Kamis, 16 Juli 2020

Yang Tak Pernah Hilang #2

Bagian sebelumnya


Cerita dari Rio bagian #2:

“Hari ini kapal badak datang,” seorang kawan mengabari. Kedatangan kapal badak menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kami yang berminggu-minggu hanya hidup berlima. Selain  membawa segala kebutuhan pokok, kapal badak juga menjadi penghubung kami dengan dunia luar. Tak ada yang lain. Tak ada radio, tak ada televisi, apalagi telepon. Alat komunikasi kami satu-satunya hanya pesawat transmitter untuk melapor ke kantor .

Pukul  5 sore kapal mendarat di dermaga, tiga sosok terlihat turun dari kapal dan  berjalan di atas jembatan kayu sepanjang 50 meter yang menghubungkan kapal dengan daratan,  masing-masing  membawa sebuah kardus besar. Aku dan yang lainnya menghampiri untuk membantu menurunkan isi kapal yang akan menjadi bekal untuk tiga minggu ke depan.

“Ada titipan?” Aku bertanya pada Trisno, salah seorang di antara mereka yang baru datang.
“Ada dalam ransel, masih di kapal,” jawabnya dengan senyum penuh arti.  Jantungku berdebar  tak karuan, bahagia. Rasanya ingin kutarik Trisno supaya kembali ke kapal dan mengambilkan titipan itu untukku. Tapi aku tak mau jadi bahan tertawaan. Aku memang harus bersabar sampai semua isi kapal selesai diturunkan.

Aku kembali mendekati Trisno, setelah berkumpul di posko.
“Mana?”  Trisno menurunkan ransel berwarna coklat yang tergantung di  punggungnya  lalu mengeluarkan sebuah amplop putih dan menyerahkannya padaku.
“ini!, sudah rindu berat, ya?  Baru juga tiga minggu . Seminggu lalu dia ke kantor dan menitipkan ini.”
“Ke kantor?”
“Iya, rindu memang bikin orang nekad,” Trisno tertawa, tapi aku tak perduli. Aku hanya ingin segera ke kamar dan membaca surat yang sekarang sudah ada di saku celanaku.

Surat dari Eka, berisi curahan hatinya, tentang rindu dan rasa cinta, juga tentang kecemasan dan ketakutan. Berulang-ulang kubaca tulisan tangannya sampai aku hafal isinya, bahkan letak titik dan komanya. 

Hari  semakin larut, di luar sesekali terdengar suara  dedaunan kering yang terinjak, mungkin ada komodo yang melintas atau monyet iseng yang masih ingin bermain. Tubuhku lelah tetapi hati dan anganku masih asik mengembara. Seandainya dia ada di sini akan kuajak dia duduk di atas akar pohon yang menjulur ke pantai  sambil menikmati deburan ombak, menikmati nyanyian surgawi dari alam yang masih murni. Atau berenang di antara gerombolan ikan yang melintas. Aku rindu memagutnya dengan penuh rasa sayang, menikmati matanya yang terkadang  membuatnya gugup saat kutatap. Malam ini suratnya menemaniku tidur.

“Rio...!” Suara memanggil namaku diiringi ketukan di pintu kamar, memaksaku membuka mata. Masih terasa berat karena aku baru tertidur menjelang dini hari.
“Rio!” Panggilan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Kutajamkan  telinga untuk mengenali pemilik suara. Aku  melompat dan langsung membuka pintu saat aku sadari itu suara Trisno.
“Sebentar... jangan berangkat dulu!  Setengah jam saja, tolong... tunggu sebentar!” Aku meninggakannya yang masih tetap berdiri di depan pintu. Aku harus mengirim kabar pada Eka, kalau tidak sekarang harus menunggu tiga minggu lagi, itu terlalu lama. Aku mencari  kertas yang bisa kupakai untuk menulis surat, tapi tak ada. Aku semakin panik, di luar suara mesin kapal sudah dinyalakan.
“Gak usah panik, saya tunggu. Pakai ini saja.” Trisno menyerahkan buku tulis yang biasa digunakannya  mencatat pesanan kami. Tanpa pikir panjang aku terima buku itu dan melepas lembaran kertas yang paling tengah. 

Tergesa kutulis sepucuk surat untuknya, sepertiku tentu dia juga tengah menunggu kabar dariku. Sepertiku, dia tentu ingin tahu sebesar apa rindu yang tengah aku rasakan. Aku beruntung punya kawan sebaik Trisno. Dia menunggu sampai aku selesai menulis surat untuk Eka.

Sekali lagi aku merasakan suasana ini,  melihat kapal yang meninggalkan dermaga. Pulau yang sejak kemarin lumayan agak ramai dengan tambahan tiga orang penghuni, kini kembali sepi. Kami kembali berlima di tengah belantara.




Cerita dari Eka bagian 2

Jalan yang aku lintasi, masih rute yang sama. Dari arah pasar lurus menuju Mesjid Agung dan sampailah di pertigaan tempat aku dan dia selalu berusaha berada di situ di waktu yang sama. Tapi, keadaan sudah berbeda. Tak ada yang menyetop beca yang aku tumpangi hanya untuk sekadar berucap kata rindu. Beca berbelok ke jalan A. Yani menuju ke sekolah. Saat melintas di depan rumahnya, dadaku berdesir, aku berharap dia ada di situ, duduk di teras rumahnya,  saat melihatku segera berdiri dan menghampiri. Rindu memang membuat logika tak lagi bekerja.

Rumah itu kini sudah ada di belakangku, ada suara memanggil, bukan dari arah rumahnya. Aku menoleh mencari tahu, seseorang melambaikan tangan ke arahku, memakai seragam kantor yang sama dengan yang biasa di kenakannya.

Beca kuminta berhenti. Menunggu sesaat sampai sosok itu telah berdiri di samping becak yang kutumpangi. 
"Ada titipan, tadi Pak Trisno menyuruh saya menunggu di sini,"  semburat hangat menerpa wajahku, bahagia. Setidaknya aku punya penawar atas rindu yang menyiksa.

Aku tak mau menunda terlalu lama untuk membuka dan membaca surat itu, masih di atas beca, surat yang berada dalam tas kubentangkan. Kertasnya bergerak-gerak di dalam tasku, seiring gerakan beca di atas jalan yang tak terlalu mulus. Susah payah kuselesaikan kalimat demi kalimat.  Pada bagian namanya, mataku tak mau beralih. Rio Sanjaya. Padepokan Indrakila.
@@@

Menunggu kedatangan suratnya, yang hanya datang setiap tiga minggu, membuat rindu seperti gunung es yang semakin tinggi, semakin besar, dan semakin berat. Tapi cintaku  semakin indah. Walau bertemu menjadi hal yang sangat mahal. Dalam cinta ternyata tak jelas lagi batas bahagia dan derita. Aku menjalani keduanya dalam waktu bersamaan. 

Salah satu beban yang harus kutanggung, Aku dan ayah semakin hari semakin berjarak. Bukan hanya Ayah, Ibu dan saudara yang lain satu demi satu menjauh. Anak bandel, menjadi cap yang menempel di diriku.

Dulu Ayah selalu tanggap pada semua persoalanku. Mulai dari membuat teks pidato saat terpilih jadi ketua OSIS, membantu membuat tugas prakarya , membimbingku ketika ada tes hafalan. Aku mendapat gelar anak kesayangan Ayah. Aku tahu Ayah kecewa karena aku tak menepati janji. Bahkan saat kutunjukkan ijazah SMP yang baru kuterima, Ayah tak acuh. 
"Masih mau sekolah?" Pertanyaannya membuat aku terperangah lalu tertunduk tanpa berani menatapnya.
"Kalau ya, sekolah di Bandung, kalau tidak mau, berhenti saja." Aku  semakin menenggelamkan kepalaku, tertunduk  menyembunyikan air mata yang kian menderas. Ayah meninggalkanku tetap dalam posisi tak berdaya. 

Usiaku baru 15 tahun, aku cukup berprestasi di sekolah, mana mungkin tak sekolah. Aku memang tak punya pilihan dan harus menerima kehendak Ayah. Jarak antara aku dan Rio kini kian jauh. 

@@@@

Penulis:

Rio dan Eka harus berpisah, mereka berharap bisa mewujudkan semua harapan dengan terlebih dahulu mengalah. Mengurangi konflik, mungkin bisa jadi jalan keluar. Rio memilih menyepi di hutan, dan Eka menuruti kehendak orang tuanya, pindah kota.

Rio cukup sibuk dengan pekerjaannya sekarang. Setiap hari menyusuri jalan setapak, berpatroli sejauh tak kurang dari 10 km. Jalan yang dilaluinya ada di antara  pohon-pohon  berbatang besar dengan diameter tak kurang dari 1 meter, daunnya yang rimbun menghalangi cahaya matahari, jalanan jadi gelap. Pohon-pohon perdu dan ilalang terkadang menutup jalan yang  akan mereka lalui.  

Berpapasan dengan hewan melata  berbisa atau langkahnya tertahan ketika melihat jejak kaki kucing besar  di tanah yang basah, sudah sering terjadi. Rio mulai menikmati pekerjaannya. Menjadi garda depan penyelamat alam. 

"Ada jejak badak," Weli berbisik  sambil menunjuk ke arah depan. Di atas tanah terlihat jejak kaki berukuran  besar, menenggelamkan tanah cukup dalam menandakan pemilik jejak itu hewan berbobot  besar. 

Berdua mereka mengamati jejak tersebut, melakukan pengukuran dan mencatat dalam sebuah buku kecil. Jejak yang akan menjadi ciri individu pemiliknya. Saat melakukan penghitungan jumlah populasi hewan yang masih hidup di lokasi itu,  ini akan sangat berguna. 

Saat sore menjelang, mereka kembali ke barak. Rasa lelah membuat mata mudah terpejam. Malam tak lagi berisi luka.

Cerita Eka berbeda, dia tak bisa membantah keinginan orang tua yang menyuruhnya melanjutkan sekolah di Bandung. Tak ada pilihan ke dua. Berat, itu yang dirasakannya. Tapi,  jika tak diikuti, dia harus berhenti sekolah. Eka tak mau itu. 

Eka juga ingin merasakan lagi kasih sayang seluruh keluarga yang cukup lama hilang. Mungkin dengan cara mematuhi keinginan mereka, semua akan membaik, harapnya. 

Besok Eka akan berangkat ke Bandung. Kegelisahan menyergapnya. Rio harus tahu, tapi bagaimana caranya? Dia masih di pulau. Eka membolak balikkan badannya yang tengah berbaring di tempat tidur. Tak tahu harus berbuat apa. Sesekali dia duduk di sisi tempat tidur, juga tanpa melakukan apa-apa. 

Dipandanginya saja tas berisi pakaian yang besok akan dibawa. Beberapa berkas yang akan digunakan mendaftar sekolah sudah dimasukkannya juga ke dalam tas.

Setelah lama bertingkah tak jelas, Eka kemudian bangun dan berjalan menuju meja belajarnya. Dia mengeluarkan sebuah kaleng berbentuk bulat tingginya sekitar 8 cm, bekas wadah biskuit. Dengan hati-hati dia membuka kaleng itu, dia tak ingin menimbulkan suara gaduh dan membangunkan seisi rumah. Kaleng terbuka, Eka mengeluarkan seluruh isinya, beberapa buah amplop, surat-surat Rio. Dia memasukkan semua surat dalam tas bagian paling bawah, tak boleh ada yang melihat, bisik hatinya. Surat ini akan menemaniku di sana, batinnya.

Sepucuk surat kemudian ditulisnya untuk Rio, surat yang ditulis dengan  perasaan berat. Ada beberapa bagian yang tintanya memudar karena tetesan air mata. Besok pagi,  sebelum berangkat, dia akan minta izin dulu untuk mengambil sesuatu di rumah teman sekolahnya, begitu ide yang muncul di kepalanya agar bisa mengantarkan surat yang baru ditulis ke rumah keluarga Rio. Mereka pasti membantu menitipkannya ke kapal badak yang seminggu lagi akan menuju pulau. Eka mulai tenang, setidaknya dia tidak pergi diam-diam.

 Bersambung.

2 komentar:

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....