Sari
berbaring terlentang dengan mata lurus menatap langit-langit kamarnya. Sesekali
terdengar tarikan napasnya yang berat
yang kemudian dihembuskannya dengan sekali hentakan hhhh…
Hembusan
angin dingin yang menyelusup melalui ventilasi jendela kamarnya tak membuatnya segera terlelap. Nyanyian
hewan-hewan malam yang sedari dulu selalu menemani saat istirahatnya tak pula
dihiraukannya. Puncak Gunung yang selalu dinikmatinya lewat celah kecil tirai
kamarnya, kini terlihat angkuh dengan senyum mencibir.
Cairan
hangat mengalir perlahan dari sudut luar
kelopak matanya. Aliran yang bergerak
melintasi sisi wajah dan menyentuh cuping telinganya. Aliran itu semakin lama
semakin deras dan membasahi bantal yang menyangga kepalanya.
“Apa
yang telah aku lakukan? Mengapa aku membiarkan semuanya terjadi?” Dia terus
membatin, menyesali bahkan merutuki semua kebodohan yang telah dilakukannya.
Saat
ini seharusnya senyum bahagia yang mengembang
di wajahnya. Sekitar sebulan yang lalu Nanto melamarnya. Lamaran yang dilakukan
dengan cara sederhana saja. Dilakukan saat berbincang di teras rumah, tanpa
setangkai mawar merah apalagi sebentuk cicin bermahkotakan permata. Nanto
melamarnya hanya dengan sebuah pertanyaan “Kamu setuju kalau kita menikah bulan
depan?”
Sari
tentunya sangat bahagia dengan pertanyaan itu, tanpa memberi jeda dia langsung
mengangguk menyetujui. Usia Sari sudah
tidak muda lagi. 35 tahun. Menerima pinangan tentu hal yang sudah sangat lama
didambakannya. Sari sangat bahagia dibuatnya.
Bahagia
itu ternyata tidak berlangsung lama. Sebuah pesan singkat datang ke kotak masuk
ponselnya jelang istirahat malamnya.
“Sari,
apa benar kamu sudah pernah melakukannya dengan Aldo?” pesan itu datang
dari sahabatnya, Nissa.
“Maksud
kamu?” Sari tak paham.
“Aldo
mengatakan kepada beberapa orang di kantor, kamu tidak mungkin menikah dengan
orang lain, kecuali dengannya”
Bagai
mendengar suara ledakan keras tepat di sisi telinganya sehingga menghentikan
aliran darah di sekujur tubuhnya, Sari
terpana dengan wajah memucat. Beberapa saat
dia terdiam mematung tanpa tahu harus berkata apa.
“Aldo
itu setres. dia tidak rela jika aku menikah dengan orang lain” Sari menemukan jawaban yang tiba-tiba saja
melintas di benaknya, setelah Nissa mendesaknya.
“Aku
juga menduga begitu, aku percaya padamu. Mana mungkin sahabatku Sari akan
berbuat serendah itu” jawaban Nissa
membuat Sari dapat bernapas lega.
Bagaimanapun juga dia takut Nissa akan mengakhiri
persahabatan mereka jika dia mengetahui bagaimana kelakuannya di belakang
Nissa.
Persahabatan
Sari dan Nissa sudah berlangsung sangat lama, sejak mereka sama-sama kuliah di
sebuah perguruan tinggi terbesar di Banten. Mereka belajar di fakultas yang
sama, bahkan duduk di kelas yang sama. Saat ini mereka bahkan bekerja di
perusahaan yang sama. Sari dan Nissa selalu berbagi tentang bahagia maupun
masalah-masalah yang mereka hadapi.
Rasa
tenang yang dirasakan Sari ternyata tidak berlangsung lama. Setelah dia mulai
serius mempersiapkan pernikahannya dengan Nanto, hari ini lagi-lagi Nissa
menanyainya perihal sesuatu yang membuat dadanya nyeri. Sesuatu yang menurut
akalnya tak mungkin dilakukan oleh Aldo, ternyata Aldo dengan tega telah
melakukannya..
“Sari,
apa benar kamu dan Aldo pernah punya video…?” belum tuntas pertanyaan itu diucapkan
Nissa, tetapi Sari sudah sangat mengerti arah pertanyaan Nissa. Kali ini jantungnya
benar-benar berhenti bekerja bahkan
otaknya pun tiba-tiba membeku. Dia
kehilangan semua kosa kata yang diperlukan untuk membuat alasan yang paling
masuk akal dan bisa diterima oleh Nissa.
@@@
Sari
mengenal Aldo sudah cukup lama sejak dia dan Nissa diterima bekerja di
perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Ada yang menarik perhatian Sari pada diri
Aldo. Wajahnya yang simpatik, tetapi menyimpan misteri, begitu yang dirasakan
oleh Sari. Dia selalu datang ke kantor
dengan wajah lusuh, sorot matanya menyiratkan ketidakbahagiaan. Sari tertarik
untuk tahu lebih jauh mengenai Aldo.
Perhatian-perhatian
kecil yang ditunjukkan Sari berhasil membuat Aldo mempercayainya. Entah
bagaimana mulanya kemudian Aldo menjadikan Sari sebagai teman tempatnya mencurahkan segala masalah yang tengah
dihadapinya. Melalui cerita-cerita yang hampir setiap hari meluncur dari mulut
Aldo, Sari jadi mengerti apa yang sebenarnya tengah dialami oleh Aldo dan itu
membuat Sari semakin bersimpati kepadanya.
Dari
cerita-cerita Aldo, Sari jadi tahu kondisi rumah tangga Aldo yang tidak bahagia
dan sedang berada di ujung tanduk. Ketidakmampuan Aldo memenuhi
tuntutan-tuntutan hidup mewah istrinyalah yang menjadi pemicunya. Bermula dari
rasa simpatik terhadap kondisi yang tengah dihadapi Aldo, kedekatan Sari dengan
Aldo akhirnya berubah menjadi sebuah ketertarikan dan keterikatan. Sari
membiarkan dirinya menjadi penghibur bagi Aldo. Melakukan semuanya untuk Aldo.
Tak ada lagi jarak di antara mereka.
Perhatian
dan selanjutnya berkembang menjadi rasa
cinta yang ditunjukkan oleh Sari untuk
Aldo telah mengubah diri Aldo. Hidupnya menjadi lebih bergairah. Tak ada lagi
Aldo yang lusuh atau Aldo yang selalu datang terlambat dengan wajah murung.
Mereka berdua menjalani semuanya dengan rasa bahagia. Hanya Nissa yang merasa
cemas dengan keadaan ini…
“Aldo akan menceraikan istrinya.” ujar Sari
kepada Nissa suatu hari.
“Bagaimana
dengan anak-anaknya?” selidik Nissa.
“Aku
akan mengasuh mereka” jawab Sari dengan yakin
“Kamu
yakin? Mamanya mengijinkan?” Nissa masih khawatir, sedangkan Sari hanya
tersenyum dan mengangguk.
Keyakinan
Sari untuk menjadi pendamping Aldo dan menjadi ibu bagi anak-anaknya ternyata
tak sesederhana yang ada di pikirannya. Semua berubah menjadi sesuatu yang
menyakitkan saat istri Aldo mulai mencium bahaya yang mengancam biduk rumah
tangganya. Sari menjadi pelampiasan
kemarahannya. Yang lebih melukai hati Sari, Aldo sama sekali tak membelanya.
Aldo bahkan ikut melimpahkan semua kesalahan kepadanya.
Sari
menyerah. Dia mundur teratur. Dengan susah payah dia berusaha menyembuhkan segala perih karena luka di hatinya. Dia berusaha
keras melupaka berapa banyak yang telah dia korbankan bagi Aldo, bukan saja
materi juga jiwa raganya.
Terseok,
tertatih bahkan berkali-kali dia tersuruk saat mencoba untuk bangkit dan
melupakan semua kesakitan yang dirasakannya. Butuh waktu yang cukup lama hingga
dia akhirnya mampu menerima kehadiran sosok lain. Nanto.
Nanto
datang dalam kehidupannya, setelah diperkenalkan oleh Tante Wiwit, adik
ayahnya. Nanto tidak terlalu tampan, tidak juga jelek. Biasa saja, begitu kata
orang-orang. Nanto bekerja di sebuah lembaga pendidikan. Usianya hanya lebih
tua dua tahun dari Sari, Dia pernah menikah tetapi dua tahun yang lalu istrinya
meninggal karena kecelakaan. Nanto memiliki seorang putri yang baru berusia
tiga tahun. Nanto ingin mencari pendamping sekaligus ibu bagi putri kecilnya.
“Aku
bukan laki-laki kaya yang menawarkan
kemewahan. Aku hanya laki-laki biasa yang punya keinginan membina sebuah
keluarga. Aku berharap dan akan berusaha menjadikan keluargaku surga bagiku,
bagi istri dan anak-anakku.” kata-kata ini sangat menyentuh hati Sari dan
berhasil meyakinkannya untuk membuka diri menerima kehadiran Nanto.
Semakin
hari Sari semakin yakin telah menemukan laki-laki yang sangat pantas untuk
dijadikannya tumpuan dan pengharapan. Laki-laki yang akan melindunginya saat
dia butuh perlindungan. Yang akan menggenggam tangannya ketika dia mendambakan
cinta dan kehangatan.
@@@
Hari
ini Aldo telah merampas semua mimpi-mimpi Sari. Semua harapan Sari untuk hidup
bahagia bersama Nanto telah dihempaskannya sehingga hancur menjadi
kepingan-kepingan tajam yang melukai.
Sari
mungkin terlalu naïf untuk semua kecurangan Aldo. Tak ada masalah yang terlalu
berarti antara Aldo dan istrinya. Aldo hanya memanfaatkannya untuk kebutuhan
dirinya sendiri. Sari bahkan tak mencegah saat Aldo merekam semua perbuatan terkutuk yang
pernah mereka lakukan.
“Untuk
kenang-kenangan” itu alasan Aldo saat Sari mempertanyakannya. Setelah itu Sari hanya
tinggal sosok tanpa daya. Dengan
mudahnya dia akan menguras tabungan hanya
untuk mendanai hobi aeromodeling Aldo, yang tentunya cukup mahal. Sari juga
selalu datang kepelukan Aldo setiap kali Aldo menginginkannya. Bahkan Sari juga
harus ikut membiayai kebutuhan sekolah anak-anak Aldo. Telinga Sari juga
menjadi tertutup dari setiap upaya Nissa mengingatkannya. Sari terlalu yakin suatu saat nanti Aldo akan
menikahinya. Harapan yang tak pernah
terwujud.
“Tunggulah
dulu, waktunya belum tepat” selalu itu yang menjadi alasannya, setiap kali Sari
mengingatkannya.
@@@
Butir
bening itu masih turun dengan deras. Hatinya hampa. Dunianya gelap. Seribu
makian menggumpal dan menjelma menjadi dendam. Wajah Aldo yang
berkelebat-kelebat melintasi otaknya seperti bara panas yang siap membakar
seluruh kehidupannya.
Sari
tiba-tiba bangkit menghampiri meja kecil yang terletak di sisi pembaringannya.
Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas meja itu. Sari menyentuh beberapa
karakter pada layar ponsel yang berada di tangannya.
“Nissa,
aku ingin membunuh Aldo” sms dikirmkannya untuk sahabatnya Nissa.
“Sari,
jangan main-main. Kamu bisa dipenjara”
“Aku
tidak peduli. Dia sudah menghancurkan hidupku”
“Kamu
tidak boleh melakukannya, Sari. Masih banyak kesempatan di hadapan kamu”
“Semua
sudah tertutup, Nissa. Aku harus melakukannya.”
Sari
meletakkan kembali ponselnya di atas meja kecil itu. Matanya tiba-tiba berubah
menjadi liar saat melihat benda putih berkilat tergeletak dalam laci meja yang
terbuka. Sari tersenyum menyeringai. Sebuah senyuman yang sulit untuk dipahami…
@@@
Tok
tok tok suara ketukan halus di pintu kamar
menyadarkan Sari dari lamunannya. Sudah hampir satu jam dia duduk kaku
di sisi pebaringannya itu. Sari hanya melirik sekilas ke arah pintu tanpa
berusaha untuk bangkit atau melakukan apapun.
“Sari,
buka dong!”suara Nissa di balik pintu. Sari masih tak peduli.
Nissa
yang berada di luar kamar kembali mengetuk
pintu kamar Sari, masih juga tak ada reaksi. Nissa menjadi panik. Dia
berlari menuju dapur dan mencari-cari sesuatu. Bi Mimin yang tengah sibuk di
dapur melihat dengan tatapan bingung.
“Bi,
mana, Bi? Mana?” pertanyaan Nissa
membuat Bi Mimin makin bingung.
“Neng
Nissa mencari apa?” tanyanya kemudian
“Apa
aja, Bi! Palu atau apalah”
“Buat
apa, Neng Nissa?” Bi Nah agak berteriak. Nissa tersadar sudah membuat Bi Mimin kebingungan.
“Saya
mau membongkar kamar Sari. Saya khawatir terjadi sesuatu sama dia”
“Pake
kunci kamar tamu aja, Neng. Neng Sari juga suka pake kunci itu kalau lupa
nyimpen kunci kamarnya”
“Iya,
iya Bi. Bawa sini kunci kamar tamunya”
Setengah
berlari, Bi Min menuju kamar tamu yang
bersebelahan dengan kamar Sari. Nissa mengikutinya dari belakang. Nissa
langsung menyambar kunci itu dari tangan Bi Nah dan tergesa menuju kamar Sari.
Masih dengan gugup Nissa berhasil membuka pintu itu.
Kamar
Sari terbuka. Sari masih duduk di sisi pembaringannya dengan tatapan kosong.
Pisau kecil berkilau-kilau kini berada di tangan kanannya.
“Sari, sabar… Kamu tidak boleh seperti ini” Nissa
mendekati Sari dengan hati-hati. Sari tidak bereaksi. Rasa ngeri menghantui
pikiran Nissa, tapi dia tetap mendekat dan meminta Sari melepaskan pisau yang
berada dalam genggamannya.
Sari
menatap Nissa dengan tatapan tajam. Nissa bergidig. Dia tak menemukan
kelembutan sahabatnya Sari. Yang ada di
hadapannya kini seolah sosok asing yang siap menerkam. Di tengah rasa ngeri
yang dirasakannya Nissa terus berusaha menenangkan Sari hingga kemudian
genggaman itu melemah dan pisau yang ada ditangannya terjatuh. Bi Mimin
cepat-cepat memungut pisau itu dan menyembunyikannya.
Nissa
memeluk Sari. Penderitaan Sari membuat air matanya deras mengalir. Sari masih tak bergerak, tetapi
mulutnya terus mengulang kata-kata yang sama hingga bertahun-tahun kemudian…
“Aku
akan membunuhnya! Aku akan membunuhnya! Aku akan membunuhnya!”