Rabu, 08 Juli 2020

Namaku Aini #1


Setahun sudah Aini menjalani profesi sebagai seorang guru di sekolah menengah pertama satu-satunya yang ada di dekat tempat tinggalnya. Tidak terlalu dekat sebetulnya karena untuk menuju ke sekolah dia harus berjalan kaki sekitar satu kilo meter. Tak ada angkutan umum, kecuali ojeg. Naik ojeg akan menghabiskan uang honornya mengajar sehingga berjalan kaki menjadi satu-satunya pilihan.

Meskipun dia pernah belajar ilmu pendidikan di jurusan pendidikan, nyatanya hingga hari ini dia belum juga mampu menikmati profesinya. Menjadi guru bukanlah impian Aini. Cita-citanya menjadi karyawan perusahaan yang ada di perkotaan. Dulu dia selalu berdecak kagum setiap kali melihat perempuan-perempuan berpakaian kantoran. Pakaian seragam modis, sepatu hak tinggi, dan riasan yang mempercantik wajah. Tetapi, Ibunya yang kala itu menjadi guru madrasah lebih mendorongnya belajar ilmu pendidikan. Mulanya Aini menolak. Dia tak ingin hidup seperti ibu yang setiap hari hanya berkutat dengan berlembar- lembar tugas siswa. Sebelum mengajar, malamnya harus pula begadang menyiapkan alat peraga, menulis resume bahan ajar dan seabrek kesibukan lainnya. Belum lagi kalau di sekolah ada siswa yang membuat masalah. Benar-benar pekerjaan yang membosankan.

Untuk menyenangkan hati ibunya, saat mendaftar ke perguruan tinggi, dia menjadikan pendidikan guru Bahasa Indoneaia sebagai pilihan ke dua dan nasib mengantarkannya menjadi guru karena pilihan dua itu yang lolos. Menimbang kemampuan orang tuanya, Aini akhirnya menerima nasib.
Lulus tepat waktu, jika tidak dia harus membayar uang kuliah untuk semester berikut yang harus dijalani. Itulah konsekwensi beasiswa bidikmisi. Aini tak ingin menyusahkan ibunya.
Tak lama setelah wisuda, dia ditawari mengajar di sekolah tempatnya mengajar sekarang.
------
"Sudah paham?"
Tak ada jawaban. Semua hanya saling pandang.
"Baiklah, ibu jelaskan sekali lagi," Aini kembali menjelaskan dengan suara nyaring. Dia mulai terengah kelelahan. Ini penjelasan yang ketiga kali. Aini menjelaskan sambil matanya mengitari kelas. Matanya tertumbuk pada tiga orang anak yang tengah berbisik-bisik. Aini mengabaikan, dia benar-benar lelah. Dia melanjutkan penjelasannya, kali ini di bangku ke tiga dari depan seorang anak perempuan melirik sesuatu yang ada di dalam tasnya, sepertinya sedang bercermin. Dengan konsentrasi yang semakin hilang, Aini terus berbicara sampai akhirnya matanya menangkap basah Vito melempar sesuatu ke arah Andi. Aini sudah tak tahan lagi.
"Vito!" Tiba-tiba Dia berteriak keras.
"Bagaimana kamu bisa mengerti kalau tidak mendengarkan?" lanjutnya masih dengan suara tinggi.
Kelas hening seketika. Semua terdiam, apalagi Vito. Dia tertunduk dengan muka pucat. Aini terus melampiaskan kekesalannya dengan mengungkapkan kalimat-kalimat keras. Tanpa basa basi dia melangkah meninggalkan kelas. Semua murid tak ada yang berani bersuara. Mereka hanya memandang punggung Aini yang hilang di balik pintu.
-----
"Bu, aku mau berhenti mengajar," ujarnya sambil menghenyakkan tubuhnya di kursi tepat di sebelah ibunya.
Sekejap ibu menatap wajahnya, mencoba meyakini apa yang baru saja dia dengar.
"Kenapa?" tanyanya kemudian.
"Aku gak mampu jadi guru. Anak-anak itu tidak menghargaiku." Seterusnya adalah cerita kejadian tadi pagi meluncur lancar dari bibirnya.
"Ibu tidak bisa memaksamu mengikuti jalan hidup Ibu. Tapi, kamu belum lama mengajar. Mungkin kamu belum menemukan kesenangan mengajar seperti yang Ibu rasakan," jawaban bijak ibu.
"Aku sudah setahun mengajar, Bu. Aku memang gak cocok jadi guru."
"Baiklah bila itu keinginanmu, tapi tunggu!" ibu berdiri dan melangkah ke kamar. Aini menunggu dengan rasa ingin tahu.
"Bacalah ini!" Ibu menyodorkan selembar kertas.
Aini membaca surat itu. Surat dari salah seorang murid ibu. Isinya ucapan terima kasih karena ibu telah menyelamatkan masa depannya.
"Itulah kebahagiaan seorang guru. Bukan harta, tapi sangat tak ternilai." ibu mengucapkannya dengan wajah berbinar.
"Entahlah Bu. Aku tak mampu menghadapi mereka," Aini masih bersikukuh.
"Karena kamu belum melakukannya dengan ikhlas. Nak," ibu menatap wajah Aini lekat-lekat 
"Pahami apa yang mereka mau, mengerti apa yang mereka inginkan. Anak-anak itu sebenarnya haus pengetahuan, tapi setiap mereka berbeda. Mereka harus diperlakukan dengan cara berbeda." Aini mencoba mencerna kaka-kata Ibu. Teringat kembali dosen Psikologi Pendidikan yang pernah mengajarkan tentang Holistic caracter.

Tingkah laku mereka menunjukkan karakter mereka. Mengapa aku melupakan hal ini? Mereka bukan anak bandel, tapi aku yang tidak memahami mereka. Seharusnya aku mengajar sesuai karakter mereka.
Tiba-tiba saja Aini memeluk Ibu.
“Terima kasih, Bu. Selalu menjadi inspirasiku, aku mau belajar lagi supaya jadi guru seperti ibu."
Ibu tersenyum. Dia percaya Aini akan menemukan kebahagiaan  menjadi seorang guru,  sebagaimana yang selalu dirasakannya.


#cerpen #ceritaguru #belajarnulis   #semuabisanulis  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....