Senin, 18 November 2013

Takdir Kita


    “Aku putus sama Lia” ucapan itu yang pertama kudengar dari mulut Wisnu ketika dia menghampiriku di kantin kampus lalu duduk di sebelahku.
    “Oh” Hanya itu jawabanku atas kabar yang dibawanya. Wisnu putus dengan pacarnya bukanlah berita istimewa. Baginya berpacaran bisa lebih dari enam  bulan saja sudah merupakan prestasi.
     “Kok tanggapan kamu cuma gitu, sih?” Wisnu memprotes sikapku tapi aku hanya mengangkat kedua bahuku sedangkan jemariku tetap asik memainkan sendok es buah yang ada di hadapanku.
    “Terus aku harus bilang apa? Berita seperti ini kan sudah terlalu biasa.”
    “Setidaknya kamu Tanya kek, kenapa aku putus? Kapan putusnya? Atau apalah? Kalau kamu banyak tanya aku kan bisa cerita sebanyak-banyaknya ke kamu.”  ujarnya lagi sambil bangkit mendekati  kulkas yang ada di belakangnya. Wisnu kembali dengan sebotol minuman dingin di tangannya.
   “Oh, gitu, ya? Kalau kamu mau cerita, ya cerita aja. Kamu kan tahu, aku pasti akan duduk di sini sampai ceritamu habis.”
   “Kamu gak ikhlas.” Sekarang dia sudah kembali duduk di kursi tempatnya semula. Tepat di hadapanku. Suaranya seperti sebuah keluhan.
   “Terserah kamu deh. Kalau kamu gak mau cerita, sekarang aku mau ke perpustakaan. Kamu mau ikut?” aku langsung bangkit dan berjalan meninggalkannya.
   
   Wisnu adalah sahabatku sejak kami masih sama-sama duduk di SMP.  Ketika SMA kami sempat berpisah. Kakakku yang paling sulung memintaku untuk tinggal bersamanya di kota yang berbeda. Kakakku juga menjanjikan akan menanggung seluruh biaya pendidikkanku.   Demi meringankan beban keluarga, aku menyetujui tawarannya.

    Kakakku memang menepati janjinya. Bahkan sampai sekarang.  Aku bisa terus kuliah sampai  duduk di semester V pada sebuah  perguruan tinggi swasta, itu karena kebaikannya . Aku di sini belajar ilmu Pendidikkan.

    Di kampus ini aku bertemu lagi dengan Wisnu.  Dia kuliah di Fakultas yang berbeda. Wisnu memilih program studi  Ilmu Akuntansi. Sepertinya dia ingin mengembangkan bisnis kayu yang dikelola ayahnya.
    “Arin, tunggu dong !” Wisnu berusaha mengejarku. Nafasnya terengah saat berjalan di sisiku.Berdua kami berjalan menyusuri koridor untuk menuju ke perpustakaan.

    Wisnu tidak menyadari betapa saat-saat seperti ini selalu membuatku bahagia. Ada keinginan kuat di hatiku untuk tidak menjadikan Wisnu sekadar sahabat. Hatiku menuntut lebih dari itu. Hanya saja  itu  sangat mustahil. Wisnu selalu berhasil memikat perhatian gadis-gadis cantik, sejak dulu ketika kami masih SMP sampai sekarang. Sedangkan aku? Aku hanya gadis biasa. Terlahir dari keluarga sederhana. Aku tidak pandai berdandan sehingga keseharianku sangat apa adanya. Aku hanya pantas jadi tempat Wisnu melepaskan segala unek-uneknya. Mungkin ini saja sudah cukup bagiku.
     “Kamu kenapa sih putus sama Lia? Perasaan… kamu baru pacaran seminggu deh”  pertanyaan itu begitu saja meluncur dari mulutku. Wisnu menoleh sambil mendelik ke arahku.
     “Enak aja seminggu. Aku pacaran sama Lia sudah dua bulan”
     “Oh udah dua bulan? lama juga, ya. Kalau sama Vina, berapa hari?” aku mencoba menggodanya.
     “Arin, maksud kamu apa sih?”  Wisnu mulai terpancing dengan ledekanku.
     “Enggak ada maksud apa-apa kok. Aku hanya heran aja. Kamu tuh gampang amat jatuh cinta tapi gampang juga putusnya.”
     “Merekanya aja nyebelin.” Wisnu semakin sewot.
     “Wisnu..Wisnu… Yang gonta-ganti pacar itu kamu, jadi masalahnya di diri kamu. Kok nyalahin mereka sih.” Aku mencoba meluruskan cara berpikirnya. Menurutku Wisnu terlalu mudah bilang cinta. Setelah menyadari wanita itu tidak cocok dengan yang dia mau, langsung putus. Mendengar ucapanku, Wisnu kembali protes lewat tatapan matanya yang melotot.
     Tanpa terasa kami sudah sampai di depan pintu perpustakaan. Sudah waktunya untuk diam kalau tidak mau di pelototin orang seperpus.
@@@
     “Arin, sekali-sekali kamu cerita dong tentang pacar kamu yang di Kalimantan itu.” Pertanyaan yang tidak aku inginkan itu terlontar dari mulut Wisnu.
    
      Selama ini Wisnu hanya tahu kalau aku mempunyai pacar yang tinggal di Kalimantan. Kami pacaran sejak di SMA tetapi kemudian kami terpaksa menjalani cinta jarak jauh karena dia ikut keluarganya pindah ke Kalimantan. Itu yang diketahui oleh Wisnu sebagaimana yang pernah aku ceritakan kepadanya.
    
      Wisnu tidak pernah tahu bagaimana sulitnya aku membuat cerita seperti itu. Edo, itu namanya. Nama yang muncul begitu saja di benakku saat Wisnu menanyakan siapa pacarku. Edo hanyalah tokoh semu. Tak pernah ada pacar SMA, tak pernah ada cinta jarak jauh.
     
      Aku hanya perempuan sederhana yang telah jatuh cinta kepada sahabat masa kecilku. Aku tak memiliki keberanian yang cukup untuk mengungkapkannya. Keadaan kami terlalu berbeda. Aku tak ingin benar-benar kehilangannya, hanya karena perasaanku yang tidak semestinya ini.
    
      “Arin! Nglamunin apa sih? Kamu inget pacar kamu itu ya? Makanya curhat sama aku.” Wisnu  melipat kedua tangannya di depan dada lalu meletakkannya di atas meja tepat di depanku. Kepalanya ditegakkan sehingga wajahnya terlihat lucu karena berlagak serius.
“Ngapain curhat sama kamu, kamu aja cintanya kacau balau gitu.” Aku berusaha mengelak.
    
    Sore itu, seperti banyak hari yang lainnya kami habiskan bersama. Tidak kemana-mana hanya di teras rumahku. Inilah satu bentuk bahagiaku.
@@@
     Wisnu baru saja pulang. Aku bermaksud melangkahkan kakiku ke dalam rumah  saat  mataku tertuju pada sebuah benda kecil yang tergeletak di lantai tepat di bawah kursi yang tadi diduduki oleh Wisnu.

     Aku memungut benda kecil itu, sebuah cincin perak dengan hiasan batu safir berwarna biru. Wisnu selalu mengenakan cincin ini. Cincin ini milik ibunya, begitu katanya saat dulu kutanya. Aku kemudian membawa cincin itu ke kamarku dan meletakkannya di dalam kotak peralatan tulisku.  Aku akan mengembalikannya besok di kampus.
@@@
     Sudah pukul tujuh pagi, tergesa aku meninggalkan rumah. Hari ini ada kuis mata kuliah Psikolinguistik. Tadi malam aku sudah belajar dan mempersiapkan semuanya dengan matang. Aku tak ingin gagal mengikuti kuis gara-gara terlambat. Walau nyaris lupa, cincin itu akhirnya masuk juga ke dalam dompetku.
     Bis kota yang aku tumpangi sudah penuh sesak tetapi kondektur masih saja berusaha menaikkan penumpang. Tuntutan hidup memang  telah memaksa orang menjadi pribadi-pribadi egois.  Masih beruntung saat naik tadi aku langsung ditawari tempat duduk oleh seorang ibu yang sudah mau turun sehingga aku tidak perlu berdiri berdesak-desakkan.
    
     Drrrrrrrt  drrrrrrtt drrrrrrrt.. Ponselku bergetar. Aku segera mengeluarkan ponselku itu dari  tas yang ada di pangkuanku.
    
     Tubuhku tiba-tiba limbung, jika bukan tengah berada di dalam bis mungkin aku sudah menjerit sekeras-kerasnya. Aku terus berusaha bertahan. Paling tidak aku harus sampai di rumah sakit tempat Wisnu sekarang berada.
     
     Aku berlari sekencang yang aku mampu. Bayangan wajah Wisnu yang kemarin sore masih menghabiskan sisa sore bersamaku terus melintas-lintas di benakku.

     Aku sampai di ruang UGD dengan nafas tersenggal.  Di sana kawan-kawan satu kosannya telah berkumpul juga beberapa teman kuliahnya. Salah seorang dari mereka menghampiriku.

     “Rin, kamu harus ikhlas. Kita semua kehilangan dia.”
Kali ini aku sudah tak mampu lagi menahan bobot tubuhku. Aku terkulai dan tak tahu lagi apa yang terjadi.
@@@

       Sudah tiga hari meninggalnya Wisnu. Aku sengaja ikut  pulang kampung untuk mengantarkannya ke peristirahatan  yang terakhir.  Kepergian Wisnu benar-benar telah membuatku merasa sangat berduka. Hingga hari ini aku masih enggan untuk kembali ke kampus. Terlalu banyak kenangan yang akan menyakiti perasaanku.
      “Kapan mau ke Jakarta lagi, Rin?” Ibu menghampiriku dan ikut duduk di dekatku.
      “Belum tahu, Bu.”
      “Rin, kehidupan dan kematian itu sudah ada ketetapannya. Kamu harus ikhlas. Ibu tahu kalian berdua sangat dekat. Tapi itulah ketetapan yang dibuat olehNya.”
Ibu mengusap lenganku. Air mataku menetes. Tiba-tiba mataku tertuju pada cincin yang berada di jemari ibu. Aku kembali teringat cincin Wisnu yang berada di kotak pinsilku. Sontak aku bergerak ke kamar mengambil kotak pinsil yang ada di dalam tasku.
     
     Cincin itu kembali  berada di tanganku. Air mataku semakin deras. Entah dorongan apa yang membuat aku mendekatkan cincin itu ke mataku. Aku melihat ke bagian dalam cincin itu. Dua buah huruf tercetak berdampingan di sana. Pada bagian sisi-sisinya tercetak pula gambar hati.

     “WA” itulah huruf  yang tertera.  Sesuai dengan namanya ‘Wisnu Anggara’.  Setelah  berpamitani kepada ibu, aku menuju  ke rumah Wisnu. Aku akan menyerahkan cincin ini kepada ibunya. Cincin ini milik ibunya.

     Suasana di rumah Wisnu masih diliputi duka. Beberapa orang pelayat terlihat sedang mendengarkan penuturan ibunya tentang kecelakaan yang dialami oleh Wisnu.
     “Arin, ayo ke sini.” Ibu Wisnu menyuruhku masuk. Aku memang sudah sangat dekat dengan seluruh keluarganya. Aku menghampiri mereka dan bergabung di situ.
     “Bu, Arin mau menyerahkan ini.” Aku mulai menyampaikan maksudku setelah para pelayat berpamitan.
     “Kok dikembalikan, Rin?  Itu sudah jadi milik kamu.”  Aku sama sekali tak mengerti  maksud ucapan Ibunya Wisnu ini. Melihat wajahku yang kebingungan, Beliau melanjutkan
     “Arin, Cincin itu memang dibeli pake uang ibu tapi sengaja dibeli untuk kamu.” Aku malah semakin bingung dibuatnya.
     “Rin, Wisnu yang bilang pada ibu, dia ingin memberimu sebuah cincin. Dia ingin kamu tahu kalau dia sangat sayang sama kamu. Coba kamu lihat nama yang tertera di sana       ‘Wisnu Arin’. Bukan ‘Anggara Wisnu’ .”
     “Tapi, Bu…? Bukankah…”  Aku tergagap. Aku baru tersadar, namanya bukan Wisnu Anggara tetapi Anggara Wisnu.
     “Wisnu mencintai kamu, Rin. Itu sebabnya dia tak pernah bisa serius mencintai gadis lain.”

     Aku tidak tahu perasaan apa yang sebenarnya tengah menguasai  hatiku. Semuanya seperti  mimpi yang membawaku melambung tinggi  kemudian  terpelanting lalu  terjatuh dan tergeletak entah dimana.

Kita

Bukan bait-bait indah
Karena aku tak pandai memilih dan memilah kata
Bukan pula lantunan syahdu
dalam dendang sebuah lagu

Ini hanya kumpulan kata-kata
Tersusun begitu saja
Hanya karena aku ingin berbagi bahagia
Hanya denganmu saja

Walau kita pernah saling menyakiti
tapi  tak pernah saling benci
Selalu ada kata maaf untuk setiap salah
Selalu terurai setiap yang terlanjur kusut

Aku, Engkau adalah  kita..
yang kemudian menjelma Menjadi kumpulan rasa
Perihnya luka, duka…
Indahnya senyum, bahagia…
Kecewa, nelangsa dan segala rasa
Datang silih berganti
Semua tak apa, karena aku, engkau, kita
Telah siap taklukan masa
Dan nikmati setiap rasa dalam aroma apa saja

Minggu, 13 Oktober 2013

Mas, Aku Mencintaimu







Dadaku tiba-tiba sesak. Rasa nyeri  yang menyertai membuatku marasa  rapuh.  Aku ingin menolak untuk mempercayai tetapi mustahil. Ini nyata, tetapi aku tidak ingin  menerimanya.
Sore tadi, entah untuk yang keberapa kali, adikku Siska menyampaikan kecurigaannya. Dia curiga pada Mas Heru, suamiku. Dia curiga Mas Heru berselingkuh dengan salah seorang teman kuliahnya.
Siska memang sering mengajak teman kuliahnya main ke rumahku,  salah satunya Nindia. Gadis inilah yang dicurigai berselingkuh dengan Mas Heru. Menurut Siska, dia sering memergoki Nindia turun dari mobil Mas Heru. Nindia selalu berdalih kepada Siska, mengatakan bahwa dia tak sengaja bertemu Mas Heru. Alasan yang masuk akal karena rumah Nindia dan kampus berada di antara rumah kami dan kantor Mas Heru.
Siska tidak mempercayai alasan Nindia begitu saja. Dengan berbagai cara Siska berusaha menemukan bukti atas kecurigaanya. Siska juga semakin ngotot menemukan bukti karena aku tetap saja acuh dan tidak pernah mempercayai semua ucapannya.
Berbeda dengan hari ini. Siska datang dengan sebuah foto yang menunjukkan betapa mesranya hubungan Mas Heru dengan Nindia. Nindia berjalan di sisi Mas Heru, lengannya bergayut  ke lengan kiri Mas Heru. Foto itu berlatar belakang poster-poster film. Aku bisa menyimpulkan mereka sedang berada di depan bioskop. Mereka pasti sengaja bertemu di tempat itu.
Aku tidak bisa lagi mengabaikan kabar yang dibawa Siska. Aku mulai menyesal karena selama ini tidak mempercayainya. Aku bahkan merasa sudah terlambat untuk menghentikan semua ini.
“Mbak sih, aku kan sudah beberapa kali bilang sama Mbak tapi Mbak tidak pernah percaya,” Siska menyesali sikapku.
“Bagaimana Mbak bisa percaya, sikap Mas Heru tidak berubah sama sekali. Dia tetap sarapan di rumah, makan malam di rumah, semua masih seperti  dulu,” aku berusaha membela diri.
“Kenyataanya?” Siska melanjutkan. Nada suaranya sinis. Hatiku semakin perih.
@@@
Siska baru saja pulang ke rumah orang tuaku.  Kedua anakku juga sudah tertidur pulas. Mas Heru belum pulang. Ini bukan hal luar biasa. Jakarta yang selalu macet kadang-kadang membuat Mas Heru terlambat sampai di rumah. Berbeda dengan biasanya, Kali  ini dadaku terasa sesak. Yang muncul di pikiranku adalah kemesraan Mas Heru dan Nindia. Bahkan hal-hal yang lebih buruk dari itu memenuhi otakku. Yang bisa aku lakukan  hanya menyesali semua ketololanku, yang terlalu mempercayai Mas Heru, dalam bentuk tangis yang mungkin sudah tidak berguna lagi.
Pukul Sembilan lewat.  Suara pagar garasi yang bergeser dan deru mobil Mas Heru menuju garasi menyadarkanku tentang sesuatu yang harus aku hadapi. Sedari tadi aku hanya bisa menyesali semuanya. Meratapi nasibku yang dihianati. Aku belum berpikir sedikitpun  bagaimana seharusnya  menghadapi semua ini.
Aku tak ingin Mas Heru melihat air mataku. Aku segera mengenakan pakaian tidurku dan bersembunyi di balik selimut. Untuk sementara hanya ini yang  aku lakukan.
“Ma?” Mas Heru menyentuh bahuku, aku tak bereaksi. Mas Heru tidak segera meninggalkan kamar, beberapa kali dia mencoba membangunkanku lagi dan aku tetap tak bereaksi. Entah karena bosan atau merasa tak berguna, Mas Heru kemudian melangkah meninggalkan kamar.  Aku lega? Entahlah.
Sudah hampir pukul sebelas malam, Mas Heru belum kembali ke kamar. Tiba-tiba kecemasan kembali menyergap. Apa yang sedang dilakukannya? Diam-diam aku melangkah ke luar kamar  dan  menemukan Mas Heru  tengah asyik menelepon. Saat melihatku dia terlihat gugup tepatnya panik. Tiba-tiba saja dia mengakhiri percakapannya.
“Sedang menelepon siapa, Mas?” aku berusaha tetap tenang walaupun gemuruh di dadaku sudah sangat menyiksaku.
“Oh, itu…itu…teman kantor," ujarnya sambil memasukkan ponsel ke dalam saku celana.
“Oh," Kebekuan tiba-tiba saja tercipta. Usahaku menahan diri  dari desakan kemarahan yang sudah berada di ujung kepala justru menciptakan kebekuan.
“Mas, kita perlu bicara serius.”   Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulutku.
“Wah tumben nih, si Mama. Ada apa?” Mas Heru menanggapi dengan ringan.
“Aku hanya ingin Mas menjawab dengan jujur setiap pertanyaanku.”  Aku tatap wajahnya untuk melihat reaksinya. Mas Heru mulai terpengaruh dengan cara bicaraku.
“Apakah Mas masih mencintaiku?”
“Hei, kok pertanyaannya aneh? Memangnya ada apa, Ma?”
“Mas jawab saja pertanyaanku.”
“Oke, oke… aku masih dan akan terus mencintaimu” Mas Heru menjawab dengan ekspresi lucu tetapi wajah lucunya justru membuat aku sangat sebal.
“Pernahkah Mas menghianati cinta kita?”  walaupun semula aku ingin menunda pertanyaan ini tetapi nyatanya aku sendiri semakin tak tahan dibuatnya.
Mas Heru tidak segera menjawab. Dia hanya menatapku dengan tatapan tajam.
“Mengapa diam, Mas? Apakah itu berarti pernah?” desakku.
“Apakah ini interogasi?” Aku merasa Mas Heru sedang menghindar dari keharusan menjawab tanyaku.
“Hanya ingin meyakinkan hatiku tentang kesetiaanmu,” aku menjawab dengan ketenangan yang entah datang dari mana.
“Ma, terus teranglah, Kemana arah percakapan kita ini?” Mas Heru mulai terlihat gelisah. Dia berdiri lalu duduk kembali di kursi yang lain dengan wajah bingung.
“Mas. Aku sudah tahu semuanya. Sekarang aku ingin menemukan jawaban yang pasti darimu. Aku tidak ingin salah dan gegabah dalam mengambil keputusan.”
“Ma, apa maksudmu?” Mas Heru kembali berkelit.
“Mas, jika engkau masih mencintaiku, maka perlu kamu tahu, aku tak ingin ada perempuan lain di hatimu. Jika kau menyimpan perempuan lain di hatimu, maka izinkan aku meninggalkanmu”  Begitu lancar aku mengucapkan hal itu.
“Ma, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku juga ingin bertanya kepadamu. Apakah kau masih mencintaiku?” Mas Heru makin terlihat konyol dengan pertanyaannya itu.
“Apakah itu masih berarti untukmu?” aku balik bertanya.
“Ya, jawablah dengan jujur.” tegasnya lagi.
“Aku akan mencintai suamiku dengan sepenuh hatiku, selama dia juga mencintaiku dengan tulus dan jujur tetapi ketika cinta itu dihianati maka cintaku akan menguap tanpa bekas,” suaraku mulai bergetar menahan tangis.
“Seberapa besar kau ingin mempertahankan cintamu itu, Ma? Cinta itu juga butuh dipertahankan. Sikap angkuhmu dalam mencintai juga dapat  membuat cintamu lari. Cintamu juga butuh dihargai. Jika kamu hanya bersikap pasif dalam mencintai, cintamu akan menduga kau tak lagi mencintainya.” Mas Heru kali ini sangat tegas. Kini aku yang bingung  mencerna kalimat-kalimatnya .
“Aku tak mengerti apa yang kau katakan, Mas”  ujarku kemudian.
“Ma, selama ini kau telah membuat aku ragu. Kau tak pernah bertanya apa saja yang telah aku lakukan di luar sana. Peristiwa apa saja yang aku alami selama satu hari aku tanpamu. Kau terlalu dalam menyembunyikan isi hatimu. Kau tak pernah menunjukkan kepadaku sebesar apa kamu mencintaiku.”
“Aku melakukan semua yang menjadi kewajibanku sebagai seorang istri.  Aku mengurus keluarga, aku mengurus anak-anak, tidakkah itu cukup buatmu?” suaraku kali ini agak keras. Aku merasa Mas Heru tengah berdalih mencari pembenaran atas dosa-dosanya.
“Aku butuh lebih dari itu, Ma” Mas Heru memegang kedua bahuku, matanya  lurus menatap wajahku.
“Itukah yang membuatmu berselingkuh dengan Nindia?”  Aku sudah tak mampu lagi menahan diri. Kutepiskan lengan Mas Heru yang masih berada di atas bahuku. Air mata kini tak lagi mampu kubendung kudekapkan kedua telapak tanganku ke wajah. Cukup lama aku dalam kondisi seperti itu.
“Kak” Entah kapan masuknya, Siska sudah berada di hadapanku.
“Kak, maaf. Semua yang Siska ucapkan selama ini, semuanya bohong.” Siska memelukku.
“Apa maksudmu?” Kulirik Mas Heru yang tengah tersenyum penuh kemenangan.
“Aku yang meminta Siska melakukan kebohongan itu.” Masih dengan senyum konyolnya, Mas Heru menjelaskan.
“Mas Heru bilang sama Siska, dia tidak yakin Mbak mencintainya karena sikap Mbak sangat acuh,  Mbak juga tidak pernah terpengaruh kalau Mas Heru bercerita tentang teman-teman perempuannya. Kami berdua hanya ingin membuktikan itu.” Penjelasan Siska yang singkat ini  membuat aku tercenung.
Pernikahanku dengan Mas Heru memang berbeda dengan pernikahan-pernikahan normal lainnya. Kami menikah untuk menyambung tali persahabatan kedua orang tua. Tepatnya kami menikah karena dijodohkan oleh orang tua.
Mulanya aku sempat menolak perjodohan itu. Apalagi aku hanya melihat wajah Mas Heru dari foto  yang dikirim melalui wa.  Kalau akhirnya aku setuju itu karena aku tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku.
Seiring berjalannya waktu, aku jatuh cinta kepada suamiku sendiri. Aku jatuh cinta karena dia lelaki yang sangat sesuai dengan sosok ideal seorang suami yang ada di benakku. Mas Heru lelaki yang patut untuk aku cintai. Tetapi sepertinya  aku bukan perempuan yang pandai menunjukkan rasa cinta itu.
“Kalian jahat.” Umpatku meski hatiku kini sudah lega.




Minggu, 22 September 2013

NGIDAM

“Selamat, kamu hamil, Keila. Sekali lagi, selamat. Eh, Baranya mana? Oh ya, aku tahu. Kamu pasti merencanakan sebuah kejutan manis untuk Bara, suami kerenmu itu, jadinya kamu datang ke sini sendirian. Iya, kan? Iya, kan?” Fika terus bicara tanpa memberi kesempatan padaku untuk menyela, memang begitulah kebiasaan dokter ahli kandungan Fika Amalia yang kebetulan sudah menjadi temanku sejak kami dipertemukan di kelas yang sama, bahkan duduk di bangku yang sama.
Aku hanya tersenyum kecil sambil mengedipkan sebelah mataku ke arahnya dan Fika menimpalinya dengan mengacungkan dua jempol tangannya sekaligus.
“Kamu tidak tahu, Fika, kamu memang tidak perlu tahu,” aku membathin sambil melangkah meninggalkan Fika di ruang kerjanya itu. Sehelai kertas yang berisi hasil pemeriksaan urineku yang tadi aku terima dari Fika, aku masukan ke dalam tas, begitu saja.
Tiga tahun yang lalu aku syah menjadi istri Bara, laki-laki tampan yang selalu menjadi bahan pembicaraan antara aku dan beberapa teman perempuanku di kantor. Bukan saja tampan, bara juga cerdas. Berkat ide-idenya penjualan barang yang diproduksi oleh perusahaan kami, terus meningkat dan tentunya memberikan dampak positif juga bagi kami para karyawan.
Bara juga disukai karena dia baik. Dia akan segera mengosongkan isi kantongnya, apalagi bila baru saja menerima bonus, bila aku dan teman-teman meminta traktirannya.
Bara itu perhatian, dia akan rela meluangkan waktunya untuk mendengarkan curhatan kami,bahkan jika harus pulang terlambat sekalipun.
Alu aku jatuh cinta padanya.
Aku mencintai Bara diam-diam. Aku menuliskan semua curahan isi hatiku di sebuah buku kecil bersampul biru langit yang aku beri nama Lulu.
Suatu hari aku dikejutkan dengan sebuah sms yang datang dari Bara.
“Aku ingin menikah denganmu,” begitu bunyi sms itu. Sms itu menimbulkan dampak yang sangat hebat. Aku jadi tolol. Aku tidak menjadikan lamaran mendadak itu sebagai sesuatu yang layak untuk dicurigai. Aku bahkan lupa kalau aku adalah adik kesayangan pemilik perusahaan tempat kami bekerja dan kakakku bisa berbuat apa saja terhadap Bara demi menyenangkanku, adiknya.
Pernikahan itu akhirnya terjadi. Pernikahan yang tidak membuat aku merasa memiliki Bara. Bara tetap menjadi milik dirinya sendiri yang selalu sibuk untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Bara tetap menghabiskan uangnya bersama teman-teman sekantor, katanya “Aku gak mau teman-teman beranggapan aku berubah sejak menikah dengan kamu, nantinya mereka akan menganggap aku sombong.”
Bara juga masih sibuk menjadi tempat curhat bagi mereka yang galau. Dia terlalu sering pulang terambat.
Pada akhirnya, aku harus bisa berkompromi dengan hatiku sendiri. Aku berusaha tetap bahagia walau tanpa perhatian dari Bara.
Aku memasuki gerbang rumah yang sepi. Tidak lama kemudian Bi Nah muncul menyongsongku lalu dia melirik ke dalam mobil mencari sesuatu yang mungkin harus dibawakannya ke dalam. Bi Nah kembali masuk ke dalam rumah saat melihat mobil yang kosong melompong.
Aku melangkah di belakang Bi Nah. Sesampainya di ruang tengah aku hempaskan tubuhku di atas sofa besar yang mampu memuat tubuhku yang memang berukuran kecil. Terlentang sejenak di sana lalu kembali duduk ketika Bi Nah meletakkan secangkir teh hangat di meja yang ada di depanku.
@@@
Sudah hampir satu bulan sejak aku mengunjungi Fika di kliniknya. Aku tidak pernah membicarakan kehamilanku ini kepada Bara. Aku rasa itu tak penting. Kabar itu tidak akan membuat Bara bahagia. Bahkan melihat wajahku yang memucat dan nafsu makanku yang hilang saja dia tak pernah bertanya apa-apa. Ya, sudahlah. Aku anggap saja ini nasibku.
“Keyla, Keyla, Sayang….?” Suara Bara yang bernada riang dan panggilan sayang, yang baru kali ini aku dengar malah membuatku kaget dan hanya duduk terpaku.
“Keyla, kamu di sini rupanya,” Bara muncul di kamar dan langsung memeluk pinggangku dan mengecup keningku. Tubuhku malah menjadi kaku. Terus terang, aku menjadi was-was dan takut.
“Key, kamu mau aku belikan apa? Kamu mau buah manga muda? Atau mau kelapa muda?”
“Aku tidak ingin apa-apa. Tapi sebentar, kamu kok tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Tadi Fika bertanya tentang kejutan yang kamu buat untukku.” Bara berusaha menjelaskan.
“Kejutan apa?” Aku masih saja bingung.
“Sudahlah Key, jangan pura-pura lagi. Aku tahu kamu hamil. Aku tidak ingin anakku nantinya menganggap bapaknya tidak menyayanginya. Makanya aku akan turuti apa yang dia inginkan, sejak dia masih dalam kandungan. Kamu sekarang ngidam apa?”
Jawaban Bara, mugkin seharusnya membahagiakan aku. Tetapi bukan itu yang aku rasakan. Aku kecewa. Semuanya hanya karena bayi dalam kandunganku, bukan karena dia peduli kepadaku.
“Sekarang dia belum ingin apa-apa, Bara. Entahlah kalau nanti malam, besok, atau lusa,” jawabku sambil berlalu meninggalkan kamar menuju ruang televisi.
Sejak malam itu aku tiba-tiba ngidam banyak hal. Mulanya yang biasa-biasa saja, sampai yang luar biasa dan Bara selalu memenuhinya.
Sore ini setelah nonton acara wisata kuliner daerah bogor di salah satu stasiun televisi swasta, aku jadi ingin makan asinan bogor. Aku lalu menghubungi ponsel Bara, yang aku yakin, pada jam segini sedang dalam perjalanan menuju pulang, aku tidak ingin dia terlanjur melewati daerah pasar minggu tempat pedagang asinan Bogor langgananku.
Cukup lama aku menunggu Bara menjawab panggilanku hingga akhirnya,
“Ya, halo. Ada apa, Keyla?” suara Bara di seberang sana.
“Mampir di toko asinan bogor langganan aku, ya…”
“Memangnya, kamu mau apa?”
“Belikan asinan, jangan lupa kerupuknya yang banyak. Oh,ya. Jangan ditambah cabe lagi, perutku suka mules kalau terlalu banyak makan pedas. beli…”
Ucapanku belum selesai ketika aku mendengar suara dentuman keras serta suara teriakan Bara yang keras dan setelah itu sepi…

Bila Cinta Jangan Selingkuh

Akhirnya bagian terakhir novelku, yang telah tertunda beberapa lama, berhasil juga aku selesaikan. Entah mengapa begitu sulit rasanya membuat ending yang meninggalkan kesan untuk cerita yang tengah aku tulis ini. Walaupun akhirnya selesai juga, sebetulnya aku belum benar-benar puas.
Baru pukul sembilan malam tetapi Rahmi istriku telah tertidur pulas. Aku yakin dia pasti sangat kelelahan setelah seharian mengurus rumah sekaligus mengasuh dua anak buah cinta kasih kami. Telah banyak masa yang kami lewati bersama. Tak hanya bahagia tetapi juga duka kami jalani bersama. Rahmi telah buktikan padaku bahwa dia istri yang baik bahkan nyaris sempurna.
Di luar hujan turun sangat deras disertai angin yang bertiup kencang. Hembusan angin dingin yang menerobos melalui ventilasi jendela kamar menerpa tubuhku, aku menggigil dibuatnya. Cuaca akhir tahun selalu seperti ini.
Setelah mematikan laptop dan menyimpannya kembali di dalam laci meja, tempat aku biasa duduk berjam-jam untuk menguraikan semua isi kepalaku, aku lalu menghampiri Rahmi dan mencium keningnya. Rahmi menggeliat tanpa membuka matanya, aku kemudian merapikan selimutnya yang agak tersingkap lalu ikut berbaring di sisinya.
Sudah hampir satu jam aku mencoba tidur tetapi ternyata tidak mudah. Mataku tetap saja terbuka dengan pikiran yang terus menari-nari, melompat kian kemari. Bosan di tempat tidur aku kembali bangkit dan berjalan ke ruang tengah. Di ruang tengah aku menyalakan televisi. Setelah berpindah dari satu kanal ke kanal lainnya dan tidak satupun acara yang mengundang minatku. Televisi kembali aku matikan.
Pilihan terakhirku membaca sebuah novel lama yang ditulis oleh Barbara cartland. Kisah romantic yang selau berakhir bahagia. Sepuluh halaman selesai kubaca, ketika membuka halaman ke sebelas, mataku tertumpu pada sehelai kertas yang warnamya sudah agak kusam. Kuamati kertas itu, sebuah puisi dengan tulisan tangan yang sangat aku kenal. Eka Wijaya, nama penulisnya.
Jantungku tiba-tiba berdegup keras. Kertas kusam itu telah mencuri sepenggal kesetiaanku pada Rahmi. Degupan yang semakin keras telah menumbuhkan rindu dengan sangat cepatnya. Tak ada ragu di hatiku ketika aku menekan beberapa angka pada ponselku. Tak juga harus menunggu lama karena dia segera menjawab ponselku.
“Ya, halo” suara halus di seberang sana semakin mempercepat degup jantungku.
“Maaf mengganggu, belum tidur?” aku berbasa-basi
“Belum, masih menunggu suami pulang.” Jawabnya tenang.
“Oh” aku mulai kehilangan kata-kata.
“Ada apa, Mas? Tumben menelepon.” Lanjutnya lagi.
“Eh, gak ada apa-apa kok, cuman kangen aja.” Jawaban konyol ini meluncur begitu saja dari mulutku.
“Ah, si Mas ini.” Dia hanya tergelak ringan.
“Aku serius lho. Kamu kangen juga, gak?” kembali aku mengajuk hatinya.
“Mas, rasa kagen itu sesuatu yang alamiah, aku juga sering tiba-tiba kangen sama Mas. Rasa kangen itu mungkin karena cerita masa lalu kita tak mudah untuk dilupakan.” Sejenak dia terdiam, akupun hanya menunggu sambil terus berharap dia segera melanjutkan ucapannya.
“Mas, rasa kangen yang tumbuh di hatiku maupun di hati Mas sendiri itu hanya boleh sebatas kangen saja, semua cerita itu telah selesai. Kita sekarang mempunyai kehidupan yang berbeda. Mas dengan istri Mas dan aku dengan suamiku,” lanjutnya.
“Ya, semua memang sudah selesai. Mas minta maaf. Tak ada niatan untuk mengubah semua keadaan ini. Mas hanya terbawa rasa rindu ini saja.”
“Saya mengerti, Mas. Selamat malam.” Klik. Dia mengakhiri percakapan.
“Mas…” Rahmi muncul dari balik pintu kamar.
“Aku di sini, kok bangun?” aku mengembalikan novel ke rak buku berikut puisi yang berada di dalamnya. Kenangan itu akan tetap aku simpan di situ.
“belum tidur, Mas?” Rahmi menghampiri dan duduk di sampingku sambil menyandarkan kepalanya ke bahuku.
“Belum mengantuk.” Jawabku singkat. Kukecup keningnya sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya.
“Maafkan Mas, ya” bisikku pelahan. Rahmi menatapku bingung.
Aku biarkan saja dia dengan kebingungannya. Rahmi tidak terus bertanya karena aku kini tidak hanya mencium keningnya tetapi melumat bibir mungilnya dengan penuh cinta.

Sabtu, 22 Juni 2013

Ini adalah novel pertamaku.
Berkisah tentang Arief lelaki muda yang jatuh cinta kepada gadis belia 14 tahun, Mira.
Jika kemudian Arief harus menikah dengan wanita lain, dapatkah dia benar-benar melupakan Mira?
Kepada siapakah cintanya akhirnya berlabuh?
Untuk mengetahui lanjutan kisahnya, silakan kunjungi Scoop, Qbaca, disana anda dapat membaca dalam format ebook. harga Rp18.000,-
 Kalau ingin versi cetak bisa hubungi penerbit Jentera Pustaka atau melalui @JenteraPustaka, di tweeter nya. Harga sebelum ongkir Rp 39.000,-

Kamis, 04 April 2013

Menunggu Lahirnya "Pelabuhan Hati"

Beberapa hari yang lalu saya menerima email dari penerbit Jentera Pustaka (JP) sebagai konfirmasi atas naskah yang telah saya kirimkan beberapa hari sebelumnya. JP mengabarkan bahwa naskah saya layak untuk diterbitkan. Bagi saya ini adalah kabar  istimewa karena saya memang  sangat  ingin  memiliki setidaknya sebua karya yang dapat dinikmat banyak orang (mudah-mudahan).
Saat ini naskah tersebut sudah berada di tangan Mbak Rina Shu, salah satu editor di JP.  Saya masih menunggu hasil tinjauan Mbak Rina. Bisa saja Mbak Rina Shu meminta saya mengedit bagian-bagian tertentu dari naskah tersebut.  Mudah-mudahan saja tidak terlalu banyak yang harus saya revisi (rasanya seperti sedang menunggu skripsi diperiksa oleh pembimbing)
Naskah novel yang saya kirimkan itu, awanya adalah  sebuah cerpen berjudul “Cintaku Tidak Salah Alamat, Kan?”  yang saya posting di Kompasiana. Ada satu komentar pada postingan tersebut  yang menyerankan saya untuk  mengembangkannya menjadi sebuah novel. Saat  itu saya ragu. Saya khawatir tidk sanggup melakukannya. Saya takut kehilangan ide dan akibatnya cerita itu tidak selesai. Tetapi kemudian entah dari mana datangnya, keberanian itu tiba-tiba muncul. Saya lalu  membuat postingan berseri yang merupakan lanjutan dari cerpen tersebut  bahkan hingga 20 episode. (sekarang sudah saya unpublish )
Setelah sampai pada bagian akhir, lagi-lagi ada komentar yang  mencuri perhatian saya. Kali ini dari seorang teman, Sekar Mayang. Dia  menulis  “Ayo bunda edit  lagi. Siapa tahu bisa diterbitkan dan nangkring di book store”.  Mungkinkah? Saya kembali ragu.
Beberapa hari yang lalu saya ngobrol dengan DP Anggi, melalui fasilitas chating di Facebook. Dia memperkenalkan JP kepada saya dengan mengirimkan linknya plus penjelasan-penjelasan yang saya butuhkan.
Saya menindaklanjuti saran DP Anggi. Naskah saya kirimkan dan beberapa hari kemudian saya menapatkan balasannya, seperti yang saya tulis di bagian awal tuisan ini. Oh ya DP Anggi juga saya mintai tolong untuk membuatkan cover untuk novel tersebut. Kami sudah mendiskusikan desainnya  dan sekarang sedang dalam pengerjaan.
Sekarang saya sedang membayangkan saat kelahiran novel pertama tersebut. Semoga nantinya kawan-kawan juga suka…

Rabu, 23 Januari 2013

Rapuh

 
sumber gambar :ibahpanda.blogspot.com

Susah payah dia berusaha bangkit dari sajadah setelah solat di sepertiga malam.  Tulang-tulang sendinya, terutama pada bagian lutut, sudah beberapa hari ini semakin terasa nyeri. Bukan itu saja, beragam masalah yang datang secara beruntun membuat perempuan tua itu semakin tak berdaya.
Tertatih dia kembali ke pembaringan. Sebelum menghempaskan tubuh tuanya di atas kasur yang tertutup sprei berwarna putih, tangannya meraih sesuatu dari balik bantal. Jam tangan berwarna kuning keemasan sekarang berada dalam genggamannya. Diusap-usapnya benda itu sementara sebutir embun terbentuk di sudut kelopak mata tuanya. Butiran air itu semakin lama semakin menggenang akhirnya melimpah dan membentuk sungai kecil yang mengalir melewati pipi keriputnya.
Nenek Ani, begitu dia biasa dipanggil. Mengusap matanya dengan punggung tangan, tetapi aliran itu malah semakin deras. Dadanya berdebar-debar tak karuan. Jam tangan keemasan itu masih tetap dalam genggamannya. Pikirannya mengukir sosok yang sangat dirindukannya. Suami yang telah meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Pemilik jam berwarna kuning keemasan.
Nenek Ani sangat berharap bisa kembali ke masa lalu ketika dia memiliki laki-aki pelindung yang tak pernah membiarkannya bersedih. Tak ada masalah berat yang membebaninya karena lelaki pencintanya selalu dengan segera mengatasi.
Semua sekarang berbeda. Dia harus menghadapi beragam persoalan sendiri. Tak ada tempat berbagi apalagi mengadu. Anak-anak yang seharusnya menjadi tumpuan justru menjadi sumber perkara yang membebani.
Siang tadi perdebatan hebat tepatnya pertengkaran antara anak-anaknya kembali terulang. Galih anak bungsunya bermaksud menjual satu-satunya rumah warisan milik mereka. Kakaknya Galang tidak menyetujui hal itu. Galang merasa itu adalah kenangan indah masa kecil mereka. Galih menuduh Galang egois karena tidak memikirkan kehidupannya yang sedang terpuruk.
Pertengkaran itu sungguh menakutkan bagi Nenek Ani. Ribuan makian bahkan kata-kata kotor berseliweran di pendengarannya, Nada-nada tinggi begitu menghujam dan menusuk-nusuk hatinya. Nenek Ani tidak tahan dengan semua itu. Tubuhnya menggigil tetapi tak ada yang memperhatikan. Semuanya sibuk dengan perjuangan memenangkan egoisme masing-masing.
Sebetulnya Nenek Ani juga tidak ingin menjual rumahnya. Kebanggaan satu-satunya yang dia punya. Di rumah ini semua bermula. Di rumah ini dengan cinta dan kesetiaan yang dimiliki, mereka membangun harapan. Membesarkan anak-anak, memberikan pendidikan yang layak. Menikahkan mereka. Semuanya di sini, di rumah ini. Tetapi, dia juga tak tega melihat kesulitan yang dihadapi Galih.
“Pak…” Tanpa sadar dengan suara lirih nenek Ani memanggil suaminya.
“Ada apa, Buk?” Perempuan tua itu terkesima. Suami tercinta berada di hadapannya,  berdiri tegak dengan senyum lembut dan sorot mata penuh cinta. Jantung Nenek Ani berdebar kencang. Dikucek-kuceknya mata tuanya, tetapi sosok itu tidak juga menghilang,  malah semakin  nyata.
“Ada apa, Buk?” diulanginya lagi pertanyaan itu. Kali ini sambil merangsek mendekati pembaringan tempat nenek Ani berbaring. Senyuman lembut dan tatapan cinta yang sangat dikenali oleh nenek Ani berhasil mengurangi ketegangan yang dirasakannya. Dibiarkannya sosok itu mendekat dan mengusap kepalanya. Rasa tenang menjalari hati Nenek Ani.
“Aku sudah tidak sanggup menghadapi ini sendiri, Pak” Nenek Ani menyelusupkan kepalanya dalam pangkuan lelaki itu.
“Kamu tidak sendiri, Buk. Ada Allah yang pasti menolongmu”
“Tapi Pak… keadaannya sudah sangat berbeda Sejak kau pergi meninggalkan aku dan anak-anak. Semuanya berubah”
“Apa maksudmu, Buk?”
“Anak-anak, Pak….”
“Ada apa dengan anak-anak?. Mereka kan sudah kita bekali dengan pendidikan yang layak. Sudah kita antarkan ke pelaminan. Mereka sudah menjadi manusia dewasa dan sudah harus menjadi manusia mandiri”
“Semuanya tidak seperti yang kita harapkan, Pak. Sudah beberapa hari ini ada pertentangan hebat di antara mereka. Aku takut, Pak”
“Apa yang kamu takutkan? Mereka semua anak-anakmu. Mereka pasti mau mendengar apa yang kamu ucapkan”
“Sekarang tidak lagi! Dahulu mereka mendengarkan aku karena mereka takut sama Bapak. Mereka tidak pernah benar-benar mendengarkan aku Pak. Apa lagi sekarang, aku hanya sosok tua yang hanya menjadi beban bagi mereka. Mana mungkin aku berani menasihati mereka sedangkan hidupku saja bergantung kepada rasa kasihan mereka”
“Bu… Mereka tidak seperti itu. Mereka tetap menyayangi dan mencintai Ibu. Mereka tetap akan mendengar semua nasihat Ibu”
“Pak… Itu tidak mungkin! Mana mungkin mereka saling hardik di hadapaku, bila mereka masih menghormatiku. Mana mungkin mereka saling mengungkapkan kata-kata keras bahkan saling mengancam bila mereka masih menganggapku ada. Aku takut, Pak..” Nenek Ani tak lagi mampu membendung tangis yang telah disimpannya beberapa hari ini. Tubuhnya berguncang dengan hebat. Masih dicobanya menahan isak dengan mengatupkan kedua bibirnya tetapi justru nafasnya menjadi sesak, debaran jantungnya tak dapat lagi dikendalikan. Dipeluknya sosok laki-laki itu, Nenek Ani berharap sosok penjaga dan pelindungnya ini tidak akan pernah meninggalkannya lagi.
Suara azan subuh membangunkan Nenek Ani dari tidurnya. Dipandanginya sekeliling ruangan. Tak ada siapa-siapa selain dirinya. Dilihatnya jam tangan warna kuning keemasan yang masih tergeletak di atas pembaringan. Kembali dikitarinya seluruh ruangan dengan mata tuanya berharap sosok laki-laki yang dicintainya itu masih berada di situ.
“Pak…” Dipanggilnya dengan suara pelahan. Tak ada sahutan. Diulanginya lagi, masih juga tak ada jawaban. Suara nenek Ani semakin keras.
“Ada apa, Buk?” Galang dan Galih muncul bersamaan.
“Mana Bapak?” Pertanyaan Nenek Ani sejenak menghentikan detak jantung mereka berdua.
“Bapak sudah pergi, Buk. Sudah lama sekali!” Galang berusaha menyadarkan Nenek Ani.
“Tidak, Bapak ada di rumah ini. Bapak tidak kemana-mana” Nenek Ani bersikukuh
“Tapi, Buk …” Galih tak melanjutkan ucapannya, Dia bingung menghadapi sikap aneh Nenek Ani.
“Bapak ada di sini !!, Bapak akan mengatasi semua masalah kita. Ya… Bapak yang akan mengatasinya. Ibu tidak mampu. Hanya Bapak yang mampu !!. Ibu hanya perempuan tua bodoh. Tak ada yag akan mendengarkan kata-kata Ibu. Mana Bapak??… Mana??.”
Galih dan Galang hanya saling pandang. Rasa sesal menguasai hati mereka. Mereka telah lupa menjaga hati Ibunya. 


Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....