Selasa, 14 Juli 2020

Yang Tak Pernah Hilang

 

Cerita dari Rio: 
  Kapal yang pagi ini mengantarkanku ke pulau terpencil ini perlahan semakin menjauh dari dermaga, mengecil lalu kemudian hanya tinggal titik hitam di tengah luasnya samudra, akhirnya hilang. Hari ini aku akan memulai hidupku yang baru. Jauh dari keluarga, kawan-kawan, juga jauh darinya. Dia yang menjadi alasan terbesarku memutuskan menjadi penghuni pulau ini. Pulau Peucang, yang merupakan bagian dari Taman Nasional Ujung Kulon.

  Tak ada yang mendukung keputusanku, semua menentang. Semua berpikir bahwa ini adalah hal paling konyol yang aku lakukan. Tapi mereka tak bisa menghentikanku. Aku hanya ingin menemukan makna hidupku di sini. Di tengah belantara hutan lindung di Pulau Pecang. Dia, anak kecil itu, penyebab semua ini. Aku mungkin salah telah jatuh cinta kepadanya. Jatuh cinta pada anak usia 15 tahun. Tapi, apakah hati bisa diatur untuk jatuh pada siapa? Bukankah cinta adalah rasa yang merdeka, yang menentukan sendiri pada siapa dia akan bermuara? Pada kenyataannya, cinta yang terlanjur tumbuh di antara kami, justru menjadi luka. Menjadi penderitaan yang membuat terlalu banyak air mata harus tertumpah. 

Dia, anak kecil itu, belum mampu berjuang mempertahankan cinta yang ditentang keluarganya. Tak ingin saling melepaskan, tapi tak punya kekuatan untuk bertahan membuat aku kehilangan harapan. Rindu akhirnya menjadi beban yang membuat dada terasa sesak. Perjumpaan menjadi sesuatu yang terkadang harus dibayar dengan kemarahan orang tua yang harus ditanggungnya. 


   Sore telah beranjak menuju gelap. Tujuh jam yang beku, di antara suara malam yang mencekam, harus kuhadapi.
 @@@
 Cerita dari Eka: 
   Dia menghentikan becak yang aku tumpangi menuju ke sekolah, ini salah satu cara kami untuk saling bertemu. Dia tak banyak bicara, hanya menyerahkan sepucuk surat lalu berlalu menuju tempat kerjanya, dan beca yang aku naiki pun melanjutkan perjalanan. 

  Tak sabar ingin segera pulang, masuk kamar dan membuka surat darinya. Surat menjadi cara kami mengungkapkan rasa rindu yang nyaris tanpa risiko. Ah, mungkin aku memang salah telah jatuh cinta pada lelaki sedewasa dia sedangkan usiaku baru 15 tahun, masih berseragam putih biru. Cinta yang membuatku memelihara konflik berkepanjangan dengan keluarga yang sebelumnya sangat memanjakanku. 

   Surat yang kuterima tadi pagi, tak sama dengan surat surat sebelumnya. Surat kali ini lebih tepat jika aku sebut surat pamit. Dia dipindahtugaskan ke Pulau Peucang. 

Bukan berita bahagia.Tapi, apa yang bisa aku lakukan untuk mencegahnya pergi. Dia tentu ingin meraih yang terbaik di tempatnya bekerja. Jika ada air mata yang tumpah, itu karena aku tahu jarak kami akan semakin jauh dan secara sembunyi-sembunyi pun kami tak akan bisa bertemu.
 @@@@

  Rio dan Eka, dua hati mereka terpaut erat, cinta mengikat mereka walau dengan mengabaikan perbedaan usia yang lumayan jauh, tak ada logika untuk rasa cinta. Ketika hati telah memutuskan di mana dia akan berlabuh, tak ada yang bisa mencegah. Cinta Rio dan Eka penuh rintangan. Usia Eka yang masih belia sedangkan Rio adalah lelaki yang mulai memasuki usia dewasa dan telah memiliki pekerjaan, membuat orang tua Eka khawatir. Mereka tak ingin anaknya membuat keputusan yang salah. Mereka ingin Eka sekolah dengan baik dan mengejar cita-citanya. 
   “Aku akan tetap sekolah,” bantah Eka saat Ayah menegurnya dengan keras karena ketahuan masih bertemu dengan Rio.
   “Kamu masih kecil, belum waktunya pacaran, apalagi dia sudah dewasa. Kamu harua sekolah yang tinggi sepeti kakakmu,”
   “Aku janji sekolahku gak terganggu.” 
   “Mana mungkin, sebentar lagi juga dia akan ngajak kamu nikah.” 
   “Ayah, aku juga punya cita-cita. Aku tidak lupa itu.” 
   “Sudah, cukup! kamu pilih saja! Terus sekolah atau kawin?” Ayah Eka tak punya kata-kata lagi untuk menasihati anaknya, sebuah ancaman pun dilontarkan. 

   Di hadapan orang tuanya, Eka berjanji untuk mengakhiri semuanya, tapi kenyataannya, lagi-lagi mereka masih tetap bertemu. Cinta itu semakin indah, walau setiap malam selalu berteman air mata. 

Eka menyayangi Rio, dia akan marah bila ada yang meragukan itu, tapi dia tak berdaya. Dia tak mau memilih dan melepaskan. Dia ingin tetap jadi kesayangan keluarga dan tak kehilangan cinta Rio. Dia nikmati semua yang mengambang. Tak ada target di kepalanya. Eka hanya ingin dicintai.
 @@@ 

   "Rio, kamu yakin dengan pilihanmu? Dia terlalu muda untuk kamu. Apa kamu tak ingin segera menikah?" Pertanyaan Ibu ini yang membuat Rio kebingungan. Mungkinkah cinta ini akan sampai pada suatu tujuan? atau akhirnya akan berakhir sia-sia. Menapaki jalan tanpa arah yang jelas. Mengukir mimpi tanpa tahu akankah terwujud. Mencintai tapi tak yakin akan seutuhnya memiliki. Ini yang membuat Rio akhirnya memutuskan menerima ditugaskan di pulau. Aku bisa melupakan segala gulana dengan tenggelam dalam pekerjaan ini, itu yang ada dalam benaknya. Pikiran bocah Eka masih terlalu polos. Dia beranggapan Rio melakukan itu karena ingin karirnya semakin baik. Eka ingin memberikan dukungan dengan tak mengungkapkan keberatannya. Eka menyimpan dukanya sendiri karena setelah Rio tak di dekatnya, dia gamang. Dia tak tahan didera rindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....