Rabu, 22 Juli 2020

Hati yang Mendua #8



Honda Brio berwarna silver melaju menuju ibu kota kabupaten. Ridho menyetir dengan tenang. Disampingnya Fitri terus bercerita tentang hal-hal menakjubkan yang dialaminya selama hamil, Aini duduk di jok belakang serius menyimak. Ridho dan Aini sesekali beradu tatap lewat kaca spion. Dada Aini selalu berdesir setiap itu terjadi. 
“Kamu mau belanja di mana?” Ridho mengurangi kecepatan.
“Enaknya ke mana ya, Ay?” Fitri malah melempar pertanyaan ke arah Aini. 
“Aku malah gak ngerti. Mana aku tahu tempat belanja perlengkapan bayi, kan belum pengalaman.”
“Kita ke Mall aja, pasti di situ lengkap,” tanpa menunggu persetujuan, Ridho  kembali menginjak pedal gas dan membelokkan setir ke jalan RE. Martadinata kemudian masuk ke halaman parkir sebuah Mall. 

Fitri sibuk memilih berbagai perlengkapan bayi, Aini dan Ridho sesekali dimintainya pendapat. Mereka berdua malah lebih sering saling pandang karena tak mengerti. 
“Seharusnya kamu ajak Mamamu juga, kita bertiga kan sama-sama enggak ngerti harus nyiapin apa aja,” ujar Aini di sela tawanya. 
“Makanya, Ay, kamu cepet nikah. Nanti kita belanja bareng, terus kita beli baju baju yang sama,” 
“Memangnya kalau aku nikah, terus kita pasti hamil bareng, ngaco aja kamu.”
“Eh, katanya kamu pacaran sama guru juga, ya?” pertanyaan Fitri membuat wajah  Aini memucat. Dia harus jawab apa? Bilang iya, lalu Ridho berlalu atau berbohong bilang tak punya pacar?” 
“ Bener itu, Ay?” Ridho malah ikut bertanya. Aini semakin bungkam. 
“Fit, kamu gak beli kereta bayi, tuh ada di pojok sana, bagus-bagus warnanya,” 
Aini mengalihkan topik pembicaan dia menarik lengan fitri ke salah satu pojok, Ridho mengikuti mereka.

“Ay, Kok pertanyaan tadi gak dijawab? Kamu memang sedang menjalin hubungan dengan seseorang?” 
Dalam kendaraan, Ridho kembali menanyakan hal itu dan Aini belum punya kalimat yang tepat untuk menjawab. Tiba-tiba saja sikap Ridho menjadi kaku, dia asik sendiri bersenandung mengikuti lagu-lagu dari sebuah stasiun radio. Aini merasa tak enak hati. Perjalanan pulang menjadi tak menyenangkan.
 @@@

Sudah hampir dua minggu Ami tak menemui Aini. Ada banyak pertanyaan yang mengganggu, sekaligus membuatnya kecewa.
Ami merasa sikap Aini  berubah. Aini tak bahagia saat bersamanya dan Ami yakin ada sesuatul yang terjadi. Ami kecewa Aini tak lagi jujur padanya. 

Dia bukan seperti Aini yang selama ini kukenal, batinnya. Aku harus mendapat jawabannya hari ini. Dia harus menjelaskannya atau semua harus berakhir. 

Sebuah keputusan telah dibuat. Ami bukan tipe orang yang mau menunggu untuk sebuah kepastian. Segera diraihnya kunci motor yang tergeletak di atas meja televisi. Setelah berpamitan, Ami melaju kencang menuju rumah Aini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....