Kamis, 09 Juli 2020

Aku, Rasti dan Pernikahan Palsu

Cerpen ini saya posting pertama di Kompasiana.com dan HL, istilah untuk tulisan yang dianggap layak direkomendasikan bagi pembaca. Saya posting ulang di sini, semoga suka.



Rasti melintas di hadapanku. Langkahnya terburu sambil tetap menunduk, seperti biasanya. Selang beberapa saat dia kembali muncul dengan secangkir  kopi yang asapnya masih mengepul, menebarkan aroma nikmat. Kopi itu diletakkannya di meja yang ada di hadapanku kemudian kembali berlalu. Selalu begitu.

Sudah enam bulan kami hidup bersama, terikat dalam satu ikatan yang bernama pernikahan. Pernikahan yang tidak pernah kami rencanakan tetapi harus kami jalani. Pernikahan yang hanya berguna untuk menutupi rasa malu dan menjaga status sosial keluarga saja.

Rasti, remaja enam belas tahun itu hamil dan Mas Yanto adalah ayah dari bayi yang ada di dalam rahimnya. Mas Yanto, ayah tiri Rasti, telah memaksa gadis belia itu untuk memenuhi hasratnya hingga akhirnya Rasti hamil.

“Yadi, tolongin Mas.  Mas tahu… Mas salah. Mas khilaf… Mas tidak mungkin menikahinya.”

“Jadi... maksud, Mas?” Aah… untuk apa pertanyaan ini aku lontarkan. Aku sudah tahu arah ucapannya. Mas Yanto meminta aku menikahi Rasti. Demi nama baik keluarga. Demi status sosial yang selama ini selalu dibanggakan.

Mas Yanto pasti tahu, aku tidak mungkin menolak keinginannya. Mas Yantolah yang selama ini membiayai kami sekeluarga. Dia yang membiayai sekolahku dan adik-adik. Dia terpaksa menikahi perempuan separuh baya yang sudah memiliki tiga orang anak remaja.  Dia menikahi seorang janda kaya agar bisa menyelamatkan kami semua. Ibu, aku, dan dua adikku.

“Begini, Yad. Yang penting kamu nikahi dulu dia. Nanti kalau anaknya sudah lahir, kamu boleh ceraikan lagi. Setidaknya  ini bisa menyelamatkan kita semua.”

Jangan tanya mengapa aku mengikuti saja kemauan Mas Yanto. Bagiku persoalan ini bukan saja soal nama baik dan status sosial, tetapi tentang remaja enam belas tahun yang telah menjadi korban kejahatan orang dewasa.

Sudah enam bulan usia pernikahan kami. Aku tak pernah sekalipun menyentuhnya. Aku tak boleh menodai anak yang ada dalam rahimnya. Sudah cukup dosa yang pernah ada. Aku tak boleh melajutkannya dengan dosa-dosa lainnya. Aku bukan ayah bayi itu. Pernikahan kami tidak sah secara agama.  Aku tidak berhak atas dirinya.

Rasti kembali melintas. Masih dengan wajah tertunduk dan langkah tergesa.
“Rasti…” Panggilanku menghentikan langkahnya.  Dia hanya mematung tanpa menoleh.

“Rasti… duduklah sekali-sekali di sini. Setidak-tidaknya kita jangan seperti dua orang asing yang tinggal satu rumah.” Rasti masih berdiri dan belum juga menoleh.

“Rasti…” Kali ini dia bereaksi, dia menoleh walau tidak langsung menghampiriku. Dia tetap mematung di tempatnya berdiri. Aku menganggukkan kepala mencoba meyakinkannya untuk mendekat.

Rasti memilih duduk di kursi yang berada di sisi kiriku. Gayanya yang canggung dan ragu-ragu membuatku merasa kasihan.

“Rasti… sudah berapa bulan usia kehamilanmu?” tanyaku mencoba memecah kekakuan di antara kami.
“Sembilan bulan, Mas.”
“Jadi...?” jawaban yang diucapkan secara perlahan itu, sempurna membuat tenggorokanku tercekat. Sejenak aku terpaku, berusaha menormalkan kembali seluruh fungsi tubuhku  yang tiba-tiba saja bekerja tanpa aturan. Sementara Rasti masih saja duduk dengan kepala tertunduk.

Sembilan bulan. Usia kehamilannya sudah mendekati masa kelahiran. Tiba-tiba saja aku diliputi kengerian. Bagaimana dia akan menghadapi proses kelahirannya nanti? Aku tiba-tiba tersadar, belum satu pun persiapan untuk menyambut kelahiran bayi itu yang kami lakukan. Aku dan Rasti betul-betul hanya menjadi dua sosok yang hidup dalam satu atap. Tanpa rasa. Aku mulai merutuki keegoisanku. Betapa selama ini Rasti sudah berusaha menjadi teman serumah yang baik. Dia yang selalu menyiapkan secangkir kopi di pagi hari untukku. Dia pula yang telah mengurus segala keperluan pribadiku; menyiapkan sarapan, mencuci dan menyetrika pakaianku, dan urusan tetek-bengek lainnya yang memang bisanya dilakukan oleh seorang istri.

“Mas, maaf… saya mau ke kamar dulu.” Melihat aku yang hanya duduk diam membuat Rasti tidak nyaman berlama-lama duduk satu meja denganku.

“Tunggu…Saya ingin mengajak kamu membeli keperluan bayi yang sudah hampir lahir itu.” Ide itu muncul begitu saja.

“Tapi…. Bayi ini…bukan….”

“Sudahlah, jangan ngomong ke mana-mana. Bayimu akan lahir dan kita harus mempersiapkan kelahirannya. Sana, ganti pakaianmu!” Kata-kataku yang memaksa membuat Rasti tidak berani membantah. Dia segera menuju kamarnya. Tidak menunggu terlalu lama dia sudah kembali dengan penampilan yang siap untuk bepergian.

***

Sudah lebih dari seminggu sejak aku dan Rasti belanja bersama. Sejak saat itu aku mulai lebih memperhatikannya. Aku mulai diliputi kecemasan. Bagiku Rasti masih terlalu muda untuk menjalani proses melahirkan. Dia baru enam belas tahun.

“Rasti sudah hampir melahirkan, Mas. Kata dokter tinggal menunggu hari.”

“Kamu urus sajalah.... Berapa pun biaya rumah sakitnya, kamu tidak usah khawatir. Sudah kami siapkan.”

Jawaban ringan Mas Yanto telah membuat darahku tiba-tiba memanas. Sesederhana itukah masalah ini baginya? Aku yang setiap hari melihat bagaimana anak kecil itu harus menanggung beban dalam perutnya. Berjalan dengan napas terengah dengan tangan yang menopang bagian belakang pinggangnya yang mungkin terasa nyeri.  Sedangkan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia bukan istriku.

Aku juga  yakin dia pasti diliputi rasa takut. Melahirkan itu perjuangan antara hidup dan mati, itu yang aku pernah dengar dari Ibu. Sekarang orang yang menyebabkan dia hamil hanya berhitung tentang uang. Gila! Ini benar-benar gila!

“Mas, ini sudah bukan lagi soal uang. Ini soal Rasti. Dia akan melahirkan, dan Mas tau usianya baru enam belas tahun!”  Suaraku kini meninggi. Hal yang tak pernah kulakukan selama ini kepada Mas Yanto.

“Yad, jadi menurutmu, Mas harus bagaimana?  Menikahinya? Itu tidak mungkin, kan?”

Ya, Mas Yanto memang tidak bisa menikahinya, kecuali ibunya Rasti memilih untuk mengalah, dan membiarkan Mas Yanto menikahi Rasti, anaknya dan bercerai dengannya.

“Yad, kalau Mas menikahi Rasti, berarti Mas harus bercerai dengan mamanya. Kamu tau akibatnya bagi kita? Akan semakin banyak orang yang menjadi korban. Mas tidak lagi bisa membantu adik-adik untuk kuliah.”


Ya, Tuhan… mengapa jadi serumit ini?

***

“Mas Yadi, perutku sakit. Mungkin aku sudah akan melahirkan.” Rasti yang berdiri di ambang pintu kamarku, sontak saja membuatku segera bangkit dan mengeluarkan motor.

“Ayo, kita ke klinik.”

Perjalanan menuju klinik yang jaraknya hanya tiga kilometer, rasanya begitu jauh. Aku bisa mendengar erangan Rasti yang kesakitan di belakang tubuhku, mataku mengembun karenanya.

Di klinik bidan langsung menangani Rasti.  Butuh waktu hampir lima jam hingga bayinya lahir. Dan aku menyaksikan detik demi detik peristiwa itu. Di samping kepalanya aku berdoa dan berusaha memberinya kekuatan.

“Rasti, jangan takut. Mas di sampingmu. Tidak hanya sekarang, tapi selamanya. Kita akan membesarkan anak kita dengan kasih sayang. Ayo berjuanglah!” Rasti menatapku dengan tatapan penuh harap. Aku mengecup keningnya.

Dan aku memenuhi janjiku. Kami kembali menikah. Kali ini karena aku menyayanginya. Ketegarannya telah membuatku jatuh cinta.

TAMAT


Hati yang Mendua #6




Mengapa dia datang setelah aku putuskan untuk mengakhiri semua mimpiku tentangnya. Bertahun memelihara rasa itu dan menyimpannya sendiri hingga akhirnya aku merasa semua sia-sia. Lalu kini, saat kutengah berusaha membangun  harapan baru, melupakan kepedihan karena penantian yang disia-siakan, dia datang. 
Aini membalikkan badan setelah merasakan lengan kanannya yang digunakan menyangga kepala, mulai kesemutan.Detak jam dinding terasa lebih keras dalam keheningan malam. Sudah pukul 01.00, gadis manis berpipi cabi belum juga bisa memejamkan mata. dia kemudian bangkit, mengambil gawai yang tergeletak di atas meja yang berada tepat disamping tempat tidur.
Jarinya  kini asik di atas keyped. menulis kata demi kata dalam aplikasi note yang digunakannya sebagai diary. Ada sebutir air mata yang tiba-tiba meluncur jatuh di atas gawainya. secepat kilat tangannya mengusap layar gawai.

Ami terlalu baik  untuk disakiti, selama ini dia selalu penuh perhatian, menjadi teman berbincang yang menyenangkan, berdiskusi tentang buku-buku, prilaku siswa, dan banyak hal yang menyenangkan yang kami lakukan bersama. Mengapa Ridho dengan mudahnya menguasai hatiku dan membuat semua bahagia itu seakan tak bernilai?
Aini meletakkan kembali gawainya di tempatnya semula. Dia kemudian membaringkan tubuh di atas dipan kayu beralas busa dengan seperei warna biru muda polos. Dipejamkannya kedua mata dan berusaha untuk tidur. Ayat kursi dilafalkannya perlahan sebelum benar-benar lelap.

@@
Aini baru saja selesai mandi ketika Ibu memberitahu ada Ami di luar. Setelah merapikan diri dia menemui Ami yang sudah menunggu di teras, di tempat biasa dia duduk.
"Begadang ya? Matamu merah," Ami memperhatikan wajah kuyu Aini.
Aini tak merespon. Ami tentu tak boleh tahu tentang rasa yang tengah melandanya, yang membuat matanya tak dapat terpejam hingga dini hari.
"Atau kamu sakit mata?" Kali ini Aini menjawab dengan gelengan kepala.
"Kamu sakit? Kalau kamu mau istirhat, biar aku langsung pulang aja," Ami berdiri, tapi Aini menahan lengannya., Ami kembali duduk.
"Aku tigak apa-apa. Semalam ada yang aku kerjakan dan aku  lupa waktu,"  sebuah senyum mengiringi kebohongannya.

Perbincangan pagi ini tak lagi sama dengan perbincangan mereka di hari-hari sebelumnya. Aini tak menemukan rasa yang kemarin ada. Semua berubah menjadi hampa dan membosankan. Ami juga merasakan perubahan itu. sesekali dia menyinggung hal itu, tapi Aini masih saja berkelit. Ami menjadi tak nyaman, dia memilih untuk berpamitan lebih cepat. Aini tak mencegah. semua memang berubah.

Aini mengantar Ami ke depan pintu pagar, masih seperti biasanya. Kalau dulu ada saja sisa-sisa obrolan yang diteruskan sambil berdiri di depan pintu pagar, kali ini semua berjalan sangat cepat. Ami mengeluarkan motornya, menstater, dan berlalu. Aini berbalik dan masuk ke dalam rumah.

Aini baru saja melewati pintu kamarnya, di atas meja, gawainya menyala, ada notif pesan masuk.
"Ay, aku yakin ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku. perasaanku bilang, itu tentang kita. aku lebih suka bila kamu jujur."pesan dari Ami.

Aini menghea nafas, terasa berat. Kamu terlalu baik untuk menerima perlakuan jahat aku. Mi. Tapi, dia adalah mimpi yang selalu mengusik hari-hariku. Aku merasa,impianku itu akan segera terwujud.Haruskah aku lepaskan dan membiarkannya pergi?



Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....