Sabtu, 22 Agustus 2020

Ambulan di Seberang Jalan


Suara gaduh di luar pagar rumah membangunkan Aini dari tidur siang yang sebenarnya sangat jarang dinikmatinya. Dia mengintip ke luar melalui jendela kamar yang menghadap ke jalan raya. Sebuah mobil ambulans terparkir dan beberapa orang, tidak jelas jenis kelaminnya karena pakaian mereka layaknya seperti makhluk luar angkasa, masuk ke rumah Pak Joko yang tepat berseberangan dengan tempat Aini berdiri sekarang. 

"Tak disadarinya Ibu yang membuka pintu kamar dan menghampiri. 

"Pak Joko mau dibawa ke Jakarta," ujar Ibu setelah ada di sisi Aini dan ikut mengamati dari balik jendela. 

"Sakitnya tambah parah?" tanya Aini tanpa melepaskan pandangan dari kesibukan orang-orang di luar sana.

"Iya, ternyata Pak Joko positif." Sejak melihat pakaian orang-orang yang masuk ke rumah Pak Joko tadi, Aini sudah menduga. 

"Kasian, ya Bu. Oh, iya, Bu Jokonya bagaimana?" Ikut ke Jakarta juga? Kasian anak-anaknya. Mereka kan masih kecil-kecil. Siapa yang akan menemani?" Aini memberondong Ibu dengan pertanyaan beruntun, Ibu tak menjawab. Mungkin Ibu belum punya informasi tentang hal itu.

Mobil ambulans sudah berangkat membawa Pak Joko. Orang-orang yang tadi melihat dari kejauhan, sudah membubarkan diri pula. 

"Sepertinya hanya Pak Joko yang ke Jakarta. Bu Joko mungkin negatif," Aini bersuara lagi.

"Mudah-mudahan saja. Tapi, mereka harus karantina mandiri, kan?" Sekarang giliran Ibu yang bertanya. Aini juga tak menjawab. Beberapa saat kemudian dia baru menanggapi,

"Kalau Pak Joko positif, kemungkinan Ibu Joko juga positif. Tapi karena belum keluar hasilnya, beliau harus karantina mandiri, sampai dinyatakan negatif, kalau tidak salah, begitu Bu." 

"Terus kita tetangganya?"

"Kalau selama ini Bu Joko sering ke luar rumah dan bergaul akrab, tanpa jaga jarak dengan orang-orang sekitarnya, kita juga akan diperiksa dan harus karantina.Wah gawat ini. Aku bisa pinsan kalau disuntik."

"Pemeriksaan SWAB tidak disuntik, Neng," Ibu meluruskan.

"Maksud aku rapid test," Aini menutup mulut dengan telapak tangannya. 

"Jadi sekarang kita harus bagaimana?" Ibu yang paling tenang se dunia ini, ternyata bisa paranoid juga.

"Selama ini kita sudah disiplin, Insya Allah, kita akan baik-baik saja.Yang sekarang harus kita carikan jalan keluarnya adalah membantu Bu Joko memenuhi kebutuhan hidupnya."

"Iya, nanti kita ajak Ibu-ibu sekitar sini untuk membantu."

Di luar keadaan sudah kembali normal. Rumah Pak Joko tampak sepi. Bu Joko dan anak-anak harus karantina mandiri.

Mobil ambulan yang membawa Pak Joko menghilang di ujung jalan yang agak berkelok, meninggalkan raungan sirine yang semakin lama semakin perlahan lalu senyap.

Bu Joko meraih lengan anak pertamanya yang baru berusia 8 tahun sedangkan anak kedua yang baru berusia 1 tahun tetap berada dalam gendongan. Bertiga mereka masuk ke dalam rumah, memulai karantina. Gadis kecil 8 tahun itu, Aida, sempat hendak menepis lengan mamanya saat melihat beberapa anak bermain sepeda. Bu Joko mempererat pegangannya, Aida melirik wajah Bu Joko mencari jawaban atas kebingungannya, mungkin juga protes.

Bu Joko mengambil beberapa kertas hvs dan pinsil lalu mengajak mereka menggambar. Kedua anak itu kemudian asyik mencorat-coret kertas, Aida mengambar gunung dan sawah seperti yang dia lihat di lembar kalender yang tergantung di dinding sedangkan Defan hanya membuat coretan-coretan tak berbentuk.

Ternyata anak-anak tak bertahan lama menikmati kegiatan itu. Aida kini tampak gelisah, sebentar-sebentar menengok ke luar lewat jendela. Di lapangan bulu tangkis yang hanya terhalang tanah kosong, anak anak semakin ramai. Aida menunggu saat yang tepat agar bisa pergi ke sana.

Bu Joko bisa merasakan keresahan Aida. Biasanya pada jam-jam sebegini dia bermain bersama teman-temannya. Anak seusia Aida pasti tak suka bila harus di rumah saja. Bermain bersama teman adalah aktivitas utama mereka.

"Ma, boleh pinjam HP?" Aida berusaha mencari kegiatan lain. BU Joko kebingungan. Dia tahu benar bahaya radiasi gudget bagi anak. Keponakannya ada yang harus mengikuti terapi karena matanya nyaris buta. Bahkan dia pernah mendengar ada anak yang tangannya terus bergerak sendiri, seperti gerakan bermain games akibat terus menerus bermain game di gadget. 

"Boleh ya, Ma?" Aida mulai merengek.

"Boleh, tapi kita buat kesepakatan dulu," Bu Joko mengalah. 

"Apa sih kesepakatan?" Aida tak paham.

"Kita atur, main HP-nya berapa jam," Bu Joko menjelaskan. 

"Berapa jam, Ma?" Aida bersemangat lagi.

"Paling lama 30 menit, setelah itu kembalika ke Mama.Aida mengangguk, dia belum bisa memperkirakan waktu yang dibutuhkannya. Baginya yang penting Mama mengijinkan memakai HP.

Duduk di balik jendela menjadi sering dilakukan Aini sejak Keluarga Pak Joko dikarantina. Lewat jendela itu pula dia memerhatikan Aida yang juga sering berada di balik jendela rumahnya. Aini bisa melihat kemurungan bocah 8 tahun itu. Terkadang dia mendengar suara Aida menangis keras, minta dibolehkan keluar.

Sesekali terdengar pula suara Bu Joko memarahi Aida, Bu Joko pasti tertekan dengan semua keadaan itu.

"Ay!" Ibu yang tadi terlihat sibuk membantu Bi Ida menyiapkan pesanan seblak sekarang sudah ada di depan pintu kamar, Aini menghampiri Ibu

"Ada apa, Bu?" tanyanya setelah dekat.

"Antar Ibu ke rumah Bu RT." Tanpa menjawab Aini langsung mengeluarkan kunci motor dari dalam laci meja kecil tempat menyimpan riasan. 

"Jalan kaki saja, supaya badan bergerak," 

"Panas, Bu,"  

Akhirnya disepakati untuk naik motor saja.

Dalam perjalanan Ibu menjelaskan maksudnya berkunjung ke rumah Bu RT. Ternyata Ibu juga prihatin dengan kondisi Bu Joko dan anak-anaknya. 

"Ibu mau minta ijin Bu RT, menggalang dana dari warga,"

"Maksud Ibu dana untuk Bu Joko?" Ibu mengiyakan. 

Rumah Bu RT tidak terllalu jauh, tak sampai 10 menit mereka sudah sampai.

Rumah bercat hijau dengan taman kecil yang tertata dengan rapi, terlihat asri. Bu RT rupanya sudah menunggu karena Ibu sudah mengabari sebelum berangkat.

Tak terlalu lama berbasa-basi, Ibu pun menguraikan maksudnya. Bu RT menyimak.

"Saya setuju, sangat setuju! Tapi, masalahnya, warga kita agak beda, agak susah kalau dimintai donasi. Giliran dapat BLT, dijadwal jam 12.00, jam 06.00 pagi sudah sampai di lapangan." Ibu dan Aini hanya tersenyum menanggapi cerita Bu RT.

Ibu terus berusaha meyakinkan Bu RT, akhirnya Bu RT menyetujui dan menjadi donatur pertama. Pada baris berikutnya nama Ibu dan Aini, juga Bi Ida telah mengisi lis pengumpulan donasi itu

Tiga hari Ibu sibuk berkeliling mengumpulkan donasi untuk keluarga Pak Joko, Ibu tidak hanya mendatangi tetangga satu RT, tapi juga mengirim pesan WA ke murid-murid madrasahnya yang sudah mampu.

Sore ini Ibu mulai menghitung jumlah uang yang terkumpul. Di atas meja berserakan uang lima ribuan, sepuluh ribuan, dan ada beberapa uang lima puluhan ribuan.

"Dapat berapa, Bu?" Aini menghenyakkan tubuhnya di kursi panjang, di samping Ibu. 

"Ibu baru mengecek jumlah yang ditransfer ke rekening. Oh, ya. Tolong periksa di WA Ibu, siapa saja yang konfirmasi sudah transfer, sekalian jumlahnya." Aini mengambil gawai Ibu dan memeriksa pesan masuk, sesuai permintaan, lalu mencatat di kertas selembar.

Lama juga Aini dan Ibu merekap seluruh dana yang masuk.

"Ini amanat, kita harus teliti. Tak boleh ada yang terlewat dan tak tersampaikan ke yang berhak." 

"Iya, Bu," jawab Aini sambil mengangguk.

Setelah selesai merekap, Ibu menelepon Bu RT dan membicarakan rencana selanjutnya. Aini yang mendengar percakapan itu teringat pada Aida. Aida yang berdiri di balik jendela melihat teman sebayanya bermain dengan tatapan sedih.

"Bu, kalau bisa sih, jangan semuanya diberikan ke Bu Joko dalam bentuk uang atau sembako. Beli mainan edukasi untuk Aida." 

"Tapi, sembako yang mereka butuhkan sekarang." nada suara Ibu menunjukkan ketaksepakatan. 

"Bu, anak seusia Aida kalau harus di dalam rumah terus, sedangkan dia juga melihat teman-temannya ramai di luar, pasti dia tertekan." Aini berargumen. Sejenak Ibu tercenung. Ibu juga pernah melihat pemandangan yang sama dengan Aini. 

"Saranmu, kita belikan apa?" lanjutnya kemudian.

"Mainan edukasi saja. Ada papan tulis bersuara, pasti dia suka. Aku pernah lihat di toko online. Tidak terlalu mahal, paling sekitar Rp150.000,-," jelas Aini.

"Mahal juga ya," Ibu meragu.

"Bu, anak-anak kalau tertekan, malah biaa sakit," Aini berusaha meyakinkan.

"Yasudah, kamu yang pesan."

Aini bahagia karena yakin besok dari balik jendela kamarnya akan melihat lagi senyum ceria di wajah Aida

Rencananya pagi ini Ibu bersama Bu RT akan menyerahkan sumbangan untuk Bu Joko. Sejak tadi malam Ibu sudah menyiapkan masker, sarung tangan karet dan cairan antiseptik.

"Sebetulnya gak enak juga memakai pakaian begini ke rumah Bu Joko, tapi ini kan untuk keselamatan kita semua," ujar Ibu sambil mengencangkan tali maskernya.

"Perginya dengan Bu RT?" tanya Aini yang dijawab Ibu dengan anggukan.

Masker sudah terpasang erat menutupi sebagian wajah Ibu, sarung tangan karet pun telah pula dikenakan. Cairan antiseptik dimasukkannya ke dalam tas.

Suara ketukan dan salam terdengar dari arah pintu depan. Aini bergegas menghampiri. Saat membuka pintu dilihatnya Bu Ati sudah berdiri di situ. 

"Ibu ada?" tanya Bu Ati di detik berikutnya.

"Ada, silakan masuk, Bu!" Setelah menyilakan Bu Ati duduk, Aini bermaksud memberitahu Ibu, tapi ibu sudah muncul dari balik pintu kamar. 

"Oh, Bu Ati. Saya dan Bu RT mau ke rumah Bu Joko sore ini, Bu Ati mau ikut sekalian?" 

"Oh, tidak...terima kasih. Saya hanya mau mengantarkan ini." ujar Bu Ati sambil menyerahkan sebuah amplop kecil berwarna putih lalu berpamitan. Sikap Bu Ati yang gugup dan terburu-buru membuat Aini bertanya-tanya. 

"Bu Ati kok sikapnya aneh, ya Bu?"

"Aneh kenapa?"

"Seperti tidak nyaman,"

"Sebetulnya dua hari yang lalu Ibu sudah ke rumahnya, dia yang pernah Ibu ceritakan itu, dia tidak setuju dengan penggalangan dana. Dia bilang tokonya sekarang sepi. Boro-boro ngasih sumbangan," 

"Terus?"

"Ya, tidak pake terus! Ibu pamit, dan bilang semoga warungnya ramai lagi dan bisa menjadi ladang amal. Dan semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah."

"Mungkin karena kata-kata Ibu itu," Aini menduga-duga.

"Itu kan kata-kata biasa. Ibu tidak menyindir." Ibu panik.

"Jangan baper dong. Mungkin kata-kata Ibu menyentuh kesadarannya untuk tetap beramal."

"Mudah-mudaha begitu. Ibu jadi gak enak."

"Ih, jangan baper. Bu Ati datang ke sini tanpa ada yang memaksa. Ini tentu karena kesadarannya sendiri. Karena ada hidayah dari Allah."

Tak lama setelah kepulangan Bu Ati, Bu RT sudah memarkir motornya di depan rumah. Berdua, dengan mengenakan masker dan sarung tangan karet, mereka mengetuk rumah Bu Joko.

*****

Sore ini Aini kembali berdiri di depan jendela kamar. Pandangannya lurus ke depan. Ke seberang jalan, ke jendela rumah Bu Joko. Bila di tarik garis maka akan terbentuk garis lurus yang menghubungkan dua jendela itu. Di balik jendela rumah Bu Joko Aini bisa melihat Aida yang sedang asik bermain sambil belajar membaca melalui papan bersuara yang kemarin sore dibawakan oleh Ibu.

Tamat


21 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Tokoh:pak Joko,aini,ibu,Bu ati,Bu rt,aida,defan,Bu Joko,bi ida
    Latar belakang:penggalangan dana

    BalasHapus
  3. Tokoh:
    Pak Joko, bu Joko, Aini , Aida, Bu rt, bu ati.
    Latar: penggalangan dana

    BalasHapus
  4. Tokoh:pak Joko,Bu Joko,Aini,Aida,Bu Ati,Bu RT,,Latar belakang,mengumpulkan Pengalangan dana ,

    BalasHapus
  5. Tokoh, pak joko, bu joko, aini, aida,bu ati, bu rt, defan, bi ida
    Latar belakang,mengumpulkan pengalangan dana

    BalasHapus
  6. Tokoh:pak Joko,aini,ibu,Bu ati,Bu rt,aida,defan,Bu Joko,bi ida
    Latar belakang:penggalangan dana

    BalasHapus
  7. Tokoh:pak joko,aini ibu,bu ati, bu rt,aida, defan, bu joko,bi ida latar belakang: penggalangan
    dana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tokoh:pak joko,aini,ibu bu ati,bu rt,aida,defan,bu joko,bi ida,latar belakang:penggalangan dana

      Hapus
  8. Tokoh:pak joko,aini ibu,bu ati, bu rt,aida, defan, bu joko,bi ida latar belakang: penggalangan
    dana

    BalasHapus
  9. Tokoh : pak joko, aini ibu, bu ati, bu rt, aida, defan, bu joko bi ida
    Latar belakang : penggalangan dana

    BalasHapus
  10. Tokoh:pk joko, sini, ibu, bu ati, bu rt, aids, depan, bu joko, bi ida
    Latar belakang:penggalangan dana

    BalasHapus
  11. Tokoh:pa joko, bu joko, Aini, Aida, bu ati, bu rt.

    Latar belakang: mengumpulkan penggalangan dana

    BalasHapus
  12. Tokoh:Pk jko,Aini,Bu ati,Bu RT,aida,depan,Bu jko,Bu Ida
    Ltar blkng:penggalangan dana

    BalasHapus
  13. Tokoh: pak joko, aini, ibu , bu ati, bu RT,Aida, devan, bu joko,bi ida.
    Latar belakang: penggalangan dana

    BalasHapus
  14. Tokoh:pak joko,aini,ibu,buati,alda,defan,bujoko,bi ida latar penggalangan dana

    BalasHapus
  15. Tokoh:pak joko,aini,ibu,buati,alda,defan,bujoko,bi ida latar penggalangan dana

    BalasHapus

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....