Rabu, 08 Juli 2020

Aini #Hati yang Mendua


Masih ingat aku?" Seorang laki-laki mengenakan seragam warna kaki dengan kelengkapan logo dinas pendidikan,  menyapa. Aini yang sedang berada di depan ruang TU untuk absen pingerprint hanya bisa mengernyitkan dahi sambil melihat kiri kanan, dia ragu pada siapa sosok ini berbicara.
"Kamu Aini, kan?" tak salah, dia memang berbicara padaku, bisik hatinya. Aini kini memperhatikan dengan lebih teliti sosok yang sedang berdiri di hadapannya.
"Maaf, Pak. Bapak mengenal saya?" Dia tetap berusaha bersikap formal, laki-laki pemilik rambut agak ikal tersisir rapi dan aroma parfum yang tidak terlalu tajam tetapi menyegarkan tersenyum maklum.
"Kamu pasti lupa, aku juga pernah sekolah di sini. Wajar kalau kamu tidak mengenalku. Di kelas dua aku pindah, ikut Bapak yang pindah tugas ke provinsi." Laki-laki muda itu menjelaskan jati dirinya.
"Maaf, ya. Belum kebayang. Kita seangkatan?" Aini mulai penasaran.
Aku kakak kelasmu satu tingkat. Coba kamu ingat-ingat siswa berambut kribo, baju selalu dikeluarkan, kesibukannya hanya nulis di mading."

Aini menelitik lagi sosok yang ada di hadapannya kemudian senyumnya mengembang tanpa ragu.
"Kang Ami? Kok beda sih? Beneran aku tadi gak ngenalin," tidak ada lagi kekakuan di antara mereka karena dulu mereka cukup akrab dan sama sama jadi pengurus mading.

Percakapan mereka baru terhenti saat Bapak Kepala Sekolah datang dan Ami harus menemuinya untuk sebuah urusan. Aini kemudian menyelesaikan pingerprint yang tadi sempat tertunda. Tapi sebelum berpisah mereka masih sempat saling bertukar nomor kontak.

Pertemuan tak sengaja itu sudah terjadi hampir sebulan lalu, Aini hampir melupakannya. Nomor kontak yang saling dipertukarkan tidak serta merta membuat mereka saling menyapa.
Jika hari ini tiba-tiba Ami datang menyambanginya, tentu membuat Aini sedikit bertanya-tanya

"Tumben mampir , ada apa?" tanyanya saat Ami sudah duduk dan segelas teh manis pun telah terhidang.
"Hanya mampir aja, kamu tidak terganggu?"
"Enggak, enggak apa-apa."
Setelah sedikit berbasa-basi akhirnya mereka asyik berbincang ke sana ke mari, sesekali terdengar gelak mereka. Cerita masa sekolah di SMP, tentu sangat indah saat dikenang.
Cukup lama pemuda itu berada di sana, sebelum azdan magrib berkumandang, dia baru berpamitan.
"Boleh aku mampir lagi kapan-kapan?" tanyanya saat sudah berada di depan pintu pagar.
"Boleh," jawab Aini ringan.
"Enggak ada yang marah?"
Enggaklah, Ibu enggak pernah ngelarang aku berteman dengan siapa pun," jawabnya polos
"Bukan, bukan Ibu...eh, pacarmu?"
Sejenak Aini terdiam. Mau menjawab jujur dia tak enak hati.
"Kalau kamu diam, berarti kamu izinkan aku untuk datang lagi, iya kan?"

Entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk mengangguk, walau akhirnya membuat wajahnya memerah.
"Insya Allah, Sabtu besok aku ke sini lagi," Ami kemudian pamit. Aini mengikuti dengan pandangannya motor yang dikendarai Ami menghilang di ujung jalan.
Sambil masuk ke dalam rumah dia senyum- senyum sendiri. Tak disadarinya Ibu memperhatikan dari balik jendela kamar, juga tersenyum.


#aini #cerpen #galau #menduahati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....