
Cerita dari Rio bagian #2:
“Hari ini kapal badak datang,” seorang kawan mengabari. Kedatangan kapal badak menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kami yang berminggu-minggu hanya hidup berlima. Selain membawa segala kebutuhan pokok, kapal badak juga menjadi penghubung kami dengan dunia luar. Tak ada yang lain. Tak ada radio, tak ada televisi, apalagi telepon. Alat komunikasi kami satu-satunya hanya pesawat transmitter untuk melapor ke kantor .
Pukul 5 sore kapal mendarat di dermaga, tiga sosok terlihat turun dari kapal dan berjalan di atas jembatan kayu sepanjang 50 meter yang menghubungkan kapal dengan daratan, masing-masing membawa sebuah kardus besar. Aku dan yang lainnya menghampiri untuk membantu menurunkan isi kapal yang akan menjadi bekal untuk tiga minggu ke depan.
“Ada titipan?” Aku bertanya pada Trisno, salah seorang di antara mereka yang baru datang.
“Ada dalam ransel, masih di kapal,” jawabnya dengan senyum penuh arti. Jantungku berdebar tak karuan, bahagia. Rasanya ingin kutarik Trisno supaya kembali ke kapal dan mengambilkan titipan itu untukku. Tapi aku tak mau jadi bahan tertawaan. Aku memang harus bersabar sampai semua isi kapal selesai diturunkan.
Aku kembali mendekati Trisno, setelah berkumpul di posko.
“Mana?” Trisno menurunkan ransel berwarna coklat yang tergantung di punggungnya lalu mengeluarkan sebuah amplop putih dan menyerahkannya padaku.
“ini!, sudah rindu berat, ya? Baru juga tiga minggu . Seminggu lalu dia ke kantor dan menitipkan ini.”
“Ke kantor?”
“Iya, rindu memang bikin orang nekad,” Trisno tertawa, tapi aku tak perduli. Aku hanya ingin segera ke kamar dan membaca surat yang sekarang sudah ada di saku celanaku.
Surat dari Eka, berisi curahan hatinya, tentang rindu dan rasa cinta, juga tentang kecemasan dan ketakutan. Berulang-ulang kubaca tulisan tangannya sampai aku hafal isinya, bahkan letak titik dan komanya.
Hari semakin
larut, di luar sesekali terdengar suara
dedaunan kering yang terinjak, mungkin ada komodo yang melintas atau
monyet iseng yang masih ingin bermain. Tubuhku lelah tetapi hati dan anganku
masih asik mengembara. Seandainya dia ada di sini akan kuajak dia duduk di atas
akar pohon yang menjulur ke pantai sambil menikmati deburan
ombak, menikmati nyanyian surgawi dari alam yang masih murni. Atau berenang di
antara gerombolan ikan yang melintas. Aku rindu memagutnya dengan penuh rasa
sayang, menikmati matanya yang terkadang
membuatnya gugup saat kutatap. Malam ini suratnya menemaniku tidur.
“Rio...!” Suara memanggil namaku diiringi ketukan di pintu kamar, memaksaku membuka mata. Masih terasa berat karena aku baru tertidur menjelang dini hari.
“Rio!” Panggilan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Kutajamkan telinga untuk mengenali pemilik suara. Aku melompat dan langsung membuka pintu saat aku sadari itu suara Trisno.
“Sebentar... jangan berangkat dulu! Setengah jam saja, tolong... tunggu sebentar!” Aku meninggakannya yang masih tetap berdiri di depan pintu. Aku harus mengirim kabar pada Eka, kalau tidak sekarang harus menunggu tiga minggu lagi, itu terlalu lama. Aku mencari kertas yang bisa kupakai untuk menulis surat, tapi tak ada. Aku semakin panik, di luar suara mesin kapal sudah dinyalakan.
“Gak usah panik, saya tunggu. Pakai ini saja.” Trisno menyerahkan buku tulis yang biasa digunakannya mencatat pesanan kami. Tanpa pikir panjang aku terima buku itu dan melepas lembaran kertas yang paling tengah.
Tergesa kutulis
sepucuk surat untuknya, sepertiku tentu dia juga tengah menunggu kabar dariku.
Sepertiku, dia tentu ingin tahu sebesar apa rindu yang tengah aku rasakan. Aku beruntung punya kawan sebaik Trisno. Dia menunggu sampai aku selesai menulis surat untuk Eka.
Sekali lagi aku merasakan suasana ini, melihat kapal yang meninggalkan dermaga. Pulau yang sejak kemarin lumayan agak ramai dengan tambahan tiga orang penghuni, kini kembali sepi. Kami kembali berlima di tengah belantara.

Cerita dari Eka bagian 2
Jalan yang aku lintasi, masih rute yang sama. Dari arah pasar lurus menuju Mesjid Agung dan sampailah di pertigaan tempat aku dan dia selalu berusaha berada di situ di waktu yang sama. Tapi, keadaan sudah berbeda. Tak ada yang menyetop beca yang aku tumpangi hanya untuk sekadar berucap kata rindu. Beca berbelok ke jalan A. Yani menuju ke sekolah. Saat melintas di depan rumahnya, dadaku berdesir, aku berharap dia ada di situ, duduk di teras rumahnya, saat melihatku segera berdiri dan menghampiri. Rindu memang membuat logika tak lagi bekerja.
Beca kuminta berhenti. Menunggu sesaat sampai sosok itu telah berdiri di samping becak yang kutumpangi.
"Ada titipan, tadi Pak Trisno menyuruh saya menunggu di sini," semburat hangat menerpa wajahku, bahagia. Setidaknya aku punya penawar atas rindu yang menyiksa.
@@@
Menunggu kedatangan suratnya, yang hanya datang setiap tiga minggu, membuat rindu seperti gunung es yang semakin tinggi, semakin besar, dan semakin berat. Tapi cintaku semakin indah. Walau bertemu menjadi hal yang sangat mahal. Dalam cinta ternyata tak jelas lagi batas bahagia dan derita. Aku menjalani keduanya dalam waktu bersamaan.
"Masih mau sekolah?" Pertanyaannya membuat aku terperangah lalu tertunduk tanpa berani menatapnya.
"Kalau ya, sekolah di Bandung, kalau tidak mau, berhenti saja." Aku semakin menenggelamkan kepalaku, tertunduk menyembunyikan air mata yang kian menderas. Ayah meninggalkanku tetap dalam posisi tak berdaya.
Rio dan Eka harus berpisah, mereka berharap bisa mewujudkan semua harapan dengan terlebih dahulu mengalah. Mengurangi konflik, mungkin bisa jadi jalan keluar. Rio memilih menyepi di hutan, dan Eka menuruti kehendak orang tuanya, pindah kota.
Berdua mereka mengamati jejak tersebut, melakukan pengukuran dan mencatat dalam sebuah buku kecil. Jejak yang akan menjadi ciri individu pemiliknya. Saat melakukan penghitungan jumlah populasi hewan yang masih hidup di lokasi itu, ini akan sangat berguna.
Saat sore menjelang, mereka kembali ke barak. Rasa lelah membuat mata mudah terpejam. Malam tak lagi berisi luka.
Cerita Eka berbeda, dia tak bisa membantah keinginan orang tua yang menyuruhnya melanjutkan sekolah di Bandung. Tak ada pilihan ke dua. Berat, itu yang dirasakannya. Tapi, jika tak diikuti, dia harus berhenti sekolah. Eka tak mau itu.
Eka juga ingin merasakan lagi kasih sayang seluruh keluarga yang cukup lama hilang. Mungkin dengan cara mematuhi keinginan mereka, semua akan membaik, harapnya.
Besok Eka akan berangkat ke Bandung. Kegelisahan menyergapnya. Rio harus tahu, tapi bagaimana caranya? Dia masih di pulau. Eka membolak balikkan badannya yang tengah berbaring di tempat tidur. Tak tahu harus berbuat apa. Sesekali dia duduk di sisi tempat tidur, juga tanpa melakukan apa-apa.
Bersambung.
Masya Allah keren sekali cerpennya Bu. Terima kasih ya..sangat inspiratif
BalasHapusInsya Allah, ditunggu ya
BalasHapus