Jumat, 25 November 2011

Ketika Kau Harus Pergi





 Burung itu terbang tinggi…., tinggi… sekali, mengepakkan sayapnya yang kokoh, mencoba meraih semua mimpi yang  kami miliki.  Aku hanya berdiri memandang ke langit sambil  berharap suatu hari dia akan kembali dengan senyuman yang lebih indah dari semua yang dia berikan untukku selama ini.
Hari ini,  pesawat itu tinggal landas membawa Mas Dani terbang, menuju semua pengharapannya, harapan untuk membawa kami pada kehidupan yang lebih baik.
“Arma, cobalah untuk mengerti dengan keputusanku ini…” itu pinta Mas Dani sekitar empat bulan yang lalu, aku diam tak menanggapi ucapannya , yang ada di benakku hanya rasa hampa…rasa yang membuat aku menjadi perempuan yang begitu lemah..tiada berdaya, bahkan ketika suami  menemukan jalan buntu untuk mengatasi segala kesulitan hidup ini, aku pun tak bisa berbuat banyak.
Rencana kepergian mas Dani telah membuat aku sangat bingung, Aku merasa seperti anai-anai yang terbang tertiup angin, melayang-layang tanpa pengharapan, aku takut jika akhirnya terhempas dalam kegelapan yang pekat.
“Mas, aku takut hidup tanpa kamu mas..” akhirnya kata itupun tak lagi dapat kusimpan tak lagi aku mampu menyembunyikan kegelisahanku.
“Apa sebetulnya yang kau hawatirkan, Arma?”
“Aku menyayangimu, aku tak mau harus kehilangan dirimu, aku takut terjadi sesuatu ”
“Tak ada yang akan kehilangan, Arma, kepergianku hanya untuk memperbaiki kehidupan kita, tak ada yang dapat aku lakukan di sini, aku harus pergi..ini satu-satunya cara agar hidup kita lebih baik agar semua mimpi yang pernah kita rajut bersama dapat terwujud”  Mas Dani mencoba meyakinkanku. Aku masih bingung, teramat bingung…Begitu banyak peristiwa-peristiwa buruk yang telah dialami para TKI, aku takut kalau mas Dani nantinya dituduh sebagai pengedar narkotika, atau dia masuk penjara karena difitnah melakukan pencurian.
Setiap hari mas Dani dengan sabar berusaha meyakinkanku, meyakinkan akan kesetiaanya, meyakinkan aku akan keselamatan dirinya, sampai  akhirnya aku luluh… bukan karena aku percaya bahwa sistim perlindungan TKI sudah semakin baik, atau Negara yang akan dituju Mas Dani telah berjanji untuk memperlakukan para pejuang devisa Negara ini dengan lebih adil, tapi lebih karena kegigihan mas Dani membujukku, aku tak ingin Mas Dani  menilaiku sebagai istri yang keras kepala, bandel, seperti anak kecil, tidak percaya pada perlindungan Allah dan lain sebagainya.
 “Arma, jaga anak-anak, jangan lupa selalu berdo’a , aku sayang kalian semua…”  Ingin rasanya aku mengghambur dalam pelukan mas Dani, seperti yang dilakukan sepasang remaja disampingku, tapi aku malu, aku hanya menatap wajah mas Dani lekat-lekat, aku takut kehilangan waktu yang sangat berharga ini, tinggal sesaat lagi aku bisa  menikmati wajahnya, Tuhan  berapa lama aku harus kehilangan pujaanku ini?, wajah lelaki baik yang selalu mengisi hari-hariku dengan cinta yang begitu damai…
Mas Dani pergi, bukan karena keegoisannya, tetapi karena Dia adalah suami yang beranggung jawab atas nasib rumah tangganya. Dia hanya ingin mewujudkan impian-impian kami, impian tentang rumah mungil yang senantiasa menyertai perjalanan indah cinta kami, tentang tawa ceria anak-anak ketika berpamitan berangkat ke sekolah. Mimpi-mimpi yang belum berhasil kami wujudkan.
Lelaki perkasa itu akhirnya meninggalkan aku yang hanya mampu menatap langit dengan linangan air mata…
Selamat jalan mas Dani, bawalah juga hatiku bersamamu, simpan dia rapat-rapat di sisi jantungmu, rasakan selalu degupannya agar kau selalu yakin akan kesetiaanku padamu…

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....