Dari dalam rumah, lewat jendela bertirai putih, Aini memperhatikan gerak gerik Ami. Ada rasa tak nyaman ketika menyadari Ami tak menyimpan motornya di tempat biasa di dekat pohon palem merah yang tak jauh dari teras. Ami masih marah, batinnya.
Ami hendak mengetuk pintu, tapi Aini sudah muncul.
"Assalamualaikum," Aini lebih dahulu menyapa. Ami menjawab salam seraya langsung duduk di kursi teras.
Ketika Aini pamit ke dalam untuk membuatkan minum, Ami mencegahnya.
"Gak usah, aku gak lama," suara Ami kaku dan dingin.
Dada Aini tiba-tiba sesak. Ini pertama kali dia menghadapi sikap Ami yang seperti ini. Aini bergemin, mematung di tempatnya berdiri. Dia tak berani membayangkan apa yang sesaat lagi akan terjadi.
"Ay, kenapa berdiri aja, kamu gak suka aku di sini? Oke aku pulang,"
Kata-kata Ami membuat Aini tak nyaman, dia segera duduk, dadanya sesak, susah payah dia menahan embun di matanya agar jangan berubah menjadi butiran dan menetes.
"Bukan, bukan begitu... Aku cuman..."
"Cuman apa?" Ami memotong dengan cepat. Aini semakin terpojok, dia tak mampu bicara.
"Begini ya, Ay... aku ini gak ada bedanya dengan laki-laki yang lain. Aku bisa tersinggung, kecewa, atau marah. Sekarang aku ngerasa kamu gak jujur. Aku enggak suka itu." Ami menahan bicaranya. Mengatur nafas agar bisa lebih mengontrol emosi.
"Aku bener-bener gak ngerti, Ay." Suara Ami meninggi, walau dia tetap berusaha agar tak sampai berteriak. Aini mengangkat wajah yang sedari tadi hanya menghadap ke lantai. Dia tak yakin itu suara Amin.
"Aku minta maaf,"
"Maaf untuk apa, Ay? Aku enggak ngerti! Aku enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang aku mau, kamu jujur! Jadi aku tahu harus bagaimana."
Aini tetap bungkam, tapi embun di matanya sudah berubah menjadi butiran yang bergulir di atas pipi cabinya.
Isakan Aini tak mempengaruhi Ami. Dia memandang lurus ke arah jalan raya, tak berusaha membujuk Aini. Air mukanya tetap dingin.
Cuaca sore yang memang panas karena tak jadi hujan, rasanya semakin membakar.
"Sudah siap untuk jujur?" Ami menoleh ke arah Aini.
Lagi-lagi Aini tak menjawab. Mana mungkin aku jujur soal ini, soal hatiku yang ambigu.
"Kalau sekarang kamu belum mau menjelaskan, besok aku kembali. Maaf aku menyusahkanmu, tapi aku tak suka kamu seperti ini." Ami tak menunggu jawaban Aini, dia sudah berdiri dan melangkah menuju motornya yang terparkir di depan pagar. Aini hanya memandang punggungnya tanpa berdaya untuk mencegah.
Ani berlari ke kamar, menghempaskan diri di atas tempat tidur. Tubuhnya menelungkup dengan dua tangan terlipat menyangga kepala. Bahunya naik turun. Sedari tadi dadanya sakit, kini dilepaskannya semua rasa tertekan itu dengan tangisan.
Tuhan mengapa aku harus terperangkap dalam keadaan ini? Sedari dulu aku menyukainya, mengapa dia datang di saat aku telah menerima Ami di hatiku. Aku tak mungkin meninggalkan Ami begitu saja. Dia terlalu baik dan tak pantas disakiti. Pikiran Aini melompat-lompat di antara Ridho dan Ami.
Menjelang Asar, Aini baru keluar dari kamar, matanya sembab, padahal sebelumnya dia sudah gunakan pelembab dan pewarna mata warna agak gelap untuk menutupi agar Ibu tak melihat dan bertanya. Aini terlalu sadar bahwa yang dilakukannya bukan hal benar. Dia tak akan sanggup menceritakan semuanya pada Ibu. Membayangkan reaksi Ibu saja, Aini tak berani.
Mendua hati, bukan keinginanya. Tapi rasa itu datang tiba-tiba. Aini hanya ingin mewujudkan mimpi, tetapi mimpi itu datang tak tepat waktu.
Bersambung

Tidak ada komentar:
Posting Komentar