Aini memarkir motornya di halaman rumah Vina. Dulu saat SMA rumah ini seperti rumah keduanya. Sejak mereka kuliah di tempat yang berbeda, hanya sesekali saja dia berkunjung, terlebih setelah lulus kuliah dan Vina juga sibuk di tempatnya bekerja.
Aini melangkah di antara berbagai jenis bunga anggrek yang tengah mekar, tersusun di sisi kanan dan kiri jalan yang menghubungkan tempat parkir dan teras rumah. Sebelum sampai ke teras matanya telah menangkap keberadaan Fitri dan seorang laki-laki, mungkin suaminya, duduk di sofa panjang. Vina juga ada di situ.
"Nah, akhirnya datang juga," Vina setengah berteriak. Fitri dan laki-laki di sebelahnya spontan menoleh ke arah Aini.
Aini terkesiap, jantungnya berhenti sesaat. Laki-laki yang berada di samping Fitri adalah Ridho, bukan suaminya.
"Ayo, Ay! Kami lagi makan rujak. Oleh-oleh dari Fitri." Vina bangkit dan menghampiri Aini, dua buah kecupan persahabatan dihadiahkan Vina untuk Aini. tapi Aini masih terlalu sibuk menata gerak irama jantungnya.
Aini mulai menyesali penampilan dirinya yang terlalu biasa saja. Tadi sebelum berangkat, dia hanya memoleskan bedak tipis dan seulas lips balm di bibirnya. Dia juga menyesali tak mengenakan pakaian terbaik, saat ini dia hanya mengenakan celana kulot berbahan jeans dan blues katun bermotif bunga dengan model sederhana.
Aini terus sibuk dengan dirinya sendiri. Dia bahkan tak menyadari sepasang mata elang milik Ridho justru tak lepas memandanginya.
Dia masih saja seperti dulu, gayanya juga masih sama. Sederhana tapi terlihat menarik. Ridho membatin.
Ada seberkas harapan tumbuh lagi di hatinya.
@@@
Aini belum juga beranjak dari tempatnya berdiri. Tawaran rujak dari Vina tak mendapat perhatiannya. Seluruh dirinya hanya terpusat pada sosok Ridho yang memandang tajam dengan tatapan mata elang. Aini seakan terperangkap dalam Sebuah ruangan sempit, gelap, dan hampa udara. Dia nyaris terjajar saat Vina menarik lengannya. Fitri yang sudah berdiri di dekatnya merentangkan dua lengan, mereka berpelukan.
Aini masih belum bisa mengatur irama jantungnya. Debaran kencang seakan menembus gendang telinganya.
"Kamu kemana aja sih?" tanya Fitri setelah melepas pelukan. Aini hanya membalas dengan senyuman.
"Oh, ya. Aku bareng Bang Ridho, kamu kenal dia kan?" Aini membenarkan dengan anggukan.
Aini melangkah menghampiri Ridho yang sudah berdiri dan mengulurkan tangan.
"Apa kabar Aini?"
"Alhamdulillah, baik, Mas Ridho?" Jawabnya sambil melepas masker yang masih menutup sebagian wajah.
"Alhamdulullah, seperti yang kamu lihat," Ridho membuka dua tangannya dan mengangkat bahunya sedikit.
Aini menghela nafas. Berusaha menenangkan diri, menyembunyikan segenap rasa yang tengah menguasai.
"Duduk Ay," Ridho memberikan kursinya pada Aini dan menarik kursi lain yang berada agak jauh, ke dekat kursi yang sekarang diduduki Aini.
Aini mulai menguasai diri. Percakapan dengan Vina, Fitri,dan juga Ridho mulai mengalir. Tinggal desiran lembut yang tersisa setiap kali dia beradu tatap dengan Ridho, dan Aini menyembunyikannya dengan memalingkan wajah ke arah lain, Dia sadar saat itu wajahnya pasti bersemu merah.
Aini tak tahu, rasa itu pun tengah mendera hati Ridho. Gadis yang sedari dulu disukainya, kini ada di sampingnya. Ridho bukan tipe lelaki yang mudah jatuh hati dan mengumbar perasaan. Selama ini dia tengah meyakinkan diri atas rasa yang dirasakannya. Dia tak ingin salah dalam menentukan pada siapa rasa itu akan dilabuhkan.
Selanjutnya

Tidak ada komentar:
Posting Komentar