Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 September 2024

Yang Tak Pernah Usai Sebuah cerpen yang terinspirasi dari lagu Bougenville (Bimbo)

 



Pertama kali memandangmu 
 Pertama kali mengenalmu 
 Pertama kali menyentuhmu 
 Bergetar jiwaku

 Sangat berkesan di hatiku 
 Tibalah saat yang kutunggu 
 Hatiku luluh karenamu 
 Dewi pujaanku 

 Kini hanya tinggalah pusaramu 
 Kugenggam bougenville dalam tanganku
 Bougenville lambing kasih 
 Yang pernah kau berikan pada diriku 

 Gundukan tanah merah itu nyaris rata dengan tanah, pohon bunga bougenville kecil yg dulu kutanam sudah semakin tinggi, berdaun dan berbunga rimbun. Prasasti namamu di batu nisan hitam masih sangat jelas karena setiap kali berkunjung aku membersihkan dan memperbarui huruf-hurufnya .

Sudah sewindu sejak kepergianmu, dan aku belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayangmu.  Bougenville merah ungu yang aku tanam di atas pusaramu semoga menjadi penghiburmu dikala rindu.

 "Pah, sudah sore sebentar lagi gelap. Kita pulang."

 "Lima menit lagi, ya?" Aku menatap dalam-dalam mata Sekar anak semata wayang kita, meminta pengertiannya. Sekar mengangguk perlahan. Aku lega. Bukan lima menit sebetulnya yang aku harapkan. Aku ingin selalu di sini menemanimu.

 Aku melanjutkan memunguti bunga dan daun bougenville yang berserakan di atas pusaramu. Meski kau sangat menyukai bunga ini, tentu kamu juga ingin tempat tinggal terakhirmu terpelihara dan bersih.
 @@@

 “Rio!” ucapku seraya mengulurkan tangan dan mengatur gestur tubuh supaya menyisakan kesan baik pada gadis di depanku.

 “Eka,” sambutmu dengan seulas senyum dan mata bulat yang ikut pula tersenyum. Binar mata yang kulihat saat itu begitu melekat dalam benakku, bahkan terus menyertai sampai akhirnya aku sadar, aku telah menemukan pelabuhan terakhirku. 

Walau tak mudah, tapi itu adalah permulaan yang memberiku energi untuk memperjuangkanmu. Sejak saat itu aku tak lagi merangkai mimpi-mimpi masa depanku sendiri, ada kamu dalam setiap Impian-impianku.

Kita memulai semuanya dari titik nol. Kita tinggal di kamar kontrakan, semua kita lakukan dalam ruangan itu. Memasak, makan, menonton televisi, juga tidur. Aku tidak pernah sekalipun mendengar keluhanmu. Kita terlalu sibuk menikmati kebahagiaan yang diberikan-Nya.

 “Mas, kalau mau mengambil kredit KPR, aku mau kamar yang jendelanya menghadap ke halaman. Aku ingin menanam bunga bougenville tepat di bawah jendela. Setiap pagi akan kupetik setangkai untukmu. Sesederhana itu keinginanmu. 

Bahagia kita menjadi semakin sempurna Ketika aku berhasil memiliki rumah yang pantas untukmu dan Sekar, yang hadir melengkapi kita. Kamu tidak perlu menanam sendiri dan menunggu bunga itu tumbuh. Aku sudah meminta dibuatkan taman bougenville di halaman rumah kita pada seorang desainer pertamanan. Dan binar matamu semakin cemerlang saat kutunjukkan rumah kita di hari ulang tahunmu.
 @@@

 “Aduh!” teriakan tertahan terdengar dan cukup mengagetkanku. 

“Kenapa, Bund?” tanyaku cemas sambil menghampirimu yang tengah memijit-mijit telapak kakimu.

 “Kenapa kakimu?” lanjutku ketika sudah berada tepat di sisimu. 

“Kakiku menginjak sesuatu,” jawabmu sambi meringis dan memperlihatkan telapak kakimu ke arahku. Insiden itu ternyata menjadi awal perjuangan panjang kita melawan rasa cemas, sampai beberapa hari kemudian luka di telapakmu tak kunjung sembuh, malah membengkak dan berwarna merah.

 “Periksa ke dokter, Bund!” Pagi itu, aku bersuara agak keras. Sudah sering aku menawarkan diri mengantarmu berobat, tapi kamu malah menertawakanku. Katamu, ini hanya luka ringan dan tidak perlu ke dokter. Tapi, malam sebelumnya tubuhmu menggigil, suhu keningmu saat aku sentuh juga sangat panas. Pagi itu, kamu tak lagi menolak. 
@@@ 

“Ibu Eka!” Suara panggilan dari pengeras suara bergema di ruang tunggu klinik, Serentak kita berdiri dan berjalan ke ruang pemeriksaan. Dokter muda yang memeriksamu, sepertinya tidak terlalu suka berbasa-basi. Dia langsung memeriksa lukamu. Keningnya agak berkerut saat melihat luka dan bengkak yang menyertainya.
Selesai memeriksa, dokter duduk di kursi yang bersebarangan dengan kursi yang kita tempati dan mulai menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, kemungkinan buruk atau harapan-harapan baik. 

Rangkaian pemeriksaan ternyata harus kamu jalani. Semakin hari kondisi kakimu semakin memburuk. Kakimu memerah dan membesar. Tindakan biopsy pun dilakukan. Kita menunggu hasil pemeriksaan jaringan dengan cemas, tapi kita terus saling menguatkan. 

“Ayah, seandainya terjadi sesuatu padaku, bagaimana dengan Sekar? Aku khawatir dia tidak siap. Dia masih terlalu muda.” Entah apa yang tengah merasukimu, tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari mulutmu.  Aku terpana. Selama ini aku selalu membuang jauh-jauh pikiran-pikiran seperti itu. Aku tidak mau kehilanganmu. Aku tidak mau Sekar tumbuh tanpa kamu. 

“Kamu janji, ya Mas. Kamu akan menjaga Sekar agar tetap bahagia, walau tanpa aku.” Semua yang kamu ucapkan malam itu, sangat melukaiku. Jujur, aku bukan sedang memikirkan Sekar. Aku sedang ketakutan. Aku yang tidak siap kehilanganmu.  Tenggorokanku tiba-tba kering, dadaku seakan tengah menahan beban yang sangat berat. Napasku sesak. Masih banyak yang kamu ucapkan, tapi aku sudah tidak sanggup lagi mendengarnya. Segera kutinggalkan kamar dan berjalan menuju teras. Di sana aku terisak. Hari-hari selanjutnya aku semakin sering menitikan air mata. Hasil pemeriksaan jaringan dari telapak kakimu menunjukkan ada sel cancer. Duniaku runtuh. 

Satu tahun kamu berjuang. Menjalani kemotherapy yang menghanguskan kulitmu, merontokkan rambutmu, menanggalkan beberapa gigimu. Dalam sakitmu, kamu masih berusaha mengurus sendiri keperluan Sekar. Di depannya kamu selalu menyembunyikan rasa sakimu. Tapi, akhirnya kita kalah. Usia Sekar 10 tahun kala itu. Duniaku menggelap. 

 Maafkan aku, Bund. Saat itu aku betul-betul hancur. Jangankan merawat Sekar, mengurus diriku sendiri pun aku tak mampu. Aku hampir saja dikeluarkan dari pekerjaan. Sekar berubah menjadi anak yang pemurung. Prestasi di sekolahnya turun drastis. Beberapa kali pihak sekolah memanggilku, tapi tak pernah aku pedulikan. Puncaknya Sekar tantrum di sekolah. 

Sekar merobek kertas ulangan di depan guru sambil mengucapkan kata-kata makian.Dia menumpahkan semua isi tasnya dan melemparkannya ke segala arah. Susah payah guru kelasnya membujuk, Sekar terus saja mengamuk. Akhirnya mereka menelponku, memintaku untuk membujuk Sekar. 

 Setibanya di sekolah, melihat kondisi Sekar saat itu. Aku sangat terpukul. Dia menatapku dengan tatapan memohon. Tolong aku Ayah. Aku terlalu kecil untuk beban seberat ini. Tatapan itu mengingatkanku pada pesanmu. Serta merta aku bergegas menghampiri dan memeluknya. Tangisku pecah, tak lagi bisa kubendung. Betapa egoisnya aku selama ini. Aku hanya sibuk dengan Lukaku sendiri, aku lupa betapa berat yang ditanggungkan olehnya.

 “Pah, sudah lebih dari lima menit,” Sekar menggamit bahuku. Aku menoleh, dia menunjukkan layar telepon genggamnya yang sudah menunjukkan angka 18.00. Aku mengangguk mengiyakan seraya bangkit.

 “Selamat sore, Bund. Kami pamit. Jumat depan kami akan menjengukmu lagi”

 “Selamat sore, Mama. Mama tidak usah khawatirkan aku. Aku dan Papa selalu saling menjaga, seperti yang Mama mau.” lanjut Sekar. Langit semakin gelap. Bunga bougenville terlihat gemerlap terkena pantulan cahaya lampu. Bougenville merah ungu, tanda kan kasihku tak pernah layu. 
Menes, 2 September 2024

Selasa, 11 Agustus 2020

Pulang


 Pulanglah, Nak. Sudah terlalu lama. Semua sudah terjadi dan tak akan bisa diperbaiki lagi. Setidaknya pulanglah untuk kami. Keluarga yang selalu menyayangi dan merindukanmu.


Bagian akhir surat ibu yang diterima Lulu seminggu lalu. Surat itu dibawakan Ratri yang baru saja mudik. Lulu membacanya berulang-ulang. Kerinduan pada keluarga yang selama ini berhasil kalah oleh ego dan rasa kecewa yang bersemayam dalam hatinya, mendesak-desak rongga dadanya dan menimbulkan rasa nyeri.

Surat ibu telah berulang kali dibacanya sehingga dia hapal betul isinya, apa lagi bagian akhir surat itu.

"Lu, menurutku, memang sudah saatnya kamu pulang. Kasian ibumu. Sudah tiga tahun, Lu." Ratri teman sekampung yang sekarang menampungnya di Jakarta memulai percakapan malam itu.
"Aku tahu, peristiwa itu sangat menyakiti hatimu, tapi melarikan diri seperti ini juga bukan solusi. Belum cukup kamu menghukum kedua orang tuamu? atau kamu berprasangka mereka memang menginginkan kejadian itu?"
"Entahlah, Tri. Awalnya aku sudah menolak, tapi mereka selalu membicarakan hal itu, hampir setiap hari sampai aku bosan dan akhirnya mengiyakan...lalu peristiwa itu terjadi."

Sebutir bening menggantung di sudut matanya, disekanya sebelum benar-benar jatuh.
"Kamu harus bisa melihat dari sisi pandang mereka, Lu. Mereka menginginkan kebahagiaanmu, itu yang utama." Ratri masih berupaya membuka hatinya.
"Mereka menginginkan kebahagiaan mereka sendiri. Mereka berharap aku bisa mengubah segalanya." Wajah Lugu Lulu kini memyiratkan kemarahan yang masih tersimpan.
"Sudah tiga tahun, Lu. Tidak bisakah kamu memahami kesederhanaan dan keluguan mereka? Aku ini hanya temanmu, bukan siapa-siapa bagi mereka, tapi aku masih bisa memahami itu, Lu. Kenapa hati kamu begitu tertutup?" Ratri tak bisa lagi menahan ucapannya. Dia ingin hidup Lulu bahagia. Dia tak tega melihat teman masa kecilnya terus menerus terbelenggu dalam rasa marah dan kecewa yang tentunya menyakitkan.

Lulu hanya diam, hatinya bergemuruh. Sebenarnya dia sendiri tak tahu pada siapa kemarahan ini ditujukan. Orang tuanya, laki-laki pembobong itu, atau pada Tuhan. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, suara isakan lirih terdengar.

Ratri memeluk Lulu. Matanya ikut mengembun.
"Maaf, Lu kalau ucapanku melukaimu," ujarnya kemudian.
"Aku bingung, Tri. Aku merindukan mereka, sangat rindu. Tapi, di sana, di kampung kita akan ada tatapan-tatapan kejam. Mereka akan menuduhku sebagai perebut suami orang. Aku tidak siap, Tri."
Ratri semakin mempererat pelukannya, tangannya mengusap-usap punggung Lulu dengan lembut.

_______

Perhelatan sederhana tengah berlangsung. Pengantin cantik dengan seorang pemuda kota duduk bersanding di pelaminan berwarna putih. Perhelatan yang menjadi perbincangan banyak orang. Ada yang kagum bahkan ada pula yang ikut bersyukur karena gadis sebaik Lulu dipersunting pemuda kota yang terlihat mapan. Tapi, ada pula yang menatap iri. Mulut mereka mendesis-desis seperti suara ular menebar racun ke mana-mana.

Tamu undangan terus berdatangan, semua orang tampak sibuk. Perempuan-perempuan muda berdandan menor ikut memeriahkan suasana perhelatan. Nasi dan lauk pauk tak henti-henti ditambahkan.

Meriahnya suasana pesta membuat orang tak menyadari saat seorang perempuan muda dengan anak kecil sekitar 5 tahun yang menemaninya telah berada di atas pelaminan. Secara agresif dia menyerang Lulu disertai kalimat-kalimat makian. Lulu yang kebingungan tak bisa berbuat apa-apa. Pemuda yang ada di sampingnya seperti kerbau dicucuk hidung saat ditarik perempuan itu turun dari pelaminan dan akhirnya menghilang bersama kendaraan yang terparkir di pinggir jalan.

Suasana bahagia yang tadi menyelimuti hati seluruh keluarga tiba-tiba saja berubah. Semua orang kasak- kusuk, berbisik-bisik ada yang bersimpati dan tak sedikit pula yang mencemooh.
"Oh, jadi itu suami orang."
"Gak nyangka, kok dia mau menikah dengan suami orang?" dan masih banyak lagi kalimat-kalimat ejekan lain yang terdengar. Lulu merasa dunianya menjadi gelap. Dia lari ke kamar dan mengurung diri di sana. Tak ada yang bisa membujuknya.

Hari masih gelap. Sebagian orang masih terlelap. Hanya Ayah dan Ibu yang duduk tepekur menatap lantai di ruang depan.
Perlahan Lulu membuka pintu kamar. Tangan kananya menjinjing tas berisi pakaian.
"Ayah, Ibu aku pamit. Aku mau ke Jakarta.'
Ayah dan Ibu tak berdaya mencegah. Perdebatan kecil sempat terjadi, tapi tekad Lulu terlalu kuat untuk dihentikan. Dengan berat hati mereka melepas kepergian Lulu.

Tiga tahun sudah Lulu tak pulang. Pulang baginya adalah luka. Dia bahkan mengabaikan kerinduan kepada kedua orang tuanya. Tapi, surat Ibu yang terakhir dan ucapan Ratri menggoyahkan kekerasan pendiriannya.
Foto Ayah dan Ibu yang diperlihatkan Ratri mengusik hatinya. Betapa cepat mereka menua. Ada penderitaan di mata mereka.

Hari ini Lulu memutuskan untuk pulang. Dia ingin menghapus derita kedua orang tuanya. Selama ini dia berusaha menyembuhkan lukanya sendiri, tapi pada saat yang sama dia semakin memperparah luka di hati kedua orang tuanya. Aku mau pulang, bisik hatinya.
Tapi, luka Lulu dan kedua orang tuanya belum dapat disembuhkan. Tak ada tiket pulang yang bisa diperolehnya. PSBB dan larangan mudik membuatnya masih harus menunggu entah sampai kapan.


Tamat







Selasa, 04 Agustus 2020

Rahasia Hati



Arum membuka matanya perlahan, sentuhan lembut Tio di dahinya membuatnya terjaga.
"Maaf, aku mengganggu tidurmu," ujar Tio yang tengah duduk di sisi ranjang. Tangannya mempermainkan rambut Arum. Perempuan yang sudah mulai menua itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Aku selalu suka terbangun karena belaianmu," Arum menyentuh wajah Tio.
Tio membaringkan tubuhnya di sisi Arum, setelah terlebih dahulu merapikan selimut istri yang dinikahinya tiga puluh tahun lalu. Arum memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Tio, tubuh mungilnya kini berada dalam rengkuhan lengan Tio. Sejenak dia menikmati walau kemudian menggeser lengan Tio yang mulai lelap. Saat Tio tertidur, lengannya terasa semakin berat dan membuat dada Arum sesak.

Usai solat subuh, Arum menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan bagi Tio dan dua buah hatinya. Pekerjaan rutin yang tak pernah membuatnya bosan. Bagaimana dia bisa bosan, setiap makanan yang dihidangkan selalu saja membuat Tio dan kedua anaknya makan dengan lahap dan berujung dengan pujian.

"Bilang terima kasih pada Mama, Mama selalu menyediakan sarapan enak untuk kita," selalu begitu, bahkan sampai kedua gadisnya beranjak dewasa.

Setelah melepas ketiga orang kesayangannya Arum mulai sibuk dengan dirinya sendiri. Membuka laptop dan menulis. Sejak kelahiran anak pertama mereka, Arum memilih berhenti bekerja. Dia ingin konsen mengurus keluarga. Sebagai suami, Tio tak pernah melarang atau menyuruh Arum bekerja. Dia menyerahkan pilihan pada Arum. Hidup mereka tampak sempurna.

@@@

Arum berpindah dari satu rak ke rak lainnya, memindahkan beberapa barang dari rak ke troli yang ada di sisinya. Berbagai barang kebutuhan rumah tangga sudah hampir
memenuhi keranjang besi itu

Setelah memeriksa catatan belanja yang tertulis di HP dan yakin semua yang dibutuhkannya sudah masuk ke troli, Arum mendorong troli ke arah kasir kemudian membayar. Setelah itu, Arum menuju honda yaris putih yang terparkir di sisi kanan gedung pusat perbelanjaan.

Arum merasa risi sekaligus cemas karena ada sosok yang mensejajarinya. Dia mempercepat langkah tanpa merasa perlu tahu, siapa sosok yang berjalan di sisinya. Sosok itu mengimbangi, berjalan secepat langkah Arum.

Sebelum mencapai kendaraan, dengan paduan rasa takut dan ingin tahu, Arum memberanikan diri menoleh ke arah sosok yang ada di samping kananya.

"Selamat sore, Arum. Apa kabar?" Arum terperanjat. Suara itu sangat dikenalnya. Dia tak perlu melihat wajahnya, dia tahu siapa sosok yang berdiri di sampingnya. Suara yang dulu selalu menemani jelang tidurnya. Untuk yang tersayang di peraduan, selamat tidur, kalimat itu begitu jelas melekat di pikiran Arum. Dia adalah cerita yang tak pernah selesai.
"Baik, kamu?" Percakapan singkat, miskin kata-kata, tetapi menciptakan gemuruh yang maha dasyat di hati keduanya.

"Boleh aku menghubungimu lagi?" Angga mengeluarkan HP dari saku celananya, dan menulis angka-angka yang disebutkan oleh Arum. Keduanya berlalu menuju kendaraan masing-masing. Gemuruh di dada Arum ternyata tak segera hilang.

@@@
"Arum, cerita kita belum selesai, kan?" Pesan whatsap dari Angga menyapa Arum saat dia akan menyalakan laptop.
Arum tak segera membalas. Lama dia tercenung menatap layar HP. Ya, cerita itu memang tak pernah selesai. Tak pernah ada kata akhir yang jelas. Semua mengambang lalu menguap, tapi di hati terdalam masih tetap ada. Arum berbisik pada hatinya. Terkadang aku masih punya mimpi tentang kita. Aku tak ingin kita kalah, aku ingin kita memenangkannya. Nyatanya, kita memang kalah. Kita tak mampu bertahan.

Satu denting kecil terdengar lagi,

"Arum, salahkah jika aku masih menyimpan cerita tentang kita?"

Bagaimana mungkin aku melarangmu karena aku melakukan hal yang sama. Aku masih menyimpan semua dengan utuh.

"Tahukah kamu, aku selalu saja menyayangimu?"

Menyayangimu bagiku adalah simfoni hati yang indah, aku tak akan menghentikannya. Dan mengetahui kau masih menyayangiku, menjadikannya sebuah orkestra yang sempurna.
"Arum, mengapa pesanku hanya kau baca?"

Arum menghirup udara dengan tarikan dalam, setelah sejenak terdiam kemudian mengetikkan beberapa kalimat,

"Aku tak mau kita selalu berada di wilayah terlarang, itu menyakitkan. Aku tak mau lagi merasa kalah. Biarlah semua kusimpan rapat-rapat sebagai sebuah rahasia. Rahasia hatiku dan hanya kamu yang tahu. Kamu akan tetap jadi warna merah di darahku. Yang tak pernah hilang dari ingatanku. Tapi itu bukan berari aku tak bahagia saat ini, sama denganmu, aku percaya kamu adalah pencinta yang pandai membahagiakan orang yang kamu cintai."

Setelah menekan enter, Arum menekan tombol power, mematikan HP-nya. Dia ingin mengakhiri percakapan pagi ini. Setidaknya dia berusaha agar tak larut dalam kenangan masa lalu, kisah yang tak pernah dilupakan, atau dia memang tak pernah mencoba melupakan.Dia ingin tetap menyimpannya walau dia tak tahu untuk apa.

Sementara di ujung sana, Setelah menghapus semua percakapan yang baru saja dilakukannya dengan Arum, Angga  menghampiri istrinya lalu duduk sambil menyandarkan kepala di bahu perempuan yang telah mendampingi dan berbagi cinta dengannya hampir di sebagian terbesar usianya. Angga memainkan telapak tangan istrinya sementara wanita itu menatapnya bingung.

“Bahagiakah kamu menjadi istriku?” tanyanya tiba-tiba. Istrinya yang masih merasa aneh dengan sikap Angga hanya bisa mengangguk.

“Syukurlah, karena aku tak mau istri yang aku cintai tak bahagia hidup denganku.”

“I love you,”  bisiknya lembut sambil terus menggenggam lengan wanita itu.


TAMAT


Senin, 03 Agustus 2020

Yang Tak Pernah Hilang #5


Bagian sebelumnya
Cerita dari Rio:

Sudah sepuluh hari  aku kembali berada di sini, di keindahan dan kemurnian alam raya. Di kesunyian dan kerinduan yang  masih saja mengganggu.  Yang berbeda, aku menikmati pekerjaanku. Sekarang bukan lagi sekadar tempat menyembunyikan  rasa kecewa. Sekian lama berinteraksi dengan  alam perawan, menjaganya dari tangan-tangan tak bertanggung jawab, menumbuhkan kecintaan yang sesungguhnya. Aku mulai mengerti bahwa pekerjaanku bukan saja soal komitmen dan janji terhadap negara, tapi lebih dari itu. Ini soal bagaimana harus bertanggung jawab kepada-Nya. Bumi yang diciptakan-Nya merupakan sebuah ekosistem besar, merusak salah satu rantainya akan menimbulkan banyak kerugian bagi manusia.

Sepuluh hari cukup lama karena hingga pagi ini aku belum mendapat kabar dari Eka, mungkin dia sudah kembali ke Bandung.  Belum ada cerita tentang apa yang kemudian dihadapinya malam itu. Aku hanya mengingat bagaimana dia berlari menembus hujan meninggalkanku, tanpa dapat berbuat apa-apa. Sesekali terlintas pula keinginan untuk mengakhiri, mungkin semua akan menjadi lebih baik. Hanya saja aku ragu, apakah dia akan mengerti bila kulakukan hal itu?

“Sudah siap?” Budi sudah berdiri di depanku dengan pakaian lengkap. Kami akan menyeberang ke Cidaon lalu berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju Cibunar  untuk  memandu beberapa wisatawan yang berkunjung. Cibunar  termasuk pantai selatan dan masih berada dalam kawasan TNUK.  Diperlukan  waktu berlayar sekitar 15 menit untuk sampai ke sana dengan menumpang kapal. 

Seharian mendampingi wisatawan menyaksikan satwa liar berkumpul di tengah padang yang luas. Menjadi tanggung jawab kami, para petugas, menjaga keselamatan pengunjung karena di sini segala sesuatu bisa terjadi, bahkan yang tak masuk akal sekalipun.  Di sini kesalahan bertindak bisa berakibat fatal. Menyaksikan kawanan banteng merumput atau rusa berkejaran, jika beruntung bisa juga melihat badak jawa melintas, tentunya pengalaman luar biasa bagi para pengunjung. Tetapi, di sini juga ada macan, ular berbisa, atau satwa berbahaya lainnya,

Pukul tiga sore, kami kembali ke Pulau Peucang.  Tugas memandu wisatawan sudah selesai. Tiba di daratan aku menghempaskan diri di atas pasir, berbantalkan ransel yang sedari tadi kusandang di bahu. Menatap langit berwarna jingga ditingkah debur ombak yang datang berirama. Suasana tenang ternyata membuatku ingat lagi pada masalah yang tak jelas akan ada penyelesaiannya atau tidak.

Apa kabar kamu di sana?


@@@

Cerita dari Eka

Liburanku masih sisa dua hari, tapi Ayah menyuruhku segera kembali ke Bandung. Seharusnya hari ini aku tengah berkumpul dengan teman-teman SMP-ku sesuai yang kami rencanakan sebelumnya, tapi sekarang aku di sini, sendiri dalam kebimbangan. Sepucuk surat kutulis untuk Rio, mudah-mudahan bisa segera sampai ke tangannya. Menulis untuknya membuat rasa sesak di dadaku sedikit berkurang.

Hari-hari selanjutnya adalah perjuangan untuk pindah jurusan. Waktuku habis di sekolah karena harus masuk di dua kelas, pagi dan sore. Walau dikemudian hari akhirnya aku bisa membuktikan bahwa aku mampu. Di kedua kelas nilaiku cukup memuaskan. Kesibukkan sekolah ternyata bisa pula membantu mengusir gulana. Bahagiakah aku d sini? Entahlah!

Pagi ini aku melintas di depan ruang Tata Usaha Sekolah, beberapa amplop surat berjajar di kaca Aku berharap salah satunya untukku. Kubaca satu persatu alamat tujuan surat, dadaku bergemuruh saat kutahu ada satu surat untukku. Aku segera masuk ke ruang TU dan meminta izin untuk mengambil surat itu. Seperti biasa, aku selalu tak sabar ingin segera membaca suratnya, walau akhirnya tetap saja harus menunggu sampai nanti tiba di rumah.

Kedatangan surat Rio yang selalu kuharap, walau membacanya selalu saja menyadarkanku betapa sulitnya memperjuangkan cinta ini, mengabarkan sedang mengikuti Diklat di Bogor dan akan ke Bandung. Setelah itu hari-hariku adalah menunggu, berharap waktu itu segera datang.
@@@
Penulis:

Masih pagi, Eka sudah bingung. Pagi ini dia harus ke Jalan Setiabudi, di sana ada Rio menunggu. Eka panik dan gugup, dia takut untuk minta izin. Dia takut Kakak akan curiga.

“Antar Kakak ke Margahayu, ya?” Tiba-tiba saja Kakak mengajaknya pergi. Eka tak segera menjawab. Otaknya berputar-putar mencari alasan yang paling tepat dan tidak dicurigai. Bagaimana pun dia harus bilang karena kalau tidak, dari mana dia dapat uang untuk ongkos.

“Enggak bisa, mau pergi, ada janji sama teman,” ujarnya kemudian dengan degup jantung yang  sangat keras, bahkan dia takut suara jantungnya terdengar oleh Kakak.

“Mau ke mana?”

“Ke Setiabudi, teman-teman SMP mau kumpul di sana,” kali ini Eka sudah semakin tenang dengan kebohongannya. Kebetulan Kakak memang tahu, ada teman SMP nya yang tinggal di situ.

Eka sangat beruntung pagi ini karena Kakak tidak banyak bertanya, setelah memberinya uang untuk ongkos, Kakak berangkat ke Margahayu dan Eka pun berangkat menuju Jalan Setiabudi.

Rindu membuat Eka lupa bahwa sejak tadi malam kepalanya sakit. Jalanan macet dan udara dingin tak menghalangi. Rindu memang bisa meleburkan rasa sakit, tak disadarinya suhu tubuhnya terus naik. Ketika akhirnya mereka bertemu, Rio menyadari bahwa Eka kurang sehat. Upaya Rio mengajaknya ke dokter, tak diturutinya. Eka hanya tak ingin ada yang mencuri waktu yang singkat ini, tidak juga seorang dokter.

 Bersambung ke sini




 


Sabtu, 25 Juli 2020

Buku yang Tertukar

Hari ini rapat kenaikan kelas. Semua guru di tempat Aini mengajar diwajibkan hadir, tentu tetap dengan mengikuti protokol kesehatan di masa pandemi. Didorong oleh rasa rindu pada sekolah yang telah lama dirasakannya,  Aini berangkat dengan bersemangat.

Tiba di gerbang Aini berhenti sesaat. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang.

"Selamat pagi, Bu Aini," suara Abah Ihin yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya, membuat Aini terperanjat.

"Tumben ke sekolah," sapa Abah Ihin ramah.

"Kangen dengan suasana sekolah, Bah. Gak enak di rumah terus," timpalnya tak kalah ramah.

Mereka berbincang sejenak, Aini jadi tahu kalau Abah Ihin tidak bekerja dari rumah seperti yang lainnya. Sebagai penjaga dan sekaligus bertanggung jawab memelihara kebersihan sekolah, setiap hari dia tetap harus datang. Pantas saja bunga-bunga di halaman sekolah tetap segar dan rapi, Aini bergumam. Aini selalu kagum pada Abah Ihin. Dengan penghasilan yang tak seberapa, dia tetap melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab.  Abah bilang, ini juga ibadah. Sikap yang layak ditiru, menurut Aini

 Bu Ratna yang baru saja turun dari ojeg menggamit lengan Aini, mengajaknya melangkah bersama menuju ruang guru. Aini langsung menuju bangku yang di depannya ada meja bertuliskan namanya.   Di atas meja imasih ada beberapa buku latihan siswa yang belum sempat dibacanya, tersusun rapi.

Sambil mendengarkan obrolan santai di antara guru yang sudah berkumpul dalam ruangan, Aini menyempatkan diri memeriksa buku tugas siswa, sambil menunggu rapat kenaikan dimulai. Sesekali dia ikut menimpali dan tertawa bersama mereka.

Sebelum Aini selesai mengoreksi, Bapak Kepala Sekolah sudah memasuki ruang guru, rapat pun dumulai. Aini menghentikan kegiatannya  dan tergesa memasukkan beberapa buku tugas ke dalam tas ranselnya.

Rapat kenaikan kelas hari ini berbeda dari biasanya, berlangsung cepat. Tidak ada perdebatan alot untuk menentukan seorang siswa bermasalah masih  layak naik kelas atau tidak.

Semua guru kekurangan data. Ada anak yang dua bulan pertama sering tak masuk pun naik kelas karena  guru wali kelas bersama Guru Bimbingan dan Penyuluhan  sudah melakukan pembinaan, walau hasilnya tak terlihat karena pandemi covid 19 memaksa mereka belajar di rumah saja, tidak ada lagi data kehadiran ril di kelas. Kegiatan belajar daring juga tak efektif. Banyak kendala, guru dan siswa sama -sama tak siap. Kondisi luar biasa melahirkan keputusan fantastis, semua siswa naik kelas.

Selama rapat berlangsung Aini malah sibuk dengan aplikasi note yang ada di gawainya. Sebuah puisi tercipta,

 

Ada yang memfitnah, ada yang difitnah

Siapa memfitnah?

Siapa difitnah?

 

Ada yang diuntungkan ada yang dirugikan

Siapa menguntungkan siapa?

Siapa merugikan siapa?

 

Ada yang berbohong dan ada yang dibohongi.

Siapa pembohong?

Siapa yang dibohongi?

 

Semua berseliweran tak jelas

Semua tak tahu harus percaya pada siapa

 

Ada yang takut, ada yang terlalu berani

Yang takut melepas semua peluang

Yang terlalu berani menentang risiko

 

Ada yang hanya bisa diam

Ada yang terus bergerak

 

Ada aku, kamu, kita, dan mereka

Melangkah ragu

Antara cemas dan harapan

Wakasek kurikulum sudah menutup acara  rapat  Aini pun menutup aplikasi note  setelah menyimpan catatan yang baru ditulisnya lalu memasukkan gawai ke kantong beresleting di bagian luar tas ransel besarnya.

@@@

Pembagian rapot kenaikan kelas baru saja dilakukan. Walau protokoler jaga jarak telah disosialisasikan, pada kenyataannya tak bisa dilaksanakan. Anak-anak yang terlalu lama menyimpan rindu di antara mereka, tak dapat menahan diri untuk saling memeluk. Para guru terus saja mengingatkan. Daerah hijau, status ini yang membuat kecemasan agak berkurang.

 

Aini telah selesai membagikan raport di kelas 8 B saat hendak beranjak meninggalkan kelas, beberapa anak menghampiri,

"Bu, foto bersama dulu." Aini tak segera menjawab, itu artinya harus saling berdekatan dan mengabaikan protokol jaga jarak, pikirnya.

"Kan harus jaga jarak," Aini mencoba menolak.

"Bu, please! Ini hari terakhir kita berkumpul. Setelah ini gak akan ada kesempatan foto bareng,"  bujukan dari wajah-wajah penuh harap ini menggoyahkan hati Aini. Ya, kapan lagi?

"Oke, tapi sebentar saja. Setelah itu kalian segera pulang." wajah-wajah yang tadi harap-harap cemas kini tampak gembira. Siswa kelas 8B mendadak menjadi sangat mudah diatur. Mereka berjajar menghadap kamera dengan gayanya masing-masing.

----

Aini tengah menikmati hari libur pertama. Tak ada lagi kegiatan belajar daring. Kegiatan belajar semester genap telah usai. Para siswa telah pula menerima hasil belajar. Pandangnya tertumbuk pada tas ransel besar yang masih tersandar di kaki meja kecil yang ada di kamar. Aini teringat ada beberapa buku siswa yang ada dalam tas. Aini ingin melanjutkan memeriksa buku tugas siswa, walaupun sudah tak mempengaruhi nilai hasil belajar  karena rapot sudah dibagikan, Aini tetap ingin melakukannya.

 

Ada lima buku yang dikeluarkannya dari dalam tas. Tapi salah satu buku  terlalu kecil sebagai buku tugas, buku siapa ini? Aini membolak balik halaman buku yang ada di tangannya. Bukan, ini bukan buku tugas siswa. Ini buku diari. Punya siapa? Masih diliputi rasa ingin tahu, kembali diperiksanya halaman demi halaman untuk  mencari identitas si pemilik. Aini terkejut, ada namanya di buku itu. Segera ditutupnya halaman buku itu, hatinya bergejolak antara rasa ingin tahu dan rasa bersalah karena membuka catatan harian orang lain.

Sudah hampir sepuluh menit, Aini masih saja ragu-ragu. Buku diari masih ada di tangannya. Terbayang lagi apa yang baru saja dia lihat, namanya.

Ada pertarungan hebat di hati Aini, rasa penasaran dan merasa tidak berhak mengetahui isi tulisan itu, dia sadar bahwa diari adalah sesuatu yang sangat pribadi, tempat seseorang bisa menulis secara jujur tentang rasa. Marah, benci, bahagia, dan ekspresi jiwa lainnya.

Jika aku tidak membaca,   selamanya aku tidak tahu  orang lain bicara apa tentangku. Jika hal baik sih tidak masalah, kalau hal buruk? Aku akan kehilangan kesempatan memperbaiki diri.

"Bismillah..." Dia buka lagi halaman buku itu, mencari tulisan yang tadi sempat dilihatnya.

"Aku kira Bu Aini itu guru hebat, nyatanya sama saja dengan guru lain. Pilih kasih. Apa kurangnya aku dari Septi, dari Rizka, nilai-nilaiku juga bagus seperti mereka, aku juga masuk 10 besar. Tapi Bu Aini tak pernah peduli. Dia pilih kasih.

Satu persatu kata yang terangkai itu dibaca Aini dengan rasa yang campur aduk. Ada rasa tersinggung, sedih, marah, dan entah apa lagi. Aini merasa sedang di hukum tanpa persidangan. Dia jadi ingin tahu, siapa yang menulis?

Dibolak-baliknya lagi halaman buku itu untuk menemukan identitas pemiliknya.  Risan, selalu ini yang muncil di akhir setiap tulisan. Tapi, tak ada nama Risan yang tertera di daftar absen.

Nyaris putus asa, itu yang dirasakan Aini. Sedari tadi mencari, tapi tak juga dia tahu siapa pemilik buku diari itu.

Risan, siapa dia? Dia pasti siswaku karena menulis  namaku dengan sebutan Ibu Aini. Aini melihat lagi ke buku absen, berharap ada nama yang mirip atau mengarah. Tak juga ada. Kini matanya tertuju ke 4 buku latihan siswa yang barus saja dikoreksinya. Aini teringat pada catatan tugas yang telah dikoreksinya saat menjelang rapat. Ada lima nama yang tersisa saat Wakasek Humas mengajak para guru untuk memulai rapat.

Aini segera memeriksa nama nama yang tertera di halaman depan buku dan melanjutkan catatan kemarin dengan menambahkan nama serta nilai keempatnya.

 

AURIA SINTIA, nama ini yang belum ada dalam daftar catatannya. RIS? RIAS? ARIS? Aini memutar-mutar urutan huruf nama Aria,  Mengapa RISAN? Keningnya berkerut, tapi ada senyum kecil di sudut bibir Aini ketika mengetahui Auria mengidolakan artis korea yang memiliki nama depan San. Satu langkah permulaan telah dilalui, Aini kini tahu anak yang menyebutnya guru pilih kasih.

Aini tak pernah menduga, Auria punya pendapat begitu. Selama ini Aini selalu bersikap adil, memberi perhatian pada semua siswa. Kalau ada siswa yang mendapat perhatian lebih, itu karena mereka memang membutuhkan. Doni, Septi, atau beberapa anak lainnya, mereka dalam masalah dan butuh perhatian khusus.

Auria, anak cerdas. Dia rajin dan berprestasi. Tak ada tanda-tanda dia menyimpan masalah. Ada apa dengannya?

"Padahal capek, tapi kalau tidak, Mama pasti makin cuek. Dapet nilai bagus aja Mama cuman bilang, baguslah."

"Lagi-lagi Mama bikin aku malu di depan temannya. Mama selalu bangga-banggain Kak Riri dan nganggap aku gak ada."

"Pa, kenapa sih perginya lama? Mama cuman sayang sama Kak Riri."

dan masih banyak catatan lain yang membuat Aini mengerti, mengapa Auria berprilaku seperti itu. Aiuria merasa diperlakukan berbeda.  Bahkan usaha untuk menarik perhatian mamanya, seolah tak ada arti. Mungkin ini yang membuat dia selalu mencurigai orang lain, termasuk mencurigaiku. Batin Aini.

Auria, ada satu tugasmu yang belum kamu kumpulkan, pesan Aini lewat watsapp. Bisa kamu kirimkan ke ibu? Pesan Aini berikutnya. Pesan yang terkirim itu belum mendapat jawaban hingga sore hari.

Auria justru muncul di rumah Aini untuk menyerahkan buku tugasnya.

"Kita makan seblak dulu, yuk" ajak Aini sambil merengkuh bahu remaja hitam manis itu ke samping rumah, ke warung Bi Ida. Auria tak bisa menolak karena rengkuhan itu cukup kuat dan membuat dia melangkah mengikuti.

"Saya tidak bawa uang," bisiknya dekat telinga Aini.

"Ibu yang traktir."

Kini mereka sudah duduk berdampingan menghadap meja panjang yang menempel ke dinding. Dua mangkuk seblak juga sudah terhidang.

Aini mengajak Auria mengobrol hal-hal yang disukainya, sesekali terdengar derai tawa mereka yang membuat beberapa pengunjung melirik. Keduanya menjadi sangat akrab.

Dua mangkuk seblak sudah kosong. Wajah mereka pun telah memerah karena pedas level 5 yang tadi mereka pesan.

Aini hendak beranjak menghampiri Bi Ida untuk membayar, saat itu dia mendengar suara Auria

"Bu!"

"Ya?"

"E..., saya kan sudah..."

"Mengumpulkan buku tugas?" Air muka Auria berubah pucat.

Kok kaget? Buku tugas yang ini kan?" Aini menunjuk  buku yang tergeletak di meja, buku tugas  yang tadi baru saja diserahkan oleh Auria.

"Eh, Iya...tapi...bukan yang itu, bukan! ...yang dulu."

"Oh, yang itu? Ada." Aini menjawab  santai sambil menyeruput minumannya.

Auria semakin panik. Dia menatap Aini dengan tatapan menghiba.

"Ibu membacanya?" Aini menjawab dengan anggukan kecil dan sebuah senyum.

"Maaf, ya. Ibu terpaksa membaca karena mencari tahu siapa pemilik buku itu," jelasnya. Suasana hening sejenak. Aini asik mengaduk-aduk batu es dalam gelas. Auria memilin-milin ujung tali tas kecil yang dibawanya.

"Bu, maaf." Suara Auria nyaris tak terdengar.

"Hei, kamu kenapa? Minta maaf untuk apa? Fungsi buku diari itu memang untuk curhat, kamu boleh menulis apa saja yang tengah kamu rasakan atau pikirkan. Yang penting, jangan mengumbar kata-kata kasar. Itu bisa membuat jiwamu juga jadi jasar."

"Tapi, saya menulis tentang Ibu," masih dengan suara perlahan, menahan tangis.

Aini menatap Auira dengan senyum menenangkan.

"Ibu gak marah. Ibu hanya ingin kamu tahu," ucapan Aini membuat Auria menghentikan keasikannya memilin-milin ujung tali tasnya.

"Ibu tidak pernah berniat membeda-bedakan kalian, Ibu sayang kalian. Mengapa perlakuan Ibu berbeda? Kebutuhan kalian juga berbeda. Yang Ibu tahu  kamu anak hebat, kuat, dan selalu ceria. Kamu mampu mengatasi masalah-masalahmu dengan cara yang baik. Kamu tidak membutuhkan bantuan. Berbeda dengan beberapa temanmu yang lain. Mereka butuh bantuan. Ibu melakukan itu untuk mereka." Auria mendengarkan dengan seksama.

"Tapi, Bu...Mama..."

"Insya Allah, mamamu juga bangga sama kamu. Terkadang orang tua tidak mau menunjukkan rasa bangganya. Mereka tidak ingin anaknya jadi sombong atau menjadi manja."

Kata-kata Aini rupanya berhasil menenangkan remaja 15 tahun ini. Senyum kecil kembali terlihat di wajahnya.

"Bu, boleh saya kapan-kapan main lagi ke sini?"

"Tentu, Ibu senang kalau ada yang mau main ke sini. Ibu punya banyak buku yang bisa kalian baca."

"Terima kasih,Bu." Aini melingkarkan lengannya  ke tubuh Auria. Ada kabut tipis tiba-tiba menutupi mata Auria. Dia berusaha menahannya agar tak berubah menjadi tetesan air.

"Lain kali hati-hati menjaga buku diarimu."

Pesan Aini saat mengantar Auria ke depan pintu pagar.

 

 #diari #buku #smp 


Jumat, 24 Juli 2020

Yang Tak Pernah Hilang #4


Kedatangan suratnya yang mengabarkan akan pulang, menggerakkanku segera berkemas. Besok aku akan ikut berlayar, pulang. Malam terasa sangat panjang, aku seperti bocah kecil yang dijanjikan mainan baru ketika bangun pagi besok, gelisah, tak bisa tidur. Enam bulan bukan waktu sebentar untuk merindukannya. Sekarang saatnya untuk bertemu.

Pukul 10.00 Kapal Badak meninggalkan dermaga.Perjalanan empat jam setengah segera dimulai. Sebentar lagi kami akan melintasi pulau-pulau kecil yang menawarkan keindahannya. Pulau Handeuleum sudah mulai terlihat. Pulau yang hampir seluruh permukaannya ditutupi pohon bakau/mangrove sungguh pemandangan yang mempesona. Dominasi warna hijau di tengah birunya laut. Di sisi luar pulau,  pasir putih tampak berkilau.

Lagi-lagi anganku melayang padanya. Seandainya dia kini berada di sini, bersama menikmati semua keindahan alam ini. Aku membayangkannya duduk di bagian depan kapal, dia mencoba menyentuh buih di permukaan air laut. 
"Hati-hati. Awas jatuh!" kata-kata itu terlontar begitu saja.
"Ada apa?" suara ABK yang duduk di sampingku membuatku kaget. Dia mengikuti arah pandanganku kemudian kembali melihat ke arahku.
"Jangan melamun. Ini di tengah laut!" ucapnya kemudian. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
@@@@
Pertemuan yang telah kutunggu sekian lama, ternyata tak segera bisa terwujud, masih harus mencari saat yang tepat. Kami berada di kota yang sama, tapi belum juga bisa bertemu, sungguh sesuatu yang rasanya bodoh. Terkadang aku ingin nekad mendatangi rumahnya, berkata jujur pada keluarganya bahwa kami saling mencintai, tapi dia selalu melarangku melakukan itu. Aku tak bisa memaksa, dia tentu punya alasan dengan semua sikapnya.

Hari ketiga, akhirnya dia muncul. Aku tak lagi melihat dia sebagai bocah, yang entah kenapa aku mencintainya, kini dia tampak lebih dewasa.
"Apa kabar?" sapanya, menurutku dia terlalu formal dengan pertanyaannya.
"Alhamdulillah, yang pasti sih kabarku, sedang rindu." Dia tertawa kecil sambil mengalihkan pandang, menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"Kamu juga rindu, kan?" lanjutku menggodanya. Kali ini dia tak menjawab. Dia mendekat dan duduk di sampingku.

Bersama dengannya waktu seolah bergerak terlalu cepat. Berbagi cerita tentang hari-hari di tempat yang baru dan sesekali saling mengajuk hati menjadi terlalu indah untuk diungkapkan. 

Seharusnya Eka sudah pulang satu jam yang lalu, tapi hujan deras menahannya. Dia masih di sini bersamaku. Dia gelisah, mungkin lebih tepatnya, dia takut.
"Aku pulang sekarang saja," tiba-tiba dia berdiri dan hendak beranjak, aku menahannya. Di luar hujan sangat deras, Aku tak bisa membiarkannya bermandi hujan.
"Aku takut. Sudah jam sepuluh lewat," suaranya mulai gemetar. Di luar hujan belum juga mereda. Tapi, wajahnya yang pucat dan kepanikan yang terlihat pada sikapnya, membuatku berubah pikiran. Akhirnya kami nekad berjalan di tengah hujan hanya dengan sebuah payung.

Sepanjang jalan, Eka bungkam. Aku tahu dia tentu sangat cemas bagaimana menghadapi keluarganya nanti. 
"Aku antar sampai rumah, ya? Kita hadapi bersama kemarahan orang tuamu," Aku merasa bersalah dan kurasa aku harus bertanggung jawab. Dia tak harus menghadapinya sendiri.
"Gak usah, tidak akan menjadi lebih baik. Mungkin malah akan membuat mereka semakin marah." jawabnya dengan cepat.
Aku tak tahu lagi bagaimana melindunginya. Seratus meter menjelang sampai ke rumahnya, Eka mempercepat langkah dan meninggalkanku, hujan deras mengguyur tubuhnya, Aku tak berusaha mengejar karena  itu yang dia inginkan. Di tempatku berdiri, aku hanya bisa membayangkan, apa yang tengah dihadapinya sekarang.
@@@
Cerita dari Eka

Satu semester hanya terhubung lewat beberapa helai surat, sungguh tak menyenangkan. Hari ini aku pulang. Sejak mengetahui jadwal libur semester,  aku sudah mengabari Rio. Mudah-mudahan saja surat itu sampai sebelum liburan habis. 
Aku tak tahu pasti, dia akan pulang atau tidak. sungguh dalam ketakpastian itu sangat tak menyenangkan.

"Kapal baru berangkat ke pulau kemarin  siang, sore ini kalau tidak ada halangan, datang," kabar ini aku terima dari salah seorang teman kerjanya.
"Rio ikut pulang?" aku tak menahan diri untuk menanyakan, sayangnya aku tak mendapat jawaban pasti. Menunggu sore saja, rasanya sangat lama, walau akhirnya yang kuterima adalah kabar yang aku inginkan.

Pagi-pagi aku sudah bersiap untuk menemuinya, tapi entah mengapa, ada saja penghalang untuk itu. Bahkan kunci vespa yang biasa kukendarai, entah dimana letaknya. 

Liburku hanya tinggal tiga hari lagi, kami belum juga bertemu.
Sore ini, akhirnya dewa penolongku datang.
"Mau kemana?" Ibu langsung bertanya saat melihatku berganti pakaian.
"Mau rapat. Persiapan halal bihalal, " jawabku sekenanya sambil memberi kode kepada temanku, dewa penolongku untuk mengiyakan. Nyaris wajah polosnya membongkar kebohonganku, untungnya luput dari perhatian Ibu.

Kami naik beca yang sama ke arah gedung pertemuan, tempat rapat-rapat kegiatan remaja dilakukan, tapi 200 meter dari rumah, kami berpisah. Aku pindah ke beca lain dan ke arah yang lain. Saatnya membayar semua waktu yang lewat dengan rasa rindu.
"Apa kabar?" Mengapa pertanyaan konyol ini yang terucap. Aku merutuki diri.  ternyata rindu yang terlalu lama bisa membuat orang kehilangan kosa kata, sementara dia hanya menatapku karena pertanyaan aneh itu. Aku semakin gugup.

Bersamanya, bagiku waktu  seperti roket yang meluncur sangat cepat. Tak kusadari  ternyata sudah pukul 10 malam.   Aku mulai panik, entah apa yang akan aku hadapi sampai di rumah nanti. Rio kranya menyadari kepanikanku, dia  bersiap mengantarku pulang, tapi tiba-tiba hujan turun sangat deras. Tapi, aku tak peduli, aku tetap harus pulang. 

Ketakutanku memaksa kami berjalan menembus hujan, Hanya sebuah payung hitam yang melindungi tubuh. Dingin menyergap tak kuhiraukan, seharusnya ini menjadi momen indah, nyatanya pikiranku terus saja dibayangi kemarahan Ayah yang akan kuhadapi di rumah nanti.

Sebelum sampai, aku meminta Rio pulang. Aku tak mau dia mengantarku sampai ke rumah. Aku tahu sebesar apa kemarahan yang akan aku terima, Rio tak perlu tahu. Aku juga tak mau semuanya semakin rumit. 

Di depan pintu kakiku gemetar. perlahan kudorong daun pintu, tak terkunci. Aku melangkah masuk dengan jantung berdebar kencang.Tuhan tolong aku. yang kemudian kuhadapi tepat seperti dugaanku.  Aku menghadapinya dengan diam tanpa berusaha membela diri. 
@@@

Penulis

Rindu Eka dan Rio, adalah rindu berbalut luka
Rindu terlarang yang nyatanya tak pernah hilang
Yang menjadi merah dalam darah
Yang mengalir bersama hirupan nafas
Mewujud puisi bertinta air mata
Haruskah mengalah? atau memang ditakdirkan kalah?









Rabu, 22 Juli 2020

Hati yang Mendua #8



Honda Brio berwarna silver melaju menuju ibu kota kabupaten. Ridho menyetir dengan tenang. Disampingnya Fitri terus bercerita tentang hal-hal menakjubkan yang dialaminya selama hamil, Aini duduk di jok belakang serius menyimak. Ridho dan Aini sesekali beradu tatap lewat kaca spion. Dada Aini selalu berdesir setiap itu terjadi. 
“Kamu mau belanja di mana?” Ridho mengurangi kecepatan.
“Enaknya ke mana ya, Ay?” Fitri malah melempar pertanyaan ke arah Aini. 
“Aku malah gak ngerti. Mana aku tahu tempat belanja perlengkapan bayi, kan belum pengalaman.”
“Kita ke Mall aja, pasti di situ lengkap,” tanpa menunggu persetujuan, Ridho  kembali menginjak pedal gas dan membelokkan setir ke jalan RE. Martadinata kemudian masuk ke halaman parkir sebuah Mall. 

Fitri sibuk memilih berbagai perlengkapan bayi, Aini dan Ridho sesekali dimintainya pendapat. Mereka berdua malah lebih sering saling pandang karena tak mengerti. 
“Seharusnya kamu ajak Mamamu juga, kita bertiga kan sama-sama enggak ngerti harus nyiapin apa aja,” ujar Aini di sela tawanya. 
“Makanya, Ay, kamu cepet nikah. Nanti kita belanja bareng, terus kita beli baju baju yang sama,” 
“Memangnya kalau aku nikah, terus kita pasti hamil bareng, ngaco aja kamu.”
“Eh, katanya kamu pacaran sama guru juga, ya?” pertanyaan Fitri membuat wajah  Aini memucat. Dia harus jawab apa? Bilang iya, lalu Ridho berlalu atau berbohong bilang tak punya pacar?” 
“ Bener itu, Ay?” Ridho malah ikut bertanya. Aini semakin bungkam. 
“Fit, kamu gak beli kereta bayi, tuh ada di pojok sana, bagus-bagus warnanya,” 
Aini mengalihkan topik pembicaan dia menarik lengan fitri ke salah satu pojok, Ridho mengikuti mereka.

“Ay, Kok pertanyaan tadi gak dijawab? Kamu memang sedang menjalin hubungan dengan seseorang?” 
Dalam kendaraan, Ridho kembali menanyakan hal itu dan Aini belum punya kalimat yang tepat untuk menjawab. Tiba-tiba saja sikap Ridho menjadi kaku, dia asik sendiri bersenandung mengikuti lagu-lagu dari sebuah stasiun radio. Aini merasa tak enak hati. Perjalanan pulang menjadi tak menyenangkan.
 @@@

Sudah hampir dua minggu Ami tak menemui Aini. Ada banyak pertanyaan yang mengganggu, sekaligus membuatnya kecewa.
Ami merasa sikap Aini  berubah. Aini tak bahagia saat bersamanya dan Ami yakin ada sesuatul yang terjadi. Ami kecewa Aini tak lagi jujur padanya. 

Dia bukan seperti Aini yang selama ini kukenal, batinnya. Aku harus mendapat jawabannya hari ini. Dia harus menjelaskannya atau semua harus berakhir. 

Sebuah keputusan telah dibuat. Ami bukan tipe orang yang mau menunggu untuk sebuah kepastian. Segera diraihnya kunci motor yang tergeletak di atas meja televisi. Setelah berpamitan, Ami melaju kencang menuju rumah Aini.



Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....