Sabtu, 14 Juni 2014

Ini Bukan Cinta


Sari berbaring terlentang dengan mata lurus menatap langit-langit kamarnya. Sesekali terdengar tarikan napasnya yang  berat yang kemudian dihembuskannya dengan sekali hentakan  hhhh…
Hembusan angin dingin yang menyelusup melalui ventilasi jendela kamarnya tak  membuatnya segera terlelap. Nyanyian hewan-hewan malam yang sedari dulu selalu menemani saat istirahatnya tak pula dihiraukannya. Puncak Gunung yang selalu dinikmatinya lewat celah kecil tirai kamarnya, kini terlihat angkuh dengan senyum mencibir.
Cairan hangat  mengalir perlahan dari sudut luar  kelopak matanya. Aliran yang bergerak melintasi sisi wajah dan menyentuh cuping telinganya. Aliran itu semakin lama semakin deras dan membasahi bantal yang menyangga kepalanya. 
“Apa yang telah aku lakukan? Mengapa aku membiarkan semuanya terjadi?” Dia terus membatin, menyesali bahkan merutuki semua kebodohan yang telah dilakukannya.
Saat ini  seharusnya senyum bahagia yang mengembang di wajahnya. Sekitar sebulan yang lalu Nanto melamarnya. Lamaran yang dilakukan dengan cara sederhana saja. Dilakukan saat berbincang di teras rumah, tanpa setangkai mawar merah apalagi sebentuk cicin bermahkotakan permata. Nanto melamarnya hanya dengan sebuah pertanyaan “Kamu setuju kalau kita menikah bulan depan?”
Sari tentunya sangat bahagia dengan pertanyaan itu, tanpa memberi jeda dia langsung mengangguk menyetujui. Usia Sari  sudah tidak muda lagi. 35 tahun. Menerima pinangan tentu hal yang sudah sangat lama didambakannya. Sari sangat bahagia dibuatnya.
Bahagia itu ternyata tidak berlangsung lama. Sebuah pesan singkat datang ke kotak masuk ponselnya jelang istirahat malamnya.
“Sari, apa benar kamu sudah pernah melakukannya dengan Aldo?” pesan   itu datang dari sahabatnya, Nissa.
“Maksud kamu?” Sari tak paham.
“Aldo mengatakan kepada beberapa orang di kantor, kamu tidak mungkin menikah dengan orang lain, kecuali dengannya”
Bagai mendengar suara ledakan keras tepat di sisi telinganya sehingga menghentikan aliran darah di sekujur tubuhnya,  Sari terpana dengan wajah memucat. Beberapa saat  dia terdiam mematung tanpa tahu harus berkata apa.
“Aldo itu setres. dia tidak rela jika aku menikah dengan orang lain”  Sari menemukan jawaban yang tiba-tiba saja melintas di benaknya, setelah Nissa mendesaknya.
“Aku juga menduga begitu, aku percaya padamu. Mana mungkin sahabatku Sari akan berbuat serendah itu”  jawaban Nissa membuat Sari  dapat bernapas lega. Bagaimanapun juga dia takut  Nissa akan mengakhiri persahabatan mereka jika dia mengetahui bagaimana kelakuannya di belakang Nissa.
Persahabatan Sari dan Nissa sudah berlangsung sangat lama, sejak mereka sama-sama kuliah di sebuah perguruan tinggi terbesar di Banten. Mereka belajar di fakultas yang sama, bahkan duduk di kelas yang sama. Saat ini mereka bahkan bekerja di perusahaan yang sama. Sari dan Nissa selalu berbagi tentang bahagia maupun masalah-masalah yang mereka hadapi.
Rasa tenang yang dirasakan Sari ternyata tidak berlangsung lama. Setelah dia mulai serius mempersiapkan pernikahannya dengan Nanto, hari ini lagi-lagi Nissa menanyainya perihal sesuatu yang membuat dadanya nyeri. Sesuatu yang menurut akalnya tak mungkin dilakukan oleh Aldo, ternyata Aldo dengan tega telah melakukannya..
“Sari, apa benar kamu dan Aldo pernah punya video…?” belum tuntas pertanyaan itu diucapkan Nissa, tetapi Sari sudah sangat mengerti arah pertanyaan Nissa. Kali ini jantungnya benar-benar  berhenti bekerja bahkan otaknya pun tiba-tiba  membeku. Dia kehilangan semua kosa kata yang diperlukan untuk membuat alasan yang paling masuk akal dan bisa diterima oleh Nissa.
 @@@
Sari mengenal Aldo sudah cukup lama sejak dia dan Nissa diterima bekerja di perusahaan tempatnya bekerja saat ini.  Ada yang menarik perhatian Sari pada diri Aldo. Wajahnya yang simpatik, tetapi menyimpan misteri, begitu yang dirasakan oleh Sari. Dia  selalu datang ke kantor dengan wajah lusuh, sorot matanya menyiratkan ketidakbahagiaan. Sari tertarik untuk tahu lebih jauh mengenai Aldo.
Perhatian-perhatian kecil yang ditunjukkan Sari berhasil membuat Aldo mempercayainya. Entah bagaimana mulanya kemudian Aldo menjadikan Sari sebagai teman tempatnya  mencurahkan segala masalah yang tengah dihadapinya. Melalui cerita-cerita yang hampir setiap hari meluncur dari mulut Aldo, Sari jadi mengerti apa yang sebenarnya tengah dialami oleh Aldo dan itu membuat Sari semakin bersimpati kepadanya.
Dari cerita-cerita Aldo, Sari jadi tahu kondisi rumah tangga Aldo yang tidak bahagia dan   sedang berada di ujung tanduk.  Ketidakmampuan Aldo memenuhi tuntutan-tuntutan hidup mewah istrinyalah yang menjadi pemicunya. Bermula dari rasa simpatik terhadap kondisi yang tengah dihadapi Aldo, kedekatan Sari dengan Aldo akhirnya berubah menjadi sebuah ketertarikan dan keterikatan. Sari membiarkan dirinya menjadi penghibur bagi Aldo. Melakukan semuanya untuk Aldo. Tak ada lagi jarak di antara mereka.
Perhatian dan selanjutnya berkembang  menjadi rasa cinta yang ditunjukkan oleh Sari  untuk Aldo telah mengubah diri Aldo. Hidupnya menjadi lebih bergairah. Tak ada lagi Aldo yang lusuh atau Aldo yang selalu datang terlambat dengan wajah murung. Mereka berdua menjalani semuanya dengan rasa bahagia. Hanya Nissa yang merasa cemas dengan keadaan ini…
 “Aldo akan menceraikan istrinya.” ujar Sari kepada Nissa suatu hari.
“Bagaimana dengan anak-anaknya?”  selidik Nissa.
“Aku akan mengasuh mereka” jawab Sari dengan yakin
“Kamu yakin? Mamanya mengijinkan?” Nissa masih khawatir, sedangkan Sari hanya tersenyum dan mengangguk.
Keyakinan Sari untuk menjadi pendamping Aldo dan menjadi ibu bagi anak-anaknya ternyata tak sesederhana yang ada di pikirannya. Semua berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan saat istri Aldo mulai mencium bahaya yang mengancam biduk rumah tangganya.  Sari menjadi pelampiasan kemarahannya. Yang lebih melukai hati Sari, Aldo sama sekali tak membelanya. Aldo bahkan ikut melimpahkan semua kesalahan kepadanya.
Sari menyerah. Dia mundur teratur. Dengan susah payah dia berusaha menyembuhkan segala  perih karena luka di hatinya. Dia berusaha keras melupaka berapa banyak yang telah dia korbankan bagi Aldo, bukan saja materi  juga jiwa raganya.
Terseok, tertatih bahkan berkali-kali dia tersuruk saat mencoba untuk bangkit dan melupakan semua kesakitan yang dirasakannya. Butuh waktu yang cukup lama hingga dia akhirnya mampu menerima kehadiran sosok lain. Nanto.
Nanto datang dalam kehidupannya, setelah diperkenalkan oleh Tante Wiwit, adik ayahnya. Nanto tidak terlalu tampan, tidak juga jelek. Biasa saja, begitu kata orang-orang. Nanto bekerja di sebuah lembaga pendidikan. Usianya hanya lebih tua dua tahun dari Sari, Dia pernah menikah tetapi dua tahun yang lalu istrinya meninggal karena kecelakaan. Nanto memiliki seorang putri yang baru berusia tiga tahun. Nanto ingin mencari pendamping sekaligus ibu bagi putri kecilnya.
“Aku bukan laki-laki kaya yang  menawarkan kemewahan. Aku hanya laki-laki biasa yang punya keinginan membina sebuah keluarga. Aku berharap dan akan berusaha menjadikan keluargaku surga bagiku, bagi istri dan anak-anakku.” kata-kata ini sangat menyentuh hati Sari dan berhasil meyakinkannya untuk membuka diri menerima kehadiran Nanto.
Semakin hari Sari semakin yakin telah menemukan laki-laki yang sangat pantas untuk dijadikannya tumpuan dan pengharapan. Laki-laki yang akan melindunginya saat dia butuh perlindungan. Yang akan menggenggam tangannya ketika dia mendambakan cinta dan kehangatan.
@@@
Hari ini Aldo telah merampas semua mimpi-mimpi Sari. Semua harapan Sari untuk hidup bahagia bersama Nanto telah dihempaskannya sehingga hancur menjadi kepingan-kepingan tajam yang melukai.
Sari mungkin terlalu naïf untuk semua kecurangan Aldo. Tak ada masalah yang terlalu berarti antara Aldo dan istrinya. Aldo hanya memanfaatkannya untuk kebutuhan dirinya sendiri. Sari bahkan   tak  mencegah saat  Aldo merekam semua perbuatan terkutuk yang pernah mereka lakukan.
“Untuk kenang-kenangan” itu alasan Aldo saat Sari mempertanyakannya. Setelah itu Sari hanya tinggal  sosok tanpa daya. Dengan mudahnya dia akan menguras tabungan  hanya untuk mendanai hobi aeromodeling Aldo, yang tentunya cukup mahal. Sari juga selalu datang kepelukan Aldo setiap kali Aldo menginginkannya. Bahkan Sari juga harus ikut membiayai kebutuhan sekolah anak-anak Aldo. Telinga Sari juga menjadi tertutup dari setiap upaya Nissa mengingatkannya.  Sari terlalu yakin suatu saat nanti Aldo akan menikahinya. Harapan yang tak  pernah terwujud.
“Tunggulah dulu, waktunya belum tepat” selalu itu yang menjadi alasannya, setiap kali Sari mengingatkannya.
@@@
Butir bening itu masih turun dengan deras. Hatinya hampa. Dunianya gelap. Seribu makian menggumpal dan menjelma menjadi dendam. Wajah Aldo yang berkelebat-kelebat melintasi otaknya seperti bara panas yang siap membakar seluruh kehidupannya.
Sari tiba-tiba bangkit menghampiri meja kecil yang terletak di sisi pembaringannya. Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas meja itu. Sari menyentuh beberapa karakter pada layar ponsel yang berada di tangannya.
“Nissa, aku ingin membunuh Aldo” sms dikirmkannya untuk sahabatnya Nissa.
“Sari, jangan main-main. Kamu bisa dipenjara”
“Aku tidak peduli. Dia sudah menghancurkan hidupku”
“Kamu tidak boleh melakukannya, Sari. Masih banyak kesempatan di hadapan kamu”
“Semua sudah tertutup, Nissa. Aku harus melakukannya.”
Sari meletakkan kembali ponselnya di atas meja kecil itu. Matanya tiba-tiba berubah menjadi liar saat melihat benda putih berkilat tergeletak dalam laci meja yang terbuka. Sari tersenyum menyeringai. Sebuah senyuman yang sulit untuk dipahami…
@@@
Tok tok tok suara ketukan halus di pintu kamar  menyadarkan Sari dari lamunannya. Sudah hampir satu jam dia duduk kaku di sisi pebaringannya itu. Sari hanya melirik sekilas ke arah pintu tanpa berusaha untuk bangkit atau melakukan apapun.
“Sari, buka dong!”suara Nissa di balik pintu. Sari masih tak peduli.
Nissa yang berada di luar kamar kembali mengetuk  pintu kamar Sari, masih juga tak ada reaksi. Nissa menjadi panik. Dia berlari menuju dapur dan mencari-cari sesuatu. Bi Mimin yang tengah sibuk di dapur melihat dengan tatapan  bingung.
“Bi, mana, Bi? Mana?”  pertanyaan Nissa membuat Bi Mimin makin bingung.
“Neng Nissa mencari apa?” tanyanya kemudian
“Apa aja, Bi! Palu atau apalah”
“Buat apa, Neng Nissa?” Bi Nah agak berteriak. Nissa tersadar sudah membuat Bi Mimin kebingungan.
“Saya mau membongkar kamar Sari. Saya khawatir terjadi sesuatu sama dia”
“Pake kunci kamar tamu aja, Neng. Neng Sari juga suka pake kunci itu kalau lupa nyimpen kunci kamarnya”
“Iya, iya Bi. Bawa sini kunci kamar tamunya”
Setengah berlari, Bi Min  menuju kamar tamu yang bersebelahan dengan kamar Sari. Nissa mengikutinya dari belakang. Nissa langsung menyambar kunci itu dari tangan Bi Nah dan tergesa menuju kamar Sari. Masih dengan gugup Nissa berhasil membuka pintu itu.
Kamar Sari terbuka. Sari masih duduk di sisi pembaringannya dengan tatapan kosong. Pisau kecil berkilau-kilau kini berada di tangan  kanannya.
 “Sari, sabar… Kamu tidak boleh seperti ini” Nissa mendekati Sari dengan hati-hati. Sari tidak bereaksi. Rasa ngeri menghantui pikiran Nissa, tapi dia tetap mendekat dan meminta Sari melepaskan pisau yang berada dalam genggamannya.
Sari menatap Nissa dengan tatapan tajam. Nissa bergidig. Dia tak menemukan kelembutan  sahabatnya Sari. Yang ada di hadapannya kini seolah sosok asing yang siap menerkam. Di tengah rasa ngeri yang dirasakannya Nissa terus berusaha menenangkan Sari hingga kemudian genggaman itu melemah dan pisau yang ada ditangannya terjatuh. Bi Mimin cepat-cepat memungut pisau itu dan menyembunyikannya.
Nissa memeluk Sari. Penderitaan Sari membuat air matanya  deras mengalir. Sari masih tak bergerak, tetapi mulutnya terus mengulang kata-kata yang sama hingga bertahun-tahun  kemudian…
“Aku akan membunuhnya! Aku akan membunuhnya! Aku akan membunuhnya!”
               
 

Senin, 18 November 2013

Takdir Kita


    “Aku putus sama Lia” ucapan itu yang pertama kudengar dari mulut Wisnu ketika dia menghampiriku di kantin kampus lalu duduk di sebelahku.
    “Oh” Hanya itu jawabanku atas kabar yang dibawanya. Wisnu putus dengan pacarnya bukanlah berita istimewa. Baginya berpacaran bisa lebih dari enam  bulan saja sudah merupakan prestasi.
     “Kok tanggapan kamu cuma gitu, sih?” Wisnu memprotes sikapku tapi aku hanya mengangkat kedua bahuku sedangkan jemariku tetap asik memainkan sendok es buah yang ada di hadapanku.
    “Terus aku harus bilang apa? Berita seperti ini kan sudah terlalu biasa.”
    “Setidaknya kamu Tanya kek, kenapa aku putus? Kapan putusnya? Atau apalah? Kalau kamu banyak tanya aku kan bisa cerita sebanyak-banyaknya ke kamu.”  ujarnya lagi sambil bangkit mendekati  kulkas yang ada di belakangnya. Wisnu kembali dengan sebotol minuman dingin di tangannya.
   “Oh, gitu, ya? Kalau kamu mau cerita, ya cerita aja. Kamu kan tahu, aku pasti akan duduk di sini sampai ceritamu habis.”
   “Kamu gak ikhlas.” Sekarang dia sudah kembali duduk di kursi tempatnya semula. Tepat di hadapanku. Suaranya seperti sebuah keluhan.
   “Terserah kamu deh. Kalau kamu gak mau cerita, sekarang aku mau ke perpustakaan. Kamu mau ikut?” aku langsung bangkit dan berjalan meninggalkannya.
   
   Wisnu adalah sahabatku sejak kami masih sama-sama duduk di SMP.  Ketika SMA kami sempat berpisah. Kakakku yang paling sulung memintaku untuk tinggal bersamanya di kota yang berbeda. Kakakku juga menjanjikan akan menanggung seluruh biaya pendidikkanku.   Demi meringankan beban keluarga, aku menyetujui tawarannya.

    Kakakku memang menepati janjinya. Bahkan sampai sekarang.  Aku bisa terus kuliah sampai  duduk di semester V pada sebuah  perguruan tinggi swasta, itu karena kebaikannya . Aku di sini belajar ilmu Pendidikkan.

    Di kampus ini aku bertemu lagi dengan Wisnu.  Dia kuliah di Fakultas yang berbeda. Wisnu memilih program studi  Ilmu Akuntansi. Sepertinya dia ingin mengembangkan bisnis kayu yang dikelola ayahnya.
    “Arin, tunggu dong !” Wisnu berusaha mengejarku. Nafasnya terengah saat berjalan di sisiku.Berdua kami berjalan menyusuri koridor untuk menuju ke perpustakaan.

    Wisnu tidak menyadari betapa saat-saat seperti ini selalu membuatku bahagia. Ada keinginan kuat di hatiku untuk tidak menjadikan Wisnu sekadar sahabat. Hatiku menuntut lebih dari itu. Hanya saja  itu  sangat mustahil. Wisnu selalu berhasil memikat perhatian gadis-gadis cantik, sejak dulu ketika kami masih SMP sampai sekarang. Sedangkan aku? Aku hanya gadis biasa. Terlahir dari keluarga sederhana. Aku tidak pandai berdandan sehingga keseharianku sangat apa adanya. Aku hanya pantas jadi tempat Wisnu melepaskan segala unek-uneknya. Mungkin ini saja sudah cukup bagiku.
     “Kamu kenapa sih putus sama Lia? Perasaan… kamu baru pacaran seminggu deh”  pertanyaan itu begitu saja meluncur dari mulutku. Wisnu menoleh sambil mendelik ke arahku.
     “Enak aja seminggu. Aku pacaran sama Lia sudah dua bulan”
     “Oh udah dua bulan? lama juga, ya. Kalau sama Vina, berapa hari?” aku mencoba menggodanya.
     “Arin, maksud kamu apa sih?”  Wisnu mulai terpancing dengan ledekanku.
     “Enggak ada maksud apa-apa kok. Aku hanya heran aja. Kamu tuh gampang amat jatuh cinta tapi gampang juga putusnya.”
     “Merekanya aja nyebelin.” Wisnu semakin sewot.
     “Wisnu..Wisnu… Yang gonta-ganti pacar itu kamu, jadi masalahnya di diri kamu. Kok nyalahin mereka sih.” Aku mencoba meluruskan cara berpikirnya. Menurutku Wisnu terlalu mudah bilang cinta. Setelah menyadari wanita itu tidak cocok dengan yang dia mau, langsung putus. Mendengar ucapanku, Wisnu kembali protes lewat tatapan matanya yang melotot.
     Tanpa terasa kami sudah sampai di depan pintu perpustakaan. Sudah waktunya untuk diam kalau tidak mau di pelototin orang seperpus.
@@@
     “Arin, sekali-sekali kamu cerita dong tentang pacar kamu yang di Kalimantan itu.” Pertanyaan yang tidak aku inginkan itu terlontar dari mulut Wisnu.
    
      Selama ini Wisnu hanya tahu kalau aku mempunyai pacar yang tinggal di Kalimantan. Kami pacaran sejak di SMA tetapi kemudian kami terpaksa menjalani cinta jarak jauh karena dia ikut keluarganya pindah ke Kalimantan. Itu yang diketahui oleh Wisnu sebagaimana yang pernah aku ceritakan kepadanya.
    
      Wisnu tidak pernah tahu bagaimana sulitnya aku membuat cerita seperti itu. Edo, itu namanya. Nama yang muncul begitu saja di benakku saat Wisnu menanyakan siapa pacarku. Edo hanyalah tokoh semu. Tak pernah ada pacar SMA, tak pernah ada cinta jarak jauh.
     
      Aku hanya perempuan sederhana yang telah jatuh cinta kepada sahabat masa kecilku. Aku tak memiliki keberanian yang cukup untuk mengungkapkannya. Keadaan kami terlalu berbeda. Aku tak ingin benar-benar kehilangannya, hanya karena perasaanku yang tidak semestinya ini.
    
      “Arin! Nglamunin apa sih? Kamu inget pacar kamu itu ya? Makanya curhat sama aku.” Wisnu  melipat kedua tangannya di depan dada lalu meletakkannya di atas meja tepat di depanku. Kepalanya ditegakkan sehingga wajahnya terlihat lucu karena berlagak serius.
“Ngapain curhat sama kamu, kamu aja cintanya kacau balau gitu.” Aku berusaha mengelak.
    
    Sore itu, seperti banyak hari yang lainnya kami habiskan bersama. Tidak kemana-mana hanya di teras rumahku. Inilah satu bentuk bahagiaku.
@@@
     Wisnu baru saja pulang. Aku bermaksud melangkahkan kakiku ke dalam rumah  saat  mataku tertuju pada sebuah benda kecil yang tergeletak di lantai tepat di bawah kursi yang tadi diduduki oleh Wisnu.

     Aku memungut benda kecil itu, sebuah cincin perak dengan hiasan batu safir berwarna biru. Wisnu selalu mengenakan cincin ini. Cincin ini milik ibunya, begitu katanya saat dulu kutanya. Aku kemudian membawa cincin itu ke kamarku dan meletakkannya di dalam kotak peralatan tulisku.  Aku akan mengembalikannya besok di kampus.
@@@
     Sudah pukul tujuh pagi, tergesa aku meninggalkan rumah. Hari ini ada kuis mata kuliah Psikolinguistik. Tadi malam aku sudah belajar dan mempersiapkan semuanya dengan matang. Aku tak ingin gagal mengikuti kuis gara-gara terlambat. Walau nyaris lupa, cincin itu akhirnya masuk juga ke dalam dompetku.
     Bis kota yang aku tumpangi sudah penuh sesak tetapi kondektur masih saja berusaha menaikkan penumpang. Tuntutan hidup memang  telah memaksa orang menjadi pribadi-pribadi egois.  Masih beruntung saat naik tadi aku langsung ditawari tempat duduk oleh seorang ibu yang sudah mau turun sehingga aku tidak perlu berdiri berdesak-desakkan.
    
     Drrrrrrrt  drrrrrrtt drrrrrrrt.. Ponselku bergetar. Aku segera mengeluarkan ponselku itu dari  tas yang ada di pangkuanku.
    
     Tubuhku tiba-tiba limbung, jika bukan tengah berada di dalam bis mungkin aku sudah menjerit sekeras-kerasnya. Aku terus berusaha bertahan. Paling tidak aku harus sampai di rumah sakit tempat Wisnu sekarang berada.
     
     Aku berlari sekencang yang aku mampu. Bayangan wajah Wisnu yang kemarin sore masih menghabiskan sisa sore bersamaku terus melintas-lintas di benakku.

     Aku sampai di ruang UGD dengan nafas tersenggal.  Di sana kawan-kawan satu kosannya telah berkumpul juga beberapa teman kuliahnya. Salah seorang dari mereka menghampiriku.

     “Rin, kamu harus ikhlas. Kita semua kehilangan dia.”
Kali ini aku sudah tak mampu lagi menahan bobot tubuhku. Aku terkulai dan tak tahu lagi apa yang terjadi.
@@@

       Sudah tiga hari meninggalnya Wisnu. Aku sengaja ikut  pulang kampung untuk mengantarkannya ke peristirahatan  yang terakhir.  Kepergian Wisnu benar-benar telah membuatku merasa sangat berduka. Hingga hari ini aku masih enggan untuk kembali ke kampus. Terlalu banyak kenangan yang akan menyakiti perasaanku.
      “Kapan mau ke Jakarta lagi, Rin?” Ibu menghampiriku dan ikut duduk di dekatku.
      “Belum tahu, Bu.”
      “Rin, kehidupan dan kematian itu sudah ada ketetapannya. Kamu harus ikhlas. Ibu tahu kalian berdua sangat dekat. Tapi itulah ketetapan yang dibuat olehNya.”
Ibu mengusap lenganku. Air mataku menetes. Tiba-tiba mataku tertuju pada cincin yang berada di jemari ibu. Aku kembali teringat cincin Wisnu yang berada di kotak pinsilku. Sontak aku bergerak ke kamar mengambil kotak pinsil yang ada di dalam tasku.
     
     Cincin itu kembali  berada di tanganku. Air mataku semakin deras. Entah dorongan apa yang membuat aku mendekatkan cincin itu ke mataku. Aku melihat ke bagian dalam cincin itu. Dua buah huruf tercetak berdampingan di sana. Pada bagian sisi-sisinya tercetak pula gambar hati.

     “WA” itulah huruf  yang tertera.  Sesuai dengan namanya ‘Wisnu Anggara’.  Setelah  berpamitani kepada ibu, aku menuju  ke rumah Wisnu. Aku akan menyerahkan cincin ini kepada ibunya. Cincin ini milik ibunya.

     Suasana di rumah Wisnu masih diliputi duka. Beberapa orang pelayat terlihat sedang mendengarkan penuturan ibunya tentang kecelakaan yang dialami oleh Wisnu.
     “Arin, ayo ke sini.” Ibu Wisnu menyuruhku masuk. Aku memang sudah sangat dekat dengan seluruh keluarganya. Aku menghampiri mereka dan bergabung di situ.
     “Bu, Arin mau menyerahkan ini.” Aku mulai menyampaikan maksudku setelah para pelayat berpamitan.
     “Kok dikembalikan, Rin?  Itu sudah jadi milik kamu.”  Aku sama sekali tak mengerti  maksud ucapan Ibunya Wisnu ini. Melihat wajahku yang kebingungan, Beliau melanjutkan
     “Arin, Cincin itu memang dibeli pake uang ibu tapi sengaja dibeli untuk kamu.” Aku malah semakin bingung dibuatnya.
     “Rin, Wisnu yang bilang pada ibu, dia ingin memberimu sebuah cincin. Dia ingin kamu tahu kalau dia sangat sayang sama kamu. Coba kamu lihat nama yang tertera di sana       ‘Wisnu Arin’. Bukan ‘Anggara Wisnu’ .”
     “Tapi, Bu…? Bukankah…”  Aku tergagap. Aku baru tersadar, namanya bukan Wisnu Anggara tetapi Anggara Wisnu.
     “Wisnu mencintai kamu, Rin. Itu sebabnya dia tak pernah bisa serius mencintai gadis lain.”

     Aku tidak tahu perasaan apa yang sebenarnya tengah menguasai  hatiku. Semuanya seperti  mimpi yang membawaku melambung tinggi  kemudian  terpelanting lalu  terjatuh dan tergeletak entah dimana.

Kita

Bukan bait-bait indah
Karena aku tak pandai memilih dan memilah kata
Bukan pula lantunan syahdu
dalam dendang sebuah lagu

Ini hanya kumpulan kata-kata
Tersusun begitu saja
Hanya karena aku ingin berbagi bahagia
Hanya denganmu saja

Walau kita pernah saling menyakiti
tapi  tak pernah saling benci
Selalu ada kata maaf untuk setiap salah
Selalu terurai setiap yang terlanjur kusut

Aku, Engkau adalah  kita..
yang kemudian menjelma Menjadi kumpulan rasa
Perihnya luka, duka…
Indahnya senyum, bahagia…
Kecewa, nelangsa dan segala rasa
Datang silih berganti
Semua tak apa, karena aku, engkau, kita
Telah siap taklukan masa
Dan nikmati setiap rasa dalam aroma apa saja

Minggu, 13 Oktober 2013

Mas, Aku Mencintaimu







Dadaku tiba-tiba sesak. Rasa nyeri  yang menyertai membuatku marasa  rapuh.  Aku ingin menolak untuk mempercayai tetapi mustahil. Ini nyata, tetapi aku tidak ingin  menerimanya.
Sore tadi, entah untuk yang keberapa kali, adikku Siska menyampaikan kecurigaannya. Dia curiga pada Mas Heru, suamiku. Dia curiga Mas Heru berselingkuh dengan salah seorang teman kuliahnya.
Siska memang sering mengajak teman kuliahnya main ke rumahku,  salah satunya Nindia. Gadis inilah yang dicurigai berselingkuh dengan Mas Heru. Menurut Siska, dia sering memergoki Nindia turun dari mobil Mas Heru. Nindia selalu berdalih kepada Siska, mengatakan bahwa dia tak sengaja bertemu Mas Heru. Alasan yang masuk akal karena rumah Nindia dan kampus berada di antara rumah kami dan kantor Mas Heru.
Siska tidak mempercayai alasan Nindia begitu saja. Dengan berbagai cara Siska berusaha menemukan bukti atas kecurigaanya. Siska juga semakin ngotot menemukan bukti karena aku tetap saja acuh dan tidak pernah mempercayai semua ucapannya.
Berbeda dengan hari ini. Siska datang dengan sebuah foto yang menunjukkan betapa mesranya hubungan Mas Heru dengan Nindia. Nindia berjalan di sisi Mas Heru, lengannya bergayut  ke lengan kiri Mas Heru. Foto itu berlatar belakang poster-poster film. Aku bisa menyimpulkan mereka sedang berada di depan bioskop. Mereka pasti sengaja bertemu di tempat itu.
Aku tidak bisa lagi mengabaikan kabar yang dibawa Siska. Aku mulai menyesal karena selama ini tidak mempercayainya. Aku bahkan merasa sudah terlambat untuk menghentikan semua ini.
“Mbak sih, aku kan sudah beberapa kali bilang sama Mbak tapi Mbak tidak pernah percaya,” Siska menyesali sikapku.
“Bagaimana Mbak bisa percaya, sikap Mas Heru tidak berubah sama sekali. Dia tetap sarapan di rumah, makan malam di rumah, semua masih seperti  dulu,” aku berusaha membela diri.
“Kenyataanya?” Siska melanjutkan. Nada suaranya sinis. Hatiku semakin perih.
@@@
Siska baru saja pulang ke rumah orang tuaku.  Kedua anakku juga sudah tertidur pulas. Mas Heru belum pulang. Ini bukan hal luar biasa. Jakarta yang selalu macet kadang-kadang membuat Mas Heru terlambat sampai di rumah. Berbeda dengan biasanya, Kali  ini dadaku terasa sesak. Yang muncul di pikiranku adalah kemesraan Mas Heru dan Nindia. Bahkan hal-hal yang lebih buruk dari itu memenuhi otakku. Yang bisa aku lakukan  hanya menyesali semua ketololanku, yang terlalu mempercayai Mas Heru, dalam bentuk tangis yang mungkin sudah tidak berguna lagi.
Pukul Sembilan lewat.  Suara pagar garasi yang bergeser dan deru mobil Mas Heru menuju garasi menyadarkanku tentang sesuatu yang harus aku hadapi. Sedari tadi aku hanya bisa menyesali semuanya. Meratapi nasibku yang dihianati. Aku belum berpikir sedikitpun  bagaimana seharusnya  menghadapi semua ini.
Aku tak ingin Mas Heru melihat air mataku. Aku segera mengenakan pakaian tidurku dan bersembunyi di balik selimut. Untuk sementara hanya ini yang  aku lakukan.
“Ma?” Mas Heru menyentuh bahuku, aku tak bereaksi. Mas Heru tidak segera meninggalkan kamar, beberapa kali dia mencoba membangunkanku lagi dan aku tetap tak bereaksi. Entah karena bosan atau merasa tak berguna, Mas Heru kemudian melangkah meninggalkan kamar.  Aku lega? Entahlah.
Sudah hampir pukul sebelas malam, Mas Heru belum kembali ke kamar. Tiba-tiba kecemasan kembali menyergap. Apa yang sedang dilakukannya? Diam-diam aku melangkah ke luar kamar  dan  menemukan Mas Heru  tengah asyik menelepon. Saat melihatku dia terlihat gugup tepatnya panik. Tiba-tiba saja dia mengakhiri percakapannya.
“Sedang menelepon siapa, Mas?” aku berusaha tetap tenang walaupun gemuruh di dadaku sudah sangat menyiksaku.
“Oh, itu…itu…teman kantor," ujarnya sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana.
“Oh," Kebekuan tiba-tiba saja tercipta. Usahaku menahan diri  dari desakan kemarahan yang sudah berada di ujung kepala justru menciptakan kebekuan.
“Mas, kita perlu bicara serius.”   Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulutku.
“Wah tumben nih, si Mama. Ada apa?” Mas Heru menanggapi dengan ringan.
“Aku hanya ingin Mas menjawab dengan jujur setiap pertanyaanku.”  Aku tatap wajahnya untuk melihat reaksinya. Mas Heru mulai terpengaruh dengan cara bicaraku.
“Apakah Mas masih mencintaiku?”
“Hei, kok pertanyaannya aneh? Memangnya ada apa, Ma?”
“Mas jawab saja pertanyaanku.”
“Oke, oke… aku masih dan akan terus mencintaimu” Mas Heru menjawab dengan ekspresi lucu tetapi wajah lucunya justru membuat aku sangat sebal.
“Pernahkah Mas menghianati cinta kita?”  walaupun semula aku ingin menunda pertanyaan ini tetapi nyatanya aku sendiri semakin tak tahan dibuatnya.
Mas Heru tidak segera menjawab. Dia hanya menatapku dengan tatapan tajam.
“Mengapa diam, Mas? Apakah itu berarti pernah?” desakku.
“Apakah ini interogasi?” Aku merasa Mas Heru sedang menghindar dari keharusan menjawab tanyaku.
“Hanya ingin meyakinkan hatiku tentang kesetiaanmu,” aku menjawab dengan ketenangan yang entah datang dari mana.
“Ma, terus teranglah, Kemana arah percakapan kita ini?” Mas Heru mulai terlihat gelisah. Dia berdiri lalu duduk kembali di kursi yang lain dengan wajah bingung.
“Mas. Aku sudah tahu semuanya. Sekarang aku ingin menemukan jawaban yang pasti darimu. Aku tidak ingin salah dan gegabah dalam mengambil keputusan.”
“Ma, apa maksudmu?” Mas Heru kembali berkelit.
“Mas, jika engkau masih mencintaiku, maka perlu kamu tahu, aku tak ingin ada perempuan lain di hatimu. Jika kau menyimpan perempuan lain di hatimu, maka izinkan aku meninggalkanmu”  Begitu lancar aku mengucapkan hal itu.
“Ma, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku juga ingin bertanya kepadamu. Apakah kau masih mencintaiku?” Mas Heru makin terlihat konyol dengan pertanyaannya itu.
“Apakah itu masih berarti untukmu?” aku balik bertanya.
“Ya, jawablah dengan jujur.” tegasnya lagi.
“Aku akan mencintai suamiku dengan sepenuh hatiku, selama dia juga mencintaiku dengan tulus dan jujur tetapi ketika cinta itu dihianati maka cintaku akan menguap tanpa bekas,” suaraku mulai bergetar menahan tangis.
“Seberapa besar kau ingin mempertahankan cintamu itu, Ma? Cinta itu juga butuh dipertahankan. Sikap angkuhmu dalam mencintai juga dapat  membuat cintamu lari. Cintamu juga butuh dihargai. Jika kamu hanya bersikap pasif dalam mencintai, cintamu akan menduga kau tak lagi mencintainya.” Mas Heru kali ini sangat tegas. Kini aku yang bingung  mencerna kalimat-kalimatnya .
“Aku tak mengerti apa yang kau katakan, Mas”  ujarku kemudian.
“Ma, selama ini kau telah membuat aku ragu. Kau tak pernah bertanya apa saja yang telah aku lakukan di luar sana. Peristiwa apa saja yang aku alami selama satu hari aku tanpamu. Kau terlalu dalam menyembunyikan isi hatimu. Kau tak pernah menunjukkan kepadaku sebesar apa kamu mencintaiku.”
“Aku melakukan semua yang menjadi kewajibanku sebagai seorang istri.  Aku mengurus keluarga, aku mengurus anak-anak, tidakkah itu cukup buatmu?” suaraku kali ini agak keras. Aku merasa Mas Heru tengah berdalih mencari pembenaran atas dosa-dosanya.
“Aku butuh lebih dari itu, Ma” Mas Heru memegang kedua bahuku, matanya  lurus menatap wajahku.
“Itukah yang membuatmu berselingkuh dengan Nindia?”  Aku sudah tak mampu lagi menahan diri. Kutepiskan lengan Mas Heru yang masih berada di atas bahuku. Air mata kini tak lagi mampu kubendung kudekapkan kedua telapak tanganku ke wajah. Cukup lama aku dalam kondisi seperti itu.
“Kak” Entah kapan masuknya, Siska sudah berada di hadapanku.
“Kak, maaf. Semua yang Siska ucapkan selama ini, semuanya bohong.” Siska memelukku.
“Apa maksudmu?” Kulirik Mas Heru yang tengah tersenyum penuh kemenangan.
“Aku yang meminta Siska melakukan kebohongan itu.” Masih dengan senyum konyolnya, Mas Heru menjelaskan.
“Mas Heru bilang sama Siska, dia tidak yakin Mbak mencintainya karena sikap Mbak sangat acuh,  Mbak juga tidak pernah terpengaruh kalau Mas Heru bercerita tentang teman-teman perempuannya. Kami berdua hanya ingin membuktikan itu.” Penjelasan Siska yang singkat ini  membuat aku tercenung.
Pernikahanku dengan Mas Heru memang berbeda dengan pernikahan-pernikahan normal lainnya. Kami menikah untuk menyambung tali persahabatan kedua orang tua. Tepatnya kami menikah karena dijodohkan oleh orang tua.
Mulanya aku sempat menolak perjodohan itu. Apalagi aku hanya melihat wajah Mas Heru dari foto  yang dikirim melalui wa.  Kalau akhirnya aku setuju itu karena aku tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku.
Seiring berjalannya waktu, aku jatuh cinta kepada suamiku sendiri. Aku jatuh cinta karena dia lelaki yang sangat sesuai dengan sosok ideal seorang suami yang ada di benakku. Mas Heru lelaki yang patut untuk aku cintai. Tetapi sepertinya  aku bukan perempuan yang pandai menunjukkan rasa cinta itu.
“Kalian jahat.” Umpatku meski hatiku kini sudah lega.




Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....