Sudah sepuluh hari aku kembali berada di sini, di keindahan dan
kemurnian alam raya. Di kesunyian dan kerinduan yang masih saja mengganggu. Yang berbeda, aku menikmati pekerjaanku.
Sekarang bukan lagi sekadar tempat menyembunyikan rasa kecewa. Sekian lama berinteraksi
dengan alam perawan, menjaganya dari
tangan-tangan tak bertanggung jawab, menumbuhkan kecintaan yang sesungguhnya.
Aku mulai mengerti bahwa pekerjaanku bukan saja soal komitmen dan janji
terhadap negara, tapi lebih dari itu. Ini soal bagaimana harus bertanggung
jawab kepada-Nya. Bumi yang diciptakan-Nya merupakan sebuah ekosistem besar,
merusak salah satu rantainya akan menimbulkan banyak kerugian bagi manusia.
Sepuluh hari cukup lama karena hingga pagi ini aku
belum mendapat kabar dari Eka, mungkin dia sudah kembali ke Bandung. Belum ada cerita tentang apa yang kemudian
dihadapinya malam itu. Aku hanya mengingat bagaimana dia berlari menembus hujan
meninggalkanku, tanpa dapat berbuat apa-apa. Sesekali terlintas pula keinginan untuk
mengakhiri, mungkin semua akan menjadi lebih baik. Hanya saja aku ragu, apakah
dia akan mengerti bila kulakukan hal itu?
“Sudah siap?” Budi sudah berdiri
di depanku dengan pakaian lengkap. Kami akan menyeberang ke Cidaon lalu berjalan
kaki menyusuri jalan setapak menuju Cibunar untuk memandu beberapa wisatawan yang berkunjung.
Cibunar termasuk pantai selatan dan
masih berada dalam kawasan TNUK. Diperlukan
waktu berlayar sekitar 15 menit untuk sampai ke sana dengan menumpang
kapal.
Seharian
mendampingi wisatawan menyaksikan satwa liar berkumpul di tengah padang
yang luas. Menjadi tanggung jawab kami, para petugas, menjaga keselamatan
pengunjung karena di sini segala sesuatu bisa terjadi, bahkan yang tak masuk
akal sekalipun. Di sini kesalahan bertindak
bisa berakibat fatal. Menyaksikan kawanan banteng merumput atau rusa
berkejaran, jika beruntung bisa juga melihat badak jawa melintas, tentunya
pengalaman luar biasa bagi para pengunjung. Tetapi, di sini juga ada macan,
ular berbisa, atau satwa berbahaya lainnya,
Pukul tiga
sore, kami kembali ke Pulau Peucang.
Tugas memandu wisatawan sudah selesai. Tiba di daratan aku menghempaskan
diri di atas pasir, berbantalkan ransel yang sedari tadi kusandang di bahu.
Menatap langit berwarna jingga ditingkah debur ombak yang datang berirama.
Suasana tenang ternyata membuatku ingat lagi pada masalah yang tak jelas akan
ada penyelesaiannya atau tidak.
Apa kabar
kamu di sana?
@@@
Cerita dari
Eka
Liburanku
masih sisa dua hari, tapi Ayah menyuruhku segera kembali ke Bandung. Seharusnya
hari ini aku tengah berkumpul dengan teman-teman SMP-ku sesuai yang kami
rencanakan sebelumnya, tapi sekarang aku di sini, sendiri dalam kebimbangan.
Sepucuk surat kutulis untuk Rio, mudah-mudahan bisa segera sampai ke tangannya.
Menulis untuknya membuat rasa sesak di dadaku sedikit berkurang.
Hari-hari
selanjutnya adalah perjuangan untuk pindah jurusan. Waktuku habis di sekolah
karena harus masuk di dua kelas, pagi dan sore. Walau dikemudian hari akhirnya
aku bisa membuktikan bahwa aku mampu. Di kedua kelas nilaiku cukup memuaskan. Kesibukkan
sekolah ternyata bisa pula membantu mengusir gulana. Bahagiakah aku d sini?
Entahlah!
Pagi ini aku melintas di depan ruang Tata Usaha Sekolah, beberapa amplop surat berjajar di kaca Aku berharap salah satunya untukku. Kubaca satu persatu alamat tujuan surat, dadaku bergemuruh saat kutahu ada satu surat untukku. Aku segera masuk ke ruang TU dan meminta izin untuk mengambil surat itu. Seperti biasa, aku selalu tak sabar ingin segera membaca suratnya, walau akhirnya tetap saja harus menunggu sampai nanti tiba di rumah.
Kedatangan surat Rio yang selalu kuharap, walau membacanya selalu saja
menyadarkanku betapa sulitnya memperjuangkan cinta ini, mengabarkan sedang
mengikuti Diklat di Bogor dan akan ke Bandung. Setelah itu hari-hariku adalah menunggu,
berharap waktu itu segera datang.
@@@
Penulis:
Masih
pagi, Eka sudah bingung. Pagi ini dia harus ke Jalan Setiabudi, di sana ada Rio
menunggu. Eka panik dan gugup, dia takut untuk minta izin. Dia takut Kakak akan
curiga.
“Antar Kakak
ke Margahayu, ya?” Tiba-tiba saja Kakak mengajaknya pergi. Eka tak segera
menjawab. Otaknya berputar-putar mencari alasan yang paling tepat dan tidak
dicurigai. Bagaimana pun dia harus bilang karena kalau tidak, dari mana dia
dapat uang untuk ongkos.
“Enggak
bisa, mau pergi, ada janji sama teman,” ujarnya kemudian dengan degup jantung
yang sangat keras, bahkan dia takut
suara jantungnya terdengar oleh Kakak.
“Mau ke mana?”
“Ke
Setiabudi, teman-teman SMP mau kumpul di sana,” kali ini Eka sudah semakin
tenang dengan kebohongannya. Kebetulan Kakak memang tahu, ada teman SMP nya
yang tinggal di situ.
Eka sangat
beruntung pagi ini karena Kakak tidak banyak bertanya, setelah memberinya uang
untuk ongkos, Kakak berangkat ke Margahayu dan Eka pun berangkat menuju Jalan
Setiabudi.
Rindu
membuat Eka lupa bahwa sejak tadi malam kepalanya sakit. Jalanan macet dan
udara dingin tak menghalangi. Rindu memang bisa meleburkan rasa sakit, tak
disadarinya suhu tubuhnya terus naik. Ketika akhirnya mereka bertemu, Rio menyadari
bahwa Eka kurang sehat. Upaya Rio mengajaknya ke dokter, tak diturutinya. Eka
hanya tak ingin ada yang mencuri waktu yang singkat ini, tidak juga seorang
dokter.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar