“Selamat,
kamu hamil, Keila. Sekali lagi, selamat. Eh, Baranya mana? Oh ya, aku
tahu. Kamu pasti merencanakan sebuah kejutan manis untuk Bara, suami
kerenmu itu, jadinya kamu datang ke sini sendirian. Iya, kan? Iya, kan?”
Fika terus bicara tanpa memberi kesempatan padaku untuk menyela, memang
begitulah kebiasaan dokter ahli kandungan Fika Amalia yang kebetulan sudah menjadi temanku sejak kami dipertemukan di kelas yang sama, bahkan duduk di bangku yang sama.
Aku
hanya tersenyum kecil sambil mengedipkan sebelah mataku ke arahnya dan
Fika menimpalinya dengan mengacungkan dua jempol tangannya sekaligus.
“Kamu tidak tahu, Fika, kamu memang tidak perlu tahu,” aku membathin sambil melangkah meninggalkan Fika di ruang kerjanya itu. Sehelai kertas yang berisi hasil pemeriksaan urineku yang tadi aku terima dari Fika, aku masukan ke dalam tas, begitu saja.
Tiga
tahun yang lalu aku syah menjadi istri Bara, laki-laki tampan yang
selalu menjadi bahan pembicaraan antara aku dan beberapa teman
perempuanku di kantor. Bukan saja tampan, bara juga cerdas. Berkat
ide-idenya penjualan barang yang diproduksi oleh perusahaan kami, terus meningkat dan tentunya memberikan dampak positif juga bagi kami para karyawan.
Bara juga disukai karena dia baik. Dia akan segera mengosongkan isi kantongnya, apalagi bila baru saja menerima bonus, bila aku dan teman-teman meminta traktirannya.
Bara
itu perhatian, dia akan rela meluangkan waktunya untuk mendengarkan
curhatan kami,bahkan jika harus pulang terlambat sekalipun.
Alu aku jatuh cinta padanya.
Aku
mencintai Bara diam-diam. Aku menuliskan semua curahan isi hatiku di
sebuah buku kecil bersampul biru langit yang aku beri nama Lulu.
Suatu hari aku dikejutkan dengan sebuah sms yang datang dari Bara.
“Aku ingin menikah denganmu,” begitu bunyi sms itu. Sms itu menimbulkan dampak yang sangat hebat. Aku jadi tolol. Aku
tidak menjadikan lamaran mendadak itu sebagai sesuatu yang layak untuk
dicurigai. Aku bahkan lupa kalau aku adalah adik kesayangan pemilik
perusahaan tempat kami bekerja dan kakakku bisa berbuat apa saja terhadap Bara demi menyenangkanku, adiknya.
Pernikahan
itu akhirnya terjadi. Pernikahan yang tidak membuat aku merasa memiliki
Bara. Bara tetap menjadi milik dirinya sendiri yang selalu sibuk untuk
orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Bara
tetap menghabiskan uangnya bersama teman-teman sekantor, katanya “Aku
gak mau teman-teman beranggapan aku berubah sejak menikah dengan kamu,
nantinya mereka akan menganggap aku sombong.”
Bara juga masih sibuk menjadi tempat curhat bagi mereka yang galau. Dia terlalu sering pulang terambat.
Pada akhirnya, aku harus bisa berkompromi dengan hatiku sendiri. Aku berusaha tetap bahagia walau tanpa perhatian dari Bara.
Aku
memasuki gerbang rumah yang sepi. Tidak lama kemudian Bi Nah muncul
menyongsongku lalu dia melirik ke dalam mobil mencari sesuatu yang
mungkin harus dibawakannya ke dalam. Bi Nah kembali masuk ke dalam rumah saat melihat mobil yang kosong melompong.
Aku
melangkah di belakang Bi Nah. Sesampainya di ruang tengah aku hempaskan
tubuhku di atas sofa besar yang mampu memuat tubuhku yang memang
berukuran kecil. Terlentang sejenak di sana lalu kembali duduk ketika Bi
Nah meletakkan secangkir teh hangat di meja yang ada di depanku.
@@@
Sudah
hampir satu bulan sejak aku mengunjungi Fika di kliniknya. Aku tidak
pernah membicarakan kehamilanku ini kepada Bara. Aku rasa itu tak
penting. Kabar itu tidak akan membuat Bara bahagia. Bahkan melihat
wajahku yang memucat dan nafsu makanku yang hilang saja dia tak pernah
bertanya apa-apa. Ya, sudahlah. Aku anggap saja ini nasibku.
“Keyla,
Keyla, Sayang….?” Suara Bara yang bernada riang dan panggilan sayang,
yang baru kali ini aku dengar malah membuatku kaget dan hanya duduk
terpaku.
“Keyla,
kamu di sini rupanya,” Bara muncul di kamar dan langsung memeluk
pinggangku dan mengecup keningku. Tubuhku malah menjadi kaku. Terus
terang, aku menjadi was-was dan takut.
“Key, kamu mau aku belikan apa? Kamu mau buah manga muda? Atau mau kelapa muda?”
“Aku tidak ingin apa-apa. Tapi sebentar, kamu kok tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Tadi Fika bertanya tentang kejutan yang kamu buat untukku.” Bara berusaha menjelaskan.
“Kejutan apa?” Aku masih saja bingung.
“Sudahlah
Key, jangan pura-pura lagi. Aku tahu kamu hamil. Aku tidak ingin anakku
nantinya menganggap bapaknya tidak menyayanginya. Makanya aku akan
turuti apa yang dia inginkan, sejak dia masih dalam kandungan. Kamu
sekarang ngidam apa?”
Jawaban Bara,
mugkin seharusnya membahagiakan aku. Tetapi bukan itu yang aku rasakan.
Aku kecewa. Semuanya hanya karena bayi dalam kandunganku, bukan karena
dia peduli kepadaku.
“Sekarang
dia belum ingin apa-apa, Bara. Entahlah kalau nanti malam, besok, atau
lusa,” jawabku sambil berlalu meninggalkan kamar menuju ruang televisi.
Sejak malam itu aku tiba-tiba ngidam banyak hal. Mulanya yang biasa-biasa saja, sampai yang luar biasa dan Bara selalu memenuhinya.
Sore ini setelah nonton acara wisata kuliner daerah
bogor di salah satu stasiun televisi swasta, aku jadi ingin makan
asinan bogor. Aku lalu menghubungi ponsel Bara, yang aku yakin, pada jam
segini sedang dalam perjalanan menuju pulang, aku tidak ingin dia
terlanjur melewati daerah pasar minggu tempat pedagang asinan Bogor
langgananku.
Cukup lama aku menunggu Bara menjawab panggilanku hingga akhirnya,
“Ya, halo. Ada apa, Keyla?” suara Bara di seberang sana.
“Mampir di toko asinan bogor langganan aku, ya…”
“Memangnya, kamu mau apa?”
“Belikan
asinan, jangan lupa kerupuknya yang banyak. Oh,ya. Jangan ditambah cabe
lagi, perutku suka mules kalau terlalu banyak makan pedas. beli…”
Ucapanku belum selesai ketika aku mendengar suara dentuman keras serta suara teriakan Bara yang keras dan setelah itu sepi…