Jumat, 05 November 2021

Cerita dari Masa Lalu #3

bagian sebelumnya Sejak ada dering telpon itu, sejak suara Han mampir lagi di pendengarannya, semua berubah. Ada ruang kosong di hatinya. Ada detak aneh yang mengusiknya, ada keinginan untuk kembali pada masa masa diperlakukan sebagai wanita istimewa, yang setiap saat dilambungkan oleh diksi diksi cinta. Resti menghela napas berat sambil menggelengkan kepala. Tidak, jangan, tidak boleh! Resti menghenyakkan tubuhnya di kursi tamu, meraih boneka Rilakuma yang tergeletak di sampingnya lalu mendekapkannya ke dada. Seharusnya kita tidak memulai canda- canda itu. Seharusnya kita tidak bermain main dengan hati. Rasa itu  ternyata tak pernah mati dan sekarang malah menjadi pengganggu. Han, seharusnya aku membencimu. Kamu yang pergi tanpa pamit. Kalau tidak ada Ilham, dengan pikiran pikiran logisnya yang terus menyadarkanku untuk bertahan lalu kembali melangkah, entah apa yang terjadi padaku. Denting kecil terdengar dari suara HP yg tergeletak di lantai karena sedang dicas. Kilatan layar saat muncul notif mengundang perhatian Resti. Dia meraih HP itu tanpa berusaha bangkit dari tempatnya duduk. Ikon berwarna hijau dan tulisan angka 12. Sudah ada 12 pesan masuk. Salah satunya ternyata dari Han. Res, untuk kali ini aku pamit. Tidak menghilang tanpa kabar seperti dulu. Mohon maaf atas segala kesalahanku. Dalam dua atau tiga hari ini kamu akan mengerti semuanya. Resti membaca tulisan itu berulang-ulang. Rasa penasaran membuatnya menuliskan beberapa kata untuk Han. Han, mau ke mana? Resti tak langsung menekan tombol panah. Perlukah aku menanyakan hal ini? Bukankah lebih baik bila dia pergi? Aku sudah memiliki kehidupan bersama Ilham dan anak-anak. Tak perlu lagi ada masa lalu. Resti mengurungkan niatnya. Diletakkannya kembali HP yang kabel chargernya masih terpasang, ke lantai. Hari hari penuh gundah. Rasa penasaran dan usaha keras untuk setia pada komitmen pernikahan  ternyata tidak mudah. Resti tak bisa menghapus begitu saja rasa ingin tahunya. Ada apa dengan Han? Mau ke mana dia? Dua buah tanya yang cukup menganggu.

 @@@ Sejak 30 menit yang lalu Resti sudah sibuk di dapur. Menyiapkan sarapan. Hari Minggu biasanya Fio minta dibuatkan nasi kuning komplit dengan urak arik tempe dan kacang tanah juga telur mata sapi setengah matang. Semua kini sudah terhidang di meja makan. Acara sarapan di Minggu pagi adalah saat bercengkerama. Usai makan  tidak ada yang beranjak meninggalkan meja, tak ada HP. Saling bercerita, saling mendengar. Bila ada yang menyampaikan masalah  Ilham akan memberikan saran-saran logis dan Resti memberi pandangan lewat hati dan kelembutan. Hari beranjak siang, saatnya melanjutkan aktivitas. Resti merapikan bunga-bunga yang memenuhi teras depan, Ilham pergi ke bengkel motor, dan Fio memanfaatkan jatah satu jam main game di HP milik Resti. "Ma, ada telepon." Fio menghampiri sambil menyerahkan HP yang ada di genggamannya. Mulutnya sedikit menggelembung. "Lagi seru, eh ada telepon," rungutnya. Mendengar itu Resti hanya tersenyum. "Selamat pagi," suara asing di seberang sana. "Pagi," ragu ragu Resti menjawab. "Dengan Ibu Resti?" "Iya... Saya sendiri.. Ada apa?" "Saya Andin, perawat di RS Cahaya Medika, ingin bertemu ibu." "RS? ... Mau ketemu saya? Kok saya jadi  bingung." "Maaf, Bu. Saya punya titipan dari seorang pasien untuk Ibu." "Dari siapa?" Dada Resti kini berdetak kencang. Kalau tadi hatinya diliputi keraguan dan rasa curiga, kini ada cemas menyertai. "Maaf, Bu. Boleh saya mampir ke rumah Ibu sekarang?  Saya sudah dalam perjalanan menuju RS dan sebentar lagi  melewati rumah Ibu." "Iya, silakan." Jawaban spontan terluncur begitu saja. Scoopi putih kini berhenti di dekat pagar. Seorang perempuan muda mengenakan kulot berbahan jeans dan atasan berbahan katun  berwarna biru muda tutun sambil melempar senyum ke arah Resti. "Assalamualaikum,"sapanya ramah. "Waalaikum salam, silakan masuk." Resti menyilakan tamunya duduk. "Maaf, saya tidak lama. Hanya akan menyerahkan ini." Selembar amplop coklat seukuran kertas folio diserahkannya kepada Resti. "Ini apa?" Resti kembali dibuat bingung. "Ini titipan dari Bapak Han. Beliau meminta saya menyerahkan ini ke Ibu dua hari yang lalu, sebelum tindakkan operasi dilakukan." "Operasi apa?" "Ibu Baca saja surat ini. Mungkin Pak Han menulisnya di sini," setelah sedikit berbasa-basi perawat itu pun berpamitan. Resti hendak beranjak masuk, Fio  menjaganya, telapak tangan Fio terbuka di depan dada. Resti menyerahkan HP-nya. Resti mengeluarkan selembar kertas dari amplop coklat itu.  tulisan tangan Han. Re, Aku tulis ini hanya untuk menjawab pertanyaan yang aku yakin masih ada di hati kamu. Tujuh tahun lalu aku divonis cancer prostat dan  harus dioperasi. Dampak operasi itu aku tidak bisa punya keturunan. Ini alasanku 7 tahun lalu meninggalkanmu tanpa pamit. Besok aku harus operasi lagi karena cancerku ternyata menjalar ke usus. Re, aku tidak tahu apakah operasinya akan berjalan baik-baik saja atau tidak. Sebelum terlambat aku mau minta maaf atas semua sikapku yang menyakitimu. Jika aku harus pergi aku ingin pergi dengan maafmu. Jika  surat ini sampai kepadamu, itu artinya kita tak lagi bisa bertemu. Berbahagialah bersama keluargamu. Karena hanya itu yang selama ini menjadi harapanku. Han. Detak jantung Resti kini semakin tak karuan. Dadanya tiba-tiba sesak. Tanpa dapat dibendung bulir-bulir air mata  mengalir deras di wajahnya. # masa lalu adalah catatan hidup yang.tak harus dihapus. Biarlah jadi bagian warna kehidupan (yety)

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....