Minggu, 19 Februari 2012

CINTAMU YANG MENGUATKANKU


      Matahari baru saja melepaskan diri dari rengkuhan malam, kabut tipis membuat cahayanya meredup dan terlihat kelelahan, bulir-bulir sisa hujan yang tersangkut di atas dedauan semakin menyempurnakan kemuraman pagi ini.

      Ayudya masih saja tergeletak lesu di atas pembaringan, tak dimilikinya lagi semangat untuk melakukan sesuatu apapun. Matanya merah dan sembab akibat menangis semalaman.
Ayudya adalah gadis yang dibesarkan dalam keluarga yang teramat sempurna, Ayah dan Ibunya telah menjadikannya gadis cantik penuh pesona, Dia tidak saja cantik secara lahiriah tetapi juga memiliki sikap dan prilaku secantik rupanya.
Saat remaja, dia menjadi panutan kawan-kawan sebaya, Dia juga menjadi gadis yang disayangi oleh lingkungan sekitarnya. Sebagai gadis yang lulus kuliah secara cum loud, Ayudya sangat dikagumi sekaligus disegani.
          Kesempurnaan yang dimilikinya sebetulnya tidak membuat hidupnya menjadi mudah tetapi sebaliknya, Ayudya selalu merasa kesepian, tidak ada kekasih yang mengunjunginya di malam minggu karena Ayu tidak memiliki kekasih, tidak ada teman yang menjemputnya untuk sekedar jalan-jalan di mall atau aktivitas-aktivitas lain yang selalu dilakukan gadis-gadis seusianya karena mamanya tidak suka bila dia melakukan hal-hal seperti itu. Terkadang dia ingin memberontak atas keadaan ini, tetapi mama dan papanya selalu berhasil membuat dirinya tidak melakukan pemberontakan itu.
Hingga pada suatu hari,
“Ayudya, coba ke sini…” suara mama yang sangat disayanginya memanggil dari ruang tamu
“Ya.. mam…” Ayudya menyahut seraya menghampiri mamanya, di ruang tamu di dapatinya mamanya sedang bersama dengan seorang wanita yang usianya sepertinya sama dengan usia mamanya juga seorang pemuda tampan dengan penampilan yang elegant.
“Ayudya, ini tante Rina teman mama, ingin berkenalan denganmu, dan ini anak tunggalnya, Rio!” Tante Rina dan Rio serentak berdiri serta mengulurkan tangannya ke arah Ayudya, Ayudyapun menyambut perkenalan itu dengan ramah.
Perkenalan Ayudya dan Rio pada siang itu ternyata tidak berhenti sampai di situ, dengan dukungan mama dan papanya juga tante Rina tentunya, akhirnya Ayudya dan Rio semakin dekat hingga kemudian mereka menikah.
Ayudya memasuki kehidupan perkawinannya dengan hati bersih, tanpa curiga, tanpa prasangka, Dia sangat percaya kepada pilihan ke dua orang tuanya, Dia yakin bahwa mama dan papanya pasti memilihkan laki-laki terbaik untuknya.
Rio memang suami yang baik, Rio sangat perhatian terhadap dirinya bahkan memanjakannya, sebagai suami Dia memang laki-laki sempurna, apalagi sebagai anak tunggal dari seorang penggusaha yang sukses, kehidupan ekonomi merekapun sangat terjamin.
Satu tahun di awal perkawina mereka adalah masa-masa yang sangat indah dan penuh kebahagiaan, hingga tiba-tiba Ayudya merasa ada yang berbeda pada dirinya, perutnya seringkali mual dan kepalanya terasa pusing.Ketika Ayudya menyampaikan hal ini kepada suaminya, Rio malah bersorak-sorak kegirangan sambil memeluk dan menciuminya,
“Istriku hamil, istriku hamil” Rio terus mengulang-ulang kata itu tanpa mempedulikan Ayudya yang kaget dengan responnya itu.
“Mama, Ayudya hamil, aku akan jadi ayah!!” Riopun mengabarkan kegembiraannya itu kepada mamanya
“Mas…sadar mas, aku belum tentu hamil, kok sudah sesumbar gitu sih? Bagaimana kalau aku tidak hamil?” Ayudya mencoba menyadarkan Rio yang terlalu yakin atas dugaannya sendiri itu.
“Ok, kita ke dokter sekarang, kamu pasti hamil!” Rio tetap yakin dengan pikirannya.
“Kita kan bisa memeriksanya sendiri, gak perlu ke dokter dululah, Mas” usul Ayudya
“Ah, tanggung … kita ke dokter saja, ayo ganti bajumu” Rio setengah mendorong tubuh Ayudya ke kamar.
Ruang tunggu klnik bersalin yang mereka datangi sudah dipenuhi banyak pengunjung, ini memang klinik terbaik yang ada di kota tempat mereka tinggal.
Ayudya menunggu dengan gelisah, pikirannya dipenuhi kecemasan, Dia sangat hawatir jika ternyata hasi pemeriksaan nanti tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, sebagai seorang istri, dia seringkali merasa tidak sempurna karena setelah satu tahun usia pernikahan mereka dia belum juga hamil. Ayudya takut bila hal ini membuat Rio meninggalkannya.
Setelah menunggu agak lama, akhirnya perawat memanggil nama Ayudya, Ayudya melangkah dengan berdebar-debar, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya sedangkan Rio melangkah dengan penuh keyakinan dan ini semakin mencemaskan Ayudya.
Usai menjalani pemeriksaan, dokter menuliskan resep untuk Ayudya seraya menjelaskan bahwa Ayudya hanya mual-mual biasa, begitu ringan cara dokter itu menyampaikannya tetapi begitu menyakitkan untuk Ayudya, Dia pun tertunduk lesu, Dia betul-betul kecewa dengan kenyataan ini, ada bulir bening yang tertahan di balik kelopak matanya, diberanikannya menoleh ke arah Rio, Rio lalu menggenggam tangannya seraya berkata “Jangan sedih, belum waktunya” ucapnya dengan ringan, semakin pedih hati Ayudya mendengar ucapan Rio, dia tahu Rio pasti sangat kecewa, tetapi Dia selalu menyembunyikan hal itu dari Ayudya..
Seminggu setelah berkunjung ke kinik, keluhan mual dan sakit kepala Ayudya belum juga reda, mereka berdua memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di praktek Dokter spesialis penyakit dalam.
“Ibu harus menjalani perawatan intensif, saya akan beri rujukan ke RS untuk ibu” itulah keputusan yang mereka terima dari dokter tersebut.
“Istri saya sakit apa dok?”
“Saya belum dapat memastikan, harus dilakukan beberapa tes untuk memastikannya.”, ada yang aneh pikir Ayudya, tapi dia tidak berani bertanya lebih lanjut, nanti saja di Rumah sakit, putusnya kemudian.
Sudah satu minggu Ayudya di rawat di rumah sakit itu, tetapi dari hari kehari, Ayudya merasakan tubuhnya tidak menjadi lebih baik, ditambah lagi hingga saat ini dia tidak tahu secara pasti apa yang dideritanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” sekali-sekali pertanyaan itu dia sampaikan kepada Rio yang begitu telaten mengurus dirinya.
“Tidak apa-apa, kamu hanya butuh istirahat saja” selalu itu jawaban yang disampaikan Rio, bahkan dokter yang merawat dirinya pun mengatakan hal yang sama. Ayudya tidak percaya begitu saja dengan jawaban itu dia yakin ada yang mereka sembunyikan tentang penyakit yang di deritanya.
Setelah lebih dari satu bulan berada di rumah sakit, tanpa tahu apa penyakit yang di deritanya, Ayudya mulai tidak sabar, tapi Rio tetap menjawab dengan jawaban yang sama, hingga tadi malam ketika Rio tertidur lelap di sampingnya, Ayudya memaksakan diri turun dari pembaringannya berjalan tertatih – tatih dengan berpegangan ke dinding dan menyelusup masuk ke ruang dokter yang biasa memeriksanya.
“Oh….Ibu Ayudya, ada apa ? ada yang bisa saya bantu?” dokter Ikhsan menyapa Ayudya dengan ramah, inilah yang membuat Rumah Sakit ini dipercaya banyak orang, keramahan serta keakraban para dokter dan perawat sangat membantu kesembuhan pasien, mereka pun selalu peduli dengan segala kondisi yang dialami oleh pasien. Ayudya pun duduk di kursi yang tepat berhadapan dengan kursi yang diduduki dokter, internist yang menangani dirinya itu.
“Dokter, saya hanya ingin tahu tentang penyakit saya ini dokter” suara Ayudya begitu memelas, nyaris tak terdengar.
“Memang kenapa, Bu?, ada keluhan baru?”dokter Ikhsan balik bertanya tetap dengan suara tenang dan penuh perhatian.
“Saya hanya merasa semakin hari tubuh saya semakin melemah, rasa sakit di perut dan kepala juga tidak hilang-hilang, bahkan nyeri di kepala ini semakin tidak tertahankan, lalu mengapa pula besok saya harus kemotherapy? Saya ini sakit apa dokter? Apakah ada kanker di tubuh saya?”
“Oh itu, Bu Ayudya jangan terlalu merisaukan penyakit ibu, justru itu yang membuat penyakit Ibu bertambah parah” dokter Ikhsan tetap menjawab dengan suaranya yang tenang dan menenangkan.
“Tapi dok, saya sangat ingin tahu, sebetulnya penyakit apa yang saya derita?” Ayudya tetap kukuh pada keinginannya.
Tiba-tiba ruangan menjadi hening, Dokter Ikhsan tampak berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Ayudya. Tetapi ternyata itu tidak mudah baginya, lama dia terdiam sambil mempermainkan pulpen yang berada di atas meja.
“Dokter, tolong saya dokter, saya janji, saya akan tetap tenang walau mendengar kabar terburuk sekalipun, saya justru tidak suka berada dalam ketidak tahuan seperti ini, tolong saya dokter…” Ayudya terus berusaha, kali ini bahkan sambil menciumi tangan dokter Ikhsan, air matanya telah mengalir dengan deras membasahi pipinya yang semakin hari semakin tirus. Dokter Ikhsan masih saja diam, hingga akhirnya,
“Bu Ayudya, kita manusia adalah makhluk yang sangat beruntung, banyak ni’mat Allah yang telah diberikan-Nya kepada kita, tapi seringkali kita manusia hanya melihat apa yang menimpa kita, dan melupakan segala kenikmatan yang datang kepada kita”
“Maksud dokter apa?… saya selalu bersyukur dengan apa yang ada pada diri saya, saya bersyukur karena terlahir dalam keluarga yang menyayangi saya, saya juga bersyukur karena memiliki suami yang baik, saya juga bersyukur karena tidak kelaparan, saya selalu bersyukur dokter……”
“Ibu Ayudya, saya tahu itu, banyak kebahagiaan yang telah Allah berikan kepada Bu Ayudya, tapi pernahkah Ibu Ayudya berpikir, bahwa sakitnya bu Ayudya juga anugrah Allah?” masih dengan nada suara yang tenang dan tatapan yang menyejukkan dokter Ikhsan mengatakan ini
“Saya tidak paham maksud dokter..” lirih suara Ayudya
“Allah itu menyayangi manusia dengan cara-Nya yang kadang-kadang manusia tidak mampu memahaminya, Allah menyayangi Bu Ayudya, maka diberinya Ibu sakit seperti ini, supaya Ibu lebih dekat dengan-Nya”
“Jadi saya sakit apa dokter?” kembali Ayudya mendesak dokter Ikhsan untuk memberitahukan penyakitnya
“Ibu benar-benar siap untuk mendengarnya?”
“Sangat siap dokter!”
“Baiklah, saya percaya, Ibu adalah wanita kuat dan sangat paham dengan apa yang disebut dengan takdir.“ Dokter Ikhsan kembali terdiam sambil menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah Ayudya lekat-lekat untuk meyakinkan dirinya bahwa wanita di depannya ini benar-benar telah siap mendengarkan kenyataan yang akan disampaikannya, kemudia Dia pun melanjutkan kembali ucapannya dengan sangat hati-hati “Ada jaringan tumor pada lambung Ibu dan sudah berada pada stadium empat”
“Stadium empat, Dok?” tergagap Ayudya mendengar kenyataan ini, Dia tahu tumor pada stadium empat berarti tidak dapat disembuhkan.
“Ya Allah.. benarkah ini cara-Mu menyayangiku?” Beribu tanya berkecamuk di hati Ayudya, “Jika ini hukuman untukku, dosa besar apa yang sebenarnya telah aku perbuat sehingga Kau menghukum aku seberat ini?” Air matanya deras mengalir dari kelopak matanya yang cekung, tubuhnya terguncang karena tangisan yang tak bisa lagi ditahankannya.
“Mengapa Tuhan tega memberi ini semua kepada saya dok?” suara Ayudya disela isakannya
“Dari kecil saya selalu berusaha menjadi anak yang baik, saya tidak pernah membantah apa yang dikatakan mama maupun papa kepada saya……….saya selalu berusaha untuk selalu baik kepada siapapun…….salahkah saya kalau saya merasa Allah tidak adil kepada saya?”
“Bu, Ayudya…, percayalah ini semua karena Allah menyayangi Ibu, Allah Maha tahu, siapa yang patut disayangi-Nya, Allah itu maha adil Bu, tapi akal kita sebagai manusia terkadang tidak mampu berpikir dan melihat sampai ke situ”
“Jadi…. Tak ada lagikah harapan bagi saya untuk hidup lebih lama dok?”
“Secara medis, Ya.. tetapi pada akhirnya Allah dan semangat Ibu yang akan menentukan segalanya..”
Ayudya hanya bungkam demi mendengar penjelasan dokter itu, dia hanya menunduk menatap lantai, Pikirannya melayang pada semua bahagia yang telah dinikmatinya selama ini, yang sesaat lagi akan segera ditinggalkannya, ada penolakan di hatinya..ada rasa berat karena harus melepaskan semua itu.
“Ibu Ayudya… tetaplah menjad wanita yang tabah, yang selalu bersyukur dengan semua keputusan Allah, percayalah… do’a tulus dari orang-orang yang mencintai Ibu, dari mereka yang menyayangi Ibu, akan membuat semuanya menjadi lebih baik”.
Ayudya masih tetap tertunduk…apa yang berkecamuk di pikirannya tak dapat dikendalikannya, Dia masih belum mampu memahami keputusan yang ditetapkan untuknya.
Matahari pagi pelahan mulai memperlihatkan terangnya, Ayudya mencoba duduk di sisi pembaringan yang telah dihuninya lebih dari satu bulan ini. Rasa mual dan sakit di kepalanya menghilangkan semangatnya untuk menyentuh makanan yang disediakan untuknya.
Percakapannya dengan dokter Ikhsan tadi malam masih menyisakan rasa perih dan ketakutan dalam dirinya.
“Pagi sayang……” Rio muncul dari balik pintu dengan senyuman hangat dan selalu memancarkan rasa cinta yang dalam.
Ayudya hanya menoleh sesaat, lalu kembali tertunduk, Rio merasakan perubahan sikapnya, dihampirinya istrinya dan duduk di sisinya
“Ada apa? Mengapa kamu murung begini? Kamu bersediakan di kemo?”
Ayudya tetap bungkam, ada rasa kesal karena Rio selama ini tidak jujur kepadanya, tetapi juga ada rasa iba, karena dia tahu betapa telatennya Rio menjaganya, betapa sulitnya bagi Rio menyembunyikan semua ini darinya, hanya karena Rio tidak suka melihatnya bersedih dan putus asa.
“Aku sudah tahu semuanya, Mas” akhirnya terucap juga kalimat itu
“Tahu tentang apa?” Bingung Rio balik bertanya
“Aku sudah tahu, apa sebenarnya yang terjadi padaku”
“Maksudmu?” kali ini Rio yang gugup
“Sudahlah Mas, kamu tidak perlu berbohong lagi, itu hanya akan menyakitiku dan pasti menyakiti dirimu juga”
“Ayudya, aku tidak ingin kamu bersedih”
“Aku tahu, Mas…. Karena aku juga tahu kamu selalu melakukan yang terbaik untukku”
Hening kembali menyergap, Rio merengkuhkan lengannya ke bahu Ayudya, dibelainya punggung Ayudya dengan menahan air mata yang tiba-tiba saja menyeruak dari balik bola matanya.
“Ayu, jika ada yang merasakan sakit, karena apa yang kau alami ini, maka rasa sakit di hatiku ini tak akan ada yang melebihi. Melihat penderitaanmu benar-benar membuat aku tak tahan” tangis Riopun akhirnya membuncah tak tertahankan lagi. Ayudya dapat merasakan guncangan tubuhnya.
“Mas, jangan menangis…jika kau menjadi lemah bagaimana mungkin aku bisa kuat, aku pasrah akan semua keadaan ini, karena ini adalah kehendak Allah. Bantu aku untuk kuat, bantu aku dengan kekuatan cintamu agar aku tetap memiliki semangat dan keyakinan untuk sembuh, jika pun Allah berkehendak lain, bantu aku agar aku benar-benar siap ketika Allah menghendaki aku kembali kepadaNya” begitu tenang suara itu, begitu ikhlas, dan Rio justru semakin merasakan sakit di dadanya.
Matahari semakin tinggi, Mereka berdua masih tenggelam dalam rasa nestapa, tetapi Allah telah membukakan hati mereka berdua akan takdir yang menjadi kewenangan-Nya. Ayudya dan Rio pun pasrah dan ikhlas atas cobaan ini.



Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....