mereka pesan.
Aini hendak beranjak
menghampiri Bi Ida untuk membayar, saat itu dia mendengar suara Auria
"Bu!"
"Ya?"
"E..., saya kan
sudah..."
"Mengumpulkan buku
tugas?" Air muka Auria berubah pucat.
Kok kaget? Buku tugas
yang ini kan?" Aini menunjuk buku
yang tergeletak di meja, buku tugas yang
tadi baru saja diserahkan oleh Auria.
"Eh,
Iya...tapi...bukan yang itu, bukan! ...yang dulu."
"Oh, yang itu?
Ada." Aini menjawab santai sambil
menyeruput minumannya.
Auria semakin panik.
Dia menatap Aini dengan tatapan menghiba.
"Ibu
membacanya?" Aini menjawab dengan anggukan kecil dan sebuah senyum.
"Maaf, ya. Ibu
terpaksa membaca karena mencari tahu siapa pemilik buku itu," jelasnya.
Suasana hening sejenak. Aini asik mengaduk-aduk batu es dalam gelas. Auria
memilin-milin ujung tali tas kecil yang dibawanya.
"Bu, maaf."
Suara Auria nyaris tak terdengar.
"Hei, kamu kenapa?
Minta maaf untuk apa? Fungsi buku diari itu memang untuk curhat, kamu boleh
menulis apa saja yang tengah kamu rasakan atau pikirkan. Yang penting, jangan
mengumbar kata-kata kasar. Itu bisa membuat jiwamu juga jadi jasar."
"Tapi, saya
menulis tentang Ibu," masih dengan suara perlahan, menahan tangis.
Aini menatap Auira
dengan senyum menenangkan.
"Ibu gak marah.
Ibu hanya ingin kamu tahu," ucapan Aini membuat Auria menghentikan
keasikannya memilin-milin ujung tali tasnya.
"Ibu tidak pernah
berniat membeda-bedakan kalian, Ibu sayang kalian. Mengapa perlakuan Ibu
berbeda? Kebutuhan kalian juga berbeda. Yang Ibu tahu kamu anak hebat, kuat, dan selalu ceria. Kamu
mampu mengatasi masalah-masalahmu dengan cara yang baik. Kamu tidak membutuhkan
bantuan. Berbeda dengan beberapa temanmu yang lain. Mereka butuh bantuan. Ibu
melakukan itu untuk mereka." Auria mendengarkan dengan seksama.
"Tapi,
Bu...Mama..."
"Insya Allah,
mamamu juga bangga sama kamu. Terkadang orang tua tidak mau menunjukkan rasa
bangganya. Mereka tidak ingin anaknya jadi sombong atau menjadi manja."
Kata-kata Aini rupanya
berhasil menenangkan remaja 15 tahun ini. Senyum kecil kembali terlihat di
wajahnya.
"Bu, boleh saya
kapan-kapan main lagi ke sini?"
"Tentu, Ibu senang
kalau ada yang mau main ke sini. Ibu punya banyak buku yang bisa kalian
baca."
"Terima
kasih,Bu." Aini melingkarkan lengannya
ke tubuh Auria. Ada kabut tipis tiba-tiba menutupi mata Auria. Dia
berusaha menahannya agar tak berubah menjadi tetesan air.
"Lain kali
hati-hati menjaga buku diarimu."
Pesan Aini saat
mengantar Auria ke depan pintu pagar.
Jumat, 24 Juli 2020
Yang Tak Pernah Hilang #4
Rabu, 22 Juli 2020
Hati yang Mendua #8
Unggulan
Cerita dari Masa Lalu #2
Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....
-
Pertama kali memandangmu Pertama kali mengenalmu Pertama kali menyentuhmu Bergetar jiwaku Sangat berkesan di hatiku Tibalah saat ...
-
Bagian sebelumnya Cerita dari Rio bagian #2: “Hari ini kapal badak datang,” seorang kawan mengabari. Kedatangan kapal badak menjadi kebahagi...
-
Bagian sebelumnya “Ay, kali ini kamu harus dateng!” Vina berusaha mengintimidasi. “sudah tiga kali pertemuan kamu gak pernah ikut, anak-anak...






