Senin, 12 Desember 2011

Aku Bukan Anak Durhaka

“Kamu memang anak durhaka.. seharusnya kamu memihak mama, mama kandungmu!!”, sumpah serapah itu meluncur deras tanpa ada jeda dari mulut mama, masih banyak lagi kata-kata makian lain yang mama tujukan kepadaku, telunjuknya menari-nari tepat di depan hidungku, aku hanya mengalihkan pandangku ke sisi lain, menghindari tajamnya tatapan mata mama melalui pupil mataku dan terus menghujam ke dalam jantung dan menyakiti perasaanku. tanpa menjawab sepatah kata pun.
Mataku akhirnya tertambat pada dua ekor anak kucing yang sedang tertidur lelap dalam pangkuan induknya.
Pemandangan seperti ini, ketika seekor induk kucing mendekap erat anak-anaknya yang tertidur lelap, pastinya sesuatu yang sangat biasa, tapi tidak kali ini, tiba-tiba aku memimpikan menjadi anak kucing itu, betapa bahagianya berada dalam pelukan mama yang penuh dengan kasih sayang.
Mamaku??, Dia adalah sosok yang tidak bisa kupahami, di dalam memoriku tidak satupun tertinggal kenangan yang indah antara aku dan mama, selayaknya jalinan kasih antara seorang anak dan mamanya, yang ada di kepalaku hanya hal-hal buruk, yang membuat aku begitu ingin menghindar darinya.
Pagi tadi aku kembali berkunjung ke rumah bunda Rara, teman papa, tepatnya kekasih papa. Di tempat bunda Rara justru aku merasa tentram, Bunda selalu dapat mengerti segala keluh kesahku, tak sekalipun ada kata-kata kasar yang keluar dari mulut bunda, apalagi menyakiti fisikku, tidak ada ketakutan di sana. Sungguh sangat berbeda dengan apa yang aku terima selama ini dari mamaku. Mama kandungku!.
Aku tidak mengerti, apa sebetulnya yang membuat mama begitu membenciku, hingga mama pernah hampir saja membunuhku. Saat itu usiaku baru empat tahun, hampir semua kejadian yang aku alami pada usia itu telah hilang dari ingatanku, tapi tidak peristiwa itu.
La.. bawa ke sini baju kotor itu!” perintah mama kepadaku, saat itu mama sedang mencuci di belakang rumah, ada sumur besar di sana, karena sedang asyik memperhatikan kupu-kupu yang sedang hinggap di sebuah tangkai daun, aku tidak segera melaksanakan perintah mama, tiba-tiba saja mama sudah berdiri di depanku, mengangkat tubuh kecilku, dan…..ah itu sangat mengerikan!!, seandainya saja papa tidak segera datang, dan menarik tubuhku dari tangan mama, maka tubuhku mungkin sudah tenggelam di dalam sumur itu, papa memelukku, mencoba menenangkanku yang menjerit-jerit histeris…hanya bergantung ke tangan mama, tepat di atas lubang sumur yang gelap adalah pengalaman yang tidak akan pernah mampu kuhapuskan dari ingatanku.
Aku tidak mendendam pada mama, tapi aku selalu dibayangi rasa takut bila berada di dekat mama.
Kegilaan mama sebetulnya tidak hanya tertuju kepadaku, tapi juga pada papa. Suatu hari papa harus di rawat di RS karena kepalanya mengalami trauma yang cukup parah akibat di lempar mama dengan benda keras.
“La, kita tidak bisa meninggalkan mama, kita berdo’a saja semoga mama menyadari kesalahannya” jawaban ini, tidak menenangkanku, tapi malah sebaliknya, aku jadi menganggap papa laki-laki lemah, yang tidak melindungi aku sebagai anaknya.
Papa memang tidak meninggalkan mama, tapi papa juga mencari ketenangan di tempat lain, di rumah bunda Rara, tadinya aku juga tidak setuju dengan apa yang dilakukan papa, berselingkuh dengan bunda Rara, janda tanpa anak yang suaminya meninggal setahun yang lalu, tapi akhirnya aku merasakan bahwa bunda Rara adalah dewi cantik yang melindungi dan mengasihi.
“Apa kamu lupa ya, kamu itu anak mama !, mama yang melahiran kamu, mama yang menyusui kamu!!, tapi kenapa kamu justru berakrab-akrab dengan perebut suami orang itu?”
Aku masih saja bungkam, tak perlu menjelaskan apa-apa, karena apapun penjelasan yang akan aku sampaikan, pasti itu akan membuat mama lebih meradang. Tiba-tiba… diantara kata-kata yang tidak lagi dapat kutampung dengan telinga normalku, mama menjambak rambutku, di seretnya aku ke kamar, dan rambut panjang yang aku sayangi ini, dipangkasnya menjadi sangat pendek. Ya sangat pendek, nyaris plontos. Aku tetap diam, aku biarkan mama dengan semua tindakannya, tidak setetespun air mata mengalir dari mataku, hatiku sudah beku…..
“Tuhan maafkan mama” bisikku dalam hati……mama tak perlu tahu itu…….!
Suka

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....