sumber gambar :ibahpanda.blogspot.com
Susah
payah dia berusaha bangkit dari sajadah setelah solat di sepertiga
malam. Tulang-tulang sendinya, terutama pada bagian
lutut, sudah beberapa hari ini semakin terasa nyeri. Bukan itu saja, beragam masalah yang datang secara beruntun membuat perempuan tua itu semakin tak berdaya.
Tertatih dia kembali ke pembaringan. Sebelum menghempaskan tubuh tuanya di atas kasur yang tertutup sprei berwarna putih, tangannya meraih sesuatu dari balik bantal. Jam tangan berwarna kuning keemasan sekarang
berada dalam genggamannya. Diusap-usapnya benda itu sementara sebutir
embun terbentuk di sudut kelopak mata tuanya. Butiran air itu semakin
lama semakin menggenang akhirnya melimpah dan membentuk sungai kecil
yang mengalir melewati pipi keriputnya.
Nenek Ani, begitu dia biasa dipanggil. Mengusap matanya dengan
punggung tangan, tetapi aliran itu malah semakin deras. Dadanya
berdebar-debar tak karuan. Jam tangan keemasan itu masih tetap dalam
genggamannya. Pikirannya mengukir sosok yang sangat dirindukannya. Suami
yang telah meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Pemilik jam berwarna
kuning keemasan.
Nenek
Ani sangat berharap bisa kembali ke masa lalu ketika dia memiliki
laki-aki pelindung yang tak pernah membiarkannya bersedih. Tak ada
masalah berat yang membebaninya karena lelaki pencintanya selalu dengan segera mengatasi.
Semua
sekarang berbeda. Dia harus menghadapi beragam persoalan sendiri. Tak
ada tempat berbagi apalagi mengadu. Anak-anak yang seharusnya menjadi
tumpuan justru menjadi sumber perkara yang membebani.
Siang
tadi perdebatan hebat tepatnya pertengkaran antara anak-anaknya kembali
terulang. Galih anak bungsunya bermaksud menjual satu-satunya rumah
warisan milik mereka. Kakaknya Galang tidak menyetujui hal itu. Galang
merasa itu adalah kenangan indah masa kecil mereka. Galih menuduh Galang
egois karena tidak memikirkan kehidupannya yang sedang terpuruk.
Pertengkaran
itu sungguh menakutkan bagi Nenek Ani. Ribuan makian bahkan kata-kata
kotor berseliweran di pendengarannya, Nada-nada tinggi begitu menghujam
dan menusuk-nusuk hatinya. Nenek Ani tidak tahan dengan semua itu.
Tubuhnya menggigil tetapi tak ada yang memperhatikan. Semuanya sibuk
dengan perjuangan memenangkan egoisme masing-masing.
Sebetulnya
Nenek Ani juga tidak ingin menjual rumahnya. Kebanggaan satu-satunya
yang dia punya. Di rumah ini semua bermula. Di rumah ini dengan cinta
dan kesetiaan yang dimiliki, mereka membangun harapan. Membesarkan
anak-anak, memberikan pendidikan yang layak. Menikahkan mereka. Semuanya
di sini, di rumah ini. Tetapi, dia juga tak tega melihat kesulitan yang
dihadapi Galih.
“Pak…” Tanpa sadar dengan suara lirih nenek Ani memanggil suaminya.
“Ada
apa, Buk?” Perempuan tua itu terkesima. Suami tercinta berada di
hadapannya, berdiri tegak dengan senyum lembut dan sorot mata penuh
cinta. Jantung Nenek Ani berdebar kencang. Dikucek-kuceknya mata tuanya, tetapi sosok itu tidak juga menghilang, malah semakin nyata.
“Ada
apa, Buk?” diulanginya lagi pertanyaan itu. Kali ini sambil merangsek
mendekati pembaringan tempat nenek Ani berbaring. Senyuman lembut dan
tatapan cinta yang sangat dikenali oleh nenek Ani berhasil mengurangi ketegangan yang dirasakannya. Dibiarkannya sosok itu mendekat dan mengusap kepalanya. Rasa tenang menjalari hati Nenek Ani.
“Aku sudah tidak sanggup menghadapi ini sendiri, Pak” Nenek Ani menyelusupkan kepalanya dalam pangkuan lelaki itu.
“Kamu tidak sendiri, Buk. Ada Allah yang pasti menolongmu”
“Tapi Pak… keadaannya sudah sangat berbeda Sejak kau pergi meninggalkan aku dan anak-anak. Semuanya berubah”
“Apa maksudmu, Buk?”
“Anak-anak, Pak….”
“Ada
apa dengan anak-anak?. Mereka kan sudah kita bekali dengan pendidikan
yang layak. Sudah kita antarkan ke pelaminan. Mereka sudah menjadi
manusia dewasa dan sudah harus menjadi manusia mandiri”
“Semuanya tidak seperti yang kita harapkan, Pak. Sudah beberapa hari ini ada pertentangan hebat di antara mereka. Aku takut, Pak”
“Apa yang kamu takutkan? Mereka semua anak-anakmu. Mereka pasti mau mendengar apa yang kamu ucapkan”
“Sekarang
tidak lagi! Dahulu mereka mendengarkan aku karena mereka takut sama
Bapak. Mereka tidak pernah benar-benar mendengarkan aku Pak. Apa lagi
sekarang, aku hanya sosok tua
yang hanya menjadi beban bagi mereka. Mana mungkin aku berani menasihati
mereka sedangkan hidupku saja bergantung kepada rasa kasihan mereka”
“Bu… Mereka tidak seperti itu. Mereka tetap menyayangi dan mencintai Ibu. Mereka tetap akan mendengar semua nasihat Ibu”
“Pak…
Itu tidak mungkin! Mana mungkin mereka saling hardik di hadapaku, bila
mereka masih menghormatiku. Mana mungkin mereka saling mengungkapkan kata-kata
keras bahkan saling mengancam bila mereka masih menganggapku ada. Aku
takut, Pak..” Nenek Ani tak lagi mampu membendung tangis yang telah
disimpannya beberapa hari ini. Tubuhnya berguncang dengan hebat. Masih
dicobanya menahan isak dengan mengatupkan kedua bibirnya tetapi
justru nafasnya menjadi sesak, debaran jantungnya tak dapat lagi
dikendalikan. Dipeluknya sosok laki-laki itu, Nenek Ani berharap sosok
penjaga dan pelindungnya ini tidak akan pernah meninggalkannya lagi.
Suara
azan subuh membangunkan Nenek Ani dari tidurnya. Dipandanginya
sekeliling ruangan. Tak ada siapa-siapa selain dirinya. Dilihatnya jam
tangan warna kuning keemasan yang
masih tergeletak di atas pembaringan. Kembali dikitarinya seluruh
ruangan dengan mata tuanya berharap sosok laki-laki yang dicintainya itu
masih berada di situ.
“Pak…”
Dipanggilnya dengan suara pelahan. Tak ada sahutan. Diulanginya lagi,
masih juga tak ada jawaban. Suara nenek Ani semakin keras.
“Ada apa, Buk?” Galang dan Galih muncul bersamaan.
“Mana Bapak?” Pertanyaan Nenek Ani sejenak menghentikan detak jantung mereka berdua.
“Bapak sudah pergi, Buk. Sudah lama sekali!” Galang berusaha menyadarkan Nenek Ani.
“Tidak, Bapak ada di rumah ini. Bapak tidak kemana-mana” Nenek Ani bersikukuh
“Tapi, Buk …” Galih tak melanjutkan ucapannya, Dia bingung menghadapi sikap aneh Nenek Ani.
“Bapak
ada di sini !!, Bapak akan mengatasi semua masalah kita. Ya… Bapak yang
akan mengatasinya. Ibu tidak mampu. Hanya Bapak yang mampu !!. Ibu
hanya perempuan tua bodoh. Tak ada yag akan mendengarkan kata-kata Ibu.
Mana Bapak??… Mana??.”
Galih dan Galang hanya saling pandang. Rasa sesal menguasai hati mereka. Mereka telah lupa menjaga hati Ibunya.