Senin, 28 November 2016

Bahagiaku Bersamamu



    Vivi Vilawati

Bagi Reva, seakan tak pernah bosan bermanja-manja di pangkuan sang suami tercinta, memandang wajahnya yang berjerawat, memainkan rambutnya yang super keren “katanya” sampai memijit hidungnya yang mancung,, yaa itulah yang membuat  perempuan 25 tahun itu selalu terlihat bahagia memiliki suami yang sausianya. Hidup bersama Rayhan Saputra dijalaninya sudah hampir satu tahun.  Perempuan yang berprofesi sebagai guru bantu di Sekolah itu seakan tak pernah bisa sehari saja untuk tak bahagia, bukan karena kehidupannya yang layak dan serba mencukupi, namun karena Reva menyadari bahwa segala yang ia miliki semua patut disyukuri , itulah yang selalu membuatnya bahagia menjalani hidup ini.  
Reva yang walau hanya tinggal bersama seorang ibu, tak pernah merasa sedih ataupun kekurangan kasih sayang. Sebelum anak perempuannya itu menikah, Lasmini tak pernah mengabaikan apapun yang diminta anak gadisnya itu, semua kebutuhan Reva dicukupinya dari hasil membuka kios dagangan miliknya. Walau dirinya hanya seorang janda, Lasmini ternyata membuktikan bahwa dirinya mampu mengurus Reva hingga anak gadisnya itu mampu menyelesaikan pendidikan Strata 1 di perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Lasmini sangat perduli pada kehidupan Reva. Mulai dari hal terkecil, sampai pada ketika Reva dilamar oleh Ray pun, Lasmini tetap tak pernah membuat Reva bersedih. Walau sebenarnya Lasmini sudah punya pilihan laki-laki yang lain yang dikiranya pantas untuk Reva. Namun ketika dengan raut muka yang sangat menggambarkan kebahagiaan itu mengatakan
“Ibu, aku sangat mencintai Ray. Empat tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk membuat aku meyakinkan hatiku bahwa Ray adalah laki-laki terbaik yang pernah aku temui di dunia ini”.
 Mendengar perkataan yang begitu mengharukan dari sang anak, akhirnya Lasmini pun membatalkan niatnya untuk menjodohkan Reva dengan laki-laki pilihannya. Reva terlihat sangat tulus ketika mengatakan hal yang membuat hati sang ibu terharu, Reva terlihat penuh harap dengan hubungan yang sudah dijalaninya dengan Ray. Lasmini akhirnya mengiyakan keinginan Reva dan menerima lamaran Ray dan keluarganya.
 “Untukmu anakku, apapun akan aku lakukan” usik Lasmini dalam hati.
Berjalanlah resepsi pernikahan yang sungguh istimewa dan berkesan elit. Keluarga besar Ray yang hartawan sekaligus dermawanlah yang mempersiapkan segala kebutuhan acara pernikahan mereka. Lasmini bersyukur dirinya dapat dipertemukan dengan orang-orang yang baik dan mau menerima ia dan anaknya tanpa memandang derajat.
Bahagianya Reva dan Ray bak Raja dan Ratu di kayangan yang mempunya segalanya. Yaaaaa, segalanya, “cinta diatas segalanya”, begitulah ujar Reva pada Ray ketika mereka bercanda di taman belakang rumah. Bak ratu di istana, Reva tak pernah dibiarkan menyentuh pekerjaan apapun oleh Ray. Semua pekerjaan rumah di tugaskannya kepada pembantu, begitu pula ibu mertua yang sangat dihormatinya itu tak pernah ia biarkan melakukan pekerjaan apapun.
“nak, ibu rasa, kita perlu tinggal di rumah sebesar ini, rumah ibu yang lama kan masih layak untuk kita tempati, lagipula ibu masih terbayang semua kenangan yang terjadi di rumah itu ! “ ujar sang ketika Reva dan Ray hendak masuk ke dalam rumah.
“bukan maksud Ray memisahkan ibu dari kenangan indah itu bu, Ray hanya ingin ibu dan Reva benar-benar merasakan kehidupan yang lebih baik. Maafkan jika ini menggores hati ibu, tapi sungguh, Ray hanya ingin kita bahagia”  jawab Ray dengan penuh harap agar sang ibu mau tetap tinggal bersamanya.
Reva yang berdiri sambil menggandeng tangan Ray hanya tersenyum manis sebelum ia berkata “ibu, dimanapun kita tinggal, yang terpenting adalah kita tetap bersama, iyaa kan buu ?” ujar Reva sambil memeluk Lasmini. “baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Ibu hanya ingin anak menantu ibu bahagia”. Jawab Lasmini sambil membalas pelukan Reva.
Termasuk pula Reva yang akhirnya harus berhenti dari tugasnya sebagai tenaga pendidik. Bukan karena Ray tak menghargai profesinya, namun Ray pikir, istri adalah perhiasan yang harus benar-benar dimuliakan. Maka dari itu, Ray meminta Reva untuk beralih menjadi bidadari di istananya. Berbulan-bulan Ray dan Reva memadu kasih dalam mahligai rumah tangga yang membuat keduanya larut dalam kebahagiaan. Tak ada yang membuat mereka bersedih, walau pertengkaran kecil selalu menjadi bumbu pada pernikahan mereka. Namun, Tuhan tak selamanya memberikan kebahagiaan pada  mahluknya, adakalanya, hadiah Tuhan dibungkus dengan lapisan masalah yang memilukan.
Sore itu, dengan suasana hati yang teramat tegang namun mencoba untuk pasrah, Reva duduk bersandar di bahu Ray yang masih menggunakan stelan jas yang selalu dipakainya ketika bekerja. Setelah menikah Ray, memang beralih jabatan, yaitu sebagai Direktur Utama di perusahaan sang Ayah, itulah sebabnya banyak waktu yang ia habiskan di kantor.
Dengan hembusan nafas yang hampir tak terdengar, Reva mencoba untuk tenang, dan berkata
“Ray, aku tak sanggup jika harus kehilang ibu saat ini juga, aku belum bisa membahagiakannya” .
Ray mengubah posisi duduknya, kali ini Ray lebih terlihat seperti sedang memeluk Reva
“ Sayank, jodoh,rezeki dan kematian itu adalah taqdir-Nya, apapun takkan bisa mengubahnya jika Allah sudah menentukannya”.
Reva terdiam, tanpa terasa, dua butir embun yang sedari tadi ditahannya kali ini harus terjatuh karena kesedihan yang amat mendalam. Ibunda yang divonis positif terkena stroke saat ini sedang berjuang melawan dahsyatnya sakit yang dirasa. Dua bulan setelah pernikahan Reva, wanita paruh baya dengan usia 50 tahun itu sudah tak kuasa lagi walau hanya berjalan ke kamar mandi, darah tinggi yang dideritanya setahun belakangan ini ternyata membuat Lasmini harus berhenti melakukan seluruh rutinitasnya, dari mulai mengerjakan seluruh pekerjaan rumah sampai rutinitas yang selama ini menjadi pengasilannya, yaitu membuka kios di depan rumah pun sudah tak lagi ia lakukan.
“Ray, aku ingin sekali menemani ibu yang mungkin ini akan menjadi saat-saat terakhirnya”
celoteh Reva sebari membenarkan posisi duduknya agar terlihat lebih tegar.
 “Sayank, dokter sedang mencoba memberikan pertolongan pada ibu, sebaiknya kita menunggu saja. Dan bukankah lebih baik kita berdo’a dibanding kita gelisah tak menentu seperti ini”
kata Ray yang berusaha menenangkan sang istri. Reva mengangguk sebari menundukkan kepalanya dan entah apa yang dikatakannya pada sang pencipta, mungkin ia meminta agar Allah menyembuhkan ibu yang selama ini merawatnya. Walau ia tahu, bukan Lasmini yang telah melahirkannya ke dunia ini.
 Banyaknya orang yang berlalu lalang di lorong rumah sakit itu, membuat suasana hati sepasang suami istri itu semakin tak tenang, keduanya ingin segera mengetahui bagaimana kondisi sang ibu saat ini. Jika melihat kondisi di rumah tadi, rasanya taka ada lagi harapan untuk wanita pengidap darah tinggi itu hidup. Badan yang sudah hampir seluruhnya mati, semakin sulit untuk menghembuskan nafas-nafas yang menyambungnya untuk tetap hidup. Lasmini memang tak banyak diobati dengan berbagai alat medis, karena dokter menyarankan, bahwa penderita stroke sebaiknya perlu menjalankan beberapa terapi agak membantu proses penyembuhan otot-otot yang kaku.
Sudah beberapa kali Reva membawa ibunya pada tempat-tempat terapi, namun hasilnya tetap saja nihil. Kian hari keadaan Lasmini kian memburuk. Sedari pagi, Lasmini meringis kesakitan, entah apa dan bagian mana yang terasa sakit kali ini, jangankan untuk menengokkan kepala pada arah samping, untuk mengalihkan pandangan mata saja terlihat sangat sulit, hal inilah yang membuat Reva segera mengambil keputusan untuk meminta pertolongan untuk ibunda pada pihak rumah sakit. Ray yang sedang bekerja, saat itu pun terpaksa harus pulang karena tak kuasa mendengar istrinya menangis ditelpon menceritakan bagaimana keadaan ibunya.
Pintu yang hampir seluruh bagiannya terbuat dari kaca tebal itu mulai terbuka, Reva dan Ray dengan sigap segara berdiri dan menghadap pada seorang dokter laki-laki yang keluar dari pintu besar tadi.
“Dok, bagaimana kondisi ibu saya ?”
Tanya Reva dengan harap-harap cemas. Dokter berkaca mata itu terlihat sulit sekali untuk menjawab, hingga Ray pun angkat bicara
“ Dok, ibu saya bagaimana ? baik-baik saja kan ?”
Tanya Ray sebari melingkarkan tangannya pada bahu Reva, dan ternyata Reva mulai mengeluarkan air mata pilunya. Dengan wajah yang murung dan tak enak untuk dipandang, akhirnya dokter itu pun menjawab
“ Mohon maaf sebelumnya Bu Pak, dengan berat hati saya katakan, ibu Lasmini, sudah tiada. Tekanan darah yang sangat tinggi membuat jantungnya tak mampu untuk memompa darah, sehingga ibu Lasmini tidak dapat terselamatkan. Ibu dan Bapak yang sabar yaaa, saya turut berduka”.
Sungguh bak tersambar petir di siang hari. Badan yang sedari tadi sudah setengah lemas, kali ini dibuat seperti tak berdaya, mata yang mulai deras mengeluarkan airnya dan hati yang sungguh sakit bak tertusuk anak panah. Reva yang menjerit histeris mendengar jawaban itu segera dipeluk erat oleh Ray.
 “Ibuuuuuuuu, jangan tinggalin Reva bu, Reva belum bisa bahagiain ibuuuuuu”.
Dengan isak tangis dan nafas yang tersendu-sendu Reva masuk ke ruang ICU dengan diikuti Ray. Tak kuasa menerima semuanya, dipeluklah dengan erat jenazah sang ibunda oleh anak perempuan yang 25 tahun lamanya menemani hidup sang ibunda dengan penuh suka cita. Sebari menggoyah-goyakan badan sang ibunda Reva terus menangis, Ray yang tak kuasa melihat sang istri hanya mampu menenangkannya dalam pelukan dadanya yang bidang.
2 bulan sudah kepergian ibu. Reva yang mencoba untuk mengikhlaskan segalanya ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Ray yang selalu ada disampig Reva tak pernah kehabisan akal untuk selalu membuat Reva bahagia. Kecintaannya pada Reva yang membuat segalanya menjadi  bukanlah sebuah beban, tapi memanglah sebuah keharusan.  Dan usahanya ternyata tak sia-sia, menjelang bulan ke 4 dari perginya ibunda, Ray dan Reva terkejut dengan hasil tes yang telah dilakukannya pada dokter kandungan beberapa hari yang lalu. Reva positi hamil. Itulah salah satu cara Tuhan memberikan yang terbaik untuk mahluknya. Ketika sang ibunda pergi meninggalkan dunia yang fana ini, maka Tuhan memberikan hal yang paling diharapkan oleh seorang wanita, yaitu seorang bayi yang akan lahir dari rahimnya. Kesedihan yang sudah berlalu diganti-Nya dengan harapan-harapan untuk bahagia dengan dikaruniainya seorang calon anak.

Siapa yang Salah?




Tuti Siti Zahroh
Setiap manusia pasti punya rasa cinta. Cinta yang mesti dijaga kesuciannya.Itulah yang selalu dikatakan oleh ustadz Jefry. Berbeda dengan Zahira, gadis cantik yang setiap lelaki pasti ingin memilikinya. Zahira anak ketiga dari tiga bersaudara. Dia hidup dalam keluarga broken home.Zahira tinggal bersama papanya. Kedua kakaknya kebetulan telah berumah tangga dan telah memiliki rumah sendiri.
Sejak hidup terpisah dengan mamanya, semua kebutuhan Zahira dipenuhi oleh papanya Papanya begitu telaten merawatnya. Ketika masih duduk di bangku SMP, Zahirasudah kelihatan mandiri, hal ini yang membuat sang papa semakin sayang kepadanya.
Pagi ini zahira akanberangkat ke sekolah. Zahira menghampiri papanya  yang tengah menunggu sambil membaca koran dan ditemani secangkir kopi untuk berpamitan.
”Ra, kamu sekolah yang benar, ya.Gapailah cita citamu. Jangan seperti mamamu….ingat jangan dulu pacaran karena pendidikan kamu harus yang menjadi no 1” ujar sang papa saat Zahira mencium tangannya .Zahira mengangguk mengiyakan kemudian berlalu meninggalkan papanya.
Waktu bergerak begitu cepat.Zahira kecil kini sudah menjelma menjadi seorang gadis cantik.Papa yang sangat mencintai anak bungsunya itu mulai diliputi rasa cemas. Dia takut Zahira akan terperosok pada pergaulan anak muda zaman sekarang yang terkadang begitu jauh dari nilai-nilai kebajikan. Kecemasan yang datang karena ketiadaan sosok mama dalam kehidupan Zahira.Kecemasan yang berakibat dia sangat ketat menjaga Zahira.
***
Sore ini Zahira bersama sahabatnya tengah asyik menikmati segelas lemon tea di kantin sekolah.Dia tidak menyadari saat sepasang mata terus tertuju kepadanya.Tak lama kemudian laki-laki yang sedari tadi memperhatikannya itu berdiri dan melangkah menghampiri.
“Hai, boleh gabung di sini?” ujarnya sambil langsung menduduki bangku kosong yang ada tepat di depan Zahira. Zahira dan sahabatnya hanya saling pandang. Laki-laki yang duduk didepannya  itu mengulas senyum. Dada Zahira tiba-tiba berdegup kencang.Laki-laki itu Alif.Pemain basket andalan sekolah mereka.Alif yang dipuja-puja oleh hampir seluruh anak perempuan di seantero sekolah.
Alif ternyata begitu pandai mencairkan suasana.Zahira yang pemalu dan selalu dingin terhadap teman laki-lakinya, kini lebih banyak mengumbar senyum.Pertemuan ini menyisakan kebimbangan di hati Zahira. Alif telah berhasil menciptakan getar-getar cinta di hatinya, tetapi pada saat yang sama, Zahira selalu ingat kata-kata ayahnya.“Jangan berpacaran, sekolah nomor satu!”
Perhatian Alif yang begitu besar terhadap Zahira, pertemuan-pertemuan yang semakin sering terjadi membuat Zahira merasa nyaman mengenal dirinya. Larangan berpacaran dari papanya mulai terabaikan, apalagi Arif selalu meyakinkan dirinya bahwa dia berhak bahagia, dia berhak mencintai dan dicintai.Zahira akhirnya mengangguk setuju ketika Arif mengungkapkan keinginannya untuk menjadi kekasih Zahira.
Sudah dua bulan Zahira berpacaran dengan Alif.Selama ini dia selalu berhasil menutupi semua itu dari papanya.Papa yang sempat curiga dangan perubahan sikap dan penampilan Zahira selalu berhasil diyakinkannya.‘Aku terpaksa bohong pada Papa.Papa yang membuat aku begini.Seandainya Papa seperti papa-papa yang lain, yang memahami anaknya, aku tentu akan jujur pada Papa’ suara hati Zahira, membuat pembenaran sendiri atas semua kebohongannya.
Malam belum terlalu larut saat papa masuk ke kamar Zahira.Awalnya dia hanya ingin berbincang karena beberapa hari terakhir ini dia agak sibuk sehingga kurang berkomunikasi dengan anak gadisnya itu.Zahira telah tertidur dengan pules. Buku-bukunya masih berserakan di atas meja belajar, sepertinya dia kelelahan setelah mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Papa Zahira kemudian merapikan buku-buku itu, tetapi kesibukkannya terhenti saat mendengar dering telepon genggam milik Zahira. Sebuah pesan terbaca jelas pada layar  perangkat seluler itu. ”Ra jangan lupa besok kita bertemu di taman zaini sehabis pulang sekolah.”
“Ra, siapa yang tadi malam sms kamu?” tanya  Papa Zahira tiba-tiba, saat  mereka berada di meja makan untuk sarapan.
“Maksud, Papa?” Rara yang belum menyadari akan keberadaan sms itu balik bertanya dengan wajah polosnya.
“Coba lihat HP-mu!”lanjut papa Zahira dengan tegas. Zahira lalu mengeluarkan telepon genggam dari tas sekolahnya. Wajah Zahira tiba-tiba memucat, tetapi secepat kilat dia menyenggol gelas susu yang ada di depannya hingga terjatuh dan pecah.
“Hati-hati, Ra,” ucap papanya saat melihat Zahira sibuk memunguti pecahan-pecahan kaca yang berserakan di lantai.
Pertanyaan itu diulang lagi oleh papa ketika Zahira berpamitan untuk berangkat ke sekolah, tetapi Zahira telah menyiapkan jawaban yang sangat masuk akal dan mampu membuat papanya percaya.
***
Sudah pukul lima sore, satu-satu pengunjung mulai meninggalkan taman.  Zahira dan Alif masih asik menikmati kebersamaan mereka.Taman yang sepi telah membuat mereka lupa diri, lupa pada batasan-batasan yang harusnya tak boleh dilanggar.
“Dari mana, Ra?Sesore ini baru pulang,” Papa menyambut Zahira dengan muka merah.
“Tadi di taman hujan, Yah.Aku dan Mita nunggu reda dulu. Lagi pula Ara kan sudah bilang mau pergi ke taman dengan Mita, ada  tugas kelompok yang harus kami kerjakan.”
“Tapi kamu kan tidak bilang mau pulang sesore ini?”Papa bersikukuh.
“Pa…Memang Papa mau aku hujan-hujanan terus sakit.Papa mau aku sakit?” Zahira yang sangat tahu kelemahan papanya menggunakan  cara itu untuk meredakan kemarahannya.
***
Sudah sebulan ini Zahira merasa ada yang tidak beres dengan dirinya.Kepalanya yang sering pusing dan perut yang sering mual membuat dia benar-benar cemas. . Diam-diam Zahira melakukan tes kehamilan dengan menggunakan tespeck yang dibelinya di sebuah apotik.Dua garis merah yang muncul pada alat tes kehamilan itu seperti sebuah isyarat kematian bagi Zahira. Terbayang kembali apa yang pernah dilakukannya berdua dengan Alif. Saat itu dia sudah menolak, tetapi Alif terus memaksa sehingga akhirnya dia menyerah.
Semua sudah terjadi.Zahira harus menanggung sendiri semua akibatnya karena Alif tiba-tiba menghilang begitu saja.Zahira juga tak mungkin mengatakan hal ini kepada papanya. Laki-laki paruh baya itu pasti sangat marah, bahkan kemarahanitu  mungkin bisa menghancurkannya, Bagi Zahira hidupnya seakan telah berakhir. Tak ada lagi masa depan yang bisa diimpikannya. Hanya satu yang ada dalam pikiran Zahira saat ini. Dia akan pergi jauh meninggalkan orang-orang yang dicintainya.
Pagi ini, papa Zahira bermaksud membangunkan anak gadisnya yang belum juga keluar dari kamar.Beberapa kali dia mengetuk pintu kamar, tetapi tak juga ada sahutan. Perlahan dia membuka pintu yang ternyata tidak dikunci  lalu  masuk
“Ra…?” panggil papa, tapi tetap tak  ada sahutan.  Dikitarinya seluruh ruangan kamar, tapi dia tak menemukan gadis kesayangannya.Tiba-tiba matanya tertumpu pada sebuah kertas yang terlipat yang berada di atas meja belajar Zahira.
“Pa, Maafkan Ara. Ara bukan anak yang baik.Ara sudah melakukan kesalahan besar.Ara tidak mau Papa ikut menaggung malu karena perbuatan Ara.”
Laki-laki paruh baya itu hanya tercenung. Selama ini dia merasa telah melakukan yang terbaik untuk anak gadisnya, nyatanya…


Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....