Selasa, 24 Januari 2012

GITAR KECIL DIKA






”… maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”

Kata-kata ini  terus bergema dalam ingatanku, dan pada saat bersamaan wajah Dika, bocah 10 tahun itu melintas jelas di pelupuk mata.

Sekitar sebulan lalu aku berkenalan dengannya, keberadaanya menarik perhatianku, seragam sekolah yang dikenakan dan tas ransel yang bergayut dipunggungnya, tentu dia baru saja pulang sekolah, tapi gitar kecil yang ditentengnya dan dengan gesit  berlarian ke sana ke mari meyelinap di antara mobil-mobil yang terjebak lampu merah, lalu bernyanyi sesaat dan menerima lembar ribuan yang disodorkan pengendara mobil, itu yang berbeda.

Lampu hijau kembali menyala, dia berlari kecil ke arah halte tempat aku berteduh, tempat biasa aku menunggu Mas Heru menjemput. Wajahnya penuh keringat, Dia asyik menghitung uang lembaran seribuan dan beberapa recehan lima ratus rupiah, yang baru saja diterimanya.

“Dapat banyak Dek?” tanyaku iseng, sejenak dia mendongakkan wajah ke arahku
“Lumayan kak,” ujarnya sambil tersenyum sumringah
“Uang sebanyak itu untuk apa?” tanyaku mencoba menyelidik
“Macam-macam kak, tapi ini juga masih kurang” jawabnya tetap santai sambil menyeka keringat yang masih menempel di kening.

“Memang uangnya untuk apa, sebanyak itu masih kurang?” Aku menggeser dudukku mendekatinya, Dia tidak segera menjawab, hanya menatapku sambil senyum malu-malu.

Mas Heru belum muncul juga, iseng ku keluarkan notes kecil yang biasa kugunakan untuk menulis ide-ide kecil yang melintas di saat aku tidak berada di tempat yang pantas untuk mengeluarkan laptop, kubuka halaman notes kecil itu, sebuah coretan pendek yang tertulis dengan ukuran huruf yang besar, terbaca “ … .maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”
“Tulisan apa tuh kak?” Anak itu menyorongkan kepalanya, ikut membaca tulisan itu
“Oh..ini kata kunci untuk ikut ngeramein Ramen”
“Artinya apa ?”
“ Apa ya…? , mungkin maksudnya kita harus tetap bersemangat menghadapi dunia, apapun yang terjadi. Dan tetap optimis bahwa di depan ada hari esok yang lebih baik” bingung juga aku menjelaskan pada bocah kecil ini, aku sendiri pun belum tahu akan diselipkan di bagian mana kata kunci ini. Anak itu hanya mengangguk-angguk kecil dengan penjelasanku, aku tidak yakin dia mengerti.

Tiba-tiba dia berdiri seraya berkata 
“Maaf kak, lampu merah lagi..” sambil berlari cepat ke jalanan.
Setelah perkenlan itu, aku jadi tau namanya Dika, dia tinggal tidak jauh dari tempat kami biasa bertemu, Dia adalah murid kelas empat sebuah sekolah dasar. Tapi aku masih belum tau mengapa di usianya yang sekecil itu sudah sibuk mencari uang, kadang-kadang malah harus pula menghadapi sikap kasar anak-anak jalanan lain yang lebih besar darinya.

Suatu hari, di panasnya udara, di antara bisingnya deru kendaraan yang memadati jalanan ibu kota, dia menghampiri dengan senyum bangga.
“Kak, uang tabunganku sudah banyak, Kak, kata Ibu kalau digabung dengan uang yang dikumpulkan Ibu dan Bapak sudah hampir cukup”
“Ah.. kamu tuh bikin kakak bingung, memangnya uang itu untuk apa?.. setiap kali kakak tanya soal itu kamu tidak pernah menjawab” aku pura-pura merajuk, setelah hampir sebulan aku berteman dengannya dia masih saja merahasiakan yang satu ini.
“he he he…” Dika hanya nyengir, memperlihatkan gigi serinya yang kecil-kecil seperti gigi kelinci.
“Ayo dong kasih tau kakak” bujukku
“Tapi Bapak dan Ibu melarangku untuk menceritakan ke siapa-siapa kak?’
“Lho.. kenapa”
“Ini rahasia keluarga, kata Bapak begitu, kata Ibu ini aib, tidak boleh cerita kesiapa-siapa”
“Ya… udah deh, kalau begitu kakak gak akan tanya-tanya lagi..”
“tapi…kalau aku cerita, kakak tidak akan menjauhi aku kan?” tatapannya penuh selidik juga rasa khawatir, aku tersenyum sambil mengangkat dua jariku “tentu tidak, kakak janji!!!”
“Uangnya untuk berobat kak” bisiknya sangat pelan ke dekat telingaku sambil menoleh ke kiri dan ke kanan takut ada orang lain yang menguping percakapan kami
“Berobat siapa?, siapa yang sakit?” tanyaku tak kalah pelannya dengan suaranya tadi
“Enggak ah…nanti kalau kakak tau, terus gak mau lagi berteman dengan saya” kembali dia mengucapkan kata yang sama, dengan kecemasan yang sama.
“kakak janji!!, kakak akan tetap jadi teman kamu, apapun yang terjadi”
“kata dokter, aku ….” Kembali keraguan menghentikan ucapannya, aku hanya menunggu tidak tega kalau terus memaksanya, walau aku begitu ingin tau.
“kata dokter, aku mengidap virus HIV” serasa mendengar ledakan yang begitu dasyat, yang akan meledakkan jantungku, aku tak tau seperti apa ekspresi wajahku saat itu, aku hanya bengong tanpa tau harus berkata apa.
“Kak, kakak masih mau berteman dengan aku kan?” begitu memelas ucapan itu, tapi HIV????, yang aku tau HIV itu mudah menular, jangan-jangan aku nanti tertular karena sering berdekatan dengannya, karena menyentuh tubuhnya yang berkeringat, jangan..jangan… oh tidak!

Tidak sepatah katapun yang dapat aku ucapkan saat itu, lidahku tiba-tiba kelu, jantungku berdetak sangat cepat, sebenarnya aku begitu iba ketika melihat sorot matanya yang putus asa, tapi aku tidak mampu menutupi kengerianku sendiri. Aku tinggalkan Dika dengan kekecewaannya, sayup-sayup masih terdengar teriakannya ketika aku menaiki taxi “Kak, kita masih berteman kan?”

Sejak aku tahu Dika adalah penderita HIV, aku tidak lagi menunggu Mas Heru di halte yang sama, aku berusaha menghindar, berjumpa dengan Dika hanya akan membuat aku menyakiti hatinya walau sebenarnya akupun tidak mampu berhenti memikirkannya.

Kerinduanku pada Dika, membuat aku mencari tahu tentang penyakit ini, browsing di beberapa web kesehatan telah membuka mataku, menyadarkan aku tentang sikapku yang salah, sekarang aku sangat merasa bersalah terhadap Dika.

Siang ini, aku kembali menunggu mas Heru di halte tempat aku dan Dika biasa bertemu, aku ingin bertemu Dika, melihat lagi senyumannya, mengagumi lagi semangatnya,tapi kemana dia?Kemana bocah kecil kurus yang selalu bersemangat dan tak kenal menyerah, mengumpulkan seribu demi seribu demi kesembuhannya ?
Tiba-tiba, 
”Kaka, kakak!” Aku menoleh ke arah asal suara. Di antara mobil-mobil yang berhenti menunggu lampu hijau menyala, Dika tengah melambaikan tangan ke arahku, wajahnya sangat bahagia, 
"Kakak, aku di sini!” teriaknya lagi. Lampu hijau menyala lagi. Tiba-tiba saja sebuah sepeda motor melaju kencang dari arah belakang  mobil, dan……
”Dika!” aku berteriak keras, melihat tubuh kecilnya terpental ke aspal keras, setelah motor itu menghantam tubuhnya.

Aku berlari ke arah tubuh Dika yang bersimbah darah, bahkan aku tak peduli lagi beberapa pengendara yang memaki karena  menyeberang begitu saja. Dika hanya mengerang perlahan lalu diam, di sisinya sebuah gitar kecil tergeletak diam. Orang-orang mengangkat jasad Dika ke atas metromini yang lewat, sementara aku hanya berdiri mematung membaca coretan kecil pada bagian sisi gitar kecil milik Dika yang nyaris hancur, di situ tertulis : “… maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....