Kedatangan suratnya yang mengabarkan akan pulang, menggerakkanku segera berkemas. Besok aku akan ikut berlayar, pulang. Malam terasa sangat panjang, aku seperti bocah kecil yang dijanjikan mainan baru ketika bangun pagi besok, gelisah, tak bisa tidur. Enam bulan bukan waktu sebentar untuk merindukannya. Sekarang saatnya untuk bertemu.
Pukul 10.00 Kapal Badak meninggalkan dermaga.Perjalanan empat jam setengah segera dimulai. Sebentar lagi kami akan melintasi pulau-pulau kecil yang menawarkan keindahannya. Pulau Handeuleum sudah mulai terlihat. Pulau yang hampir seluruh permukaannya ditutupi pohon bakau/mangrove sungguh pemandangan yang mempesona. Dominasi warna hijau di tengah birunya laut. Di sisi luar pulau, pasir putih tampak berkilau.
Lagi-lagi anganku melayang padanya. Seandainya dia kini berada di sini, bersama menikmati semua keindahan alam ini. Aku membayangkannya duduk di bagian depan kapal, dia mencoba menyentuh buih di permukaan air laut.
"Hati-hati. Awas jatuh!" kata-kata itu terlontar begitu saja.
"Ada apa?" suara ABK yang duduk di sampingku membuatku kaget. Dia mengikuti arah pandanganku kemudian kembali melihat ke arahku.
"Jangan melamun. Ini di tengah laut!" ucapnya kemudian. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
@@@@
Pertemuan yang telah kutunggu sekian lama, ternyata tak segera bisa terwujud, masih harus mencari saat yang tepat. Kami berada di kota yang sama, tapi belum juga bisa bertemu, sungguh sesuatu yang rasanya bodoh. Terkadang aku ingin nekad mendatangi rumahnya, berkata jujur pada keluarganya bahwa kami saling mencintai, tapi dia selalu melarangku melakukan itu. Aku tak bisa memaksa, dia tentu punya alasan dengan semua sikapnya.
Hari ketiga, akhirnya dia muncul. Aku tak lagi melihat dia sebagai bocah, yang entah kenapa aku mencintainya, kini dia tampak lebih dewasa.
"Apa kabar?" sapanya, menurutku dia terlalu formal dengan pertanyaannya.
"Alhamdulillah, yang pasti sih kabarku, sedang rindu." Dia tertawa kecil sambil mengalihkan pandang, menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"Kamu juga rindu, kan?" lanjutku menggodanya. Kali ini dia tak menjawab. Dia mendekat dan duduk di sampingku.
Bersama dengannya waktu seolah bergerak terlalu cepat. Berbagi cerita tentang hari-hari di tempat yang baru dan sesekali saling mengajuk hati menjadi terlalu indah untuk diungkapkan.
Seharusnya Eka sudah pulang satu jam yang lalu, tapi hujan deras menahannya. Dia masih di sini bersamaku. Dia gelisah, mungkin lebih tepatnya, dia takut.
"Aku pulang sekarang saja," tiba-tiba dia berdiri dan hendak beranjak, aku menahannya. Di luar hujan sangat deras, Aku tak bisa membiarkannya bermandi hujan.
"Aku takut. Sudah jam sepuluh lewat," suaranya mulai gemetar. Di luar hujan belum juga mereda. Tapi, wajahnya yang pucat dan kepanikan yang terlihat pada sikapnya, membuatku berubah pikiran. Akhirnya kami nekad berjalan di tengah hujan hanya dengan sebuah payung.
Sepanjang jalan, Eka bungkam. Aku tahu dia tentu sangat cemas bagaimana menghadapi keluarganya nanti.
"Aku antar sampai rumah, ya? Kita hadapi bersama kemarahan orang tuamu," Aku merasa bersalah dan kurasa aku harus bertanggung jawab. Dia tak harus menghadapinya sendiri.
"Gak usah, tidak akan menjadi lebih baik. Mungkin malah akan membuat mereka semakin marah." jawabnya dengan cepat.
Aku tak tahu lagi bagaimana melindunginya. Seratus meter menjelang sampai ke rumahnya, Eka mempercepat langkah dan meninggalkanku, hujan deras mengguyur tubuhnya, Aku tak berusaha mengejar karena itu yang dia inginkan. Di tempatku berdiri, aku hanya bisa membayangkan, apa yang tengah dihadapinya sekarang.
@@@
Cerita dari Eka
Satu semester hanya terhubung lewat beberapa helai surat, sungguh tak menyenangkan. Hari ini aku pulang. Sejak mengetahui jadwal libur semester, aku sudah mengabari Rio. Mudah-mudahan saja surat itu sampai sebelum liburan habis.
Aku tak tahu pasti, dia akan pulang atau tidak. sungguh dalam ketakpastian itu sangat tak menyenangkan.
"Kapal baru berangkat ke pulau kemarin siang, sore ini kalau tidak ada halangan, datang," kabar ini aku terima dari salah seorang teman kerjanya.
"Rio ikut pulang?" aku tak menahan diri untuk menanyakan, sayangnya aku tak mendapat jawaban pasti. Menunggu sore saja, rasanya sangat lama, walau akhirnya yang kuterima adalah kabar yang aku inginkan.
Pagi-pagi aku sudah bersiap untuk menemuinya, tapi entah mengapa, ada saja penghalang untuk itu. Bahkan kunci vespa yang biasa kukendarai, entah dimana letaknya.
Liburku hanya tinggal tiga hari lagi, kami belum juga bertemu.
Sore ini, akhirnya dewa penolongku datang.
"Mau kemana?" Ibu langsung bertanya saat melihatku berganti pakaian.
"Mau rapat. Persiapan halal bihalal, " jawabku sekenanya sambil memberi kode kepada temanku, dewa penolongku untuk mengiyakan. Nyaris wajah polosnya membongkar kebohonganku, untungnya luput dari perhatian Ibu.
Kami naik beca yang sama ke arah gedung pertemuan, tempat rapat-rapat kegiatan remaja dilakukan, tapi 200 meter dari rumah, kami berpisah. Aku pindah ke beca lain dan ke arah yang lain. Saatnya membayar semua waktu yang lewat dengan rasa rindu.
"Apa kabar?" Mengapa pertanyaan konyol ini yang terucap. Aku merutuki diri. ternyata rindu yang terlalu lama bisa membuat orang kehilangan kosa kata, sementara dia hanya menatapku karena pertanyaan aneh itu. Aku semakin gugup.
Bersamanya, bagiku waktu seperti roket yang meluncur sangat cepat. Tak kusadari ternyata sudah pukul 10 malam. Aku mulai panik, entah apa yang akan aku hadapi sampai di rumah nanti. Rio kranya menyadari kepanikanku, dia bersiap mengantarku pulang, tapi tiba-tiba hujan turun sangat deras. Tapi, aku tak peduli, aku tetap harus pulang.
Ketakutanku memaksa kami berjalan menembus hujan, Hanya sebuah payung hitam yang melindungi tubuh. Dingin menyergap tak kuhiraukan, seharusnya ini menjadi momen indah, nyatanya pikiranku terus saja dibayangi kemarahan Ayah yang akan kuhadapi di rumah nanti.
Sebelum sampai, aku meminta Rio pulang. Aku tak mau dia mengantarku sampai ke rumah. Aku tahu sebesar apa kemarahan yang akan aku terima, Rio tak perlu tahu. Aku juga tak mau semuanya semakin rumit.
Di depan pintu kakiku gemetar. perlahan kudorong daun pintu, tak terkunci. Aku melangkah masuk dengan jantung berdebar kencang.Tuhan tolong aku. yang kemudian kuhadapi tepat seperti dugaanku. Aku menghadapinya dengan diam tanpa berusaha membela diri.
@@@
Penulis
Rindu Eka dan Rio, adalah rindu berbalut luka
Rindu terlarang yang nyatanya tak pernah hilang
Yang menjadi merah dalam darah
Yang mengalir bersama hirupan nafas
Mewujud puisi bertinta air mata
Haruskah mengalah? atau memang ditakdirkan kalah?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar