Selasa, 11 Agustus 2020

Pulang


 Pulanglah, Nak. Sudah terlalu lama. Semua sudah terjadi dan tak akan bisa diperbaiki lagi. Setidaknya pulanglah untuk kami. Keluarga yang selalu menyayangi dan merindukanmu.


Bagian akhir surat ibu yang diterima Lulu seminggu lalu. Surat itu dibawakan Ratri yang baru saja mudik. Lulu membacanya berulang-ulang. Kerinduan pada keluarga yang selama ini berhasil kalah oleh ego dan rasa kecewa yang bersemayam dalam hatinya, mendesak-desak rongga dadanya dan menimbulkan rasa nyeri.

Surat ibu telah berulang kali dibacanya sehingga dia hapal betul isinya, apa lagi bagian akhir surat itu.

"Lu, menurutku, memang sudah saatnya kamu pulang. Kasian ibumu. Sudah tiga tahun, Lu." Ratri teman sekampung yang sekarang menampungnya di Jakarta memulai percakapan malam itu.
"Aku tahu, peristiwa itu sangat menyakiti hatimu, tapi melarikan diri seperti ini juga bukan solusi. Belum cukup kamu menghukum kedua orang tuamu? atau kamu berprasangka mereka memang menginginkan kejadian itu?"
"Entahlah, Tri. Awalnya aku sudah menolak, tapi mereka selalu membicarakan hal itu, hampir setiap hari sampai aku bosan dan akhirnya mengiyakan...lalu peristiwa itu terjadi."

Sebutir bening menggantung di sudut matanya, disekanya sebelum benar-benar jatuh.
"Kamu harus bisa melihat dari sisi pandang mereka, Lu. Mereka menginginkan kebahagiaanmu, itu yang utama." Ratri masih berupaya membuka hatinya.
"Mereka menginginkan kebahagiaan mereka sendiri. Mereka berharap aku bisa mengubah segalanya." Wajah Lugu Lulu kini memyiratkan kemarahan yang masih tersimpan.
"Sudah tiga tahun, Lu. Tidak bisakah kamu memahami kesederhanaan dan keluguan mereka? Aku ini hanya temanmu, bukan siapa-siapa bagi mereka, tapi aku masih bisa memahami itu, Lu. Kenapa hati kamu begitu tertutup?" Ratri tak bisa lagi menahan ucapannya. Dia ingin hidup Lulu bahagia. Dia tak tega melihat teman masa kecilnya terus menerus terbelenggu dalam rasa marah dan kecewa yang tentunya menyakitkan.

Lulu hanya diam, hatinya bergemuruh. Sebenarnya dia sendiri tak tahu pada siapa kemarahan ini ditujukan. Orang tuanya, laki-laki pembobong itu, atau pada Tuhan. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, suara isakan lirih terdengar.

Ratri memeluk Lulu. Matanya ikut mengembun.
"Maaf, Lu kalau ucapanku melukaimu," ujarnya kemudian.
"Aku bingung, Tri. Aku merindukan mereka, sangat rindu. Tapi, di sana, di kampung kita akan ada tatapan-tatapan kejam. Mereka akan menuduhku sebagai perebut suami orang. Aku tidak siap, Tri."
Ratri semakin mempererat pelukannya, tangannya mengusap-usap punggung Lulu dengan lembut.

_______

Perhelatan sederhana tengah berlangsung. Pengantin cantik dengan seorang pemuda kota duduk bersanding di pelaminan berwarna putih. Perhelatan yang menjadi perbincangan banyak orang. Ada yang kagum bahkan ada pula yang ikut bersyukur karena gadis sebaik Lulu dipersunting pemuda kota yang terlihat mapan. Tapi, ada pula yang menatap iri. Mulut mereka mendesis-desis seperti suara ular menebar racun ke mana-mana.

Tamu undangan terus berdatangan, semua orang tampak sibuk. Perempuan-perempuan muda berdandan menor ikut memeriahkan suasana perhelatan. Nasi dan lauk pauk tak henti-henti ditambahkan.

Meriahnya suasana pesta membuat orang tak menyadari saat seorang perempuan muda dengan anak kecil sekitar 5 tahun yang menemaninya telah berada di atas pelaminan. Secara agresif dia menyerang Lulu disertai kalimat-kalimat makian. Lulu yang kebingungan tak bisa berbuat apa-apa. Pemuda yang ada di sampingnya seperti kerbau dicucuk hidung saat ditarik perempuan itu turun dari pelaminan dan akhirnya menghilang bersama kendaraan yang terparkir di pinggir jalan.

Suasana bahagia yang tadi menyelimuti hati seluruh keluarga tiba-tiba saja berubah. Semua orang kasak- kusuk, berbisik-bisik ada yang bersimpati dan tak sedikit pula yang mencemooh.
"Oh, jadi itu suami orang."
"Gak nyangka, kok dia mau menikah dengan suami orang?" dan masih banyak lagi kalimat-kalimat ejekan lain yang terdengar. Lulu merasa dunianya menjadi gelap. Dia lari ke kamar dan mengurung diri di sana. Tak ada yang bisa membujuknya.

Hari masih gelap. Sebagian orang masih terlelap. Hanya Ayah dan Ibu yang duduk tepekur menatap lantai di ruang depan.
Perlahan Lulu membuka pintu kamar. Tangan kananya menjinjing tas berisi pakaian.
"Ayah, Ibu aku pamit. Aku mau ke Jakarta.'
Ayah dan Ibu tak berdaya mencegah. Perdebatan kecil sempat terjadi, tapi tekad Lulu terlalu kuat untuk dihentikan. Dengan berat hati mereka melepas kepergian Lulu.

Tiga tahun sudah Lulu tak pulang. Pulang baginya adalah luka. Dia bahkan mengabaikan kerinduan kepada kedua orang tuanya. Tapi, surat Ibu yang terakhir dan ucapan Ratri menggoyahkan kekerasan pendiriannya.
Foto Ayah dan Ibu yang diperlihatkan Ratri mengusik hatinya. Betapa cepat mereka menua. Ada penderitaan di mata mereka.

Hari ini Lulu memutuskan untuk pulang. Dia ingin menghapus derita kedua orang tuanya. Selama ini dia berusaha menyembuhkan lukanya sendiri, tapi pada saat yang sama dia semakin memperparah luka di hati kedua orang tuanya. Aku mau pulang, bisik hatinya.
Tapi, luka Lulu dan kedua orang tuanya belum dapat disembuhkan. Tak ada tiket pulang yang bisa diperolehnya. PSBB dan larangan mudik membuatnya masih harus menunggu entah sampai kapan.


Tamat







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....