Jumat, 14 Desember 2012
Kamis, 13 Desember 2012
SMP N 1 PULOSARI: Tentang SMPN 1 Pulosari
SMP N 1 PULOSARI: Tentang SMPN 1 Pulosari: SMP Negeri 1 Pulosari beralamat di Jalan Raya Kadu Pager Desa Koranji Kecamatan Pulosari.Kabupaten Pand...
Selasa, 11 Desember 2012
Aku
Pagi:
Aku hanyalah hening
Yang terperangkap dalam bising
Selalu bicara agar terlihat penting
Ternyata semua hanya berputar seperti gasing
Siang:
Aku menjadi debu dalam badai
Terpontang panting sampai lunglai
Berharap temukan damai
Yang kudapat hanyalah andai
Sore :
Aku mencair menjadi keluh
Setelah terkapar lelah bermandi peluh
Mulutku tak lagi bisa berkata uuuuh...
Tapi aku bertahan agar tak jatuh
Malam:
Aku berubah menjadi mimpi
Berharap bisa menjadi pasti
Tidak hanya menjadi pengelana di ruang sepi
Lalu berakhir mati...
Senin, 10 Desember 2012
Kamu Kok Merokok Sih??
Tadi
siang saya melihat lagi sebuah pemandangan yang cukup memprihatinkan di dunia
pendidikkan. Memang bukan peristiwa besar yang akan berdampak sistemik, seperti century
misalnya, tetapi cukup berhasil membuat saya mengusap dada.
“Kamu…masih bau kencur sudah berani
merokok, mau jadi apa kamu nanti?”
Kalimat
seperti ini sudah barang tentu bukan kalimat luar biasa, kita bisa mendengarnya
dari siapa saja, dari ayah/ibu siapa
saja, kakak/paman/tante siapa saja, ketika menasehati anak di bawah umur yang ketahuan sedang
mencoba-coba merokok, kalimat ini menjadi
favorit untuk diucapkan.
Lalu,
apa masalahnya?
Bukan
kalimat itu sebenarnya yang menjadi masalah, tetapi dengan sikap bagaimana kalimat itu diucapkan.
Tadi
siang seorang rekan guru tengah menegur seorang anak (siswa SMP) yang
tertangkap sedang nongkrong di warung
di luar pagar sekolah pada saat jam pelajaran berlangsung sambil merokok. Si
anak lalu di bawa ke ruangan guru untuk dinasehati salah satu kalimat yang
diucapkan rekan saya tersebut, ya kalimat itu.
Sekali
lagi, bukan kalimatnya yang salah, tetapi rekan guru itu menasehati anak murid agar
tidak merokok, sementara di antara telunjuk dan jari tengahnya terselip
sebatang rokok, yang sesekali diisapnya, sambil terus mengatakan bahwa anak itu
telah melanggar peraturan sekolah.
Setelah
anak itu diperbolehkan kembali memasuki kelas untuk melanjutkan kegiatan
belajarnya, saya mendiskusikan hal itu dengan rekan saya. Salah satu pertanyaan
yang saya lontarkan adalah :”Mengapa anak-anak tidak boleh merokok, sedangkan
gurunya juga merokok?”. Rekan saya menjelaskan bahwa anak-anak tidak boleh
merokok karena mereka belum memiliki
penghasilan sendiri untuk membeli rokok. “Astagfirullah”, saya sangat terkejut mendengar penjelasan itu.
Larangan
merokok bagi siswa seharusnya diterapkan dalam upaya melindungi anak-anak dari
pengaruh negative yang ditimbulkan rokok, bukan karena dia belum punya uang
untuk membelinya sendiri. Siswa harus
mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang bahaya merokok, apalagi sudah banyak yang berpendapat bahwa remaja
perokok lebih beresiko untuk terjerumus menjadi pengguna narkotika.
Menggunakan
alasan anak belum mempunyai penghasilan untuk membeli rokok, sehingga mereka tidak pantas merokok, menurut
saya ini konyol. Karena kalimat ini sepadan maknanya dengan : Merokoklah kalau
nanti kamu sudah mempunyai penghasilan. Dimana letak penanaman karakter bertanggung jawab?, mencintai sesame? . Bahkan
bisa jadi ketika dinasehati pun di dalam hatinya mereka berkata “ Ini kan duit bapak saya, ngapain repot”.
Pada
saat yang lain saya menegur rekan guru
yang lain yang juga perokok, karena rekan saya yang satu ini merokok di dalam kelas, walaupun sebetulnya
dilarang. Rekan ini berdalih bahwa dia kehilangan motivasi dan inspirasinya
bila tidak merokok, makanya dia terpaksa sering melanggar peraturan dilarang
merokok di dalam kelas.
Ini
bukan orang pertama yang saya kenal yang mengucapkan kata-kata yang sama, pada
saat saya kuliah dahulupun ada dosen saya yang seperti ini. Apakah memang rokok
bisa memberi inspirasi atau motivasi
untuk melakukan sesuatu? Entahlah!!
Menurut
pemikiran saya, bukan rokok yang menginspirasi, tetapi ketergantungan anda
terhadap rokok yang telah membuat anda tidak mampu berpikir bila tidak di
dopping dengan nikotin. Lalu apa sebenarnya yang terjadi kepada mereka yang
merasa tidak mampu ngobrol atau
berkomunikasi dengan orang lain secara lancar bila tidak ditemani rokok?. Pada
kasus ini memang anda telah menggunakan rokok sebagai alat untuk menutupi rasa
kurang percaya diri anda. Salahkah ini?
No coment!!
Minggu, 09 Desember 2012
Karena Kamu
Raisya, tubuhnya semampai, berkulit putih, dan memiliki tatapan mata sayu. Rambut lurus dan halus tergerai sebahu. Raisya, beberapa hari lagi usianya 30 tahun dan belum juga menikah. Bukan karena dia tidak ingin menikah, tetapi jodoh itu belum datang kepadanya.
Raisya dan Rangga bersahabat sejak masih kanak-kanak, sejak berada satu bangku di kelas 4 SD.
Saat itu Raisya baru pindah dari sekolahnya yang lama di Serang.
Banten. Ketika dia ragu-ragu melangkah memasuki kelasnya yang baru,
Rangga menyapanya dengan ramah dan menawarkan bangku di sebelahnya yang
kosong.Di hari-hari selajutnya selalu ada Rangga disamping Raisya.
Raisya sering merasa cemburu bila melihat
Rangga mendapat perhatian lebih dari teman-teman perempuannya, tapi dia
hanya menyimpannya dalam tangisan tertahan.
Rangga, semua anak perempuan di sekolah itu mengenalnya. Bukan saja karena wajahnya tetapi penampilan dan gayanya yang tak acuh juga dukungan beberapa fasilitas yang tidak dimiliki oleh teman-teman sebayanya. Rangga memang layak jadi idola.
Rangga, semua anak perempuan di sekolah itu mengenalnya. Bukan saja karena wajahnya tetapi penampilan dan gayanya yang tak acuh juga dukungan beberapa fasilitas yang tidak dimiliki oleh teman-teman sebayanya. Rangga memang layak jadi idola.
“Kenapa harus aku? Bilang saja sendiri atau kamu gak usah ladeni permintaan mereka," Jawab Rangga membela diri
“Tapi Ranggaaa, bagaimana cara aku menolaknya?”
“Kamu kok repot amat sih, Ichaaaa. Bilang saja “No coment”, tapi ngomong-ngomong kamu sewot karena cemburu ya?” tiba-tiba Rangga menggodanya
“Ranggaaaa, mana mungkin aku cemburu sama kamu anak jelek gak jelas kayak gini” lalu terdengar derai tawa mereka, beberapa pasang mata tampak iri melihat keakraban mereka.
______________________@@@@@@@______________
Raisya, beberapa hari lagi usianya 30 tahun dan belum menikah. Saat ini dia bekerja di perusahaan yang cukup besar. Prestasi kerjanya baik. Dia juga menjadi rekan kerja yang menyenangkan bagi sejawatnya.
Raisya nyaris putus asa. Untung Dia memiliki sahabat-sahabat yang baik. Mereka yang telah membangkitkan kembali keyakinan Raisya bahwa suatu hari nanti Allah akan mengirimkan seorang laki-laki yang paling tepat untuknya.
“Ya Allah…dua hari lagi usiaku sudah 30 tahun, tolong kirimkan padaku seorang laki-laki yang mencintaiku dengan tulus, yang akan menjadi imam dan penanggung jawab atas hidupku di hadapanMu, ya Allah” do’a Raisya.
“Ranggaaa, kamu Rangga kan? Aku yakin kamu pasti Rangga” tanpa menunggu jawaban laki-laki itu Raisya sudah menghambur dalam pelukannya. Mereka berdua melompat-lompat kegirangan sebagaimana yang mereka selalu lakukan belasan tahun yang lalu setiap kali berhasil melakukan sesuatu.
“Rangga, kamu kemana saja? Mengapa kamu tiba-tiba menghilang? Aku mencari-cari kamu Rangga?” Raisya tidak mampu mencegah pertanyaan beruntun itu meluncur deras dari mulutnya.
Tidak satupun pertanyaan itu dijawab oleh Rangga. Dia hanya memandangi Raisya dengan tersenyum.
“Rangga, kamu kok hanya senyum-senyum, jawab dong!”
“Kamu belum menyuruhku duduk apalagi memberiku minum tapi malah memberondongi aku dengan pertanyaan, sahabat seperti apa kamu ini?”
“Rangaaaaaa” Kegembiraan itu kembali menjadi milik mereka. Untung saja ruang kerja Raisya kedap suara sehingga tidak mengundang keheranan orang sekantor.
“Ayoo sekarang kamu harus cerita sama aku, kemana saja kamu selama ini?”
“Ok, nona jelek, dengar baik-baik. Karena tidak bersama kamu nilai-nilai sekolahku anljok. Akupun salah memilih teman. Masa depanku hampir saja hancur. Orang tuaku menyelamatkan aku dengan mengajakku pindah ke kampung halaman mereka. Di sana aku kembali menata masa depanku. Syukurnya berkat dukungan orang tuaku. Aku berhasil” Rangga berhenti sejenak kemudian menyeruput orange juice yang ada di depannya.
“Lalu?”
“Sekarang aku meneruskan usaha papaku, kebetulan kantormu bekerja sama dengan kantorku. Kemarin aku melihat kamu di lobby gedung ini, ketika aku tanyakan kepada seseorang yang ada di sana, aku tahu kamu memang Icha jelek yang sedang aku cari”
“Kamu mencari aku?”
“Ya, sudah sangat lama”
“Untuk apa?”
“Untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita.”
“Sok tahu kamu, memang kamu tahu apa mimpiku?”
“Mimpi kamu adalah menjadi istri aku.”
“Ranggaaaa, kamu tuh masih saja gila.”
“Ya, aku memang bisa gila bila harus kembali kehilangan kamu, kamu juga kan?”
Kali ini Raisya hanya terdiam selapis kabut melapisi bening bola matanya, semakin menebal kemudian membentuk butiran lalu akhirnya menetes pelahan.
“Lho, kamu kenapa nangis?” Rangga bertanya polos
“Karena kamu”
“Karena aku?”
“Ya, karena kamu akhirnya datang juga untukku”
Dua
hati yang selalu bersenandung tentang rindu, akhirnya menyatu
mewujudkan segala harap yang telah mereka semai begitu lama. Jodoh itu
akhirnya datang di saat yang paling tepat.
Karya Fiksi Juga Perlu Fakta
ilustrasi/admin(shutterstock.com)
Perdebatan
antara penyuka fiksi dan mereka yang tidak menyukai (anti) fiksi di
Kompasiana, kadang-kadang membuat telinga menjadi sedikit panas dan
gerah. Perdebatan seperti itu hanyalah perdebatan yang tidak akan
menemukan titik temu, yang pada akhirnya menimbulkan perasaan tidak puas
(jengkel) pada ke dua belah pihak. (sangat tidak asyik!!)
Menurut hemat saya, sebagai salah seorang penyuka fiksi, tapi kadang-kadang juga menulis yang lain, fiksi
itu tidak melulu menjual mimpi dan menawarkan imajinasi yang tidak
mungkin terjadi pada dunia nyata, fiksi kadang-kadang juga memerlukan
fakta dan data, karena untuk menghidupkan unsur-unsur yang terdapat
dalam sebuah fiksi, seorang penulis haruslah mengenal secara detail apa
yang akan di tulisnya terutama bila itu menyangkut hal-hal yang memang
ada di dunia nyata apalagi menyangkut profesi orang lain.
Seorang
penulis yang tidak mengenal istilah-istilah hukum, tidak mungkin mampu
menulis cerita yang berhubungan dengan masalah hukum, seorang penulis
yang membuat kisah perjalanan astronot, maka harus belajar dulu tentang
dunia astronot dan kehidupan luar angkasa. Begitu pula yang berkenaan
dengan permasalahan-permasalahan lainnya, seorang penulis fiksi akan
berusaha mencari informasi yang tepat dan benar dengan harapan fiksi
yang akan ditulis terasa hidup dan seolah-olah merupakan kejadian nyata.
Saya
pernah membaca, bagaimana seorang penulis begitu jelas memaparkan
kondisi kemacetan jalan di Jakarta, mulai dari waktu, lokasi dan suasana
kemacetan tersebut, ketika saya melihat profilnya, penulis tersebut
bukan orang Jakarta. Apakah untuk menulis tentang danau toba saya harus
berangkat ke Medan?. Saya bisa melakukannya, dengan mencari
referensi-referensi yang saya perlukan melalui buku-buku atau browsing
di internet.
Demikian pula yang saya alami pada
saat menulis fiksi tentang wanita hamil, saya berusaha mengetahui
masalah-masalah yang dialami seorang wanita hamil sampai melahirkan.
Dengan sedikit kekhawatiran adanya kesalahan istilah yang berakibat
fatal, dan mungkin akan diprotes oleh praktisi kesehatan, saya membaca
beberapa tulisan yang berhubungan dengan istilah-istilah kedokteran yang
saya butuhkan dalam proses penulisan fiksi yang sedang saya tulis tersebut, akibatnya saya jadi banyak tahu dan lumayan paham.
Jadi
sangat tidak tepat kalau dikatakan menulis fiksi itu tidak bermanfaat,
menulis fiksi juga membutuhkan pengetahuan dan ketelitian serta
kemampuan berpikir secara logis. Menulis fiksi juga akan membuat penulis
(juga pembaca) belajar banyak tentang permasalahan-permasalahan hidup,
sehingga memiliki kepekaan sosial dan kehalusan budi. Jadi Jika Ingin
Menulis puisi…Mengapa Tidak?
Guru itu Hampir Saja Membunuh Kreatifitas Anak Umur 10 Tahun
Jizan (yang paling kecil) sedang terlibat dalam "ngobrol bareng penulis" di acara Kompasianival Gandaria Citty Jakarta
Waktu itu, anak saya Jizan Mufida baru berumur 10 tahun, Setelah berhasil menjadi juara menulis cerpen tingkat SD se kecamatan, dia di utus untuk mengikuti lomba tingkat kabupaten. Menilik bakat yang ada padanya, juga keuletan gurunya memberikan bimbingan, saya memiliki harapan besar bahwa dia bisa masuk sepuluh besar.
Jizan dan gurunya berangkat sehari sebelum lomba itu dilaksanakan karena tempat lomba itu cukup jauh, kurang lebih 40 km dari tempat kami tinggal dengan kondisi jalan yang rusak berat, tepatnya di kecamatan Cimanggu, salah satu kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang berada di ujung barat Banten.Saya dan suami menyusul keesokan harinya.
Harapan
ternyata masih belum bisa terwujud, salah satu criteria penilaian lomba
cerpen itu adalah kemampuan menulis tegak bersambung, walau menurut
pemikiran saya, menulis tegak bersambung itu bukan bagian dari
unsur-unsur cerpen, apa mau dikata karena itulah yang ditetapkan oleh
panitia. Jizan hanya tidak beruntung karena Dia tidak mahir menulis
indah, yang dia miliki hanya bakat mengungkapkan ide dan gagasan melalui
tulisan dengan media computer. Sssssst tulisan tangan Jizan mirip
tulisan saya, sama sekali tidak indah.
Karena
tidak masuk ke dalam kelompok sepuluh besar, saya bersepakat dengan
suami untuk mengajak Jizan pulang lebih dulu dari rombongan sekolahnya,
saya tidak ingin dia berlama-lama di tempat yang Dia sudah merasa tidak
nyaman di dalamnya akibat tidak masuk sepuluh besar itu.
Saya dapat melihat raut kecewa di wajahnya, dia tidak banyak bicara ketika berjalan menuju ke tempat parkir. Tiba-tiba seorang laki-laki yang mengenakan batik PGRI, berteriak dari seberang jalan;
“YANG PULANG DULUAN PASTI TIDAK MASUK FINAL”
Saya
tersentak mendengar suara teriakan itu, langsung saya lirik wajah
Jizan, benar saja, wajah itu sekarang menunduk dalam-dalam dengan bahu
yang naik turun, Dia menangis!!
Ingin
rasanya saya memaki laki-laki yang pasti seorang guru itu, bagaimana
mungkin seorang guru yang sudah belajar Imu Pendidikan, Ilmu Jiwa Anak,
belajar pula PAKEM, PAIKEM, Quantum Learning, melakukan hal sekeji itu.
Yang saya lakukan saat itu hanya membujuk Jizan, kembali membesarkan hatinya, walau di sela isakannya dia sempat mengatakan,
“Jizan malu mah, Jizan itu gak bisa bikin cerpen, kenapa sih bu Guru nyuruh Jizan yang ikut?”
Inilah
sekelumit kisah, terkadang ternyata orang dewasa itu kejam, tidak
menyadari bahwa yang dilakukannya dapat menghancurkan rasa percaya diri
seorang anak, kalau seorang guru saja memiliki sikap seperti ini, Apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita???
Langganan:
Komentar (Atom)
Unggulan
Cerita dari Masa Lalu #2
Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....
-
Pertama kali memandangmu Pertama kali mengenalmu Pertama kali menyentuhmu Bergetar jiwaku Sangat berkesan di hatiku Tibalah saat ...
-
Bagian sebelumnya Cerita dari Rio bagian #2: “Hari ini kapal badak datang,” seorang kawan mengabari. Kedatangan kapal badak menjadi kebahagi...
-
Bagian sebelumnya “Ay, kali ini kamu harus dateng!” Vina berusaha mengintimidasi. “sudah tiga kali pertemuan kamu gak pernah ikut, anak-anak...
