Sabtu, 14 Juni 2014

Ini Bukan Cinta


Sari berbaring terlentang dengan mata lurus menatap langit-langit kamarnya. Sesekali terdengar tarikan napasnya yang  berat yang kemudian dihembuskannya dengan sekali hentakan  hhhh…
Hembusan angin dingin yang menyelusup melalui ventilasi jendela kamarnya tak  membuatnya segera terlelap. Nyanyian hewan-hewan malam yang sedari dulu selalu menemani saat istirahatnya tak pula dihiraukannya. Puncak Gunung yang selalu dinikmatinya lewat celah kecil tirai kamarnya, kini terlihat angkuh dengan senyum mencibir.
Cairan hangat  mengalir perlahan dari sudut luar  kelopak matanya. Aliran yang bergerak melintasi sisi wajah dan menyentuh cuping telinganya. Aliran itu semakin lama semakin deras dan membasahi bantal yang menyangga kepalanya. 
“Apa yang telah aku lakukan? Mengapa aku membiarkan semuanya terjadi?” Dia terus membatin, menyesali bahkan merutuki semua kebodohan yang telah dilakukannya.
Saat ini  seharusnya senyum bahagia yang mengembang di wajahnya. Sekitar sebulan yang lalu Nanto melamarnya. Lamaran yang dilakukan dengan cara sederhana saja. Dilakukan saat berbincang di teras rumah, tanpa setangkai mawar merah apalagi sebentuk cicin bermahkotakan permata. Nanto melamarnya hanya dengan sebuah pertanyaan “Kamu setuju kalau kita menikah bulan depan?”
Sari tentunya sangat bahagia dengan pertanyaan itu, tanpa memberi jeda dia langsung mengangguk menyetujui. Usia Sari  sudah tidak muda lagi. 35 tahun. Menerima pinangan tentu hal yang sudah sangat lama didambakannya. Sari sangat bahagia dibuatnya.
Bahagia itu ternyata tidak berlangsung lama. Sebuah pesan singkat datang ke kotak masuk ponselnya jelang istirahat malamnya.
“Sari, apa benar kamu sudah pernah melakukannya dengan Aldo?” pesan   itu datang dari sahabatnya, Nissa.
“Maksud kamu?” Sari tak paham.
“Aldo mengatakan kepada beberapa orang di kantor, kamu tidak mungkin menikah dengan orang lain, kecuali dengannya”
Bagai mendengar suara ledakan keras tepat di sisi telinganya sehingga menghentikan aliran darah di sekujur tubuhnya,  Sari terpana dengan wajah memucat. Beberapa saat  dia terdiam mematung tanpa tahu harus berkata apa.
“Aldo itu setres. dia tidak rela jika aku menikah dengan orang lain”  Sari menemukan jawaban yang tiba-tiba saja melintas di benaknya, setelah Nissa mendesaknya.
“Aku juga menduga begitu, aku percaya padamu. Mana mungkin sahabatku Sari akan berbuat serendah itu”  jawaban Nissa membuat Sari  dapat bernapas lega. Bagaimanapun juga dia takut  Nissa akan mengakhiri persahabatan mereka jika dia mengetahui bagaimana kelakuannya di belakang Nissa.
Persahabatan Sari dan Nissa sudah berlangsung sangat lama, sejak mereka sama-sama kuliah di sebuah perguruan tinggi terbesar di Banten. Mereka belajar di fakultas yang sama, bahkan duduk di kelas yang sama. Saat ini mereka bahkan bekerja di perusahaan yang sama. Sari dan Nissa selalu berbagi tentang bahagia maupun masalah-masalah yang mereka hadapi.
Rasa tenang yang dirasakan Sari ternyata tidak berlangsung lama. Setelah dia mulai serius mempersiapkan pernikahannya dengan Nanto, hari ini lagi-lagi Nissa menanyainya perihal sesuatu yang membuat dadanya nyeri. Sesuatu yang menurut akalnya tak mungkin dilakukan oleh Aldo, ternyata Aldo dengan tega telah melakukannya..
“Sari, apa benar kamu dan Aldo pernah punya video…?” belum tuntas pertanyaan itu diucapkan Nissa, tetapi Sari sudah sangat mengerti arah pertanyaan Nissa. Kali ini jantungnya benar-benar  berhenti bekerja bahkan otaknya pun tiba-tiba  membeku. Dia kehilangan semua kosa kata yang diperlukan untuk membuat alasan yang paling masuk akal dan bisa diterima oleh Nissa.
 @@@
Sari mengenal Aldo sudah cukup lama sejak dia dan Nissa diterima bekerja di perusahaan tempatnya bekerja saat ini.  Ada yang menarik perhatian Sari pada diri Aldo. Wajahnya yang simpatik, tetapi menyimpan misteri, begitu yang dirasakan oleh Sari. Dia  selalu datang ke kantor dengan wajah lusuh, sorot matanya menyiratkan ketidakbahagiaan. Sari tertarik untuk tahu lebih jauh mengenai Aldo.
Perhatian-perhatian kecil yang ditunjukkan Sari berhasil membuat Aldo mempercayainya. Entah bagaimana mulanya kemudian Aldo menjadikan Sari sebagai teman tempatnya  mencurahkan segala masalah yang tengah dihadapinya. Melalui cerita-cerita yang hampir setiap hari meluncur dari mulut Aldo, Sari jadi mengerti apa yang sebenarnya tengah dialami oleh Aldo dan itu membuat Sari semakin bersimpati kepadanya.
Dari cerita-cerita Aldo, Sari jadi tahu kondisi rumah tangga Aldo yang tidak bahagia dan   sedang berada di ujung tanduk.  Ketidakmampuan Aldo memenuhi tuntutan-tuntutan hidup mewah istrinyalah yang menjadi pemicunya. Bermula dari rasa simpatik terhadap kondisi yang tengah dihadapi Aldo, kedekatan Sari dengan Aldo akhirnya berubah menjadi sebuah ketertarikan dan keterikatan. Sari membiarkan dirinya menjadi penghibur bagi Aldo. Melakukan semuanya untuk Aldo. Tak ada lagi jarak di antara mereka.
Perhatian dan selanjutnya berkembang  menjadi rasa cinta yang ditunjukkan oleh Sari  untuk Aldo telah mengubah diri Aldo. Hidupnya menjadi lebih bergairah. Tak ada lagi Aldo yang lusuh atau Aldo yang selalu datang terlambat dengan wajah murung. Mereka berdua menjalani semuanya dengan rasa bahagia. Hanya Nissa yang merasa cemas dengan keadaan ini…
 “Aldo akan menceraikan istrinya.” ujar Sari kepada Nissa suatu hari.
“Bagaimana dengan anak-anaknya?”  selidik Nissa.
“Aku akan mengasuh mereka” jawab Sari dengan yakin
“Kamu yakin? Mamanya mengijinkan?” Nissa masih khawatir, sedangkan Sari hanya tersenyum dan mengangguk.
Keyakinan Sari untuk menjadi pendamping Aldo dan menjadi ibu bagi anak-anaknya ternyata tak sesederhana yang ada di pikirannya. Semua berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan saat istri Aldo mulai mencium bahaya yang mengancam biduk rumah tangganya.  Sari menjadi pelampiasan kemarahannya. Yang lebih melukai hati Sari, Aldo sama sekali tak membelanya. Aldo bahkan ikut melimpahkan semua kesalahan kepadanya.
Sari menyerah. Dia mundur teratur. Dengan susah payah dia berusaha menyembuhkan segala  perih karena luka di hatinya. Dia berusaha keras melupaka berapa banyak yang telah dia korbankan bagi Aldo, bukan saja materi  juga jiwa raganya.
Terseok, tertatih bahkan berkali-kali dia tersuruk saat mencoba untuk bangkit dan melupakan semua kesakitan yang dirasakannya. Butuh waktu yang cukup lama hingga dia akhirnya mampu menerima kehadiran sosok lain. Nanto.
Nanto datang dalam kehidupannya, setelah diperkenalkan oleh Tante Wiwit, adik ayahnya. Nanto tidak terlalu tampan, tidak juga jelek. Biasa saja, begitu kata orang-orang. Nanto bekerja di sebuah lembaga pendidikan. Usianya hanya lebih tua dua tahun dari Sari, Dia pernah menikah tetapi dua tahun yang lalu istrinya meninggal karena kecelakaan. Nanto memiliki seorang putri yang baru berusia tiga tahun. Nanto ingin mencari pendamping sekaligus ibu bagi putri kecilnya.
“Aku bukan laki-laki kaya yang  menawarkan kemewahan. Aku hanya laki-laki biasa yang punya keinginan membina sebuah keluarga. Aku berharap dan akan berusaha menjadikan keluargaku surga bagiku, bagi istri dan anak-anakku.” kata-kata ini sangat menyentuh hati Sari dan berhasil meyakinkannya untuk membuka diri menerima kehadiran Nanto.
Semakin hari Sari semakin yakin telah menemukan laki-laki yang sangat pantas untuk dijadikannya tumpuan dan pengharapan. Laki-laki yang akan melindunginya saat dia butuh perlindungan. Yang akan menggenggam tangannya ketika dia mendambakan cinta dan kehangatan.
@@@
Hari ini Aldo telah merampas semua mimpi-mimpi Sari. Semua harapan Sari untuk hidup bahagia bersama Nanto telah dihempaskannya sehingga hancur menjadi kepingan-kepingan tajam yang melukai.
Sari mungkin terlalu naïf untuk semua kecurangan Aldo. Tak ada masalah yang terlalu berarti antara Aldo dan istrinya. Aldo hanya memanfaatkannya untuk kebutuhan dirinya sendiri. Sari bahkan   tak  mencegah saat  Aldo merekam semua perbuatan terkutuk yang pernah mereka lakukan.
“Untuk kenang-kenangan” itu alasan Aldo saat Sari mempertanyakannya. Setelah itu Sari hanya tinggal  sosok tanpa daya. Dengan mudahnya dia akan menguras tabungan  hanya untuk mendanai hobi aeromodeling Aldo, yang tentunya cukup mahal. Sari juga selalu datang kepelukan Aldo setiap kali Aldo menginginkannya. Bahkan Sari juga harus ikut membiayai kebutuhan sekolah anak-anak Aldo. Telinga Sari juga menjadi tertutup dari setiap upaya Nissa mengingatkannya.  Sari terlalu yakin suatu saat nanti Aldo akan menikahinya. Harapan yang tak  pernah terwujud.
“Tunggulah dulu, waktunya belum tepat” selalu itu yang menjadi alasannya, setiap kali Sari mengingatkannya.
@@@
Butir bening itu masih turun dengan deras. Hatinya hampa. Dunianya gelap. Seribu makian menggumpal dan menjelma menjadi dendam. Wajah Aldo yang berkelebat-kelebat melintasi otaknya seperti bara panas yang siap membakar seluruh kehidupannya.
Sari tiba-tiba bangkit menghampiri meja kecil yang terletak di sisi pembaringannya. Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas meja itu. Sari menyentuh beberapa karakter pada layar ponsel yang berada di tangannya.
“Nissa, aku ingin membunuh Aldo” sms dikirmkannya untuk sahabatnya Nissa.
“Sari, jangan main-main. Kamu bisa dipenjara”
“Aku tidak peduli. Dia sudah menghancurkan hidupku”
“Kamu tidak boleh melakukannya, Sari. Masih banyak kesempatan di hadapan kamu”
“Semua sudah tertutup, Nissa. Aku harus melakukannya.”
Sari meletakkan kembali ponselnya di atas meja kecil itu. Matanya tiba-tiba berubah menjadi liar saat melihat benda putih berkilat tergeletak dalam laci meja yang terbuka. Sari tersenyum menyeringai. Sebuah senyuman yang sulit untuk dipahami…
@@@
Tok tok tok suara ketukan halus di pintu kamar  menyadarkan Sari dari lamunannya. Sudah hampir satu jam dia duduk kaku di sisi pebaringannya itu. Sari hanya melirik sekilas ke arah pintu tanpa berusaha untuk bangkit atau melakukan apapun.
“Sari, buka dong!”suara Nissa di balik pintu. Sari masih tak peduli.
Nissa yang berada di luar kamar kembali mengetuk  pintu kamar Sari, masih juga tak ada reaksi. Nissa menjadi panik. Dia berlari menuju dapur dan mencari-cari sesuatu. Bi Mimin yang tengah sibuk di dapur melihat dengan tatapan  bingung.
“Bi, mana, Bi? Mana?”  pertanyaan Nissa membuat Bi Mimin makin bingung.
“Neng Nissa mencari apa?” tanyanya kemudian
“Apa aja, Bi! Palu atau apalah”
“Buat apa, Neng Nissa?” Bi Nah agak berteriak. Nissa tersadar sudah membuat Bi Mimin kebingungan.
“Saya mau membongkar kamar Sari. Saya khawatir terjadi sesuatu sama dia”
“Pake kunci kamar tamu aja, Neng. Neng Sari juga suka pake kunci itu kalau lupa nyimpen kunci kamarnya”
“Iya, iya Bi. Bawa sini kunci kamar tamunya”
Setengah berlari, Bi Min  menuju kamar tamu yang bersebelahan dengan kamar Sari. Nissa mengikutinya dari belakang. Nissa langsung menyambar kunci itu dari tangan Bi Nah dan tergesa menuju kamar Sari. Masih dengan gugup Nissa berhasil membuka pintu itu.
Kamar Sari terbuka. Sari masih duduk di sisi pembaringannya dengan tatapan kosong. Pisau kecil berkilau-kilau kini berada di tangan  kanannya.
 “Sari, sabar… Kamu tidak boleh seperti ini” Nissa mendekati Sari dengan hati-hati. Sari tidak bereaksi. Rasa ngeri menghantui pikiran Nissa, tapi dia tetap mendekat dan meminta Sari melepaskan pisau yang berada dalam genggamannya.
Sari menatap Nissa dengan tatapan tajam. Nissa bergidig. Dia tak menemukan kelembutan  sahabatnya Sari. Yang ada di hadapannya kini seolah sosok asing yang siap menerkam. Di tengah rasa ngeri yang dirasakannya Nissa terus berusaha menenangkan Sari hingga kemudian genggaman itu melemah dan pisau yang ada ditangannya terjatuh. Bi Mimin cepat-cepat memungut pisau itu dan menyembunyikannya.
Nissa memeluk Sari. Penderitaan Sari membuat air matanya  deras mengalir. Sari masih tak bergerak, tetapi mulutnya terus mengulang kata-kata yang sama hingga bertahun-tahun  kemudian…
“Aku akan membunuhnya! Aku akan membunuhnya! Aku akan membunuhnya!”
               
 

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....