Matahari baru saja melepaskan diri dari rengkuhan malam, kabut tipis membuat cahayanya meredup dan terlihat kelelahan, bulir-bulir sisa hujan yang tersangkut di atas dedauan semakin menyempurnakan kemuraman pagi ini.
Ayudya masih saja tergeletak lesu di atas pembaringan, tak dimilikinya lagi semangat untuk melakukan sesuatu apapun. Matanya merah dan sembab akibat menangis semalaman.
Ayudya adalah gadis yang dibesarkan dalam keluarga yang teramat sempurna, Ayah
dan Ibunya telah menjadikannya gadis cantik penuh pesona, Dia tidak
saja cantik secara lahiriah tetapi juga memiliki sikap dan prilaku
secantik rupanya.
Saat
remaja, dia menjadi panutan kawan-kawan sebaya, Dia juga menjadi gadis
yang disayangi oleh lingkungan sekitarnya. Sebagai gadis yang lulus
kuliah secara cum loud, Ayudya sangat dikagumi sekaligus disegani.
Kesempurnaan
yang dimilikinya sebetulnya tidak membuat hidupnya menjadi mudah tetapi
sebaliknya, Ayudya selalu merasa kesepian, tidak ada kekasih yang
mengunjunginya di malam minggu karena Ayu tidak memiliki kekasih, tidak
ada teman yang menjemputnya untuk sekedar jalan-jalan di mall atau
aktivitas-aktivitas lain yang selalu dilakukan gadis-gadis seusianya
karena mamanya tidak suka bila dia melakukan hal-hal seperti itu.
Terkadang dia ingin memberontak atas keadaan ini, tetapi mama dan
papanya selalu berhasil membuat dirinya tidak melakukan pemberontakan
itu.
Hingga pada suatu hari,
“Ayudya, coba ke sini…” suara mama yang sangat disayanginya memanggil dari ruang tamu
“Ya..
mam…” Ayudya menyahut seraya menghampiri mamanya, di ruang tamu di
dapatinya mamanya sedang bersama dengan seorang wanita yang usianya
sepertinya sama dengan usia mamanya juga seorang pemuda tampan dengan
penampilan yang elegant.
“Ayudya,
ini tante Rina teman mama, ingin berkenalan denganmu, dan ini anak
tunggalnya, Rio!” Tante Rina dan Rio serentak berdiri serta mengulurkan
tangannya ke arah Ayudya, Ayudyapun menyambut perkenalan itu dengan
ramah.
Perkenalan
Ayudya dan Rio pada siang itu ternyata tidak berhenti sampai di situ,
dengan dukungan mama dan papanya juga tante Rina tentunya, akhirnya
Ayudya dan Rio semakin dekat hingga kemudian mereka menikah.
Ayudya
memasuki kehidupan perkawinannya dengan hati bersih, tanpa curiga,
tanpa prasangka, Dia sangat percaya kepada pilihan ke dua orang tuanya, Dia yakin bahwa mama dan papanya pasti memilihkan laki-laki terbaik untuknya.
Rio memang suami yang baik, Rio sangat perhatian terhadap dirinya bahkan memanjakannya, sebagai suami Dia
memang laki-laki sempurna, apalagi sebagai anak tunggal dari seorang
penggusaha yang sukses, kehidupan ekonomi merekapun sangat terjamin.
Satu
tahun di awal perkawina mereka adalah masa-masa yang sangat indah dan
penuh kebahagiaan, hingga tiba-tiba Ayudya merasa ada yang berbeda pada
dirinya, perutnya seringkali mual dan kepalanya terasa pusing.Ketika
Ayudya menyampaikan hal ini kepada suaminya, Rio malah bersorak-sorak
kegirangan sambil memeluk dan menciuminya,
“Istriku hamil, istriku hamil” Rio terus mengulang-ulang kata itu tanpa mempedulikan Ayudya yang kaget dengan responnya itu.
“Mama, Ayudya hamil, aku akan jadi ayah!!” Riopun mengabarkan kegembiraannya itu kepada mamanya
“Mas…sadar
mas, aku belum tentu hamil, kok sudah sesumbar gitu sih? Bagaimana
kalau aku tidak hamil?” Ayudya mencoba menyadarkan Rio yang terlalu
yakin atas dugaannya sendiri itu.
“Ok, kita ke dokter sekarang, kamu pasti hamil!” Rio tetap yakin dengan pikirannya.
“Kita kan bisa memeriksanya sendiri, gak perlu ke dokter dululah, Mas” usul Ayudya
“Ah, tanggung … kita ke dokter saja, ayo ganti bajumu” Rio setengah mendorong tubuh Ayudya ke kamar.
Ruang
tunggu klnik bersalin yang mereka datangi sudah dipenuhi banyak
pengunjung, ini memang klinik terbaik yang ada di kota tempat mereka
tinggal.
Ayudya
menunggu dengan gelisah, pikirannya dipenuhi kecemasan, Dia sangat
hawatir jika ternyata hasi pemeriksaan nanti tidak sesuai dengan apa
yang mereka harapkan, sebagai seorang istri, dia seringkali merasa tidak
sempurna karena setelah satu tahun usia pernikahan mereka dia belum
juga hamil. Ayudya takut bila hal ini membuat Rio meninggalkannya.
Setelah
menunggu agak lama, akhirnya perawat memanggil nama Ayudya, Ayudya
melangkah dengan berdebar-debar, jantungnya berdetak dua kali lebih
cepat dari biasanya sedangkan Rio melangkah dengan penuh keyakinan dan
ini semakin mencemaskan Ayudya.
Usai
menjalani pemeriksaan, dokter menuliskan resep untuk Ayudya seraya
menjelaskan bahwa Ayudya hanya mual-mual biasa, begitu ringan cara
dokter itu menyampaikannya tetapi begitu menyakitkan untuk Ayudya, Dia
pun tertunduk lesu, Dia betul-betul kecewa dengan kenyataan ini, ada
bulir bening yang tertahan di balik kelopak matanya, diberanikannya
menoleh ke arah Rio, Rio lalu menggenggam tangannya seraya berkata
“Jangan sedih, belum waktunya” ucapnya dengan ringan, semakin pedih hati
Ayudya mendengar ucapan Rio, dia tahu Rio pasti sangat kecewa, tetapi
Dia selalu menyembunyikan hal itu dari Ayudya..
Seminggu
setelah berkunjung ke kinik, keluhan mual dan sakit kepala Ayudya belum
juga reda, mereka berdua memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di praktek Dokter spesialis penyakit dalam.
“Ibu
harus menjalani perawatan intensif, saya akan beri rujukan ke RS untuk
ibu” itulah keputusan yang mereka terima dari dokter tersebut.
“Istri saya sakit apa dok?”
“Saya
belum dapat memastikan, harus dilakukan beberapa tes untuk
memastikannya.”, ada yang aneh pikir Ayudya, tapi dia tidak berani
bertanya lebih lanjut, nanti saja di Rumah sakit, putusnya kemudian.
Sudah
satu minggu Ayudya di rawat di rumah sakit itu, tetapi dari hari
kehari, Ayudya merasakan tubuhnya tidak menjadi lebih baik, ditambah
lagi hingga saat ini dia tidak tahu secara pasti apa yang dideritanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” sekali-sekali pertanyaan itu dia sampaikan kepada Rio yang begitu telaten mengurus dirinya.
“Tidak
apa-apa, kamu hanya butuh istirahat saja” selalu itu jawaban yang
disampaikan Rio, bahkan dokter yang merawat dirinya pun mengatakan hal
yang sama. Ayudya tidak percaya begitu saja dengan jawaban itu dia yakin
ada yang mereka sembunyikan tentang penyakit yang di deritanya.
Setelah
lebih dari satu bulan berada di rumah sakit, tanpa tahu apa penyakit
yang di deritanya, Ayudya mulai tidak sabar, tapi Rio tetap menjawab
dengan jawaban yang sama, hingga tadi malam ketika Rio tertidur lelap di
sampingnya, Ayudya memaksakan diri turun dari
pembaringannya berjalan tertatih – tatih dengan berpegangan ke dinding
dan menyelusup masuk ke ruang dokter yang biasa memeriksanya.
“Oh….Ibu
Ayudya, ada apa ? ada yang bisa saya bantu?” dokter Ikhsan menyapa
Ayudya dengan ramah, inilah yang membuat Rumah Sakit ini dipercaya
banyak orang, keramahan serta keakraban para dokter dan perawat sangat
membantu kesembuhan pasien, mereka pun selalu peduli dengan segala
kondisi yang dialami oleh pasien. Ayudya pun duduk di kursi yang tepat
berhadapan dengan kursi yang diduduki dokter, internist yang menangani
dirinya itu.
“Dokter, saya hanya ingin tahu tentang penyakit saya ini dokter” suara Ayudya begitu memelas, nyaris tak terdengar.
“Memang kenapa, Bu?, ada keluhan baru?”dokter Ikhsan balik bertanya tetap dengan suara tenang dan penuh perhatian.
“Saya hanya merasa semakin hari tubuh saya semakin melemah, rasa sakit di perut dan kepala juga
tidak hilang-hilang, bahkan nyeri di kepala ini semakin tidak
tertahankan, lalu mengapa pula besok saya harus kemotherapy? Saya ini
sakit apa dokter? Apakah ada kanker di tubuh saya?”
“Oh
itu, Bu Ayudya jangan terlalu merisaukan penyakit ibu, justru itu yang
membuat penyakit Ibu bertambah parah” dokter Ikhsan tetap menjawab
dengan suaranya yang tenang dan menenangkan.
“Tapi dok, saya sangat ingin tahu, sebetulnya penyakit apa yang saya derita?” Ayudya tetap kukuh pada keinginannya.
Tiba-tiba
ruangan menjadi hening, Dokter Ikhsan tampak berusaha mencari kata-kata
yang tepat untuk menjawab pertanyaan Ayudya. Tetapi ternyata itu tidak
mudah baginya, lama dia terdiam sambil mempermainkan pulpen yang berada
di atas meja.
“Dokter,
tolong saya dokter, saya janji, saya akan tetap tenang walau mendengar
kabar terburuk sekalipun, saya justru tidak suka berada dalam ketidak
tahuan seperti ini, tolong saya dokter…” Ayudya terus berusaha, kali ini
bahkan sambil menciumi tangan dokter Ikhsan, air matanya telah mengalir
dengan deras membasahi pipinya yang semakin hari semakin tirus. Dokter
Ikhsan masih saja diam, hingga akhirnya,
“Bu
Ayudya, kita manusia adalah makhluk yang sangat beruntung, banyak
ni’mat Allah yang telah diberikan-Nya kepada kita, tapi seringkali kita
manusia hanya melihat apa yang menimpa kita, dan melupakan segala
kenikmatan yang datang kepada kita”
“Maksud
dokter apa?… saya selalu bersyukur dengan apa yang ada pada diri saya,
saya bersyukur karena terlahir dalam keluarga yang menyayangi saya, saya
juga bersyukur karena memiliki suami yang baik, saya juga bersyukur
karena tidak kelaparan, saya selalu bersyukur dokter……”
“Ibu
Ayudya, saya tahu itu, banyak kebahagiaan yang telah Allah berikan
kepada Bu Ayudya, tapi pernahkah Ibu Ayudya berpikir, bahwa sakitnya bu
Ayudya juga anugrah Allah?” masih dengan nada suara yang tenang dan
tatapan yang menyejukkan dokter Ikhsan mengatakan ini
“Saya tidak paham maksud dokter..” lirih suara Ayudya
“Allah
itu menyayangi manusia dengan cara-Nya yang kadang-kadang manusia tidak
mampu memahaminya, Allah menyayangi Bu Ayudya, maka diberinya Ibu sakit
seperti ini, supaya Ibu lebih dekat dengan-Nya”
“Jadi saya sakit apa dokter?” kembali Ayudya mendesak dokter Ikhsan untuk memberitahukan penyakitnya
“Ibu benar-benar siap untuk mendengarnya?”
“Sangat siap dokter!”
“Baiklah,
saya percaya, Ibu adalah wanita kuat dan sangat paham dengan apa yang
disebut dengan takdir.“ Dokter Ikhsan kembali terdiam sambil menarik
nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah Ayudya lekat-lekat untuk meyakinkan
dirinya bahwa wanita di depannya ini benar-benar telah siap mendengarkan
kenyataan yang akan disampaikannya, kemudia Dia pun melanjutkan kembali
ucapannya dengan sangat hati-hati “Ada jaringan tumor pada lambung Ibu
dan sudah berada pada stadium empat”
“Stadium
empat, Dok?” tergagap Ayudya mendengar kenyataan ini, Dia tahu tumor
pada stadium empat berarti tidak dapat disembuhkan.
“Ya Allah.. benarkah ini cara-Mu menyayangiku?” Beribu
tanya berkecamuk di hati Ayudya, “Jika ini hukuman untukku, dosa besar
apa yang sebenarnya telah aku perbuat sehingga Kau menghukum aku seberat
ini?” Air matanya deras mengalir dari kelopak matanya yang cekung,
tubuhnya terguncang karena tangisan yang tak bisa lagi ditahankannya.
“Mengapa Tuhan tega memberi ini semua kepada saya dok?” suara Ayudya disela isakannya
“Dari
kecil saya selalu berusaha menjadi anak yang baik, saya tidak pernah
membantah apa yang dikatakan mama maupun papa kepada saya……….saya selalu
berusaha untuk selalu baik kepada siapapun…….salahkah saya kalau saya
merasa Allah tidak adil kepada saya?”
“Bu,
Ayudya…, percayalah ini semua karena Allah menyayangi Ibu, Allah Maha
tahu, siapa yang patut disayangi-Nya, Allah itu maha adil Bu, tapi akal
kita sebagai manusia terkadang tidak mampu berpikir dan melihat sampai
ke situ”
“Jadi…. Tak ada lagikah harapan bagi saya untuk hidup lebih lama dok?”
“Secara medis, Ya.. tetapi pada akhirnya Allah dan semangat Ibu yang akan menentukan segalanya..”
Ayudya
hanya bungkam demi mendengar penjelasan dokter itu, dia hanya menunduk
menatap lantai, Pikirannya melayang pada semua bahagia yang telah
dinikmatinya selama ini, yang sesaat lagi akan segera ditinggalkannya,
ada penolakan di hatinya..ada rasa berat karena harus melepaskan semua
itu.
“Ibu
Ayudya… tetaplah menjad wanita yang tabah, yang selalu bersyukur dengan
semua keputusan Allah, percayalah… do’a tulus dari orang-orang yang
mencintai Ibu, dari mereka yang menyayangi Ibu, akan membuat semuanya
menjadi lebih baik”.
Ayudya
masih tetap tertunduk…apa yang berkecamuk di pikirannya tak dapat
dikendalikannya, Dia masih belum mampu memahami keputusan yang
ditetapkan untuknya.
Matahari
pagi pelahan mulai memperlihatkan terangnya, Ayudya mencoba duduk di
sisi pembaringan yang telah dihuninya lebih dari satu bulan ini. Rasa
mual dan sakit di kepalanya menghilangkan semangatnya untuk menyentuh
makanan yang disediakan untuknya.
Percakapannya dengan dokter Ikhsan tadi malam masih menyisakan rasa perih dan ketakutan dalam dirinya.
“Pagi sayang……” Rio muncul dari balik pintu dengan senyuman hangat dan selalu memancarkan rasa cinta yang dalam.
Ayudya
hanya menoleh sesaat, lalu kembali tertunduk, Rio merasakan perubahan
sikapnya, dihampirinya istrinya dan duduk di sisinya
“Ada apa? Mengapa kamu murung begini? Kamu bersediakan di kemo?”
Ayudya
tetap bungkam, ada rasa kesal karena Rio selama ini tidak jujur
kepadanya, tetapi juga ada rasa iba, karena dia tahu betapa telatennya
Rio menjaganya, betapa sulitnya bagi Rio menyembunyikan semua ini
darinya, hanya karena Rio tidak suka melihatnya bersedih dan putus asa.
“Aku sudah tahu semuanya, Mas” akhirnya terucap juga kalimat itu
“Tahu tentang apa?” Bingung Rio balik bertanya
“Aku sudah tahu, apa sebenarnya yang terjadi padaku”
“Maksudmu?” kali ini Rio yang gugup
“Sudahlah Mas, kamu tidak perlu berbohong lagi, itu hanya akan menyakitiku dan pasti menyakiti dirimu juga”
“Ayudya, aku tidak ingin kamu bersedih”
“Aku tahu, Mas…. Karena aku juga tahu kamu selalu melakukan yang terbaik untukku”
Hening
kembali menyergap, Rio merengkuhkan lengannya ke bahu Ayudya,
dibelainya punggung Ayudya dengan menahan air mata yang tiba-tiba saja
menyeruak dari balik bola matanya.
“Ayu,
jika ada yang merasakan sakit, karena apa yang kau alami ini, maka rasa
sakit di hatiku ini tak akan ada yang melebihi. Melihat penderitaanmu
benar-benar membuat aku tak tahan” tangis Riopun akhirnya membuncah tak tertahankan lagi. Ayudya dapat merasakan guncangan tubuhnya.
“Mas,
jangan menangis…jika kau menjadi lemah bagaimana mungkin aku bisa kuat,
aku pasrah akan semua keadaan ini, karena ini adalah kehendak Allah.
Bantu aku untuk kuat, bantu aku dengan kekuatan cintamu
agar aku tetap memiliki semangat dan keyakinan untuk sembuh, jika pun
Allah berkehendak lain, bantu aku agar aku benar-benar siap ketika Allah
menghendaki aku kembali kepadaNya” begitu tenang suara itu, begitu
ikhlas, dan Rio justru semakin merasakan sakit di dadanya.
Matahari
semakin tinggi, Mereka berdua masih tenggelam dalam rasa nestapa,
tetapi Allah telah membukakan hati mereka berdua akan takdir yang
menjadi kewenangan-Nya. Ayudya dan Rio pun pasrah dan ikhlas atas cobaan
ini.