Selasa, 04 Agustus 2020

Rahasia Hati



Arum membuka matanya perlahan, sentuhan lembut Tio di dahinya membuatnya terjaga.
"Maaf, aku mengganggu tidurmu," ujar Tio yang tengah duduk di sisi ranjang. Tangannya mempermainkan rambut Arum. Perempuan yang sudah mulai menua itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Aku selalu suka terbangun karena belaianmu," Arum menyentuh wajah Tio.
Tio membaringkan tubuhnya di sisi Arum, setelah terlebih dahulu merapikan selimut istri yang dinikahinya tiga puluh tahun lalu. Arum memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Tio, tubuh mungilnya kini berada dalam rengkuhan lengan Tio. Sejenak dia menikmati walau kemudian menggeser lengan Tio yang mulai lelap. Saat Tio tertidur, lengannya terasa semakin berat dan membuat dada Arum sesak.

Usai solat subuh, Arum menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan bagi Tio dan dua buah hatinya. Pekerjaan rutin yang tak pernah membuatnya bosan. Bagaimana dia bisa bosan, setiap makanan yang dihidangkan selalu saja membuat Tio dan kedua anaknya makan dengan lahap dan berujung dengan pujian.

"Bilang terima kasih pada Mama, Mama selalu menyediakan sarapan enak untuk kita," selalu begitu, bahkan sampai kedua gadisnya beranjak dewasa.

Setelah melepas ketiga orang kesayangannya Arum mulai sibuk dengan dirinya sendiri. Membuka laptop dan menulis. Sejak kelahiran anak pertama mereka, Arum memilih berhenti bekerja. Dia ingin konsen mengurus keluarga. Sebagai suami, Tio tak pernah melarang atau menyuruh Arum bekerja. Dia menyerahkan pilihan pada Arum. Hidup mereka tampak sempurna.

@@@

Arum berpindah dari satu rak ke rak lainnya, memindahkan beberapa barang dari rak ke troli yang ada di sisinya. Berbagai barang kebutuhan rumah tangga sudah hampir
memenuhi keranjang besi itu

Setelah memeriksa catatan belanja yang tertulis di HP dan yakin semua yang dibutuhkannya sudah masuk ke troli, Arum mendorong troli ke arah kasir kemudian membayar. Setelah itu, Arum menuju honda yaris putih yang terparkir di sisi kanan gedung pusat perbelanjaan.

Arum merasa risi sekaligus cemas karena ada sosok yang mensejajarinya. Dia mempercepat langkah tanpa merasa perlu tahu, siapa sosok yang berjalan di sisinya. Sosok itu mengimbangi, berjalan secepat langkah Arum.

Sebelum mencapai kendaraan, dengan paduan rasa takut dan ingin tahu, Arum memberanikan diri menoleh ke arah sosok yang ada di samping kananya.

"Selamat sore, Arum. Apa kabar?" Arum terperanjat. Suara itu sangat dikenalnya. Dia tak perlu melihat wajahnya, dia tahu siapa sosok yang berdiri di sampingnya. Suara yang dulu selalu menemani jelang tidurnya. Untuk yang tersayang di peraduan, selamat tidur, kalimat itu begitu jelas melekat di pikiran Arum. Dia adalah cerita yang tak pernah selesai.
"Baik, kamu?" Percakapan singkat, miskin kata-kata, tetapi menciptakan gemuruh yang maha dasyat di hati keduanya.

"Boleh aku menghubungimu lagi?" Angga mengeluarkan HP dari saku celananya, dan menulis angka-angka yang disebutkan oleh Arum. Keduanya berlalu menuju kendaraan masing-masing. Gemuruh di dada Arum ternyata tak segera hilang.

@@@
"Arum, cerita kita belum selesai, kan?" Pesan whatsap dari Angga menyapa Arum saat dia akan menyalakan laptop.
Arum tak segera membalas. Lama dia tercenung menatap layar HP. Ya, cerita itu memang tak pernah selesai. Tak pernah ada kata akhir yang jelas. Semua mengambang lalu menguap, tapi di hati terdalam masih tetap ada. Arum berbisik pada hatinya. Terkadang aku masih punya mimpi tentang kita. Aku tak ingin kita kalah, aku ingin kita memenangkannya. Nyatanya, kita memang kalah. Kita tak mampu bertahan.

Satu denting kecil terdengar lagi,

"Arum, salahkah jika aku masih menyimpan cerita tentang kita?"

Bagaimana mungkin aku melarangmu karena aku melakukan hal yang sama. Aku masih menyimpan semua dengan utuh.

"Tahukah kamu, aku selalu saja menyayangimu?"

Menyayangimu bagiku adalah simfoni hati yang indah, aku tak akan menghentikannya. Dan mengetahui kau masih menyayangiku, menjadikannya sebuah orkestra yang sempurna.
"Arum, mengapa pesanku hanya kau baca?"

Arum menghirup udara dengan tarikan dalam, setelah sejenak terdiam kemudian mengetikkan beberapa kalimat,

"Aku tak mau kita selalu berada di wilayah terlarang, itu menyakitkan. Aku tak mau lagi merasa kalah. Biarlah semua kusimpan rapat-rapat sebagai sebuah rahasia. Rahasia hatiku dan hanya kamu yang tahu. Kamu akan tetap jadi warna merah di darahku. Yang tak pernah hilang dari ingatanku. Tapi itu bukan berari aku tak bahagia saat ini, sama denganmu, aku percaya kamu adalah pencinta yang pandai membahagiakan orang yang kamu cintai."

Setelah menekan enter, Arum menekan tombol power, mematikan HP-nya. Dia ingin mengakhiri percakapan pagi ini. Setidaknya dia berusaha agar tak larut dalam kenangan masa lalu, kisah yang tak pernah dilupakan, atau dia memang tak pernah mencoba melupakan.Dia ingin tetap menyimpannya walau dia tak tahu untuk apa.

Sementara di ujung sana, Setelah menghapus semua percakapan yang baru saja dilakukannya dengan Arum, Angga  menghampiri istrinya lalu duduk sambil menyandarkan kepala di bahu perempuan yang telah mendampingi dan berbagi cinta dengannya hampir di sebagian terbesar usianya. Angga memainkan telapak tangan istrinya sementara wanita itu menatapnya bingung.

“Bahagiakah kamu menjadi istriku?” tanyanya tiba-tiba. Istrinya yang masih merasa aneh dengan sikap Angga hanya bisa mengangguk.

“Syukurlah, karena aku tak mau istri yang aku cintai tak bahagia hidup denganku.”

“I love you,”  bisiknya lembut sambil terus menggenggam lengan wanita itu.


TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....