Selasa, 25 Agustus 2020

Cerita dari Masa Lalu #2

 


Klik untuk membaca bagian sebelumnya
Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu. Berbeda antara di telpon dan menelpon. Ditelpon, berarti bukan aku yang memulai. Aku hanya merespon sebuah panggilan, batinnya.

Lengan Resti sudah kembali di tuas porsneleng, siap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba gawainya berdering lagi. Dua belas deretan nomor muncul lagi di layar gawai. Bersegera jari telunjuknya menggeser ikon telepon berwarna hijau, jantungnya lagi-lagi berdegup tanpa irama, berkejaran.
"Halo, Re!" Suara Han di seberang sana.
"Halo," sahutnya perlahan, suaranya seolah tersangkut ditenggorokan
"Kamu baik-baik saja, kan?"
"He eh," diiringi anggukan untuk menegaskan dan ini gerakan reflek saja karena dia menyadari ada getar di suaranya. 
"Aku ingin bertemu kamu, bolehkah?"
Resti terdiam. Bukan perkara mudah menjawab ini. Satu sisi hatinya tengah bersenandung riang, melagukan nyanyian cinta masa lalu yang tengah menguasai, tapi ada sisi lain yang mencegah. Aku belum terlalu gila untuk menjadi wanita peselingkuh. Selama ini aku punya kehidupan yang bahagia. Ilham, Fio, adalah masa kiniku. Gejolak hati yang hanya melahirkan rasa duka. Rasa menderita, rasa yang sama dengan yang dirasakannya saat kehilangan Han, dulu. Tak disadarinya dua butir air mata bergulir di wajahnya.
"Re?" Suara Han kembali terdengar.
"Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu," lanjutnya.

Resti masih bergeming. Tak lama kemudian dia mengakhiri percakapan dengan mennyentuh ikon telepon berwarna merah. 

Resti menggerakan tangannya, memasukkan gigi  dengan sembarangan, tersirat kegelisahan pada gerakannya. Terdengar suara  bunyi gir beradu. 

Kaki kanannya menginjak pedal gas terlalu keras,  mobil meraung dan Resti terkejut. Spontan matanya melirik ke kiri dan kanan, beberapa pasang mata memang tengah memandang ke arahnya. Dengan perasaan tak enak, Resti melaju meninggalkan orang-orang yang masih memperhatikan.

Ruangan kerja Ilham ada di lantai 15, agak jauh dari lift, hal ini yang membuat Resti jarang mau naik ke atas. Seperti saat ini, dia memilih duduk di lobbi, tadi dia sudah menelpon Ilham untuk memberitahukan kedatangannya. Tak menunggu terlalu lama, Ilham terlihat keluar dari lift.

Berkas sudah pindah ke tangan Ilham,
"Sudah makan? Kalau mau makan ke kantin belakang, aja? Resti hanya menggeleng.
"Nanti saja,di rumah." Resti sudah terbiasa dengan gaya Ilham. Dia hanya memberi saran, bukan mengajak. Dia juga tidak akan menemani. Ilham melakukan segala sesuatu secara efisien, logis, dan tanpa basa basi. Dia tidak akan membuang waktu duduk di kantin bila hanya untuk menemani, buang-buang waktu, begitu pendapatnya.

Terkadang Resti iri pada teman-temannya. Ingin sekali-sekali diberi kejutan manis, diajak makan malam romantis berdua saja, atau apalah bentuknya. Tapi, bukan Ilham namanya, kalau mau melakukan hal itu.

Resti sudah lama berkompromi dengan segala ingin yang ada di hatinya, terutama dengan sikap Ilham. Dia berusaha untuk juga menjadi logis. Selama ini Ilham setia, bertanggung jawab, dan memberikan keleluasaan pada Resti untuk beraktivitas. Resti sudah merasa cukup. Entah mengapa, kehadiran Han mengubah keadaan. Dia tak lagi merasa baik-baik saja.






selanjutnya

2 komentar:

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....