Sabtu, 25 Juli 2020

Buku yang Tertukar

Hari ini rapat kenaikan kelas. Semua guru di tempat Aini mengajar diwajibkan hadir, tentu tetap dengan mengikuti protokol kesehatan di masa pandemi. Didorong oleh rasa rindu pada sekolah yang telah lama dirasakannya,  Aini berangkat dengan bersemangat.

Tiba di gerbang Aini berhenti sesaat. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang.

"Selamat pagi, Bu Aini," suara Abah Ihin yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya, membuat Aini terperanjat.

"Tumben ke sekolah," sapa Abah Ihin ramah.

"Kangen dengan suasana sekolah, Bah. Gak enak di rumah terus," timpalnya tak kalah ramah.

Mereka berbincang sejenak, Aini jadi tahu kalau Abah Ihin tidak bekerja dari rumah seperti yang lainnya. Sebagai penjaga dan sekaligus bertanggung jawab memelihara kebersihan sekolah, setiap hari dia tetap harus datang. Pantas saja bunga-bunga di halaman sekolah tetap segar dan rapi, Aini bergumam. Aini selalu kagum pada Abah Ihin. Dengan penghasilan yang tak seberapa, dia tetap melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab.  Abah bilang, ini juga ibadah. Sikap yang layak ditiru, menurut Aini

 Bu Ratna yang baru saja turun dari ojeg menggamit lengan Aini, mengajaknya melangkah bersama menuju ruang guru. Aini langsung menuju bangku yang di depannya ada meja bertuliskan namanya.   Di atas meja imasih ada beberapa buku latihan siswa yang belum sempat dibacanya, tersusun rapi.

Sambil mendengarkan obrolan santai di antara guru yang sudah berkumpul dalam ruangan, Aini menyempatkan diri memeriksa buku tugas siswa, sambil menunggu rapat kenaikan dimulai. Sesekali dia ikut menimpali dan tertawa bersama mereka.

Sebelum Aini selesai mengoreksi, Bapak Kepala Sekolah sudah memasuki ruang guru, rapat pun dumulai. Aini menghentikan kegiatannya  dan tergesa memasukkan beberapa buku tugas ke dalam tas ranselnya.

Rapat kenaikan kelas hari ini berbeda dari biasanya, berlangsung cepat. Tidak ada perdebatan alot untuk menentukan seorang siswa bermasalah masih  layak naik kelas atau tidak.

Semua guru kekurangan data. Ada anak yang dua bulan pertama sering tak masuk pun naik kelas karena  guru wali kelas bersama Guru Bimbingan dan Penyuluhan  sudah melakukan pembinaan, walau hasilnya tak terlihat karena pandemi covid 19 memaksa mereka belajar di rumah saja, tidak ada lagi data kehadiran ril di kelas. Kegiatan belajar daring juga tak efektif. Banyak kendala, guru dan siswa sama -sama tak siap. Kondisi luar biasa melahirkan keputusan fantastis, semua siswa naik kelas.

Selama rapat berlangsung Aini malah sibuk dengan aplikasi note yang ada di gawainya. Sebuah puisi tercipta,

 

Ada yang memfitnah, ada yang difitnah

Siapa memfitnah?

Siapa difitnah?

 

Ada yang diuntungkan ada yang dirugikan

Siapa menguntungkan siapa?

Siapa merugikan siapa?

 

Ada yang berbohong dan ada yang dibohongi.

Siapa pembohong?

Siapa yang dibohongi?

 

Semua berseliweran tak jelas

Semua tak tahu harus percaya pada siapa

 

Ada yang takut, ada yang terlalu berani

Yang takut melepas semua peluang

Yang terlalu berani menentang risiko

 

Ada yang hanya bisa diam

Ada yang terus bergerak

 

Ada aku, kamu, kita, dan mereka

Melangkah ragu

Antara cemas dan harapan

Wakasek kurikulum sudah menutup acara  rapat  Aini pun menutup aplikasi note  setelah menyimpan catatan yang baru ditulisnya lalu memasukkan gawai ke kantong beresleting di bagian luar tas ransel besarnya.

@@@

Pembagian rapot kenaikan kelas baru saja dilakukan. Walau protokoler jaga jarak telah disosialisasikan, pada kenyataannya tak bisa dilaksanakan. Anak-anak yang terlalu lama menyimpan rindu di antara mereka, tak dapat menahan diri untuk saling memeluk. Para guru terus saja mengingatkan. Daerah hijau, status ini yang membuat kecemasan agak berkurang.

 

Aini telah selesai membagikan raport di kelas 8 B saat hendak beranjak meninggalkan kelas, beberapa anak menghampiri,

"Bu, foto bersama dulu." Aini tak segera menjawab, itu artinya harus saling berdekatan dan mengabaikan protokol jaga jarak, pikirnya.

"Kan harus jaga jarak," Aini mencoba menolak.

"Bu, please! Ini hari terakhir kita berkumpul. Setelah ini gak akan ada kesempatan foto bareng,"  bujukan dari wajah-wajah penuh harap ini menggoyahkan hati Aini. Ya, kapan lagi?

"Oke, tapi sebentar saja. Setelah itu kalian segera pulang." wajah-wajah yang tadi harap-harap cemas kini tampak gembira. Siswa kelas 8B mendadak menjadi sangat mudah diatur. Mereka berjajar menghadap kamera dengan gayanya masing-masing.

----

Aini tengah menikmati hari libur pertama. Tak ada lagi kegiatan belajar daring. Kegiatan belajar semester genap telah usai. Para siswa telah pula menerima hasil belajar. Pandangnya tertumbuk pada tas ransel besar yang masih tersandar di kaki meja kecil yang ada di kamar. Aini teringat ada beberapa buku siswa yang ada dalam tas. Aini ingin melanjutkan memeriksa buku tugas siswa, walaupun sudah tak mempengaruhi nilai hasil belajar  karena rapot sudah dibagikan, Aini tetap ingin melakukannya.

 

Ada lima buku yang dikeluarkannya dari dalam tas. Tapi salah satu buku  terlalu kecil sebagai buku tugas, buku siapa ini? Aini membolak balik halaman buku yang ada di tangannya. Bukan, ini bukan buku tugas siswa. Ini buku diari. Punya siapa? Masih diliputi rasa ingin tahu, kembali diperiksanya halaman demi halaman untuk  mencari identitas si pemilik. Aini terkejut, ada namanya di buku itu. Segera ditutupnya halaman buku itu, hatinya bergejolak antara rasa ingin tahu dan rasa bersalah karena membuka catatan harian orang lain.

Sudah hampir sepuluh menit, Aini masih saja ragu-ragu. Buku diari masih ada di tangannya. Terbayang lagi apa yang baru saja dia lihat, namanya.

Ada pertarungan hebat di hati Aini, rasa penasaran dan merasa tidak berhak mengetahui isi tulisan itu, dia sadar bahwa diari adalah sesuatu yang sangat pribadi, tempat seseorang bisa menulis secara jujur tentang rasa. Marah, benci, bahagia, dan ekspresi jiwa lainnya.

Jika aku tidak membaca,   selamanya aku tidak tahu  orang lain bicara apa tentangku. Jika hal baik sih tidak masalah, kalau hal buruk? Aku akan kehilangan kesempatan memperbaiki diri.

"Bismillah..." Dia buka lagi halaman buku itu, mencari tulisan yang tadi sempat dilihatnya.

"Aku kira Bu Aini itu guru hebat, nyatanya sama saja dengan guru lain. Pilih kasih. Apa kurangnya aku dari Septi, dari Rizka, nilai-nilaiku juga bagus seperti mereka, aku juga masuk 10 besar. Tapi Bu Aini tak pernah peduli. Dia pilih kasih.

Satu persatu kata yang terangkai itu dibaca Aini dengan rasa yang campur aduk. Ada rasa tersinggung, sedih, marah, dan entah apa lagi. Aini merasa sedang di hukum tanpa persidangan. Dia jadi ingin tahu, siapa yang menulis?

Dibolak-baliknya lagi halaman buku itu untuk menemukan identitas pemiliknya.  Risan, selalu ini yang muncil di akhir setiap tulisan. Tapi, tak ada nama Risan yang tertera di daftar absen.

Nyaris putus asa, itu yang dirasakan Aini. Sedari tadi mencari, tapi tak juga dia tahu siapa pemilik buku diari itu.

Risan, siapa dia? Dia pasti siswaku karena menulis  namaku dengan sebutan Ibu Aini. Aini melihat lagi ke buku absen, berharap ada nama yang mirip atau mengarah. Tak juga ada. Kini matanya tertuju ke 4 buku latihan siswa yang barus saja dikoreksinya. Aini teringat pada catatan tugas yang telah dikoreksinya saat menjelang rapat. Ada lima nama yang tersisa saat Wakasek Humas mengajak para guru untuk memulai rapat.

Aini segera memeriksa nama nama yang tertera di halaman depan buku dan melanjutkan catatan kemarin dengan menambahkan nama serta nilai keempatnya.

 

AURIA SINTIA, nama ini yang belum ada dalam daftar catatannya. RIS? RIAS? ARIS? Aini memutar-mutar urutan huruf nama Aria,  Mengapa RISAN? Keningnya berkerut, tapi ada senyum kecil di sudut bibir Aini ketika mengetahui Auria mengidolakan artis korea yang memiliki nama depan San. Satu langkah permulaan telah dilalui, Aini kini tahu anak yang menyebutnya guru pilih kasih.

Aini tak pernah menduga, Auria punya pendapat begitu. Selama ini Aini selalu bersikap adil, memberi perhatian pada semua siswa. Kalau ada siswa yang mendapat perhatian lebih, itu karena mereka memang membutuhkan. Doni, Septi, atau beberapa anak lainnya, mereka dalam masalah dan butuh perhatian khusus.

Auria, anak cerdas. Dia rajin dan berprestasi. Tak ada tanda-tanda dia menyimpan masalah. Ada apa dengannya?

"Padahal capek, tapi kalau tidak, Mama pasti makin cuek. Dapet nilai bagus aja Mama cuman bilang, baguslah."

"Lagi-lagi Mama bikin aku malu di depan temannya. Mama selalu bangga-banggain Kak Riri dan nganggap aku gak ada."

"Pa, kenapa sih perginya lama? Mama cuman sayang sama Kak Riri."

dan masih banyak catatan lain yang membuat Aini mengerti, mengapa Auria berprilaku seperti itu. Aiuria merasa diperlakukan berbeda.  Bahkan usaha untuk menarik perhatian mamanya, seolah tak ada arti. Mungkin ini yang membuat dia selalu mencurigai orang lain, termasuk mencurigaiku. Batin Aini.

Auria, ada satu tugasmu yang belum kamu kumpulkan, pesan Aini lewat watsapp. Bisa kamu kirimkan ke ibu? Pesan Aini berikutnya. Pesan yang terkirim itu belum mendapat jawaban hingga sore hari.

Auria justru muncul di rumah Aini untuk menyerahkan buku tugasnya.

"Kita makan seblak dulu, yuk" ajak Aini sambil merengkuh bahu remaja hitam manis itu ke samping rumah, ke warung Bi Ida. Auria tak bisa menolak karena rengkuhan itu cukup kuat dan membuat dia melangkah mengikuti.

"Saya tidak bawa uang," bisiknya dekat telinga Aini.

"Ibu yang traktir."

Kini mereka sudah duduk berdampingan menghadap meja panjang yang menempel ke dinding. Dua mangkuk seblak juga sudah terhidang.

Aini mengajak Auria mengobrol hal-hal yang disukainya, sesekali terdengar derai tawa mereka yang membuat beberapa pengunjung melirik. Keduanya menjadi sangat akrab.

Dua mangkuk seblak sudah kosong. Wajah mereka pun telah memerah karena pedas level 5 yang tadi mereka pesan.

Aini hendak beranjak menghampiri Bi Ida untuk membayar, saat itu dia mendengar suara Auria

"Bu!"

"Ya?"

"E..., saya kan sudah..."

"Mengumpulkan buku tugas?" Air muka Auria berubah pucat.

Kok kaget? Buku tugas yang ini kan?" Aini menunjuk  buku yang tergeletak di meja, buku tugas  yang tadi baru saja diserahkan oleh Auria.

"Eh, Iya...tapi...bukan yang itu, bukan! ...yang dulu."

"Oh, yang itu? Ada." Aini menjawab  santai sambil menyeruput minumannya.

Auria semakin panik. Dia menatap Aini dengan tatapan menghiba.

"Ibu membacanya?" Aini menjawab dengan anggukan kecil dan sebuah senyum.

"Maaf, ya. Ibu terpaksa membaca karena mencari tahu siapa pemilik buku itu," jelasnya. Suasana hening sejenak. Aini asik mengaduk-aduk batu es dalam gelas. Auria memilin-milin ujung tali tas kecil yang dibawanya.

"Bu, maaf." Suara Auria nyaris tak terdengar.

"Hei, kamu kenapa? Minta maaf untuk apa? Fungsi buku diari itu memang untuk curhat, kamu boleh menulis apa saja yang tengah kamu rasakan atau pikirkan. Yang penting, jangan mengumbar kata-kata kasar. Itu bisa membuat jiwamu juga jadi jasar."

"Tapi, saya menulis tentang Ibu," masih dengan suara perlahan, menahan tangis.

Aini menatap Auira dengan senyum menenangkan.

"Ibu gak marah. Ibu hanya ingin kamu tahu," ucapan Aini membuat Auria menghentikan keasikannya memilin-milin ujung tali tasnya.

"Ibu tidak pernah berniat membeda-bedakan kalian, Ibu sayang kalian. Mengapa perlakuan Ibu berbeda? Kebutuhan kalian juga berbeda. Yang Ibu tahu  kamu anak hebat, kuat, dan selalu ceria. Kamu mampu mengatasi masalah-masalahmu dengan cara yang baik. Kamu tidak membutuhkan bantuan. Berbeda dengan beberapa temanmu yang lain. Mereka butuh bantuan. Ibu melakukan itu untuk mereka." Auria mendengarkan dengan seksama.

"Tapi, Bu...Mama..."

"Insya Allah, mamamu juga bangga sama kamu. Terkadang orang tua tidak mau menunjukkan rasa bangganya. Mereka tidak ingin anaknya jadi sombong atau menjadi manja."

Kata-kata Aini rupanya berhasil menenangkan remaja 15 tahun ini. Senyum kecil kembali terlihat di wajahnya.

"Bu, boleh saya kapan-kapan main lagi ke sini?"

"Tentu, Ibu senang kalau ada yang mau main ke sini. Ibu punya banyak buku yang bisa kalian baca."

"Terima kasih,Bu." Aini melingkarkan lengannya  ke tubuh Auria. Ada kabut tipis tiba-tiba menutupi mata Auria. Dia berusaha menahannya agar tak berubah menjadi tetesan air.

"Lain kali hati-hati menjaga buku diarimu."

Pesan Aini saat mengantar Auria ke depan pintu pagar.

 

 #diari #buku #smp 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....