Rabu, 23 Januari 2013

Rapuh

 
sumber gambar :ibahpanda.blogspot.com

Susah payah dia berusaha bangkit dari sajadah setelah solat di sepertiga malam.  Tulang-tulang sendinya, terutama pada bagian lutut, sudah beberapa hari ini semakin terasa nyeri. Bukan itu saja, beragam masalah yang datang secara beruntun membuat perempuan tua itu semakin tak berdaya.
Tertatih dia kembali ke pembaringan. Sebelum menghempaskan tubuh tuanya di atas kasur yang tertutup sprei berwarna putih, tangannya meraih sesuatu dari balik bantal. Jam tangan berwarna kuning keemasan sekarang berada dalam genggamannya. Diusap-usapnya benda itu sementara sebutir embun terbentuk di sudut kelopak mata tuanya. Butiran air itu semakin lama semakin menggenang akhirnya melimpah dan membentuk sungai kecil yang mengalir melewati pipi keriputnya.
Nenek Ani, begitu dia biasa dipanggil. Mengusap matanya dengan punggung tangan, tetapi aliran itu malah semakin deras. Dadanya berdebar-debar tak karuan. Jam tangan keemasan itu masih tetap dalam genggamannya. Pikirannya mengukir sosok yang sangat dirindukannya. Suami yang telah meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Pemilik jam berwarna kuning keemasan.
Nenek Ani sangat berharap bisa kembali ke masa lalu ketika dia memiliki laki-aki pelindung yang tak pernah membiarkannya bersedih. Tak ada masalah berat yang membebaninya karena lelaki pencintanya selalu dengan segera mengatasi.
Semua sekarang berbeda. Dia harus menghadapi beragam persoalan sendiri. Tak ada tempat berbagi apalagi mengadu. Anak-anak yang seharusnya menjadi tumpuan justru menjadi sumber perkara yang membebani.
Siang tadi perdebatan hebat tepatnya pertengkaran antara anak-anaknya kembali terulang. Galih anak bungsunya bermaksud menjual satu-satunya rumah warisan milik mereka. Kakaknya Galang tidak menyetujui hal itu. Galang merasa itu adalah kenangan indah masa kecil mereka. Galih menuduh Galang egois karena tidak memikirkan kehidupannya yang sedang terpuruk.
Pertengkaran itu sungguh menakutkan bagi Nenek Ani. Ribuan makian bahkan kata-kata kotor berseliweran di pendengarannya, Nada-nada tinggi begitu menghujam dan menusuk-nusuk hatinya. Nenek Ani tidak tahan dengan semua itu. Tubuhnya menggigil tetapi tak ada yang memperhatikan. Semuanya sibuk dengan perjuangan memenangkan egoisme masing-masing.
Sebetulnya Nenek Ani juga tidak ingin menjual rumahnya. Kebanggaan satu-satunya yang dia punya. Di rumah ini semua bermula. Di rumah ini dengan cinta dan kesetiaan yang dimiliki, mereka membangun harapan. Membesarkan anak-anak, memberikan pendidikan yang layak. Menikahkan mereka. Semuanya di sini, di rumah ini. Tetapi, dia juga tak tega melihat kesulitan yang dihadapi Galih.
“Pak…” Tanpa sadar dengan suara lirih nenek Ani memanggil suaminya.
“Ada apa, Buk?” Perempuan tua itu terkesima. Suami tercinta berada di hadapannya,  berdiri tegak dengan senyum lembut dan sorot mata penuh cinta. Jantung Nenek Ani berdebar kencang. Dikucek-kuceknya mata tuanya, tetapi sosok itu tidak juga menghilang,  malah semakin  nyata.
“Ada apa, Buk?” diulanginya lagi pertanyaan itu. Kali ini sambil merangsek mendekati pembaringan tempat nenek Ani berbaring. Senyuman lembut dan tatapan cinta yang sangat dikenali oleh nenek Ani berhasil mengurangi ketegangan yang dirasakannya. Dibiarkannya sosok itu mendekat dan mengusap kepalanya. Rasa tenang menjalari hati Nenek Ani.
“Aku sudah tidak sanggup menghadapi ini sendiri, Pak” Nenek Ani menyelusupkan kepalanya dalam pangkuan lelaki itu.
“Kamu tidak sendiri, Buk. Ada Allah yang pasti menolongmu”
“Tapi Pak… keadaannya sudah sangat berbeda Sejak kau pergi meninggalkan aku dan anak-anak. Semuanya berubah”
“Apa maksudmu, Buk?”
“Anak-anak, Pak….”
“Ada apa dengan anak-anak?. Mereka kan sudah kita bekali dengan pendidikan yang layak. Sudah kita antarkan ke pelaminan. Mereka sudah menjadi manusia dewasa dan sudah harus menjadi manusia mandiri”
“Semuanya tidak seperti yang kita harapkan, Pak. Sudah beberapa hari ini ada pertentangan hebat di antara mereka. Aku takut, Pak”
“Apa yang kamu takutkan? Mereka semua anak-anakmu. Mereka pasti mau mendengar apa yang kamu ucapkan”
“Sekarang tidak lagi! Dahulu mereka mendengarkan aku karena mereka takut sama Bapak. Mereka tidak pernah benar-benar mendengarkan aku Pak. Apa lagi sekarang, aku hanya sosok tua yang hanya menjadi beban bagi mereka. Mana mungkin aku berani menasihati mereka sedangkan hidupku saja bergantung kepada rasa kasihan mereka”
“Bu… Mereka tidak seperti itu. Mereka tetap menyayangi dan mencintai Ibu. Mereka tetap akan mendengar semua nasihat Ibu”
“Pak… Itu tidak mungkin! Mana mungkin mereka saling hardik di hadapaku, bila mereka masih menghormatiku. Mana mungkin mereka saling mengungkapkan kata-kata keras bahkan saling mengancam bila mereka masih menganggapku ada. Aku takut, Pak..” Nenek Ani tak lagi mampu membendung tangis yang telah disimpannya beberapa hari ini. Tubuhnya berguncang dengan hebat. Masih dicobanya menahan isak dengan mengatupkan kedua bibirnya tetapi justru nafasnya menjadi sesak, debaran jantungnya tak dapat lagi dikendalikan. Dipeluknya sosok laki-laki itu, Nenek Ani berharap sosok penjaga dan pelindungnya ini tidak akan pernah meninggalkannya lagi.
Suara azan subuh membangunkan Nenek Ani dari tidurnya. Dipandanginya sekeliling ruangan. Tak ada siapa-siapa selain dirinya. Dilihatnya jam tangan warna kuning keemasan yang masih tergeletak di atas pembaringan. Kembali dikitarinya seluruh ruangan dengan mata tuanya berharap sosok laki-laki yang dicintainya itu masih berada di situ.
“Pak…” Dipanggilnya dengan suara pelahan. Tak ada sahutan. Diulanginya lagi, masih juga tak ada jawaban. Suara nenek Ani semakin keras.
“Ada apa, Buk?” Galang dan Galih muncul bersamaan.
“Mana Bapak?” Pertanyaan Nenek Ani sejenak menghentikan detak jantung mereka berdua.
“Bapak sudah pergi, Buk. Sudah lama sekali!” Galang berusaha menyadarkan Nenek Ani.
“Tidak, Bapak ada di rumah ini. Bapak tidak kemana-mana” Nenek Ani bersikukuh
“Tapi, Buk …” Galih tak melanjutkan ucapannya, Dia bingung menghadapi sikap aneh Nenek Ani.
“Bapak ada di sini !!, Bapak akan mengatasi semua masalah kita. Ya… Bapak yang akan mengatasinya. Ibu tidak mampu. Hanya Bapak yang mampu !!. Ibu hanya perempuan tua bodoh. Tak ada yag akan mendengarkan kata-kata Ibu. Mana Bapak??… Mana??.”
Galih dan Galang hanya saling pandang. Rasa sesal menguasai hati mereka. Mereka telah lupa menjaga hati Ibunya. 


Giska Mogok Sekolah





Upacara bendera senin pagi baru saja usai, Ibu guru Anisa, melangkahkan kakinya dengan ringan menuju kelas VII A. Kelas yang menjadi asuhannya sebagai wali kelas. Sudah menjadi kebiasaanya memberikan pembinaan disela-sela istirahat menjelang pelajaran pertama hari senin di mulai.
Memasuki ruang kelas, Didapatinya para siswa sudah berkumpul. Mereka memang telah membuat kesepakatan untuk selalu bertemu di senin pagi, tentunya bila upacara tidak berakhir terlalu siang.
“Assalamu’alaikum” Sapanya dengan ramah sambil melangkah menuju meja guru yang berada di sebelah kanan bagian depan ruang kelas itu. Anak-anak yang tadinya masih bergerombol di beberapa sudut bersegera menuju bangkunya masing-masing.
“Wa’alaikum salam” Serempak mereka membalas salam itu.
“Bagaimana kabar kalian pagi ini?. Mudah-mudahan semuanya sehat dan membawa semangat yang tinggi untuk belajar”
“Baiiiik, Siaaaap” jawab para siswa dengan penuh semangat”
“Siapa yang tidak hadir hari ini?”
“Giska, Buuuuu”
Bu Nisa mengernyitkan dahinya. Giska adalah murid yang baru masuk di sekolah ini tiga hari yang lalu. Sebelumnya dia sekolah di SMP yang ada di Ibu kota Provinsi. Setahu Ibu Anisa, Giska adalah anak yang rajin dan penuh semangat, itu diketahuinya ketika mereka sempat bertemu dan berbincang di hari pertama ketika dia diantar orang tuanya untuk mendaftar.
“Ada pemberitahuan atau surat dari keluarganya tidak?”
Beberapa anak langsung berteriak “Tidaaaak” sementara sebagian yang lain masih menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan.
Setelah beberapa saat, akhirnya perbincangan akrab itupun berakhir.
“Baiklah, sebentar lagi pelajaran pertama akan segera dimulai, jangan lupa tetap semangat dan…”
“Siap meraih prestasi” lanjut anak-anak dengan penuh semangat.
Sesampainya di ruang guru, Ibu Anisa masih memikirkan ketidak hadiran Giska yang tanpa kabar. Sempat terpikirkan untuk menelepon orang tuanya, tetapi bu Anisa belum menyimpan nomor kontak mereka, begitu juga di bagian Tata Usaha sekolah, Dia juga tidak mendapatkannya.
Bu Anisa sejenak berhenti memikirkan masalah Giska karena harus melaksanakan tugas mengajar di kelas VII B dan VIIC. Hari ini dia biarkan berlalu tanpa mendapatkan kepastian tentang ketidak hadiran Giska. “Mungkin mereka sekeluarga masih sibuk dengan berbagai urusan, mereka kan baru pindah beberapa hari yang lalu” pikirnya mencoba meredakan rasa penasarannya.
_________@@@@@_____
Udara segar pegunungan mengiringi langkah Ibu Anisa menuju ke sekolah. Tepat pukul 07.00, Ibu Guru muda yang cantik itu sudah memasuki gerbang sekolah dengan kendaraan Yamaha Mio-nya. Satu tekadnya ingin mengetahui apakah Giska hari ini hadir di sekolah atau tidak.
Bel masuk belum lagi berbunyi, Bu Anisa telah berada di depan kelas VII A, Dia tidak menemukan Giska di sana.
“Ada yang melihat Giska?” tanyanya kepada sekelompok anak yang berada di depan kelas.
“Tidak, Bu” Jawab mereka hampir berbarengan.
Bu Anisa menyapu semua sudut yang terjangkau pandangannya. Giska tidak juga ditemukan.
“Hari ini saya tidak ada jam mengajar, saya mohon izin untuk mengunjungi Giska, murid baru itu, Pak. Sampai hari ini dia belum juga masuk” Ibu Anisa meminta izin untuk melakukan home visit.
Rumah dinas yang ditempati keluarga Giska terlihat lengang, Ibu Anisa melangkah ragu memasuki halaman rumah itu. Sebelum Dia sempat mengetuk pintu seorang ibu muda kira-kira berusia 37 tahun muncul dari balik pintu dan menyambut Ibu Anisa dengan ramah.
“Oh, ada Ibu guru rupanya. Silakan masuk, Bu…?”
“Anisa” Bu Guru Anisa menyebutkan namanya
“Oh ya, Ibu Anisa, maaf, mungkin karena baru bertemu satu kali, saya belum hafal nama Ibu” Ibu guru Anisa hanya tersenyum. Mereka kemudian beriringan masuk dan duduk berhadapan di ruang tamu.
Setelah sedikit berbasa-basi, akhirnya Ibu Annisa mengutarakan maksudnya. Pembicaraan berubah serius, air muka orang tua Giska pun terlihat berubah. Senyum yang sedari tadi mengembang tiba-tiba menghilang.
“Saya juga cemas dan bingung, Bu. Saya sudah berusaha membujuknya tetapi sampai tadi pagi dia masih belum mau diajak bicara. Dia terus menerus mengurung dirinya di kamar”
“Ibu sudah tahu, apa sebetulnya yang terjadi pada Giska?” Ibu Anisa mencoba mencari tahu.
“Itulah, Bu Guru. Giska selalu bungkam setiap kali saya tanyakan alasannya, jika saya agak keras dia menangis dan masuk ke kamarnya”
“Boleh saya bertemu Giska sekarang, Bu?”.
“Silakan, Bu Guru, mari saya antar ke kamarnya”
Kamar Giska berada di dekat ruang makan, pintu kamar itu tertutup rapat.
“Giska, ini ada Ibu guru Anisa, kami boleh masuk kan?” Ibu Anisa sedikit terkejut sekaligus kagum mendengar kata-kata ibu Giska itu. Meskipun Anisa masih kecil tetapi ibunya sudah menghargai privasinya.
“Ya, ma. Giska saja yang keluar” Giska muncul dari balik pintu, kemudian mencium tangan Bu Guru Anisa. Bu Anisa beserta Giska dan mamanya kembali menuju ruang tamu.
“Giska, apa kabar?, Ibu kangen sama Giska”
“Baik, Bu” jawaban Giska sengkat saja.
“Ibu ingin Giska kembali ke sekolah” lanjut Ibu Anisa
Giska hanya diam dengan kepala tertunduk. Samar terlihat dia menggeleng lemah.
“Giska marah sama Bu Guru?” kembali Ibu Anisa membujuk dan kembali Giska menggeleng.
Pertemuan Ibu Anisa dan Giska hari ini belum membuahkan hasil sesuai yang diharapkannya. Ibu Anisa akhirnya berpamitan dengan satu tekad “Aku harus tahu, apa yang terjadi sebenarnya”
___________________@@@@@____________________
“Windi, Giska waktu hari jum’at sebangku dengan kamu, kan?” Bu Anisa mulai menanyai beberapa murid kelas VIIA, Dia tidak memanggil mereka ke ruang guru ataupun ke ruang BP. Ibu Anisa melakukannya di kantin.
“Iya, Bu” jawab Windi polos.
“Giska tidak bercerita apa-apa?, misalnya dia tidak ingin pindah ke sini, atau dia marah atau kecewa pada seseorang?”
Sejenak Windi mengingat-ingat apa yang telah Dia dan Giska lakukan selama hari Juma kemudian dia menggeleng. “Tidak, Bu, Dia tidak mengatakan apa-apa. Keliatannya sih dia senang sekolah di sini” lanjut Windi.
“Selain bersama kamu, hari itu Giska bermain dengan siapa lagi?”
“Hari itu Giska hanya bersama dengan saya, Bu. Bahkan saat pulang sekolah dia mengajak saya mampir ke rumahnya”
Ibu Guru Anisa mencatat setiap jawaban yang dianggapnya penting layaknya detektif professional yang tengah menyelidiki sebuah kasus besar.
“Mega, waktu hari Sabtu, Ibu lihat saat istirahat kamu bersama Giska, betulkan?”
“Iya, Bu” Mega menjawab dengan raut wajah sedikit bingung. “Memang kenapa Bu?” Dia balik bertanya.
“Tidak ada apa-apa, Ibu hanya ingin tahu mengapa tiga hari ini Giska tidak datang ke sekolah”
“Mungkin Dia sakit, Bu” Mega menduga-duga. Ibu Anisa hanya tersenyum.
“Kamu sempat melihat hal aneh atau apalah…yang pasti sebuah kejadian terhadap Giska pada hari itu?” lanjut Ibu Anisa
“Maksud ibu, hal aneh apa Bu?” Mega masih bingung.
“Misalnya, ada teman yang menjaili Giska atau ada yang mempermalukannya, atau ada yang menakut-nakutinya, seperti itu”
“Oh iya, Bu. Waktu itu…” Tiba-tiba terdengar suara menyela dari samping kanan Ibu Anisa. Mila berdiri di situ dengan senyum manisnya.
“Oh, kamu Mila, apa yang terjadi pada Giska pada hari itu?”
“Giska bilang, dia ingin ke toilet dan minta antar kepada saya, karena saya males nganternya, saya tunjukkan saja tempatnya”
“Lalu, Giska pergi sendiri ke toilet?”
“Iya, Bu. Tapi cuman sebentar, saya lihat dia lari ke kelas. Mukanya pucat”
“Apa yang terjadi dengan Giska?”
“Gak tahu, Bu”
Ibu Anisa mulai merasa menemukan titik terang, untuk memperjelas masalahnya diapun melanjutkan penyelidikannya ke toilet siswa.
Masih dua meter menjelang pintu toilet, ada aroma menyengat yang menusuk lubang penciumannya. Ibu Anisa terus masuk, suasana mencekam menyergapnya. Matanya tertumpu kepada sarang laba-laba yang bergayut di langit-langit, hampir menutupi setiap sudut ruangan itu. Saat melihat ke lantai, beberapa keramik telah terlepas. Pada bagian yang terlepas itu telah ditumbuhi oleh lumut dan berwarna hijau kehitam-hitaman.
Ibu Anisa terus bertahan, lalu pandangannya diarahkannya ke dinding yang sudah tidak jelas warnanya. Kepala Ibu Anisa mulai terasa pusing, perutnya mual. Dia menyerah dan bergegas meninggalkan ruangn itu.
_________________@@@@@_______________
“Pak, saya ingin mengusulkan sesuatu” Pagi ini Ibu Anisa kembali menghadap Bapak Kepala Sekolah di ruangannya.
“Silakan, siapa tahu usulan itu memang kita perlukan” Sambut Bapak kepala sekolah dengan ramah.
“Saya ingin mengajak seluruh warga sekolah, mulai dari penjaga, siswa, juga, maaf, Bapak tentunya bergotong royong membersihkan dan merenovasi kamar mandi siswa.
“Kalau merenovasi, dananya belum ada, Bu”
“Saya pikir, kita tidak butuh dana terlalu besar, Pak. Paling-paling hanya untuk membeli cet dan sedikit semen, untuk tenaga dengan bergotong royong saja” Ibu Anisa begitu bersemangat menyampaikan usulannya.
“Ibu, yakin bisa mengondisikannya?”
“Dengan izin dan dukungan Bapak tentunya
Tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengatasi hal itu, Sehari berselang ruang toilet siswa itu sudah sangat bersih dan sehat.
Ibu Anisa dengan senyum mengembang dan penuh keyakinan menyampaikan hal itu kepada Giska. Sejak hari itu Giska kembali ke sekolah.


Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....