
Dadaku tiba-tiba sesak. Rasa nyeri yang menyertai membuatku marasa rapuh. Aku ingin menolak untuk mempercayai tetapi mustahil. Ini nyata, tetapi aku tidak ingin menerimanya.
Sore tadi, entah untuk yang keberapa kali, adikku Siska menyampaikan kecurigaannya. Dia curiga pada Mas Heru, suamiku. Dia curiga Mas Heru berselingkuh dengan salah seorang teman kuliahnya.
Siska memang sering mengajak teman kuliahnya main ke rumahku, salah satunya Nindia. Gadis inilah yang dicurigai berselingkuh dengan Mas Heru. Menurut Siska, dia sering memergoki Nindia turun dari mobil Mas Heru. Nindia selalu berdalih kepada Siska, mengatakan bahwa dia tak sengaja bertemu Mas Heru. Alasan yang masuk akal karena rumah Nindia dan kampus berada di antara rumah kami dan kantor Mas Heru.
Siska tidak mempercayai alasan Nindia begitu saja. Dengan berbagai cara Siska berusaha menemukan bukti atas kecurigaanya. Siska juga semakin ngotot menemukan bukti karena aku tetap saja acuh dan tidak pernah mempercayai semua ucapannya.
Berbeda dengan hari ini. Siska datang dengan sebuah foto yang menunjukkan betapa mesranya hubungan Mas Heru dengan Nindia. Nindia berjalan di sisi Mas Heru, lengannya bergayut ke lengan kiri Mas Heru. Foto itu berlatar belakang poster-poster film. Aku bisa menyimpulkan mereka sedang berada di depan bioskop. Mereka pasti sengaja bertemu di tempat itu.
Aku tidak bisa lagi mengabaikan kabar yang dibawa Siska. Aku mulai menyesal karena selama ini tidak mempercayainya. Aku bahkan merasa sudah terlambat untuk menghentikan semua ini.
“Mbak sih, aku kan sudah beberapa kali bilang sama Mbak tapi Mbak tidak pernah percaya,” Siska menyesali sikapku.
“Bagaimana Mbak bisa percaya, sikap Mas Heru tidak berubah sama sekali. Dia tetap sarapan di rumah, makan malam di rumah, semua masih seperti dulu,” aku berusaha membela diri.
“Kenyataanya?” Siska melanjutkan. Nada suaranya sinis. Hatiku semakin perih.
@@@
Siska baru saja pulang ke rumah orang tuaku. Kedua anakku juga sudah tertidur pulas. Mas Heru belum pulang. Ini bukan hal luar biasa. Jakarta yang selalu macet kadang-kadang membuat Mas Heru terlambat sampai di rumah. Berbeda dengan biasanya, Kali ini dadaku terasa sesak. Yang muncul di pikiranku adalah kemesraan Mas Heru dan Nindia. Bahkan hal-hal yang lebih buruk dari itu memenuhi otakku. Yang bisa aku lakukan hanya menyesali semua ketololanku, yang terlalu mempercayai Mas Heru, dalam bentuk tangis yang mungkin sudah tidak berguna lagi.
Pukul Sembilan lewat. Suara pagar garasi yang bergeser dan deru mobil Mas Heru menuju garasi menyadarkanku tentang sesuatu yang harus aku hadapi. Sedari tadi aku hanya bisa menyesali semuanya. Meratapi nasibku yang dihianati. Aku belum berpikir sedikitpun bagaimana seharusnya menghadapi semua ini.
Aku tak ingin Mas Heru melihat air mataku. Aku segera mengenakan pakaian tidurku dan bersembunyi di balik selimut. Untuk sementara hanya ini yang aku lakukan.
“Ma?” Mas Heru menyentuh bahuku, aku tak bereaksi. Mas Heru tidak segera meninggalkan kamar, beberapa kali dia mencoba membangunkanku lagi dan aku tetap tak bereaksi. Entah karena bosan atau merasa tak berguna, Mas Heru kemudian melangkah meninggalkan kamar. Aku lega? Entahlah.
Sudah hampir pukul sebelas malam, Mas Heru belum kembali ke kamar. Tiba-tiba kecemasan kembali menyergap. Apa yang sedang dilakukannya? Diam-diam aku melangkah ke luar kamar dan menemukan Mas Heru tengah asyik menelepon. Saat melihatku dia terlihat gugup tepatnya panik. Tiba-tiba saja dia mengakhiri percakapannya.
“Sedang menelepon siapa, Mas?” aku berusaha tetap tenang walaupun gemuruh di dadaku sudah sangat menyiksaku.
“Oh, itu…itu…teman kantor," ujarnya sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana.
“Oh," Kebekuan tiba-tiba saja tercipta. Usahaku menahan diri dari desakan kemarahan yang sudah berada di ujung kepala justru menciptakan kebekuan.
“Mas, kita perlu bicara serius.” Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulutku.
“Wah tumben nih, si Mama. Ada apa?” Mas Heru menanggapi dengan ringan.
“Aku hanya ingin Mas menjawab dengan jujur setiap pertanyaanku.” Aku tatap wajahnya untuk melihat reaksinya. Mas Heru mulai terpengaruh dengan cara bicaraku.
“Apakah Mas masih mencintaiku?”
“Hei, kok pertanyaannya aneh? Memangnya ada apa, Ma?”
“Mas jawab saja pertanyaanku.”
“Oke, oke… aku masih dan akan terus mencintaimu” Mas Heru menjawab dengan ekspresi lucu tetapi wajah lucunya justru membuat aku sangat sebal.
“Pernahkah Mas menghianati cinta kita?” walaupun semula aku ingin menunda pertanyaan ini tetapi nyatanya aku sendiri semakin tak tahan dibuatnya.
Mas Heru tidak segera menjawab. Dia hanya menatapku dengan tatapan tajam.
“Mengapa diam, Mas? Apakah itu berarti pernah?” desakku.
“Apakah ini interogasi?” Aku merasa Mas Heru sedang menghindar dari keharusan menjawab tanyaku.
“Hanya ingin meyakinkan hatiku tentang kesetiaanmu,” aku menjawab dengan ketenangan yang entah datang dari mana.
“Ma, terus teranglah, Kemana arah percakapan kita ini?” Mas Heru mulai terlihat gelisah. Dia berdiri lalu duduk kembali di kursi yang lain dengan wajah bingung.
“Mas. Aku sudah tahu semuanya. Sekarang aku ingin menemukan jawaban yang pasti darimu. Aku tidak ingin salah dan gegabah dalam mengambil keputusan.”
“Ma, apa maksudmu?” Mas Heru kembali berkelit.
“Mas, jika engkau masih mencintaiku, maka perlu kamu tahu, aku tak ingin ada perempuan lain di hatimu. Jika kau menyimpan perempuan lain di hatimu, maka izinkan aku meninggalkanmu” Begitu lancar aku mengucapkan hal itu.
“Ma, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku juga ingin bertanya kepadamu. Apakah kau masih mencintaiku?” Mas Heru makin terlihat konyol dengan pertanyaannya itu.
“Apakah itu masih berarti untukmu?” aku balik bertanya.
“Ya, jawablah dengan jujur.” tegasnya lagi.
“Aku akan mencintai suamiku dengan sepenuh hatiku, selama dia juga mencintaiku dengan tulus dan jujur tetapi ketika cinta itu dihianati maka cintaku akan menguap tanpa bekas,” suaraku mulai bergetar menahan tangis.
“Seberapa besar kau ingin mempertahankan cintamu itu, Ma? Cinta itu juga butuh dipertahankan. Sikap angkuhmu dalam mencintai juga dapat membuat cintamu lari. Cintamu juga butuh dihargai. Jika kamu hanya bersikap pasif dalam mencintai, cintamu akan menduga kau tak lagi mencintainya.” Mas Heru kali ini sangat tegas. Kini aku yang bingung mencerna kalimat-kalimatnya .
“Aku tak mengerti apa yang kau katakan, Mas” ujarku kemudian.
“Ma, selama ini kau telah membuat aku ragu. Kau tak pernah bertanya apa saja yang telah aku lakukan di luar sana. Peristiwa apa saja yang aku alami selama satu hari aku tanpamu. Kau terlalu dalam menyembunyikan isi hatimu. Kau tak pernah menunjukkan kepadaku sebesar apa kamu mencintaiku.”
“Aku melakukan semua yang menjadi kewajibanku sebagai seorang istri. Aku mengurus keluarga, aku mengurus anak-anak, tidakkah itu cukup buatmu?” suaraku kali ini agak keras. Aku merasa Mas Heru tengah berdalih mencari pembenaran atas dosa-dosanya.
“Aku butuh lebih dari itu, Ma” Mas Heru memegang kedua bahuku, matanya lurus menatap wajahku.
“Itukah yang membuatmu berselingkuh dengan Nindia?” Aku sudah tak mampu lagi menahan diri. Kutepiskan lengan Mas Heru yang masih berada di atas bahuku. Air mata kini tak lagi mampu kubendung kudekapkan kedua telapak tanganku ke wajah. Cukup lama aku dalam kondisi seperti itu.
“Kak” Entah kapan masuknya, Siska sudah berada di hadapanku.
“Kak, maaf. Semua yang Siska ucapkan selama ini, semuanya bohong.” Siska memelukku.
“Apa maksudmu?” Kulirik Mas Heru yang tengah tersenyum penuh kemenangan.
“Aku yang meminta Siska melakukan kebohongan itu.” Masih dengan senyum konyolnya, Mas Heru menjelaskan.
“Mas Heru bilang sama Siska, dia tidak yakin Mbak mencintainya karena sikap Mbak sangat acuh, Mbak juga tidak pernah terpengaruh kalau Mas Heru bercerita tentang teman-teman perempuannya. Kami berdua hanya ingin membuktikan itu.” Penjelasan Siska yang singkat ini membuat aku tercenung.
Pernikahanku dengan Mas Heru memang berbeda dengan pernikahan-pernikahan normal lainnya. Kami menikah untuk menyambung tali persahabatan kedua orang tua. Tepatnya kami menikah karena dijodohkan oleh orang tua.
Mulanya aku sempat menolak perjodohan itu. Apalagi aku hanya melihat wajah Mas Heru dari foto yang dikirim melalui wa. Kalau akhirnya aku setuju itu karena aku tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku.
Seiring berjalannya waktu, aku jatuh cinta kepada suamiku sendiri. Aku jatuh cinta karena dia lelaki yang sangat sesuai dengan sosok ideal seorang suami yang ada di benakku. Mas Heru lelaki yang patut untuk aku cintai. Tetapi sepertinya aku bukan perempuan yang pandai menunjukkan rasa cinta itu.
“Kalian jahat.” Umpatku meski hatiku kini sudah lega.