Selasa, 24 Januari 2012

Lelaki dan Payung Hitam



Guyuran hujan deras yang membasahi bumi telah membuat senja kehilangan jingganya, sisa-sisa butir hujan masih menenggelamkan langit dalam gelap. Sore yang dingin dan seorang laki-laki paruh baya berjalan di tengah derasnya hujan dengan payung hitam melindungi tubuhnya. Dia berjalan gontai sambil sesekali mengusap wajahnya dari cipratan air hujan yang terbawa angin.
“Bu, maaf numpang tanya," dia menyapa seorang perempuan pedagang kaki lima yang sedang duduk termenung sambil menatapi hujan yang belum juga reda.
“ya..?”
“Ini jalan Jendral A.Yani,  kan?” lanjutnya kemudian
“Iya betul, Bapak mau mencari siapa?” tanya perempuan itu.
“Saya mencari rumah kawan lama saya, namanya Rahma, Ibu tau rumahnya?” laki-laki paruh baya itu bertanya dengan penuh antusias
“Rahma....., maaf pak... seingat saya di sini tidak ada yang namanya Rahma,” perempuan itu menjelaskan.
Laki-laki paruh baya yang berjalan dalam derasnya hujan terus berusaha menemukan alamat yang dia cari, matanya terpaku pada segerombolan pedagang durian, aroma durian melambungkannya pada kenangan masa lalu, saat dia dan Rahma menjadi dua orang yang saling mencintai.
Januari berpuluh tahun yang lalu, Dia dan Rahma berjalan berdua di bawah lindungan payung hitam, di tengah derasnya air hujan dan aroma durian yang dijual orang disepanjang jalan. Mereka berpelukan saling melindungi dan entah siapa yang memulai dalam deras hujan bibir mereka bersentuhan mesra.
Rahma....gadis itu tersipu malu, ketika tiba-tiba sebuah mobil melintas dengan cepat dan cipratan genangan air menyentuh wajah mereka, merekapun mengakhiri ciuman pertama itu.
Sejak hari itu, Rahma telah menjadi perempuan istimewa di hatinya. Apapun yang dilakukannya selalu bermuara untuk kebahagiaan Rahma. Tidur dan bangunya, bahagia dan gelisahnya adalah Rahma.
Cinta yang tumbuh dan mengisi di setiap relung hatinya, mengalir deras di dalam pembuluh darahnya, mendesak hebat dalam jantungnya, ternyata tak dapat dimilikinya. 
Suatu hari Rahma datang kepadanya dengan isakan.
“Haekal.. aku tidak ingin berpisah denganmu,” ucapan Rahma membingungkannya
“Ada apa Rahma, siapa yang akan berpisah ?” Haekal bertanya kebingungan
“Kita,...kita akan berpisah Haekal!”
“Tapi, kenapa?” Haekal berusaha tetap tenang, walau ada kecemasan di hatinya. 
“Papa dan Mama melarang aku bertemu denganmu lagi”
“Apa salahku?”
“Aku juga tidak mengerti Kal, kata mereka aku terlalu muda untuk jatuh cinta.”
“Tapi aku juga tidak ingin berpisah dengan kamu Rahma. Aku betul-betul sayang sama kamu," Haekal memeluk erat Rahma, kekasihnya. Dia betul-betul takut kehilangan. Malam berlalu dengan linangan air mata mereka berdua, sampai akhirnya orang tua Rahma menemukan mereka dan memaksa Rahma pulang.
Rahma memang masih muda bila dibandingkan dengan usianya, Rahma baru kelas 3 SMP, sementara dia telah menjadi karyawan di sebuah perusahaan. Tapi baginya Rahma bukanlah seorang bocah manja yang menuntut perhatian dan minta dihadiahi macam-macam barang, Rahma berbeda dari anak-anak seusianya. Dia gadis yang memiliki pemikiran matang dan dewasa.
Sejak hari itu, Haekal tidak lagi bisa menemui Rahma, Papa dan Mamanya telah memindahkannya ke luar kota. Bukan tidak ada usaha Haekal mencari Rahma, tetapi Rahma seperti di telan bumi, tak ada seorangpun yang tau dimana keberadaanya.
Setelah pencariannya yang gagal, dan usaha kerasnya melupakan, akhirnya Haekal memutuskan menerima perempuan yang diperkenalkan keluarganya sebagai istri. Demi ketenangan rumah tangganya, Haekal meminta dipindahtugaskan ke kota lain. Sejak itu dia tidak pernah pulang menjenguk kampung halamannya.
Hidup Haekal cukup bahagia dengan istrinya, mereka dikarunia seorang anak perempuan bernama Vita, tetapi tiga tahun yang lalu istrinya meninggal karena sakit ginjal yang dideritanya. Akhirnya Haekal hanya hidup berdua dengan anak tunggalnya..
“pa...” Vita gadis tunggalnya telah bergayut manja di sampingnya
“Ada apa sayang....? biasanya kalau begini pasti ada yang penting” Dia menggoda anak gadis kesayangannya itu
“Pa, kata Pandu, dia mau melamar Vita” begitu hati-hati Vita menyampaikan hal ini.
Haekal terdiam....tiba-tiba dia begitu ketakutan, mengapa miliknya satu-satunya ini harus pergi juga. Siapa yang akan menemani hari-harinya nanti?..... tetapi bukankah memang Vita sudah dewasa, Vita berhak atas kebahagiaanya.....
Lama Haekal tercenung, terjebak dalam kebimbangannya sampai kemudian terdengar lagi suara Vita
“Papa tidak keberatan kan?”
“ eh......... eh..... tentu tidak... tentu tidak..” gelagapan Haekal menjawab
Pernikahan Vita akhirnya berlangsung, karena Pandu bekerja di luar kota, Vitapun akhirnya meninggalkannya. Dan Haekal benar-benar sendiri.
Laki-laki separo baya itu, tiba-tiba teringat akan kampung halamannya, teringat akan cinta yang tertinggal di sana, teringat akan Rahma. Dia betul betul merindukannya.

Sore ini di tengah derasnya hujan, Haekal, laki-laki separuh baya itu, kembali berjalan di tengah guyuran hujan, di antara seksinya aroma durian, dengan payung hitam yang sama. berusaha menemukan cintanya lagi.
Hujan belum juga reda. Dia berjalan ke arah salah satu pedagang durian untuk sekadar berteduh dan beristirahat, seorang wanita telah berada di  situ sedang menawar durian, Haekal memperhatikan perempuan itu dengan seksama, darahnya berdesir....jantungnya berdegup dengan kencang....Dia mengenali perempuan itu.. sangat mengenalnya........
“Rahma.....” disebutnya juga akhirnya nama itu
Perempuan itu menoleh, dipandanginya Haekal dengan takjub, lama dia terdiam seakan tidak percaya dengan pemandangan yang ada dihadapannya
“Kamu ..... kamu.......Haekal kan?” Hanya kata itu yang meluncur dari bibirnya, yang terucap dengan getaran penuh ketakjuban.
“Ya.. aku Haekal... apa kabar Rahma?”
Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir Rahma hanya sebutir bening mengembang di matanya bercerita banyak tentang perasaan apa yang saat ini tengah menderanya, hingga akhirnya, setelah Dia mampu meredakan gelombang besar yang melanda hatinya...
“Kamu kemana saja Kal, aku sudah sangat lelah menunggumu, aku kira kamu tidak akan pernah muncul lagi...aku kira kamu telah melupakan aku.....” dan isakan itupun pecah berubah menjadi tangis yang memilukan. Rahma menghambur dalam pelukan Haekal, laki-laki yang tidak pernah hilang dari hatinya..laki-laki yang selalu ada dalam do’a do’anya.... Sayup-sayup suara Acil Bimbo mengalun lembut dengan lagu payung hitamnya..........
Hujan Merata di Kota Manis kasihku
Jalan di depanku menyambut hampa
Musim Durian Bertahun lalu di sini
Dalam Gelap Hujan Mesra Kau Pinta


Januari 2012
love

Aku Akan Tetap Hidup Walau Tanpa Cintamu

Mendung yang menggelayut di langit mulai meluruhkan gerimisnya yang tipis, tapi akankah gerimis ini akan berganti menjadi hujan yang deras mengguyur? Atau akan menguak gelap hingga lembayung senja perlihatkan senyumannya yang cantik?, Entahlah…..
Kehadiranmu dalam hidupku, telah membangun sebuah menara cinta yang begitu kokoh dan tinggi di dasar hatiku, kemudian kau melambungkanku ke puncaknya yang tertinggi, aku bahagia berada di atas sana, memandangi setiap burung yang melintas, berarak menebar harapan akan masa depan. Lalu mengapa hari ini kau ingin merobohkan menara itu?, pada saat aku begitu bahagia berada di puncaknya? Aku hanyalah pemilik rasa yang begitu takut akan luka. Tetapi hari ini kau hadirkan sembilu dalam hatiku.
Atas nama rasa, ku katakan padamu, aku tak ingin kehilanganmu. Aku tak ingin meluruhkan semua mimpi indah yang ku miliki, tentang kita. Lalu apa yang harus kukatakan kepadamu? Haruskah ku teteskan air mata, agar kau tau betapa dalam rasa yang aku miliki terhadapmu?
Tak akan sirna dalam alam sadarku, ketika kau sentuh lembut dinding-dinding hatiku, menyenandungkan kisah tentang nyayian alam yang menawarkan kesejukan pagi, lalu mengapa hari ini kau katakana kata perpisahan ini?
“Reina, aku betul-betul minta maaf, aku tak ingin menyakitimu…tapi…. Aku harus melakukan ini…” Inilah penjelasan paling tak logis yang pernah mampir dalam gendang telingaku. Bila kau tak ingin menyakitiku, mengapa kau lakukan semua ini?. Kau yang dulu memulainya, tapi mengapa harus diakhiri?
“Reina, aku memang salah……. Seharusnya aku tidak pernah memulai semuanya ini?’
Ya….itulah yang kau lakukan kepadaku, Kau ketuk lembut pintu hatiku, kuijinkan kau masuk, kau biarkan aku menebar harapan, berharap akan menuai bahagia itu terus bersamamu, lalu hari kau mohon diri, pamit untuk meninggalkanku.
“Dia tunanganku, aku telah terikat janji dengannya…, aku tak mungkin meninggalkannya..” itulah penjelasanmu.
Mengapa hari ini kau akui itu di hadapanku, dan mengapa dulu kau melupakan Dia untukku? Apakah aku memang pantas untuk kau sakiti….? Bukankah kau yang selalu mengatakan kepadaku, aku adalah perempuan yang telah membuat hari-harimu penuh dengan harapan…
Walau sakit, walau perih, walau luka, aku tak akan teteskan air mataku di hadapanmu. Bukan karena cintaku telah pupus, bukan pula karena kau tak lagi berarti untukku, tapi karena aku memang harus terus melangkah, aku tak akan biarkan hidupku terpuruk, aku harus sanggup menghadapinya, maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok yang bahagia, dan aku yakin di depan sana Tuhan telah menyiapkan laki-laki terbaik untukku.. Semoga



GITAR KECIL DIKA






”… maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”

Kata-kata ini  terus bergema dalam ingatanku, dan pada saat bersamaan wajah Dika, bocah 10 tahun itu melintas jelas di pelupuk mata.

Sekitar sebulan lalu aku berkenalan dengannya, keberadaanya menarik perhatianku, seragam sekolah yang dikenakan dan tas ransel yang bergayut dipunggungnya, tentu dia baru saja pulang sekolah, tapi gitar kecil yang ditentengnya dan dengan gesit  berlarian ke sana ke mari meyelinap di antara mobil-mobil yang terjebak lampu merah, lalu bernyanyi sesaat dan menerima lembar ribuan yang disodorkan pengendara mobil, itu yang berbeda.

Lampu hijau kembali menyala, dia berlari kecil ke arah halte tempat aku berteduh, tempat biasa aku menunggu Mas Heru menjemput. Wajahnya penuh keringat, Dia asyik menghitung uang lembaran seribuan dan beberapa recehan lima ratus rupiah, yang baru saja diterimanya.

“Dapat banyak Dek?” tanyaku iseng, sejenak dia mendongakkan wajah ke arahku
“Lumayan kak,” ujarnya sambil tersenyum sumringah
“Uang sebanyak itu untuk apa?” tanyaku mencoba menyelidik
“Macam-macam kak, tapi ini juga masih kurang” jawabnya tetap santai sambil menyeka keringat yang masih menempel di kening.

“Memang uangnya untuk apa, sebanyak itu masih kurang?” Aku menggeser dudukku mendekatinya, Dia tidak segera menjawab, hanya menatapku sambil senyum malu-malu.

Mas Heru belum muncul juga, iseng ku keluarkan notes kecil yang biasa kugunakan untuk menulis ide-ide kecil yang melintas di saat aku tidak berada di tempat yang pantas untuk mengeluarkan laptop, kubuka halaman notes kecil itu, sebuah coretan pendek yang tertulis dengan ukuran huruf yang besar, terbaca “ … .maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”
“Tulisan apa tuh kak?” Anak itu menyorongkan kepalanya, ikut membaca tulisan itu
“Oh..ini kata kunci untuk ikut ngeramein Ramen”
“Artinya apa ?”
“ Apa ya…? , mungkin maksudnya kita harus tetap bersemangat menghadapi dunia, apapun yang terjadi. Dan tetap optimis bahwa di depan ada hari esok yang lebih baik” bingung juga aku menjelaskan pada bocah kecil ini, aku sendiri pun belum tahu akan diselipkan di bagian mana kata kunci ini. Anak itu hanya mengangguk-angguk kecil dengan penjelasanku, aku tidak yakin dia mengerti.

Tiba-tiba dia berdiri seraya berkata 
“Maaf kak, lampu merah lagi..” sambil berlari cepat ke jalanan.
Setelah perkenlan itu, aku jadi tau namanya Dika, dia tinggal tidak jauh dari tempat kami biasa bertemu, Dia adalah murid kelas empat sebuah sekolah dasar. Tapi aku masih belum tau mengapa di usianya yang sekecil itu sudah sibuk mencari uang, kadang-kadang malah harus pula menghadapi sikap kasar anak-anak jalanan lain yang lebih besar darinya.

Suatu hari, di panasnya udara, di antara bisingnya deru kendaraan yang memadati jalanan ibu kota, dia menghampiri dengan senyum bangga.
“Kak, uang tabunganku sudah banyak, Kak, kata Ibu kalau digabung dengan uang yang dikumpulkan Ibu dan Bapak sudah hampir cukup”
“Ah.. kamu tuh bikin kakak bingung, memangnya uang itu untuk apa?.. setiap kali kakak tanya soal itu kamu tidak pernah menjawab” aku pura-pura merajuk, setelah hampir sebulan aku berteman dengannya dia masih saja merahasiakan yang satu ini.
“he he he…” Dika hanya nyengir, memperlihatkan gigi serinya yang kecil-kecil seperti gigi kelinci.
“Ayo dong kasih tau kakak” bujukku
“Tapi Bapak dan Ibu melarangku untuk menceritakan ke siapa-siapa kak?’
“Lho.. kenapa”
“Ini rahasia keluarga, kata Bapak begitu, kata Ibu ini aib, tidak boleh cerita kesiapa-siapa”
“Ya… udah deh, kalau begitu kakak gak akan tanya-tanya lagi..”
“tapi…kalau aku cerita, kakak tidak akan menjauhi aku kan?” tatapannya penuh selidik juga rasa khawatir, aku tersenyum sambil mengangkat dua jariku “tentu tidak, kakak janji!!!”
“Uangnya untuk berobat kak” bisiknya sangat pelan ke dekat telingaku sambil menoleh ke kiri dan ke kanan takut ada orang lain yang menguping percakapan kami
“Berobat siapa?, siapa yang sakit?” tanyaku tak kalah pelannya dengan suaranya tadi
“Enggak ah…nanti kalau kakak tau, terus gak mau lagi berteman dengan saya” kembali dia mengucapkan kata yang sama, dengan kecemasan yang sama.
“kakak janji!!, kakak akan tetap jadi teman kamu, apapun yang terjadi”
“kata dokter, aku ….” Kembali keraguan menghentikan ucapannya, aku hanya menunggu tidak tega kalau terus memaksanya, walau aku begitu ingin tau.
“kata dokter, aku mengidap virus HIV” serasa mendengar ledakan yang begitu dasyat, yang akan meledakkan jantungku, aku tak tau seperti apa ekspresi wajahku saat itu, aku hanya bengong tanpa tau harus berkata apa.
“Kak, kakak masih mau berteman dengan aku kan?” begitu memelas ucapan itu, tapi HIV????, yang aku tau HIV itu mudah menular, jangan-jangan aku nanti tertular karena sering berdekatan dengannya, karena menyentuh tubuhnya yang berkeringat, jangan..jangan… oh tidak!

Tidak sepatah katapun yang dapat aku ucapkan saat itu, lidahku tiba-tiba kelu, jantungku berdetak sangat cepat, sebenarnya aku begitu iba ketika melihat sorot matanya yang putus asa, tapi aku tidak mampu menutupi kengerianku sendiri. Aku tinggalkan Dika dengan kekecewaannya, sayup-sayup masih terdengar teriakannya ketika aku menaiki taxi “Kak, kita masih berteman kan?”

Sejak aku tahu Dika adalah penderita HIV, aku tidak lagi menunggu Mas Heru di halte yang sama, aku berusaha menghindar, berjumpa dengan Dika hanya akan membuat aku menyakiti hatinya walau sebenarnya akupun tidak mampu berhenti memikirkannya.

Kerinduanku pada Dika, membuat aku mencari tahu tentang penyakit ini, browsing di beberapa web kesehatan telah membuka mataku, menyadarkan aku tentang sikapku yang salah, sekarang aku sangat merasa bersalah terhadap Dika.

Siang ini, aku kembali menunggu mas Heru di halte tempat aku dan Dika biasa bertemu, aku ingin bertemu Dika, melihat lagi senyumannya, mengagumi lagi semangatnya,tapi kemana dia?Kemana bocah kecil kurus yang selalu bersemangat dan tak kenal menyerah, mengumpulkan seribu demi seribu demi kesembuhannya ?
Tiba-tiba, 
”Kaka, kakak!” Aku menoleh ke arah asal suara. Di antara mobil-mobil yang berhenti menunggu lampu hijau menyala, Dika tengah melambaikan tangan ke arahku, wajahnya sangat bahagia, 
"Kakak, aku di sini!” teriaknya lagi. Lampu hijau menyala lagi. Tiba-tiba saja sebuah sepeda motor melaju kencang dari arah belakang  mobil, dan……
”Dika!” aku berteriak keras, melihat tubuh kecilnya terpental ke aspal keras, setelah motor itu menghantam tubuhnya.

Aku berlari ke arah tubuh Dika yang bersimbah darah, bahkan aku tak peduli lagi beberapa pengendara yang memaki karena  menyeberang begitu saja. Dika hanya mengerang perlahan lalu diam, di sisinya sebuah gitar kecil tergeletak diam. Orang-orang mengangkat jasad Dika ke atas metromini yang lewat, sementara aku hanya berdiri mematung membaca coretan kecil pada bagian sisi gitar kecil milik Dika yang nyaris hancur, di situ tertulis : “… maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”.

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....