Rabu, 11 September 2024

Yang Tak Pernah Usai Sebuah cerpen yang terinspirasi dari lagu Bougenville (Bimbo)

 



Pertama kali memandangmu 
 Pertama kali mengenalmu 
 Pertama kali menyentuhmu 
 Bergetar jiwaku

 Sangat berkesan di hatiku 
 Tibalah saat yang kutunggu 
 Hatiku luluh karenamu 
 Dewi pujaanku 

 Kini hanya tinggalah pusaramu 
 Kugenggam bougenville dalam tanganku
 Bougenville lambing kasih 
 Yang pernah kau berikan pada diriku 

 Gundukan tanah merah itu nyaris rata dengan tanah, pohon bunga bougenville kecil yg dulu kutanam sudah semakin tinggi, berdaun dan berbunga rimbun. Prasasti namamu di batu nisan hitam masih sangat jelas karena setiap kali berkunjung aku membersihkan dan memperbarui huruf-hurufnya .

Sudah sewindu sejak kepergianmu, dan aku belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayangmu.  Bougenville merah ungu yang aku tanam di atas pusaramu semoga menjadi penghiburmu dikala rindu.

 "Pah, sudah sore sebentar lagi gelap. Kita pulang."

 "Lima menit lagi, ya?" Aku menatap dalam-dalam mata Sekar anak semata wayang kita, meminta pengertiannya. Sekar mengangguk perlahan. Aku lega. Bukan lima menit sebetulnya yang aku harapkan. Aku ingin selalu di sini menemanimu.

 Aku melanjutkan memunguti bunga dan daun bougenville yang berserakan di atas pusaramu. Meski kau sangat menyukai bunga ini, tentu kamu juga ingin tempat tinggal terakhirmu terpelihara dan bersih.
 @@@

 “Rio!” ucapku seraya mengulurkan tangan dan mengatur gestur tubuh supaya menyisakan kesan baik pada gadis di depanku.

 “Eka,” sambutmu dengan seulas senyum dan mata bulat yang ikut pula tersenyum. Binar mata yang kulihat saat itu begitu melekat dalam benakku, bahkan terus menyertai sampai akhirnya aku sadar, aku telah menemukan pelabuhan terakhirku. 

Walau tak mudah, tapi itu adalah permulaan yang memberiku energi untuk memperjuangkanmu. Sejak saat itu aku tak lagi merangkai mimpi-mimpi masa depanku sendiri, ada kamu dalam setiap Impian-impianku.

Kita memulai semuanya dari titik nol. Kita tinggal di kamar kontrakan, semua kita lakukan dalam ruangan itu. Memasak, makan, menonton televisi, juga tidur. Aku tidak pernah sekalipun mendengar keluhanmu. Kita terlalu sibuk menikmati kebahagiaan yang diberikan-Nya.

 “Mas, kalau mau mengambil kredit KPR, aku mau kamar yang jendelanya menghadap ke halaman. Aku ingin menanam bunga bougenville tepat di bawah jendela. Setiap pagi akan kupetik setangkai untukmu. Sesederhana itu keinginanmu. 

Bahagia kita menjadi semakin sempurna Ketika aku berhasil memiliki rumah yang pantas untukmu dan Sekar, yang hadir melengkapi kita. Kamu tidak perlu menanam sendiri dan menunggu bunga itu tumbuh. Aku sudah meminta dibuatkan taman bougenville di halaman rumah kita pada seorang desainer pertamanan. Dan binar matamu semakin cemerlang saat kutunjukkan rumah kita di hari ulang tahunmu.
 @@@

 “Aduh!” teriakan tertahan terdengar dan cukup mengagetkanku. 

“Kenapa, Bund?” tanyaku cemas sambil menghampirimu yang tengah memijit-mijit telapak kakimu.

 “Kenapa kakimu?” lanjutku ketika sudah berada tepat di sisimu. 

“Kakiku menginjak sesuatu,” jawabmu sambi meringis dan memperlihatkan telapak kakimu ke arahku. Insiden itu ternyata menjadi awal perjuangan panjang kita melawan rasa cemas, sampai beberapa hari kemudian luka di telapakmu tak kunjung sembuh, malah membengkak dan berwarna merah.

 “Periksa ke dokter, Bund!” Pagi itu, aku bersuara agak keras. Sudah sering aku menawarkan diri mengantarmu berobat, tapi kamu malah menertawakanku. Katamu, ini hanya luka ringan dan tidak perlu ke dokter. Tapi, malam sebelumnya tubuhmu menggigil, suhu keningmu saat aku sentuh juga sangat panas. Pagi itu, kamu tak lagi menolak. 
@@@ 

“Ibu Eka!” Suara panggilan dari pengeras suara bergema di ruang tunggu klinik, Serentak kita berdiri dan berjalan ke ruang pemeriksaan. Dokter muda yang memeriksamu, sepertinya tidak terlalu suka berbasa-basi. Dia langsung memeriksa lukamu. Keningnya agak berkerut saat melihat luka dan bengkak yang menyertainya.
Selesai memeriksa, dokter duduk di kursi yang bersebarangan dengan kursi yang kita tempati dan mulai menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, kemungkinan buruk atau harapan-harapan baik. 

Rangkaian pemeriksaan ternyata harus kamu jalani. Semakin hari kondisi kakimu semakin memburuk. Kakimu memerah dan membesar. Tindakan biopsy pun dilakukan. Kita menunggu hasil pemeriksaan jaringan dengan cemas, tapi kita terus saling menguatkan. 

“Ayah, seandainya terjadi sesuatu padaku, bagaimana dengan Sekar? Aku khawatir dia tidak siap. Dia masih terlalu muda.” Entah apa yang tengah merasukimu, tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari mulutmu.  Aku terpana. Selama ini aku selalu membuang jauh-jauh pikiran-pikiran seperti itu. Aku tidak mau kehilanganmu. Aku tidak mau Sekar tumbuh tanpa kamu. 

“Kamu janji, ya Mas. Kamu akan menjaga Sekar agar tetap bahagia, walau tanpa aku.” Semua yang kamu ucapkan malam itu, sangat melukaiku. Jujur, aku bukan sedang memikirkan Sekar. Aku sedang ketakutan. Aku yang tidak siap kehilanganmu.  Tenggorokanku tiba-tba kering, dadaku seakan tengah menahan beban yang sangat berat. Napasku sesak. Masih banyak yang kamu ucapkan, tapi aku sudah tidak sanggup lagi mendengarnya. Segera kutinggalkan kamar dan berjalan menuju teras. Di sana aku terisak. Hari-hari selanjutnya aku semakin sering menitikan air mata. Hasil pemeriksaan jaringan dari telapak kakimu menunjukkan ada sel cancer. Duniaku runtuh. 

Satu tahun kamu berjuang. Menjalani kemotherapy yang menghanguskan kulitmu, merontokkan rambutmu, menanggalkan beberapa gigimu. Dalam sakitmu, kamu masih berusaha mengurus sendiri keperluan Sekar. Di depannya kamu selalu menyembunyikan rasa sakimu. Tapi, akhirnya kita kalah. Usia Sekar 10 tahun kala itu. Duniaku menggelap. 

 Maafkan aku, Bund. Saat itu aku betul-betul hancur. Jangankan merawat Sekar, mengurus diriku sendiri pun aku tak mampu. Aku hampir saja dikeluarkan dari pekerjaan. Sekar berubah menjadi anak yang pemurung. Prestasi di sekolahnya turun drastis. Beberapa kali pihak sekolah memanggilku, tapi tak pernah aku pedulikan. Puncaknya Sekar tantrum di sekolah. 

Sekar merobek kertas ulangan di depan guru sambil mengucapkan kata-kata makian.Dia menumpahkan semua isi tasnya dan melemparkannya ke segala arah. Susah payah guru kelasnya membujuk, Sekar terus saja mengamuk. Akhirnya mereka menelponku, memintaku untuk membujuk Sekar. 

 Setibanya di sekolah, melihat kondisi Sekar saat itu. Aku sangat terpukul. Dia menatapku dengan tatapan memohon. Tolong aku Ayah. Aku terlalu kecil untuk beban seberat ini. Tatapan itu mengingatkanku pada pesanmu. Serta merta aku bergegas menghampiri dan memeluknya. Tangisku pecah, tak lagi bisa kubendung. Betapa egoisnya aku selama ini. Aku hanya sibuk dengan Lukaku sendiri, aku lupa betapa berat yang ditanggungkan olehnya.

 “Pah, sudah lebih dari lima menit,” Sekar menggamit bahuku. Aku menoleh, dia menunjukkan layar telepon genggamnya yang sudah menunjukkan angka 18.00. Aku mengangguk mengiyakan seraya bangkit.

 “Selamat sore, Bund. Kami pamit. Jumat depan kami akan menjengukmu lagi”

 “Selamat sore, Mama. Mama tidak usah khawatirkan aku. Aku dan Papa selalu saling menjaga, seperti yang Mama mau.” lanjut Sekar. Langit semakin gelap. Bunga bougenville terlihat gemerlap terkena pantulan cahaya lampu. Bougenville merah ungu, tanda kan kasihku tak pernah layu. 
Menes, 2 September 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....