Arum membuka matanya perlahan, sentuhan lembut Tio di
dahinya membuatnya terjaga.
"Maaf, aku mengganggu tidurmu," ujar Tio yang tengah duduk di sisi
ranjang. Tangannya mempermainkan rambut Arum. Perempuan yang sudah mulai menua
itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Aku selalu suka terbangun karena belaianmu," Arum
menyentuh wajah Tio.
Tio membaringkan tubuhnya di sisi Arum, setelah terlebih dahulu merapikan
selimut istri yang dinikahinya tiga puluh tahun lalu. Arum memiringkan tubuhnya
menghadap ke arah Tio, tubuh mungilnya kini berada dalam rengkuhan lengan Tio.
Sejenak dia menikmati walau kemudian menggeser lengan Tio yang mulai lelap.
Saat Tio tertidur, lengannya terasa semakin berat dan membuat dada Arum sesak.
Usai solat subuh, Arum menuju ke dapur untuk menyiapkan
sarapan bagi Tio dan dua buah hatinya. Pekerjaan rutin yang tak pernah
membuatnya bosan. Bagaimana dia bisa bosan, setiap makanan yang dihidangkan
selalu saja membuat Tio dan kedua anaknya makan dengan lahap dan berujung
dengan pujian.
"Bilang terima kasih pada Mama, Mama selalu menyediakan
sarapan enak untuk kita," selalu begitu, bahkan sampai kedua gadisnya
beranjak dewasa.
Setelah melepas ketiga orang kesayangannya Arum mulai sibuk
dengan dirinya sendiri. Membuka laptop dan menulis. Sejak kelahiran anak pertama mereka, Arum memilih
berhenti bekerja. Dia ingin konsen mengurus keluarga. Sebagai suami, Tio tak
pernah melarang atau menyuruh Arum bekerja. Dia menyerahkan pilihan pada Arum.
Hidup mereka tampak sempurna.
@@@
Arum berpindah dari satu rak ke rak lainnya, memindahkan beberapa barang dari
rak ke troli yang ada di sisinya. Berbagai barang kebutuhan rumah tangga sudah
hampir memenuhi keranjang
besi itu
Setelah memeriksa catatan belanja yang tertulis di HP dan yakin
semua yang dibutuhkannya sudah masuk ke troli, Arum mendorong troli ke arah kasir
kemudian membayar. Setelah itu, Arum menuju honda yaris putih yang terparkir di sisi
kanan gedung pusat perbelanjaan.
Arum merasa risi sekaligus cemas karena ada sosok yang
mensejajarinya. Dia mempercepat langkah tanpa merasa perlu tahu, siapa sosok
yang berjalan di sisinya. Sosok itu mengimbangi, berjalan secepat langkah Arum.
Sebelum mencapai kendaraan, dengan paduan rasa takut dan
ingin tahu, Arum memberanikan diri menoleh ke arah
sosok yang ada di samping kananya.
"Selamat sore, Arum. Apa kabar?" Arum terperanjat.
Suara itu sangat dikenalnya. Dia tak perlu melihat wajahnya, dia tahu siapa
sosok yang berdiri di sampingnya. Suara yang dulu selalu menemani jelang
tidurnya. Untuk yang tersayang di peraduan, selamat tidur, kalimat itu begitu
jelas melekat di pikiran Arum. Dia adalah cerita yang tak pernah selesai.
"Baik, kamu?" Percakapan singkat, miskin kata-kata, tetapi
menciptakan gemuruh yang maha dasyat di hati keduanya.
"Boleh aku menghubungimu lagi?" Angga mengeluarkan
HP dari saku celananya, dan menulis angka-angka yang disebutkan oleh Arum. Keduanya
berlalu menuju kendaraan masing-masing. Gemuruh di
dada Arum ternyata tak segera hilang.
@@@
"Arum, cerita kita belum selesai, kan?" Pesan whatsap dari Angga
menyapa Arum saat dia akan menyalakan laptop. Arum tak segera membalas. Lama dia
tercenung menatap layar HP. Ya, cerita itu memang tak pernah selesai. Tak
pernah ada kata akhir yang jelas. Semua mengambang lalu menguap, tapi di hati
terdalam masih tetap ada. Arum berbisik pada hatinya. Terkadang aku masih punya
mimpi tentang kita. Aku tak ingin kita kalah, aku ingin kita memenangkannya.
Nyatanya, kita memang kalah. Kita tak mampu bertahan.
Satu denting kecil terdengar lagi,
"Arum, salahkah jika aku masih menyimpan cerita tentang
kita?"
Bagaimana mungkin aku melarangmu karena aku melakukan hal
yang sama. Aku masih menyimpan semua dengan utuh.
"Tahukah kamu, aku selalu saja menyayangimu?"
Menyayangimu bagiku adalah simfoni hati yang indah, aku tak
akan menghentikannya. Dan mengetahui kau masih menyayangiku, menjadikannya
sebuah orkestra yang sempurna.
"Arum, mengapa pesanku hanya kau baca?"
Arum menghirup udara dengan tarikan dalam, setelah
sejenak terdiam kemudian mengetikkan beberapa kalimat,
"Aku tak mau kita selalu berada di wilayah terlarang,
itu menyakitkan. Aku tak mau lagi merasa kalah. Biarlah semua kusimpan rapat-rapat sebagai sebuah
rahasia. Rahasia hatiku dan hanya kamu yang tahu. Kamu akan tetap jadi warna
merah di darahku. Yang tak pernah hilang dari ingatanku. Tapi itu
bukan berari aku tak bahagia saat ini, sama denganmu, aku percaya kamu adalah
pencinta yang pandai membahagiakan orang yang kamu cintai."
Setelah menekan enter, Arum menekan tombol power, mematikan
HP-nya. Dia ingin mengakhiri percakapan pagi ini. Setidaknya dia
berusaha agar tak larut dalam kenangan masa lalu, kisah yang tak pernah
dilupakan, atau dia memang tak pernah mencoba melupakan.Dia ingin tetap
menyimpannya walau dia tak tahu untuk apa.
Sementara di ujung sana, Setelah menghapus semua
percakapan yang baru saja dilakukannya dengan Arum, Angga menghampiri istrinya lalu duduk sambil menyandarkan
kepala di bahu perempuan yang telah mendampingi dan berbagi cinta dengannya
hampir di sebagian terbesar usianya. Angga memainkan telapak tangan istrinya sementara
wanita itu menatapnya bingung.
“Bahagiakah kamu menjadi istriku?” tanyanya tiba-tiba.
Istrinya yang masih merasa aneh dengan sikap Angga hanya bisa mengangguk.
“Syukurlah, karena aku tak mau istri yang aku cintai
tak bahagia hidup denganku.”
“I love you,” bisiknya lembut sambil terus menggenggam
lengan wanita itu.
TAMAT

Tidak ada komentar:
Posting Komentar