”… maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”
“Dapat banyak Dek?” tanyaku iseng, sejenak dia mendongakkan wajah ke arahku
“Lumayan kak,” ujarnya sambil tersenyum sumringah
“Uang sebanyak itu untuk apa?” tanyaku mencoba menyelidik
“Macam-macam kak, tapi ini juga masih kurang” jawabnya tetap santai sambil menyeka keringat yang masih menempel di kening.
“Lumayan kak,” ujarnya sambil tersenyum sumringah
“Uang sebanyak itu untuk apa?” tanyaku mencoba menyelidik
“Macam-macam kak, tapi ini juga masih kurang” jawabnya tetap santai sambil menyeka keringat yang masih menempel di kening.
“Tulisan apa tuh kak?” Anak itu menyorongkan kepalanya, ikut membaca tulisan itu
“Oh..ini kata kunci untuk ikut ngeramein Ramen”
“Artinya apa ?”
“ Apa ya…? , mungkin maksudnya kita harus tetap bersemangat menghadapi dunia, apapun yang terjadi. Dan tetap optimis bahwa di depan ada hari esok yang lebih baik” bingung juga aku menjelaskan pada bocah kecil ini, aku sendiri pun belum tahu akan diselipkan di bagian mana kata kunci ini. Anak itu hanya mengangguk-angguk kecil dengan penjelasanku, aku tidak yakin dia mengerti.
“Maaf kak, lampu merah lagi..” sambil berlari cepat ke jalanan.
Setelah perkenlan itu, aku jadi tau namanya Dika, dia tinggal tidak jauh dari tempat kami biasa bertemu, Dia adalah murid kelas empat sebuah sekolah dasar. Tapi aku masih belum tau mengapa di usianya yang sekecil itu sudah sibuk mencari uang, kadang-kadang malah harus pula menghadapi sikap kasar anak-anak jalanan lain yang lebih besar darinya.
Setelah perkenlan itu, aku jadi tau namanya Dika, dia tinggal tidak jauh dari tempat kami biasa bertemu, Dia adalah murid kelas empat sebuah sekolah dasar. Tapi aku masih belum tau mengapa di usianya yang sekecil itu sudah sibuk mencari uang, kadang-kadang malah harus pula menghadapi sikap kasar anak-anak jalanan lain yang lebih besar darinya.
“Kak, uang tabunganku sudah banyak, Kak, kata Ibu kalau digabung dengan uang yang dikumpulkan Ibu dan Bapak sudah hampir cukup”
“Ah.. kamu tuh bikin kakak bingung, memangnya uang itu untuk apa?.. setiap kali kakak tanya soal itu kamu tidak pernah menjawab” aku pura-pura merajuk, setelah hampir sebulan aku berteman dengannya dia masih saja merahasiakan yang satu ini.
“he he he…” Dika hanya nyengir, memperlihatkan gigi serinya yang kecil-kecil seperti gigi kelinci.
“Ayo dong kasih tau kakak” bujukku
“Tapi Bapak dan Ibu melarangku untuk menceritakan ke siapa-siapa kak?’
“Lho.. kenapa”
“Ini rahasia keluarga, kata Bapak begitu, kata Ibu ini aib, tidak boleh cerita kesiapa-siapa”
“Ya… udah deh, kalau begitu kakak gak akan tanya-tanya lagi..”
“tapi…kalau aku cerita, kakak tidak akan menjauhi aku kan?” tatapannya penuh selidik juga rasa khawatir, aku tersenyum sambil mengangkat dua jariku “tentu tidak, kakak janji!!!”
“Uangnya untuk berobat kak” bisiknya sangat pelan ke dekat telingaku sambil menoleh ke kiri dan ke kanan takut ada orang lain yang menguping percakapan kami
“Berobat siapa?, siapa yang sakit?” tanyaku tak kalah pelannya dengan suaranya tadi
“Enggak ah…nanti kalau kakak tau, terus gak mau lagi berteman dengan saya” kembali dia mengucapkan kata yang sama, dengan kecemasan yang sama.
“kakak janji!!, kakak akan tetap jadi teman kamu, apapun yang terjadi”
“kata dokter, aku ….” Kembali keraguan menghentikan ucapannya, aku hanya menunggu tidak tega kalau terus memaksanya, walau aku begitu ingin tau.
“kata dokter, aku mengidap virus HIV” serasa mendengar ledakan yang begitu dasyat, yang akan meledakkan jantungku, aku tak tau seperti apa ekspresi wajahku saat itu, aku hanya bengong tanpa tau harus berkata apa.
“Kak, kakak masih mau berteman dengan aku kan?” begitu memelas ucapan itu, tapi HIV????, yang aku tau HIV itu mudah menular, jangan-jangan aku nanti tertular karena sering berdekatan dengannya, karena menyentuh tubuhnya yang berkeringat, jangan..jangan… oh tidak!
Tiba-tiba,
”Kaka, kakak!” Aku menoleh ke arah asal suara. Di antara mobil-mobil yang berhenti menunggu lampu hijau menyala, Dika
tengah melambaikan tangan ke arahku, wajahnya sangat bahagia,
"Kakak, aku di sini!” teriaknya lagi. Lampu hijau menyala lagi. Tiba-tiba saja sebuah sepeda motor melaju kencang dari arah belakang mobil, dan……
”Dika!” aku
berteriak keras, melihat tubuh kecilnya terpental ke aspal keras, setelah motor itu menghantam tubuhnya.
Aku berlari ke arah tubuh Dika yang bersimbah darah, bahkan aku tak peduli lagi beberapa pengendara yang memaki karena menyeberang begitu saja. Dika hanya mengerang perlahan lalu diam, di sisinya sebuah gitar kecil tergeletak diam. Orang-orang mengangkat jasad Dika ke atas metromini
yang lewat, sementara aku hanya berdiri mematung membaca coretan kecil pada bagian sisi gitar kecil milik Dika yang nyaris hancur, di situ tertulis : “… maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar