Minggu, 22 September 2013

NGIDAM

“Selamat, kamu hamil, Keila. Sekali lagi, selamat. Eh, Baranya mana? Oh ya, aku tahu. Kamu pasti merencanakan sebuah kejutan manis untuk Bara, suami kerenmu itu, jadinya kamu datang ke sini sendirian. Iya, kan? Iya, kan?” Fika terus bicara tanpa memberi kesempatan padaku untuk menyela, memang begitulah kebiasaan dokter ahli kandungan Fika Amalia yang kebetulan sudah menjadi temanku sejak kami dipertemukan di kelas yang sama, bahkan duduk di bangku yang sama.
Aku hanya tersenyum kecil sambil mengedipkan sebelah mataku ke arahnya dan Fika menimpalinya dengan mengacungkan dua jempol tangannya sekaligus.
“Kamu tidak tahu, Fika, kamu memang tidak perlu tahu,” aku membathin sambil melangkah meninggalkan Fika di ruang kerjanya itu. Sehelai kertas yang berisi hasil pemeriksaan urineku yang tadi aku terima dari Fika, aku masukan ke dalam tas, begitu saja.
Tiga tahun yang lalu aku syah menjadi istri Bara, laki-laki tampan yang selalu menjadi bahan pembicaraan antara aku dan beberapa teman perempuanku di kantor. Bukan saja tampan, bara juga cerdas. Berkat ide-idenya penjualan barang yang diproduksi oleh perusahaan kami, terus meningkat dan tentunya memberikan dampak positif juga bagi kami para karyawan.
Bara juga disukai karena dia baik. Dia akan segera mengosongkan isi kantongnya, apalagi bila baru saja menerima bonus, bila aku dan teman-teman meminta traktirannya.
Bara itu perhatian, dia akan rela meluangkan waktunya untuk mendengarkan curhatan kami,bahkan jika harus pulang terlambat sekalipun.
Alu aku jatuh cinta padanya.
Aku mencintai Bara diam-diam. Aku menuliskan semua curahan isi hatiku di sebuah buku kecil bersampul biru langit yang aku beri nama Lulu.
Suatu hari aku dikejutkan dengan sebuah sms yang datang dari Bara.
“Aku ingin menikah denganmu,” begitu bunyi sms itu. Sms itu menimbulkan dampak yang sangat hebat. Aku jadi tolol. Aku tidak menjadikan lamaran mendadak itu sebagai sesuatu yang layak untuk dicurigai. Aku bahkan lupa kalau aku adalah adik kesayangan pemilik perusahaan tempat kami bekerja dan kakakku bisa berbuat apa saja terhadap Bara demi menyenangkanku, adiknya.
Pernikahan itu akhirnya terjadi. Pernikahan yang tidak membuat aku merasa memiliki Bara. Bara tetap menjadi milik dirinya sendiri yang selalu sibuk untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Bara tetap menghabiskan uangnya bersama teman-teman sekantor, katanya “Aku gak mau teman-teman beranggapan aku berubah sejak menikah dengan kamu, nantinya mereka akan menganggap aku sombong.”
Bara juga masih sibuk menjadi tempat curhat bagi mereka yang galau. Dia terlalu sering pulang terambat.
Pada akhirnya, aku harus bisa berkompromi dengan hatiku sendiri. Aku berusaha tetap bahagia walau tanpa perhatian dari Bara.
Aku memasuki gerbang rumah yang sepi. Tidak lama kemudian Bi Nah muncul menyongsongku lalu dia melirik ke dalam mobil mencari sesuatu yang mungkin harus dibawakannya ke dalam. Bi Nah kembali masuk ke dalam rumah saat melihat mobil yang kosong melompong.
Aku melangkah di belakang Bi Nah. Sesampainya di ruang tengah aku hempaskan tubuhku di atas sofa besar yang mampu memuat tubuhku yang memang berukuran kecil. Terlentang sejenak di sana lalu kembali duduk ketika Bi Nah meletakkan secangkir teh hangat di meja yang ada di depanku.
@@@
Sudah hampir satu bulan sejak aku mengunjungi Fika di kliniknya. Aku tidak pernah membicarakan kehamilanku ini kepada Bara. Aku rasa itu tak penting. Kabar itu tidak akan membuat Bara bahagia. Bahkan melihat wajahku yang memucat dan nafsu makanku yang hilang saja dia tak pernah bertanya apa-apa. Ya, sudahlah. Aku anggap saja ini nasibku.
“Keyla, Keyla, Sayang….?” Suara Bara yang bernada riang dan panggilan sayang, yang baru kali ini aku dengar malah membuatku kaget dan hanya duduk terpaku.
“Keyla, kamu di sini rupanya,” Bara muncul di kamar dan langsung memeluk pinggangku dan mengecup keningku. Tubuhku malah menjadi kaku. Terus terang, aku menjadi was-was dan takut.
“Key, kamu mau aku belikan apa? Kamu mau buah manga muda? Atau mau kelapa muda?”
“Aku tidak ingin apa-apa. Tapi sebentar, kamu kok tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Tadi Fika bertanya tentang kejutan yang kamu buat untukku.” Bara berusaha menjelaskan.
“Kejutan apa?” Aku masih saja bingung.
“Sudahlah Key, jangan pura-pura lagi. Aku tahu kamu hamil. Aku tidak ingin anakku nantinya menganggap bapaknya tidak menyayanginya. Makanya aku akan turuti apa yang dia inginkan, sejak dia masih dalam kandungan. Kamu sekarang ngidam apa?”
Jawaban Bara, mugkin seharusnya membahagiakan aku. Tetapi bukan itu yang aku rasakan. Aku kecewa. Semuanya hanya karena bayi dalam kandunganku, bukan karena dia peduli kepadaku.
“Sekarang dia belum ingin apa-apa, Bara. Entahlah kalau nanti malam, besok, atau lusa,” jawabku sambil berlalu meninggalkan kamar menuju ruang televisi.
Sejak malam itu aku tiba-tiba ngidam banyak hal. Mulanya yang biasa-biasa saja, sampai yang luar biasa dan Bara selalu memenuhinya.
Sore ini setelah nonton acara wisata kuliner daerah bogor di salah satu stasiun televisi swasta, aku jadi ingin makan asinan bogor. Aku lalu menghubungi ponsel Bara, yang aku yakin, pada jam segini sedang dalam perjalanan menuju pulang, aku tidak ingin dia terlanjur melewati daerah pasar minggu tempat pedagang asinan Bogor langgananku.
Cukup lama aku menunggu Bara menjawab panggilanku hingga akhirnya,
“Ya, halo. Ada apa, Keyla?” suara Bara di seberang sana.
“Mampir di toko asinan bogor langganan aku, ya…”
“Memangnya, kamu mau apa?”
“Belikan asinan, jangan lupa kerupuknya yang banyak. Oh,ya. Jangan ditambah cabe lagi, perutku suka mules kalau terlalu banyak makan pedas. beli…”
Ucapanku belum selesai ketika aku mendengar suara dentuman keras serta suara teriakan Bara yang keras dan setelah itu sepi…

Bila Cinta Jangan Selingkuh

Akhirnya bagian terakhir novelku, yang telah tertunda beberapa lama, berhasil juga aku selesaikan. Entah mengapa begitu sulit rasanya membuat ending yang meninggalkan kesan untuk cerita yang tengah aku tulis ini. Walaupun akhirnya selesai juga, sebetulnya aku belum benar-benar puas.
Baru pukul sembilan malam tetapi Rahmi istriku telah tertidur pulas. Aku yakin dia pasti sangat kelelahan setelah seharian mengurus rumah sekaligus mengasuh dua anak buah cinta kasih kami. Telah banyak masa yang kami lewati bersama. Tak hanya bahagia tetapi juga duka kami jalani bersama. Rahmi telah buktikan padaku bahwa dia istri yang baik bahkan nyaris sempurna.
Di luar hujan turun sangat deras disertai angin yang bertiup kencang. Hembusan angin dingin yang menerobos melalui ventilasi jendela kamar menerpa tubuhku, aku menggigil dibuatnya. Cuaca akhir tahun selalu seperti ini.
Setelah mematikan laptop dan menyimpannya kembali di dalam laci meja, tempat aku biasa duduk berjam-jam untuk menguraikan semua isi kepalaku, aku lalu menghampiri Rahmi dan mencium keningnya. Rahmi menggeliat tanpa membuka matanya, aku kemudian merapikan selimutnya yang agak tersingkap lalu ikut berbaring di sisinya.
Sudah hampir satu jam aku mencoba tidur tetapi ternyata tidak mudah. Mataku tetap saja terbuka dengan pikiran yang terus menari-nari, melompat kian kemari. Bosan di tempat tidur aku kembali bangkit dan berjalan ke ruang tengah. Di ruang tengah aku menyalakan televisi. Setelah berpindah dari satu kanal ke kanal lainnya dan tidak satupun acara yang mengundang minatku. Televisi kembali aku matikan.
Pilihan terakhirku membaca sebuah novel lama yang ditulis oleh Barbara cartland. Kisah romantic yang selau berakhir bahagia. Sepuluh halaman selesai kubaca, ketika membuka halaman ke sebelas, mataku tertumpu pada sehelai kertas yang warnamya sudah agak kusam. Kuamati kertas itu, sebuah puisi dengan tulisan tangan yang sangat aku kenal. Eka Wijaya, nama penulisnya.
Jantungku tiba-tiba berdegup keras. Kertas kusam itu telah mencuri sepenggal kesetiaanku pada Rahmi. Degupan yang semakin keras telah menumbuhkan rindu dengan sangat cepatnya. Tak ada ragu di hatiku ketika aku menekan beberapa angka pada ponselku. Tak juga harus menunggu lama karena dia segera menjawab ponselku.
“Ya, halo” suara halus di seberang sana semakin mempercepat degup jantungku.
“Maaf mengganggu, belum tidur?” aku berbasa-basi
“Belum, masih menunggu suami pulang.” Jawabnya tenang.
“Oh” aku mulai kehilangan kata-kata.
“Ada apa, Mas? Tumben menelepon.” Lanjutnya lagi.
“Eh, gak ada apa-apa kok, cuman kangen aja.” Jawaban konyol ini meluncur begitu saja dari mulutku.
“Ah, si Mas ini.” Dia hanya tergelak ringan.
“Aku serius lho. Kamu kangen juga, gak?” kembali aku mengajuk hatinya.
“Mas, rasa kagen itu sesuatu yang alamiah, aku juga sering tiba-tiba kangen sama Mas. Rasa kangen itu mungkin karena cerita masa lalu kita tak mudah untuk dilupakan.” Sejenak dia terdiam, akupun hanya menunggu sambil terus berharap dia segera melanjutkan ucapannya.
“Mas, rasa kangen yang tumbuh di hatiku maupun di hati Mas sendiri itu hanya boleh sebatas kangen saja, semua cerita itu telah selesai. Kita sekarang mempunyai kehidupan yang berbeda. Mas dengan istri Mas dan aku dengan suamiku,” lanjutnya.
“Ya, semua memang sudah selesai. Mas minta maaf. Tak ada niatan untuk mengubah semua keadaan ini. Mas hanya terbawa rasa rindu ini saja.”
“Saya mengerti, Mas. Selamat malam.” Klik. Dia mengakhiri percakapan.
“Mas…” Rahmi muncul dari balik pintu kamar.
“Aku di sini, kok bangun?” aku mengembalikan novel ke rak buku berikut puisi yang berada di dalamnya. Kenangan itu akan tetap aku simpan di situ.
“belum tidur, Mas?” Rahmi menghampiri dan duduk di sampingku sambil menyandarkan kepalanya ke bahuku.
“Belum mengantuk.” Jawabku singkat. Kukecup keningnya sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya.
“Maafkan Mas, ya” bisikku pelahan. Rahmi menatapku bingung.
Aku biarkan saja dia dengan kebingungannya. Rahmi tidak terus bertanya karena aku kini tidak hanya mencium keningnya tetapi melumat bibir mungilnya dengan penuh cinta.

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....