Terkadang batinnya berkata, bahwa bahagia yang sempurna adalah memenangkan semua mimpi, dan itu adala Ridho. Tapi, di sisi hatinya yang lain, dia tak ingin kehilangan Ami. Dia telah terbiasa dengan kehadirannya. Lelaki yang selalu mendukung segala aktivitasnya, memaham kecintaannya pada anak didik, dan tempat berbagi tentang dunia sekolah yang dilakoninya. Sebagai sesama guru, mereka selalu punya topik-topik menarik untuk diperbincangkan, terlebih polah dan tingkah murid-murid yang tengah beranjak remaja.
Cerita tentang sekolah dengan berbagai problematikanya, adalah dunia yang mereka jalani. Tak semua yang berprofesi guru, melakukan seperti yang mereka lakukan. Menjadikan sekolah dan anak-anak sebagai arena untuk melepaskan banyak energi yang dimiliki. Ami melakukannya, sama seperti dirinya. Dia ingin selamanya seperti itu.
"Ay, ada Vina di luar!" Suara ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar yang pintunya tak tertutup rapat.
"Iya, Bu." Gadis berpipi cabi itu pun bangkit dan melangkah menuju teras, di sana ada Vina tengah mengamati bunga anggrek kecil berwarna kuning dalam vas kecil di atas meja.
"Ini bunga asli, Ay?" Tanyanya saat menyadari kehadiran Aini.
"Asli lah, mana ada yang palsu di sini."
"Kamu tuh yang palsu," Vina menunjuk Aini. Kemudian mereka berdua tertawa.
"Minum apa, Vin?"
"Biasanya kamu punya buah markisa, jus nya pasti seger,"
"Ya, maunya yang susah. Nyesel nanya."
Vina kembali tertawa, tapi kali ini dia sudah melangkah ke dalam rumah dan langsung membuka kulkas. Buah markisa berwarna kuning diambilnya dan ditunjukkannya pada Aini yang sudah berdiri di belakangnya.
"Biar aku bikin sendiri, kamu mau juga?" Aini mengangguk dan menyerahkan dua gelas kosong yang ada di tangannya.
"Gulanya ada di meja," lanjutnya.
Aini dan Vina kembali duduk di teras dengan gelas jus markisanya masing-masing.
"Sudah denger belum?" Aini menoleh ke arah Vina dengan gelas yang masih menempel di mulut. Dia menggeleng.
"Si Prapti kan kemarin nikah," Vina memulai gosip pagi.
"Oh" Aini menanggapi sekadarnya, tangannya malah asik mengaduk-aduk batu es dalam gelas.
"Dia nikah dengan siapa coba?" Vina semakin serius. Aini menggeleng lagi.
"Ridho, sepupunya Fitri, yang waktu itu kita ketemu di rumah Fitri."
Tangan Aini yang sedari tadi asik memainkan sendok, tiba-tiba terasa kaku. Saat itu mungkin wajahnya memucat, tapi Vina tak memperhatikan. Aini berusaha tetap tenang, menyembunyikan keterkejutannya.
"Kamu ke sana waktu mereka menikah?" Sebetulnya ada getar aneh di suara Aini, lagi-lagi luput dari perhatian Vina.
"Enggaklah, gak ada yang dikasih tahu. Aku saja baru tahu tadi pagi dari Fitri,"
"Mereka pacaran?" Suara Aini mulai tenang.
"Enggak, mereka baru kenal beberapa bulan aja."
"Itulah jodoh, susah diprediksi. Pacaran lama, eh putus. Yang baru kenal bisa menikah."
@@@
Vina sudah pulang, tapi ceritanya tentang pernikahan Ridho yang terkesan terburu-buru dan tertutup, menganggu Aini. Sampai menjelang dini hari matanya tak mau terpejam. Apa yang terjadi di antara mereka? Belum lama Ridho masih terkejut saat mengetahui Aku dekat dengan seseorang, dan tiba-tiba saja hari ini dia menikah. Jadi yang kemarin itu apa? Nyatanya bagi Ridho, aku hanya teman Fitri, tak lebih. Mengapa aku sebodoh ini? Masih saja bermimpi dan berharap cintanya. Bahkan aku menyakiti hati Ami demi sesuatu yang sesungguhnya tak pernah ada.
Banyak sesal berkecamuk di pikiran Aini. Dia semakin takut jika Ami benar-benar meninggalkannya. Sudah dua minggu dia tak datang dan Aini tak pula berusaha menghubungi. Ami, maafkan aku. Matanya mengembun dengan penyesalan yang dalam.
@@@
Matahari sudah agak tinggi, Aini baru terjaga.Tadi malam usai solat subuh dia baru bisa tidur.
Di luar sudah ramai kendaraan yang lalu lalang. Aini membuka jendela, menikmati hangat pagi yang menyeruak masuk ke dalam kamarnya. Dihelanya nafas dalam dalam, rongga dadanya terasa agak lapang. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada motor yang terparkir di dekat pohon palm merah di samping teras.
Aini mengucek matanya, berusaha meyakinkan hatinya bahwa ada Ami duduk di teras rumah, di tempat biasa dia duduk. Dada Aini bergemuruh. Tampaknya hati Aini kembali utuh untuk laki-laki berambut ikal, sahabat SMP-nya saat sama-sama mengurus mading sekolah.
Aini segera mencuci muka dan memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik tipis-tipis kemudian menemui Ami, dia tak ingin cinta itu kembali kecewa. Dia segera menemui Ami dengan segelas teh manis.
Tamat

Tidak ada komentar:
Posting Komentar