Cerita dari Rio 3
Malam kembali memelukku dalam dingin belantara hutan lindung Taman Nasional Ujung Kulon, tepatnya di Pulau Peucang. Serangga malam mulai memperdengarkan suranya. Satwa liar yang menginjak daun daun kering di halaman tempat kami beristirahat, juga tak lagi membuatku cemas. Aku mulai terbiasa dengan semuanya.
Rasa lelah membuatku ingin segera berbaring dan lelap. Tapi, entah mengapa, malam ini ternyata ada yang tak biasa, aku mendengar suara aneh yang menakutkan, seperti suara teriakan-teriakan di tengah pesta orang pedalaman. Suara yang membuatku membayangkan gerombolan makhluk halus, mungkin sejenis jombi tengah berpesta di tengah hutan. Kutarik selimut dan membalut seluruh tubuh agar suara-suara aneh tak lagi terdengar, tapi bukan hilang malah semakin terasa dekat.
Bulu kudukku meremang. Aku menutup telinga dengan kedua tangan, masih saja terdengar. Entah sudah berapa banyak doa yang aku rapalkan untuk mengusir rasa takut, tapi suara suara aneh itu tak juga hilang. Di puncak rasa takut, kusingkirkan selimut, bangkit, dan melangkah ke luar kamar. Berbekal lampu senter kecil aku melihat ke luar jendela kaca dengan menyibakkan tirai yang menghalangi pandangan.
Berpasang mata bergerak kian kemari, cahaya lampu senter yang kecil membuatku tak dapat mengenali dengan jelas bagian lainnya. Tanganku gemetar. Senter yang ada di tangan nyaris terjatuh ketika sepasang mata terlihat mendekat, semakin dekat. Jantungku berdegup semakin keras membayangkan pemilik mata itu melompat ke arahku. Aku bergidik.
"Ada apa?" Suara Topan yang tiba-tiba sudah ada di belakangku, membuatku hampir terlonjak.
"Eh, itu, Ada suara-suara aneh di luar!"
"Suara apa?"
"Entahlah, hanya matanya yang kelihatan,"
Topan menjenguk ke luar jendela, setelah itu yang terdengar hanya suara tertawanya.
Aku malah jadi bingung.
"Itu sekawanan rusa, suaranya memang begitu," penjelasan Topan membuat aku malah ikut tertawa.
@@@@
Cerita dari Eka #3
Sebagai anak yang berasal dari kota kecil, aku perlu berjuang lebih keras agar tak terlihat culun dan norak. Tapi, karena sebelumnya selalu menjadi siswa yang sangat dekat dengan guru, mendapat perhatian lebih, dan merasa diistimewakan membuatku jadi tertekan. Di sini aku merasa sendiri. Tak ada yang mengenalku, tak ada yang tahu semua jejakku, apalagi prestasiku. Aku tak suka suasana ini.
Satu semester aku jalani masih dengan perasaan gamang. Semua belum normal dalam pikiranku. Sebagai anak berseragam putih abu, seharusnya ini adalah masa terindah. Kenyataannya, hidupku menyimpan duka dan kecewa.
Hari inilah kejatuhan terparahku. Aku tak percaya pada pandanganku. Nilai yang tercantum di raporku sungguh memalukan. Aku seolah melihat masa depan yang aku angankan menguap.
Mana mungkin, aku yang dulu pernah menjadi juara umum, kini mendapati nilai 5,5 pada pelajaran yang menentukan jurusan yang juga akan menentukan arah masa depanku. Aku terlempar ke jurusan yang tak sesuai dengan cita-citaku.
"Mana rapornya? Coba lihat!" Kaka menyambut kepulanganku, "Sesuai target?" lanjutnya lagi. Tanpa satu pun kujawab. Aku menyerahkan rapor dan segera berlalu . Tak menunggu lama Kaka sudah menyusul ke kamar.
"Kenapa bisa begini? Kamu pasti tidak fokus sekolah. Kalau Ayah tahu, dia pasti kecewa," dan serentetan nasihat harus aku dengarkan tanpa berusaha membela diri.
Selanjutnya, Kaka meninggalkanku dan pergi entah kemana. Tak lebih dari satu jam, Kaka sudah kembali lagi.
"Kamu bisa pindah jurusan, semester depan sekolah pagi sore. Di kelas sore hanya belajar mata pelajaran jurusan. Ulangan umum semester depan ikut di dua jurusan, kalau nilai kamu bagus, baru bisa pindah di kelas dua nanti," Aku yang mendengar penjelasan Kaka hanya bisa mengiyakan. Setidaknya aku masih punya kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mampu.
Yang kemudian aku kerjakan adalah berkemas, saatnya pulang, saatnya bertemu Rio. Tiba-tiba segala beban sirna tak bersisa.
@@@
Penulis
Dua anak manusia yang punya cinta, tapi tak mampu melawan kenyataan. Membiarkan rindu bersemayam dalam hati, menanti saat bisa bertemu dan ungkapkan segala rasa.
Eka hanya memperhatikan saja tingkah beberapa teman sekelasnya yang tengah bergurau, kebanyakan mereka memang telah saling mengenal. Ada yang pernah satu sekolah di SD, ada juga teman SMP. Anak-anak dari luar kota, seperti dirinya, umumnya masih terlihat canggung dan berhati-hati.
Sesekali ada yang menghampiri dan bertanya beberapa hal tentang dirinya. Eka menjawab sekadarnya saja. Dia tak tampak berusaha segera berakrab-akrab dengan mereka. Eka tak mau terdengar aneh. Intonansi Bahasa Sunda yang dikuasainya berbeda dengan Bahasa Sunda mereka.
Terbiasa dianggap penting, remaja ini seolah kehilangan pijakan. Di sini dia merasa tak diperdulikan. Semua asing. Bahkan saat dia tahu di sekolahnya yang baru tak ada pelajaran seni musik,dia semakin kecewa.
Gitar, sahabatnya sejak SMP, walau tak mahir memainkan, Eka merasa bisa mengungkapkan segala isi hati melalui denting bunyi dawainya. Mengalunkan lagu-lagu balada bertema rindu, menjadi penghiburan. Hanya ini yang dilakukannya untuk mengusir segala gelisah dan rasa rindu.
Satu semester yang berat harus dilalui, jangankan mengukir prestasi, jurusan yang diinginkannya pun tak dapat diraih. Eka nyaris frustasi. Semua mimpinya satu persatu menjauh.,
Cerita Rio agak berbeda, walau menyimpan rindu yang sama. Rio meneggelamkan diri dalam pekerjaan. Prestasi kerjanya mendapat apresiasi dari atasan. Dia semakin menikmati pekerjaannya.
Sejak Eka sekolah di Bandung, surat-suratnya tak datang sesering dulu. Surat-surat itu sering tertahan di kantor karena sampai di saat yang tidak tepat, menunggu hingga tiga minggu untuk kemudian ikut berlayar ke Pulau. Rio juga mulai terbiasa dengan hal ini.
Menghadapi dengan cara berbeda, tapi tetap dengan kerinduan yang sama.
.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar