Jizan (yang paling kecil) sedang terlibat dalam "ngobrol bareng penulis" di acara Kompasianival Gandaria Citty Jakarta
Waktu itu, anak saya Jizan Mufida baru berumur 10 tahun, Setelah berhasil menjadi juara menulis cerpen tingkat SD se kecamatan, dia di utus untuk mengikuti lomba tingkat kabupaten. Menilik bakat yang ada padanya, juga keuletan gurunya memberikan bimbingan, saya memiliki harapan besar bahwa dia bisa masuk sepuluh besar.
Jizan dan gurunya berangkat sehari sebelum lomba itu dilaksanakan karena tempat lomba itu cukup jauh, kurang lebih 40 km dari tempat kami tinggal dengan kondisi jalan yang rusak berat, tepatnya di kecamatan Cimanggu, salah satu kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang berada di ujung barat Banten.Saya dan suami menyusul keesokan harinya.
Harapan
ternyata masih belum bisa terwujud, salah satu criteria penilaian lomba
cerpen itu adalah kemampuan menulis tegak bersambung, walau menurut
pemikiran saya, menulis tegak bersambung itu bukan bagian dari
unsur-unsur cerpen, apa mau dikata karena itulah yang ditetapkan oleh
panitia. Jizan hanya tidak beruntung karena Dia tidak mahir menulis
indah, yang dia miliki hanya bakat mengungkapkan ide dan gagasan melalui
tulisan dengan media computer. Sssssst tulisan tangan Jizan mirip
tulisan saya, sama sekali tidak indah.
Karena
tidak masuk ke dalam kelompok sepuluh besar, saya bersepakat dengan
suami untuk mengajak Jizan pulang lebih dulu dari rombongan sekolahnya,
saya tidak ingin dia berlama-lama di tempat yang Dia sudah merasa tidak
nyaman di dalamnya akibat tidak masuk sepuluh besar itu.
Saya dapat melihat raut kecewa di wajahnya, dia tidak banyak bicara ketika berjalan menuju ke tempat parkir. Tiba-tiba seorang laki-laki yang mengenakan batik PGRI, berteriak dari seberang jalan;
“YANG PULANG DULUAN PASTI TIDAK MASUK FINAL”
Saya
tersentak mendengar suara teriakan itu, langsung saya lirik wajah
Jizan, benar saja, wajah itu sekarang menunduk dalam-dalam dengan bahu
yang naik turun, Dia menangis!!
Ingin
rasanya saya memaki laki-laki yang pasti seorang guru itu, bagaimana
mungkin seorang guru yang sudah belajar Imu Pendidikan, Ilmu Jiwa Anak,
belajar pula PAKEM, PAIKEM, Quantum Learning, melakukan hal sekeji itu.
Yang saya lakukan saat itu hanya membujuk Jizan, kembali membesarkan hatinya, walau di sela isakannya dia sempat mengatakan,
“Jizan malu mah, Jizan itu gak bisa bikin cerpen, kenapa sih bu Guru nyuruh Jizan yang ikut?”
Inilah
sekelumit kisah, terkadang ternyata orang dewasa itu kejam, tidak
menyadari bahwa yang dilakukannya dapat menghancurkan rasa percaya diri
seorang anak, kalau seorang guru saja memiliki sikap seperti ini, Apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar