Senin, 03 Agustus 2020

Yang Tak Pernah Hilang #5


Bagian sebelumnya
Cerita dari Rio:

Sudah sepuluh hari  aku kembali berada di sini, di keindahan dan kemurnian alam raya. Di kesunyian dan kerinduan yang  masih saja mengganggu.  Yang berbeda, aku menikmati pekerjaanku. Sekarang bukan lagi sekadar tempat menyembunyikan  rasa kecewa. Sekian lama berinteraksi dengan  alam perawan, menjaganya dari tangan-tangan tak bertanggung jawab, menumbuhkan kecintaan yang sesungguhnya. Aku mulai mengerti bahwa pekerjaanku bukan saja soal komitmen dan janji terhadap negara, tapi lebih dari itu. Ini soal bagaimana harus bertanggung jawab kepada-Nya. Bumi yang diciptakan-Nya merupakan sebuah ekosistem besar, merusak salah satu rantainya akan menimbulkan banyak kerugian bagi manusia.

Sepuluh hari cukup lama karena hingga pagi ini aku belum mendapat kabar dari Eka, mungkin dia sudah kembali ke Bandung.  Belum ada cerita tentang apa yang kemudian dihadapinya malam itu. Aku hanya mengingat bagaimana dia berlari menembus hujan meninggalkanku, tanpa dapat berbuat apa-apa. Sesekali terlintas pula keinginan untuk mengakhiri, mungkin semua akan menjadi lebih baik. Hanya saja aku ragu, apakah dia akan mengerti bila kulakukan hal itu?

“Sudah siap?” Budi sudah berdiri di depanku dengan pakaian lengkap. Kami akan menyeberang ke Cidaon lalu berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju Cibunar  untuk  memandu beberapa wisatawan yang berkunjung. Cibunar  termasuk pantai selatan dan masih berada dalam kawasan TNUK.  Diperlukan  waktu berlayar sekitar 15 menit untuk sampai ke sana dengan menumpang kapal. 

Seharian mendampingi wisatawan menyaksikan satwa liar berkumpul di tengah padang yang luas. Menjadi tanggung jawab kami, para petugas, menjaga keselamatan pengunjung karena di sini segala sesuatu bisa terjadi, bahkan yang tak masuk akal sekalipun.  Di sini kesalahan bertindak bisa berakibat fatal. Menyaksikan kawanan banteng merumput atau rusa berkejaran, jika beruntung bisa juga melihat badak jawa melintas, tentunya pengalaman luar biasa bagi para pengunjung. Tetapi, di sini juga ada macan, ular berbisa, atau satwa berbahaya lainnya,

Pukul tiga sore, kami kembali ke Pulau Peucang.  Tugas memandu wisatawan sudah selesai. Tiba di daratan aku menghempaskan diri di atas pasir, berbantalkan ransel yang sedari tadi kusandang di bahu. Menatap langit berwarna jingga ditingkah debur ombak yang datang berirama. Suasana tenang ternyata membuatku ingat lagi pada masalah yang tak jelas akan ada penyelesaiannya atau tidak.

Apa kabar kamu di sana?


@@@

Cerita dari Eka

Liburanku masih sisa dua hari, tapi Ayah menyuruhku segera kembali ke Bandung. Seharusnya hari ini aku tengah berkumpul dengan teman-teman SMP-ku sesuai yang kami rencanakan sebelumnya, tapi sekarang aku di sini, sendiri dalam kebimbangan. Sepucuk surat kutulis untuk Rio, mudah-mudahan bisa segera sampai ke tangannya. Menulis untuknya membuat rasa sesak di dadaku sedikit berkurang.

Hari-hari selanjutnya adalah perjuangan untuk pindah jurusan. Waktuku habis di sekolah karena harus masuk di dua kelas, pagi dan sore. Walau dikemudian hari akhirnya aku bisa membuktikan bahwa aku mampu. Di kedua kelas nilaiku cukup memuaskan. Kesibukkan sekolah ternyata bisa pula membantu mengusir gulana. Bahagiakah aku d sini? Entahlah!

Pagi ini aku melintas di depan ruang Tata Usaha Sekolah, beberapa amplop surat berjajar di kaca Aku berharap salah satunya untukku. Kubaca satu persatu alamat tujuan surat, dadaku bergemuruh saat kutahu ada satu surat untukku. Aku segera masuk ke ruang TU dan meminta izin untuk mengambil surat itu. Seperti biasa, aku selalu tak sabar ingin segera membaca suratnya, walau akhirnya tetap saja harus menunggu sampai nanti tiba di rumah.

Kedatangan surat Rio yang selalu kuharap, walau membacanya selalu saja menyadarkanku betapa sulitnya memperjuangkan cinta ini, mengabarkan sedang mengikuti Diklat di Bogor dan akan ke Bandung. Setelah itu hari-hariku adalah menunggu, berharap waktu itu segera datang.
@@@
Penulis:

Masih pagi, Eka sudah bingung. Pagi ini dia harus ke Jalan Setiabudi, di sana ada Rio menunggu. Eka panik dan gugup, dia takut untuk minta izin. Dia takut Kakak akan curiga.

“Antar Kakak ke Margahayu, ya?” Tiba-tiba saja Kakak mengajaknya pergi. Eka tak segera menjawab. Otaknya berputar-putar mencari alasan yang paling tepat dan tidak dicurigai. Bagaimana pun dia harus bilang karena kalau tidak, dari mana dia dapat uang untuk ongkos.

“Enggak bisa, mau pergi, ada janji sama teman,” ujarnya kemudian dengan degup jantung yang  sangat keras, bahkan dia takut suara jantungnya terdengar oleh Kakak.

“Mau ke mana?”

“Ke Setiabudi, teman-teman SMP mau kumpul di sana,” kali ini Eka sudah semakin tenang dengan kebohongannya. Kebetulan Kakak memang tahu, ada teman SMP nya yang tinggal di situ.

Eka sangat beruntung pagi ini karena Kakak tidak banyak bertanya, setelah memberinya uang untuk ongkos, Kakak berangkat ke Margahayu dan Eka pun berangkat menuju Jalan Setiabudi.

Rindu membuat Eka lupa bahwa sejak tadi malam kepalanya sakit. Jalanan macet dan udara dingin tak menghalangi. Rindu memang bisa meleburkan rasa sakit, tak disadarinya suhu tubuhnya terus naik. Ketika akhirnya mereka bertemu, Rio menyadari bahwa Eka kurang sehat. Upaya Rio mengajaknya ke dokter, tak diturutinya. Eka hanya tak ingin ada yang mencuri waktu yang singkat ini, tidak juga seorang dokter.

 Bersambung ke sini




 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....