Senin, 18 November 2013

Takdir Kita


    “Aku putus sama Lia” ucapan itu yang pertama kudengar dari mulut Wisnu ketika dia menghampiriku di kantin kampus lalu duduk di sebelahku.
    “Oh” Hanya itu jawabanku atas kabar yang dibawanya. Wisnu putus dengan pacarnya bukanlah berita istimewa. Baginya berpacaran bisa lebih dari enam  bulan saja sudah merupakan prestasi.
     “Kok tanggapan kamu cuma gitu, sih?” Wisnu memprotes sikapku tapi aku hanya mengangkat kedua bahuku sedangkan jemariku tetap asik memainkan sendok es buah yang ada di hadapanku.
    “Terus aku harus bilang apa? Berita seperti ini kan sudah terlalu biasa.”
    “Setidaknya kamu Tanya kek, kenapa aku putus? Kapan putusnya? Atau apalah? Kalau kamu banyak tanya aku kan bisa cerita sebanyak-banyaknya ke kamu.”  ujarnya lagi sambil bangkit mendekati  kulkas yang ada di belakangnya. Wisnu kembali dengan sebotol minuman dingin di tangannya.
   “Oh, gitu, ya? Kalau kamu mau cerita, ya cerita aja. Kamu kan tahu, aku pasti akan duduk di sini sampai ceritamu habis.”
   “Kamu gak ikhlas.” Sekarang dia sudah kembali duduk di kursi tempatnya semula. Tepat di hadapanku. Suaranya seperti sebuah keluhan.
   “Terserah kamu deh. Kalau kamu gak mau cerita, sekarang aku mau ke perpustakaan. Kamu mau ikut?” aku langsung bangkit dan berjalan meninggalkannya.
   
   Wisnu adalah sahabatku sejak kami masih sama-sama duduk di SMP.  Ketika SMA kami sempat berpisah. Kakakku yang paling sulung memintaku untuk tinggal bersamanya di kota yang berbeda. Kakakku juga menjanjikan akan menanggung seluruh biaya pendidikkanku.   Demi meringankan beban keluarga, aku menyetujui tawarannya.

    Kakakku memang menepati janjinya. Bahkan sampai sekarang.  Aku bisa terus kuliah sampai  duduk di semester V pada sebuah  perguruan tinggi swasta, itu karena kebaikannya . Aku di sini belajar ilmu Pendidikkan.

    Di kampus ini aku bertemu lagi dengan Wisnu.  Dia kuliah di Fakultas yang berbeda. Wisnu memilih program studi  Ilmu Akuntansi. Sepertinya dia ingin mengembangkan bisnis kayu yang dikelola ayahnya.
    “Arin, tunggu dong !” Wisnu berusaha mengejarku. Nafasnya terengah saat berjalan di sisiku.Berdua kami berjalan menyusuri koridor untuk menuju ke perpustakaan.

    Wisnu tidak menyadari betapa saat-saat seperti ini selalu membuatku bahagia. Ada keinginan kuat di hatiku untuk tidak menjadikan Wisnu sekadar sahabat. Hatiku menuntut lebih dari itu. Hanya saja  itu  sangat mustahil. Wisnu selalu berhasil memikat perhatian gadis-gadis cantik, sejak dulu ketika kami masih SMP sampai sekarang. Sedangkan aku? Aku hanya gadis biasa. Terlahir dari keluarga sederhana. Aku tidak pandai berdandan sehingga keseharianku sangat apa adanya. Aku hanya pantas jadi tempat Wisnu melepaskan segala unek-uneknya. Mungkin ini saja sudah cukup bagiku.
     “Kamu kenapa sih putus sama Lia? Perasaan… kamu baru pacaran seminggu deh”  pertanyaan itu begitu saja meluncur dari mulutku. Wisnu menoleh sambil mendelik ke arahku.
     “Enak aja seminggu. Aku pacaran sama Lia sudah dua bulan”
     “Oh udah dua bulan? lama juga, ya. Kalau sama Vina, berapa hari?” aku mencoba menggodanya.
     “Arin, maksud kamu apa sih?”  Wisnu mulai terpancing dengan ledekanku.
     “Enggak ada maksud apa-apa kok. Aku hanya heran aja. Kamu tuh gampang amat jatuh cinta tapi gampang juga putusnya.”
     “Merekanya aja nyebelin.” Wisnu semakin sewot.
     “Wisnu..Wisnu… Yang gonta-ganti pacar itu kamu, jadi masalahnya di diri kamu. Kok nyalahin mereka sih.” Aku mencoba meluruskan cara berpikirnya. Menurutku Wisnu terlalu mudah bilang cinta. Setelah menyadari wanita itu tidak cocok dengan yang dia mau, langsung putus. Mendengar ucapanku, Wisnu kembali protes lewat tatapan matanya yang melotot.
     Tanpa terasa kami sudah sampai di depan pintu perpustakaan. Sudah waktunya untuk diam kalau tidak mau di pelototin orang seperpus.
@@@
     “Arin, sekali-sekali kamu cerita dong tentang pacar kamu yang di Kalimantan itu.” Pertanyaan yang tidak aku inginkan itu terlontar dari mulut Wisnu.
    
      Selama ini Wisnu hanya tahu kalau aku mempunyai pacar yang tinggal di Kalimantan. Kami pacaran sejak di SMA tetapi kemudian kami terpaksa menjalani cinta jarak jauh karena dia ikut keluarganya pindah ke Kalimantan. Itu yang diketahui oleh Wisnu sebagaimana yang pernah aku ceritakan kepadanya.
    
      Wisnu tidak pernah tahu bagaimana sulitnya aku membuat cerita seperti itu. Edo, itu namanya. Nama yang muncul begitu saja di benakku saat Wisnu menanyakan siapa pacarku. Edo hanyalah tokoh semu. Tak pernah ada pacar SMA, tak pernah ada cinta jarak jauh.
     
      Aku hanya perempuan sederhana yang telah jatuh cinta kepada sahabat masa kecilku. Aku tak memiliki keberanian yang cukup untuk mengungkapkannya. Keadaan kami terlalu berbeda. Aku tak ingin benar-benar kehilangannya, hanya karena perasaanku yang tidak semestinya ini.
    
      “Arin! Nglamunin apa sih? Kamu inget pacar kamu itu ya? Makanya curhat sama aku.” Wisnu  melipat kedua tangannya di depan dada lalu meletakkannya di atas meja tepat di depanku. Kepalanya ditegakkan sehingga wajahnya terlihat lucu karena berlagak serius.
“Ngapain curhat sama kamu, kamu aja cintanya kacau balau gitu.” Aku berusaha mengelak.
    
    Sore itu, seperti banyak hari yang lainnya kami habiskan bersama. Tidak kemana-mana hanya di teras rumahku. Inilah satu bentuk bahagiaku.
@@@
     Wisnu baru saja pulang. Aku bermaksud melangkahkan kakiku ke dalam rumah  saat  mataku tertuju pada sebuah benda kecil yang tergeletak di lantai tepat di bawah kursi yang tadi diduduki oleh Wisnu.

     Aku memungut benda kecil itu, sebuah cincin perak dengan hiasan batu safir berwarna biru. Wisnu selalu mengenakan cincin ini. Cincin ini milik ibunya, begitu katanya saat dulu kutanya. Aku kemudian membawa cincin itu ke kamarku dan meletakkannya di dalam kotak peralatan tulisku.  Aku akan mengembalikannya besok di kampus.
@@@
     Sudah pukul tujuh pagi, tergesa aku meninggalkan rumah. Hari ini ada kuis mata kuliah Psikolinguistik. Tadi malam aku sudah belajar dan mempersiapkan semuanya dengan matang. Aku tak ingin gagal mengikuti kuis gara-gara terlambat. Walau nyaris lupa, cincin itu akhirnya masuk juga ke dalam dompetku.
     Bis kota yang aku tumpangi sudah penuh sesak tetapi kondektur masih saja berusaha menaikkan penumpang. Tuntutan hidup memang  telah memaksa orang menjadi pribadi-pribadi egois.  Masih beruntung saat naik tadi aku langsung ditawari tempat duduk oleh seorang ibu yang sudah mau turun sehingga aku tidak perlu berdiri berdesak-desakkan.
    
     Drrrrrrrt  drrrrrrtt drrrrrrrt.. Ponselku bergetar. Aku segera mengeluarkan ponselku itu dari  tas yang ada di pangkuanku.
    
     Tubuhku tiba-tiba limbung, jika bukan tengah berada di dalam bis mungkin aku sudah menjerit sekeras-kerasnya. Aku terus berusaha bertahan. Paling tidak aku harus sampai di rumah sakit tempat Wisnu sekarang berada.
     
     Aku berlari sekencang yang aku mampu. Bayangan wajah Wisnu yang kemarin sore masih menghabiskan sisa sore bersamaku terus melintas-lintas di benakku.

     Aku sampai di ruang UGD dengan nafas tersenggal.  Di sana kawan-kawan satu kosannya telah berkumpul juga beberapa teman kuliahnya. Salah seorang dari mereka menghampiriku.

     “Rin, kamu harus ikhlas. Kita semua kehilangan dia.”
Kali ini aku sudah tak mampu lagi menahan bobot tubuhku. Aku terkulai dan tak tahu lagi apa yang terjadi.
@@@

       Sudah tiga hari meninggalnya Wisnu. Aku sengaja ikut  pulang kampung untuk mengantarkannya ke peristirahatan  yang terakhir.  Kepergian Wisnu benar-benar telah membuatku merasa sangat berduka. Hingga hari ini aku masih enggan untuk kembali ke kampus. Terlalu banyak kenangan yang akan menyakiti perasaanku.
      “Kapan mau ke Jakarta lagi, Rin?” Ibu menghampiriku dan ikut duduk di dekatku.
      “Belum tahu, Bu.”
      “Rin, kehidupan dan kematian itu sudah ada ketetapannya. Kamu harus ikhlas. Ibu tahu kalian berdua sangat dekat. Tapi itulah ketetapan yang dibuat olehNya.”
Ibu mengusap lenganku. Air mataku menetes. Tiba-tiba mataku tertuju pada cincin yang berada di jemari ibu. Aku kembali teringat cincin Wisnu yang berada di kotak pinsilku. Sontak aku bergerak ke kamar mengambil kotak pinsil yang ada di dalam tasku.
     
     Cincin itu kembali  berada di tanganku. Air mataku semakin deras. Entah dorongan apa yang membuat aku mendekatkan cincin itu ke mataku. Aku melihat ke bagian dalam cincin itu. Dua buah huruf tercetak berdampingan di sana. Pada bagian sisi-sisinya tercetak pula gambar hati.

     “WA” itulah huruf  yang tertera.  Sesuai dengan namanya ‘Wisnu Anggara’.  Setelah  berpamitani kepada ibu, aku menuju  ke rumah Wisnu. Aku akan menyerahkan cincin ini kepada ibunya. Cincin ini milik ibunya.

     Suasana di rumah Wisnu masih diliputi duka. Beberapa orang pelayat terlihat sedang mendengarkan penuturan ibunya tentang kecelakaan yang dialami oleh Wisnu.
     “Arin, ayo ke sini.” Ibu Wisnu menyuruhku masuk. Aku memang sudah sangat dekat dengan seluruh keluarganya. Aku menghampiri mereka dan bergabung di situ.
     “Bu, Arin mau menyerahkan ini.” Aku mulai menyampaikan maksudku setelah para pelayat berpamitan.
     “Kok dikembalikan, Rin?  Itu sudah jadi milik kamu.”  Aku sama sekali tak mengerti  maksud ucapan Ibunya Wisnu ini. Melihat wajahku yang kebingungan, Beliau melanjutkan
     “Arin, Cincin itu memang dibeli pake uang ibu tapi sengaja dibeli untuk kamu.” Aku malah semakin bingung dibuatnya.
     “Rin, Wisnu yang bilang pada ibu, dia ingin memberimu sebuah cincin. Dia ingin kamu tahu kalau dia sangat sayang sama kamu. Coba kamu lihat nama yang tertera di sana       ‘Wisnu Arin’. Bukan ‘Anggara Wisnu’ .”
     “Tapi, Bu…? Bukankah…”  Aku tergagap. Aku baru tersadar, namanya bukan Wisnu Anggara tetapi Anggara Wisnu.
     “Wisnu mencintai kamu, Rin. Itu sebabnya dia tak pernah bisa serius mencintai gadis lain.”

     Aku tidak tahu perasaan apa yang sebenarnya tengah menguasai  hatiku. Semuanya seperti  mimpi yang membawaku melambung tinggi  kemudian  terpelanting lalu  terjatuh dan tergeletak entah dimana.

Kita

Bukan bait-bait indah
Karena aku tak pandai memilih dan memilah kata
Bukan pula lantunan syahdu
dalam dendang sebuah lagu

Ini hanya kumpulan kata-kata
Tersusun begitu saja
Hanya karena aku ingin berbagi bahagia
Hanya denganmu saja

Walau kita pernah saling menyakiti
tapi  tak pernah saling benci
Selalu ada kata maaf untuk setiap salah
Selalu terurai setiap yang terlanjur kusut

Aku, Engkau adalah  kita..
yang kemudian menjelma Menjadi kumpulan rasa
Perihnya luka, duka…
Indahnya senyum, bahagia…
Kecewa, nelangsa dan segala rasa
Datang silih berganti
Semua tak apa, karena aku, engkau, kita
Telah siap taklukan masa
Dan nikmati setiap rasa dalam aroma apa saja

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....