Rabu, 08 Juli 2020

Namaku Aini #2




Aini, perempuan muda yang dulu merasa terperangkap dalam profesi yang tak diminati, kini ternyata bermetamorfosis. Dia kini menikmati profesi seorang guru. Tak ada lagi keluhan tentang siswa bandel yang mengolok-olok atau yang tak mau melibatkan diri dalam kegiaan  belajar. Jika ada cerita yang dibawanya pulang, bukan lagi berupa keluhan, tetapi hanya meminta pendapat ibunya yang dulu seorang guru madrasah.

Aini mengamati dengan teliti setiap lembar tugas siswa yang ada di hadapannya. Tadi pagi dia meminta para siswa menuliskan pengalaman paling berkesan dengan Ayah atau Ibu. Banyak kisah unik yang mereka tulis. Ada yang berhasil merangkainya menjadi cerita yang runtut ada pula yang hanya sekadar menulis beberapa kalimat saja.
Sekarang mata Aini terpaku pada satu tulisan, milik Doni. Anak yang paling sering membuat masalah. Beberapa hari yang lalu berkelahi, sebelumnya kedapatan menyobek lembaran buku paket pelajaran matematika. Hampir semua guru saling menimpali kalau sudah berbicara soal Doni, semuanya berisi penilaian negatif.

Kertas Doni hanya berisi beberapa kata saja.
"Bu, saya tak punya banyak pengalaman dengan mereka. Sejak kecil saya tinggal dengan Nenek karena Ayah dan Ibu saya bercerai. Ibu dan Ayah saya sekarang sudah menikah lagi. Mereka tidak ada yang menginginkan saya."
Hati Aini bergetar. Teringat kembali rasa sedihnya saat Ayah dipanggil yang Maha Kuasa. Beberapa hari dia tak bisa tidur dan hampir setiap hari dilaluinya dengan tangis. Aini beruntung mempunyai Ibu yang tegar, walau hanya guru honor di sebuah madrasah di tengah kampung, Ibu berhasil menyelamatkan hati sekaligus masa depannya.

Pikiran Aini kemudian pada Doni, remaja tanggung berusia 14 tahun. Tubuhnya kurus dengan rambut ikal yang kadang-kadang diwarnai dengan wana kuning atau hijau yang keesokan hari akan kembali berwarna hitam setelah mendapat teguran dari guru BP. Doni yang hampir tak pernah mengerjakan PR dan saat ditegur guru, ada saja alasan yang disampaikannya.
"Bu, tolong baca ini. Nanti aku akan cerita tentang dia," Aini menyerahkan lembar kerja Doni pada Ibunya. Susah payah Ibu membaca tulisan Doni karena tulisan tangannya yang berantakan.
"Kasihan..." lirih suara ibu berkomentar.
"Dia sangat bandel. Guru-guru tak suka padanya," Aini kemudian menceritakan bagaimana kelakuan Doni dan sikap guru-guru padanya.
"Dia butuh cinta,"
"Bagaimana menunjukkan rasa cinta padanya? Dia sulit didekati," Aini bertanya pada Ibu yang sudah makan asam garam dalam dunia pendidikan. Guru madrasah yang selalu dikenang oleh murid-murid karena dia selalu memperlakukan mereka seperti anak kandungnya sendiri.
"Dekati dengan hatimu karena cinta itu harus ikhlas, jika kau gunakan hatimu maka hatinya pun akan tersentuh," Aini manggut-manggut meresapi setiap penjelasan Ibu.
"Nak, siswa-siswamu itu manusia, walau mereka masih sangat muda, perlakukan mereka sebagai manusia. Jadilah gurunya manusia!" Suara azan magrib menghentikan obrolan mereka.
Hati Aini lega. Dia kini tahu apa yang akan dilakukannya besok. Dia harus menjadi gurunya manusia. Memperlakukan semua siswa sebagai manusia yang selalu haus akan cinta dan kasih sayang.
--------
Pagi-pagi sekali Aini sudah mengeluarkan motor. Tas ransel besar menggantung di punggungnya. Dia sudah siap bertempur. Model pembelajaran dan berbagai media telah disiapkan plus notebook 12 inci yang jadi senjata utamanya.
Udara dingin tak menyurutkan semangat Aini. Badannya terbungkus jaket berbahan kaus tebal yang dilengkapi hudi. Helm warna biru muda melindungi kepalanya. Aini melaju di atas jalan aspal yang berlubang di sana sini.

Tiba di sekolah dia langsung menuju ruang TU, meminjam proyektor dan membawanya ke ruang kelas 8B, jadwalnya mengajar jam pertama.
Ada desir aneh di hatinya. Ini kelas Doni, siswa yang selalu menjadi bahan perbincangan di ruang guru, bukan karena prestasinya, tapi karena berbagai masalah yang dibuatnya.
Kelas masih sepi. Hanya ada dua anak perempuan yang baru saja membersihkan dan merapikan ruangan. Aini menyapa dengan mengucap salam, spontan sambil menjawab salam dua anak itu menghampiri dan mencium punggung tangannya. Selanjutnya Aini sibuk merangkai notebook beserta infocus dan berbagai perelengkapan lain yang akan digunakan .
Satu persatu siswa berdatangan setelah menyalami Aini, mereka duduk di kelompknya masing-masing. Kemana Doni? Sebentar lagi pelajaran dimulai, Aini menunggunya.

"Asalamualaikum," suara cempreng sedikit berteriak. Doni si pemilik suara sambil menyeringai langsung menuju tempat duduknya.
"Waalaikum salam," Aini menjawab salamnya dengan tersenyum.
"Senang sekali melihat kamu selalu bersemangat," lanjut Aini lagi, sementara beberapa siswa mulai kasak kusuk, bagi mereka hal aneh kalau ada guru yang mau memuji Doni.
"Baiklah, silakan KM, pimpin doa,"
Seluruh kelas hening, semua berdoa dalam hati masing-masing.
Kegiatan belajar mulai berlangsung, Aini mengamati kegiatan di tiap kelompok. Kelompok terakhir yang diamatinya adalah kelompok Doni. Aini menarik salah satu kursi yang tak berpenghuni ke dekat Doni, di situ dia duduk sambil sesekali bertanya pada Doni tentang materi yang sedang mereka kerjakan.

Cara Aini bertanya sekaligus membantunya menjawab, membuat Doni tidak merasa tertekan. Dia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya bahkan dia kemudian berani menyampaikan pendapatnya sendiri kepada teman-temannya.
Aini tersenyum. Dibelainya punggung Doni sambil berdiri dan kembali ke meja guru.
"Anak-anak, sekarang kita akan mengedarkan bola ini ke seluruh kelas sambil kalian bernyanyi lagu di sini senang, di mana pun bola ini saat lagu selesai, berarti dia yang akan presentas, siap?"
"Siaaaap!" Serentak seluruh siswa menimpali.
Aini bahagia, walau baru satu langkah, dia sudah berhasil membuat Doni fokus pada pelajaran. Tak perlu tergesa-gesa agar dia tetap merasa nyaman, pikirnya.
Terima kasih, Bu, jika bukan karena Ibu, mungkin aku tidak akan pernah tahu rasa bahagia yang hakiki. Walau ibu tak pernah mengecap bangku kuliah, tapi ketulusan hati ibu terhadap siswa telah mengantarkan mereka meraih kesuksesan. Aku bangga jadi  anakmu.

Namaku Aini #1


Setahun sudah Aini menjalani profesi sebagai seorang guru di sekolah menengah pertama satu-satunya yang ada di dekat tempat tinggalnya. Tidak terlalu dekat sebetulnya karena untuk menuju ke sekolah dia harus berjalan kaki sekitar satu kilo meter. Tak ada angkutan umum, kecuali ojeg. Naik ojeg akan menghabiskan uang honornya mengajar sehingga berjalan kaki menjadi satu-satunya pilihan.

Meskipun dia pernah belajar ilmu pendidikan di jurusan pendidikan, nyatanya hingga hari ini dia belum juga mampu menikmati profesinya. Menjadi guru bukanlah impian Aini. Cita-citanya menjadi karyawan perusahaan yang ada di perkotaan. Dulu dia selalu berdecak kagum setiap kali melihat perempuan-perempuan berpakaian kantoran. Pakaian seragam modis, sepatu hak tinggi, dan riasan yang mempercantik wajah. Tetapi, Ibunya yang kala itu menjadi guru madrasah lebih mendorongnya belajar ilmu pendidikan. Mulanya Aini menolak. Dia tak ingin hidup seperti ibu yang setiap hari hanya berkutat dengan berlembar- lembar tugas siswa. Sebelum mengajar, malamnya harus pula begadang menyiapkan alat peraga, menulis resume bahan ajar dan seabrek kesibukan lainnya. Belum lagi kalau di sekolah ada siswa yang membuat masalah. Benar-benar pekerjaan yang membosankan.

Untuk menyenangkan hati ibunya, saat mendaftar ke perguruan tinggi, dia menjadikan pendidikan guru Bahasa Indoneaia sebagai pilihan ke dua dan nasib mengantarkannya menjadi guru karena pilihan dua itu yang lolos. Menimbang kemampuan orang tuanya, Aini akhirnya menerima nasib.
Lulus tepat waktu, jika tidak dia harus membayar uang kuliah untuk semester berikut yang harus dijalani. Itulah konsekwensi beasiswa bidikmisi. Aini tak ingin menyusahkan ibunya.
Tak lama setelah wisuda, dia ditawari mengajar di sekolah tempatnya mengajar sekarang.
------
"Sudah paham?"
Tak ada jawaban. Semua hanya saling pandang.
"Baiklah, ibu jelaskan sekali lagi," Aini kembali menjelaskan dengan suara nyaring. Dia mulai terengah kelelahan. Ini penjelasan yang ketiga kali. Aini menjelaskan sambil matanya mengitari kelas. Matanya tertumbuk pada tiga orang anak yang tengah berbisik-bisik. Aini mengabaikan, dia benar-benar lelah. Dia melanjutkan penjelasannya, kali ini di bangku ke tiga dari depan seorang anak perempuan melirik sesuatu yang ada di dalam tasnya, sepertinya sedang bercermin. Dengan konsentrasi yang semakin hilang, Aini terus berbicara sampai akhirnya matanya menangkap basah Vito melempar sesuatu ke arah Andi. Aini sudah tak tahan lagi.
"Vito!" Tiba-tiba Dia berteriak keras.
"Bagaimana kamu bisa mengerti kalau tidak mendengarkan?" lanjutnya masih dengan suara tinggi.
Kelas hening seketika. Semua terdiam, apalagi Vito. Dia tertunduk dengan muka pucat. Aini terus melampiaskan kekesalannya dengan mengungkapkan kalimat-kalimat keras. Tanpa basa basi dia melangkah meninggalkan kelas. Semua murid tak ada yang berani bersuara. Mereka hanya memandang punggung Aini yang hilang di balik pintu.
-----
"Bu, aku mau berhenti mengajar," ujarnya sambil menghenyakkan tubuhnya di kursi tepat di sebelah ibunya.
Sekejap ibu menatap wajahnya, mencoba meyakini apa yang baru saja dia dengar.
"Kenapa?" tanyanya kemudian.
"Aku gak mampu jadi guru. Anak-anak itu tidak menghargaiku." Seterusnya adalah cerita kejadian tadi pagi meluncur lancar dari bibirnya.
"Ibu tidak bisa memaksamu mengikuti jalan hidup Ibu. Tapi, kamu belum lama mengajar. Mungkin kamu belum menemukan kesenangan mengajar seperti yang Ibu rasakan," jawaban bijak ibu.
"Aku sudah setahun mengajar, Bu. Aku memang gak cocok jadi guru."
"Baiklah bila itu keinginanmu, tapi tunggu!" ibu berdiri dan melangkah ke kamar. Aini menunggu dengan rasa ingin tahu.
"Bacalah ini!" Ibu menyodorkan selembar kertas.
Aini membaca surat itu. Surat dari salah seorang murid ibu. Isinya ucapan terima kasih karena ibu telah menyelamatkan masa depannya.
"Itulah kebahagiaan seorang guru. Bukan harta, tapi sangat tak ternilai." ibu mengucapkannya dengan wajah berbinar.
"Entahlah Bu. Aku tak mampu menghadapi mereka," Aini masih bersikukuh.
"Karena kamu belum melakukannya dengan ikhlas. Nak," ibu menatap wajah Aini lekat-lekat 
"Pahami apa yang mereka mau, mengerti apa yang mereka inginkan. Anak-anak itu sebenarnya haus pengetahuan, tapi setiap mereka berbeda. Mereka harus diperlakukan dengan cara berbeda." Aini mencoba mencerna kaka-kata Ibu. Teringat kembali dosen Psikologi Pendidikan yang pernah mengajarkan tentang Holistic caracter.

Tingkah laku mereka menunjukkan karakter mereka. Mengapa aku melupakan hal ini? Mereka bukan anak bandel, tapi aku yang tidak memahami mereka. Seharusnya aku mengajar sesuai karakter mereka.
Tiba-tiba saja Aini memeluk Ibu.
“Terima kasih, Bu. Selalu menjadi inspirasiku, aku mau belajar lagi supaya jadi guru seperti ibu."
Ibu tersenyum. Dia percaya Aini akan menemukan kebahagiaan  menjadi seorang guru,  sebagaimana yang selalu dirasakannya.


#cerpen #ceritaguru #belajarnulis   #semuabisanulis  

Senin, 01 Juni 2020

Senandung Cinta Reyna

Reyna hanya tertunduk, bahkan menatap punggung  Dika yang menjauh darinya pun dia tak sanggup. Ada luka yang menimbulkan rasa sakit. Dia menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya untuk menyembunyikan tangis, bahunya yang bergerak naik turun tetap tak bisa menyembunyikan hal itu.
"Dika" Laki-laki itu memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan.
"Reyna"
"Mau kemana?' Lanjut laki-laki yang sebetulnya sudah tidak muda lagi itu. Usianya mungkin sudah memasuki 40 tahun.
"Mau ke kampus"
"Ya udah ikut saya saja. Nanti kamu telat" Walau awalnya ragu, Reyna akhirnya mau memenuhi tawaran Dika. Di mobil Dika sudah ada dua bocah kecil yang menunggu.
"Ini anak-anakku" Dika mengenalkan bocah bocah itu seraya menyuruh anak anaknya untuk bersalaman dengan Reyna.
Honda CRV  melaju dengan tenang meninggalkan mobil bus yang tadi ditumpangi Reyna dan mengalami pecah ban. Pikiran reyna masih diliputi kekhawatiran akan terlambat mengikuti ujian sidang skripsi. Dia sudah mati-matian mempersiapkan semuanya. Dia sudah bertekad untuk mendapatkan nilai terbaik, dia tak mau jika harus gagal gara-gara datang terlambat.
"Kamu buru-buru, ya?"  Dika menyadari kegelisahan Reyna. Dia mempercepat kendaraannya saat melihat anggukan tipis gadis mungil yang duduk di jok bagian tengah bersama salah seorang anaknya.
"Kamu kuliah jam berapa?" Dika berusaha menguraikan diamnya Reyna.
"Saya hari ini akan ujian siding skripsi. Jadwalnya jam Sembilan" 
"Oke, kita akan sampai  seperempat  jam sebelum jam Sembilan. Kamu kuliah di Jalan Surapati, kan? Kamu tidak usah khawatir"
Jam Sembilan kurang sepuluh menit CRV sudah berhenti di depan salah satu gedung di kampus itu.
"Maaf lewat lima menit" 
"Tidak apa. Terima kasih, Pak"  Reyna tidak banyak berbasa basi. Dia langsung lari meninggalkan Dika dan anak-anaknya.
Begitulah awal perkenalan mereka. Jika kemudian tanpa rencana mereka bertemu lagi, sudah barang tentu Reyna tidak bisa menolak ajakan Dika untuk makan siang bersama. Paling tidak sebagai balas jasa karena telah menyelamatkannya dari kegagalan mengikuti ujian sidang skripsi.
Pertemuan demi pertemuan itu akhirnya menjadi kebutuhan yang menimbulkan rasa kangen. Saat ada rentang waktu yang membatasi untuk bertemu, ada rasa sesak yang menekan dada.
Reyna tau, Dika mempunyai istri dan dua anak. Kehidupan rumah tangga  mereka juga tidak dalam masalah. Dika juga sering bercerita tentang kelucuan anak-anaknya. Sekali-sekali Dika juga bercerita tentang kegiatan dia dan istrinya. Tidak ada yg patut membuat Dika harus meninggalkan keluarganya. Reyna hanya bertahan demi rasa cinta yang perlahan-lahan tumbuh di hatinya.
Kelembutan Dika, perhatiannya pada keluarga, juga perhatian dan kepeduliannya pada Reyna telah menjerat gadis itu pada satu keinginan 'memiliki Dika'.
Semakin dia berusaha untuk menjauh dari Dika, semakin kuat rasa rindu yang dirasakannya. Tak ada lagi logika si Cerdas Reyna.  Kebutuhannya untuk selalu bersama Dika telah membuatnya melupakan segala aturan main yang menjadi prinsip hidupnya.
Hingga akhirnya...
"Reyna, spertinya ini pertemuan terakhir kita. Ada yang salah dengan semua pertemuan ini"
"Maksud, Bapak?" Jemari Reyna yang sedari tadi asyik memainkan sedotan dalam gelas milkshake-nya, tiba tiba terdiam kaku. Wajahnya menegang.
"Reyna, selama ini saya tidak pernah berbohong padamu. Saya memiliki keluarga. Kehidupan kami bahagia. Tidak ada yg kurang. Tapi saya telah menghianati mereka dengan menyimpan kamu dalam salah satu ruang hati saya"
"Tapi, Pak. Ini sudah berlangsung lama. Sudah lima tahun. Saya bahkan telah melupakan mimpi-mimpi remaja saya demi untuk selalu dengan Bapak. Saya mencintai Bapak."
    "Reyna...Itu tidak mungkin."
    "Mengapa tidak mungkin? Bapak Egois! Usia saya sekarang sudah 28 tahun. Bapak telah merebut masa masa muda saya dan sekarang?"
    "Reyna...Maafkan saya. Saya tetap pada keputusan saya. Anak-anak saya sudah mulai remaja. Mereka tidak boleh membenci saya. Saya mencintai mereka" Dika bangkit.
    "Reyna....Terima kasih untuk semua hari-hari manis yang sudah kita lalui. Sekali lagi maaf..." Dika pun melangkah meninggalkan Reyna.

Senin, 28 November 2016

Bahagiaku Bersamamu



    Vivi Vilawati

Bagi Reva, seakan tak pernah bosan bermanja-manja di pangkuan sang suami tercinta, memandang wajahnya yang berjerawat, memainkan rambutnya yang super keren “katanya” sampai memijit hidungnya yang mancung,, yaa itulah yang membuat  perempuan 25 tahun itu selalu terlihat bahagia memiliki suami yang sausianya. Hidup bersama Rayhan Saputra dijalaninya sudah hampir satu tahun.  Perempuan yang berprofesi sebagai guru bantu di Sekolah itu seakan tak pernah bisa sehari saja untuk tak bahagia, bukan karena kehidupannya yang layak dan serba mencukupi, namun karena Reva menyadari bahwa segala yang ia miliki semua patut disyukuri , itulah yang selalu membuatnya bahagia menjalani hidup ini.  
Reva yang walau hanya tinggal bersama seorang ibu, tak pernah merasa sedih ataupun kekurangan kasih sayang. Sebelum anak perempuannya itu menikah, Lasmini tak pernah mengabaikan apapun yang diminta anak gadisnya itu, semua kebutuhan Reva dicukupinya dari hasil membuka kios dagangan miliknya. Walau dirinya hanya seorang janda, Lasmini ternyata membuktikan bahwa dirinya mampu mengurus Reva hingga anak gadisnya itu mampu menyelesaikan pendidikan Strata 1 di perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Lasmini sangat perduli pada kehidupan Reva. Mulai dari hal terkecil, sampai pada ketika Reva dilamar oleh Ray pun, Lasmini tetap tak pernah membuat Reva bersedih. Walau sebenarnya Lasmini sudah punya pilihan laki-laki yang lain yang dikiranya pantas untuk Reva. Namun ketika dengan raut muka yang sangat menggambarkan kebahagiaan itu mengatakan
“Ibu, aku sangat mencintai Ray. Empat tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk membuat aku meyakinkan hatiku bahwa Ray adalah laki-laki terbaik yang pernah aku temui di dunia ini”.
 Mendengar perkataan yang begitu mengharukan dari sang anak, akhirnya Lasmini pun membatalkan niatnya untuk menjodohkan Reva dengan laki-laki pilihannya. Reva terlihat sangat tulus ketika mengatakan hal yang membuat hati sang ibu terharu, Reva terlihat penuh harap dengan hubungan yang sudah dijalaninya dengan Ray. Lasmini akhirnya mengiyakan keinginan Reva dan menerima lamaran Ray dan keluarganya.
 “Untukmu anakku, apapun akan aku lakukan” usik Lasmini dalam hati.
Berjalanlah resepsi pernikahan yang sungguh istimewa dan berkesan elit. Keluarga besar Ray yang hartawan sekaligus dermawanlah yang mempersiapkan segala kebutuhan acara pernikahan mereka. Lasmini bersyukur dirinya dapat dipertemukan dengan orang-orang yang baik dan mau menerima ia dan anaknya tanpa memandang derajat.
Bahagianya Reva dan Ray bak Raja dan Ratu di kayangan yang mempunya segalanya. Yaaaaa, segalanya, “cinta diatas segalanya”, begitulah ujar Reva pada Ray ketika mereka bercanda di taman belakang rumah. Bak ratu di istana, Reva tak pernah dibiarkan menyentuh pekerjaan apapun oleh Ray. Semua pekerjaan rumah di tugaskannya kepada pembantu, begitu pula ibu mertua yang sangat dihormatinya itu tak pernah ia biarkan melakukan pekerjaan apapun.
“nak, ibu rasa, kita perlu tinggal di rumah sebesar ini, rumah ibu yang lama kan masih layak untuk kita tempati, lagipula ibu masih terbayang semua kenangan yang terjadi di rumah itu ! “ ujar sang ketika Reva dan Ray hendak masuk ke dalam rumah.
“bukan maksud Ray memisahkan ibu dari kenangan indah itu bu, Ray hanya ingin ibu dan Reva benar-benar merasakan kehidupan yang lebih baik. Maafkan jika ini menggores hati ibu, tapi sungguh, Ray hanya ingin kita bahagia”  jawab Ray dengan penuh harap agar sang ibu mau tetap tinggal bersamanya.
Reva yang berdiri sambil menggandeng tangan Ray hanya tersenyum manis sebelum ia berkata “ibu, dimanapun kita tinggal, yang terpenting adalah kita tetap bersama, iyaa kan buu ?” ujar Reva sambil memeluk Lasmini. “baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Ibu hanya ingin anak menantu ibu bahagia”. Jawab Lasmini sambil membalas pelukan Reva.
Termasuk pula Reva yang akhirnya harus berhenti dari tugasnya sebagai tenaga pendidik. Bukan karena Ray tak menghargai profesinya, namun Ray pikir, istri adalah perhiasan yang harus benar-benar dimuliakan. Maka dari itu, Ray meminta Reva untuk beralih menjadi bidadari di istananya. Berbulan-bulan Ray dan Reva memadu kasih dalam mahligai rumah tangga yang membuat keduanya larut dalam kebahagiaan. Tak ada yang membuat mereka bersedih, walau pertengkaran kecil selalu menjadi bumbu pada pernikahan mereka. Namun, Tuhan tak selamanya memberikan kebahagiaan pada  mahluknya, adakalanya, hadiah Tuhan dibungkus dengan lapisan masalah yang memilukan.
Sore itu, dengan suasana hati yang teramat tegang namun mencoba untuk pasrah, Reva duduk bersandar di bahu Ray yang masih menggunakan stelan jas yang selalu dipakainya ketika bekerja. Setelah menikah Ray, memang beralih jabatan, yaitu sebagai Direktur Utama di perusahaan sang Ayah, itulah sebabnya banyak waktu yang ia habiskan di kantor.
Dengan hembusan nafas yang hampir tak terdengar, Reva mencoba untuk tenang, dan berkata
“Ray, aku tak sanggup jika harus kehilang ibu saat ini juga, aku belum bisa membahagiakannya” .
Ray mengubah posisi duduknya, kali ini Ray lebih terlihat seperti sedang memeluk Reva
“ Sayank, jodoh,rezeki dan kematian itu adalah taqdir-Nya, apapun takkan bisa mengubahnya jika Allah sudah menentukannya”.
Reva terdiam, tanpa terasa, dua butir embun yang sedari tadi ditahannya kali ini harus terjatuh karena kesedihan yang amat mendalam. Ibunda yang divonis positif terkena stroke saat ini sedang berjuang melawan dahsyatnya sakit yang dirasa. Dua bulan setelah pernikahan Reva, wanita paruh baya dengan usia 50 tahun itu sudah tak kuasa lagi walau hanya berjalan ke kamar mandi, darah tinggi yang dideritanya setahun belakangan ini ternyata membuat Lasmini harus berhenti melakukan seluruh rutinitasnya, dari mulai mengerjakan seluruh pekerjaan rumah sampai rutinitas yang selama ini menjadi pengasilannya, yaitu membuka kios di depan rumah pun sudah tak lagi ia lakukan.
“Ray, aku ingin sekali menemani ibu yang mungkin ini akan menjadi saat-saat terakhirnya”
celoteh Reva sebari membenarkan posisi duduknya agar terlihat lebih tegar.
 “Sayank, dokter sedang mencoba memberikan pertolongan pada ibu, sebaiknya kita menunggu saja. Dan bukankah lebih baik kita berdo’a dibanding kita gelisah tak menentu seperti ini”
kata Ray yang berusaha menenangkan sang istri. Reva mengangguk sebari menundukkan kepalanya dan entah apa yang dikatakannya pada sang pencipta, mungkin ia meminta agar Allah menyembuhkan ibu yang selama ini merawatnya. Walau ia tahu, bukan Lasmini yang telah melahirkannya ke dunia ini.
 Banyaknya orang yang berlalu lalang di lorong rumah sakit itu, membuat suasana hati sepasang suami istri itu semakin tak tenang, keduanya ingin segera mengetahui bagaimana kondisi sang ibu saat ini. Jika melihat kondisi di rumah tadi, rasanya taka ada lagi harapan untuk wanita pengidap darah tinggi itu hidup. Badan yang sudah hampir seluruhnya mati, semakin sulit untuk menghembuskan nafas-nafas yang menyambungnya untuk tetap hidup. Lasmini memang tak banyak diobati dengan berbagai alat medis, karena dokter menyarankan, bahwa penderita stroke sebaiknya perlu menjalankan beberapa terapi agak membantu proses penyembuhan otot-otot yang kaku.
Sudah beberapa kali Reva membawa ibunya pada tempat-tempat terapi, namun hasilnya tetap saja nihil. Kian hari keadaan Lasmini kian memburuk. Sedari pagi, Lasmini meringis kesakitan, entah apa dan bagian mana yang terasa sakit kali ini, jangankan untuk menengokkan kepala pada arah samping, untuk mengalihkan pandangan mata saja terlihat sangat sulit, hal inilah yang membuat Reva segera mengambil keputusan untuk meminta pertolongan untuk ibunda pada pihak rumah sakit. Ray yang sedang bekerja, saat itu pun terpaksa harus pulang karena tak kuasa mendengar istrinya menangis ditelpon menceritakan bagaimana keadaan ibunya.
Pintu yang hampir seluruh bagiannya terbuat dari kaca tebal itu mulai terbuka, Reva dan Ray dengan sigap segara berdiri dan menghadap pada seorang dokter laki-laki yang keluar dari pintu besar tadi.
“Dok, bagaimana kondisi ibu saya ?”
Tanya Reva dengan harap-harap cemas. Dokter berkaca mata itu terlihat sulit sekali untuk menjawab, hingga Ray pun angkat bicara
“ Dok, ibu saya bagaimana ? baik-baik saja kan ?”
Tanya Ray sebari melingkarkan tangannya pada bahu Reva, dan ternyata Reva mulai mengeluarkan air mata pilunya. Dengan wajah yang murung dan tak enak untuk dipandang, akhirnya dokter itu pun menjawab
“ Mohon maaf sebelumnya Bu Pak, dengan berat hati saya katakan, ibu Lasmini, sudah tiada. Tekanan darah yang sangat tinggi membuat jantungnya tak mampu untuk memompa darah, sehingga ibu Lasmini tidak dapat terselamatkan. Ibu dan Bapak yang sabar yaaa, saya turut berduka”.
Sungguh bak tersambar petir di siang hari. Badan yang sedari tadi sudah setengah lemas, kali ini dibuat seperti tak berdaya, mata yang mulai deras mengeluarkan airnya dan hati yang sungguh sakit bak tertusuk anak panah. Reva yang menjerit histeris mendengar jawaban itu segera dipeluk erat oleh Ray.
 “Ibuuuuuuuu, jangan tinggalin Reva bu, Reva belum bisa bahagiain ibuuuuuu”.
Dengan isak tangis dan nafas yang tersendu-sendu Reva masuk ke ruang ICU dengan diikuti Ray. Tak kuasa menerima semuanya, dipeluklah dengan erat jenazah sang ibunda oleh anak perempuan yang 25 tahun lamanya menemani hidup sang ibunda dengan penuh suka cita. Sebari menggoyah-goyakan badan sang ibunda Reva terus menangis, Ray yang tak kuasa melihat sang istri hanya mampu menenangkannya dalam pelukan dadanya yang bidang.
2 bulan sudah kepergian ibu. Reva yang mencoba untuk mengikhlaskan segalanya ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Ray yang selalu ada disampig Reva tak pernah kehabisan akal untuk selalu membuat Reva bahagia. Kecintaannya pada Reva yang membuat segalanya menjadi  bukanlah sebuah beban, tapi memanglah sebuah keharusan.  Dan usahanya ternyata tak sia-sia, menjelang bulan ke 4 dari perginya ibunda, Ray dan Reva terkejut dengan hasil tes yang telah dilakukannya pada dokter kandungan beberapa hari yang lalu. Reva positi hamil. Itulah salah satu cara Tuhan memberikan yang terbaik untuk mahluknya. Ketika sang ibunda pergi meninggalkan dunia yang fana ini, maka Tuhan memberikan hal yang paling diharapkan oleh seorang wanita, yaitu seorang bayi yang akan lahir dari rahimnya. Kesedihan yang sudah berlalu diganti-Nya dengan harapan-harapan untuk bahagia dengan dikaruniainya seorang calon anak.

Siapa yang Salah?




Tuti Siti Zahroh
Setiap manusia pasti punya rasa cinta. Cinta yang mesti dijaga kesuciannya.Itulah yang selalu dikatakan oleh ustadz Jefry. Berbeda dengan Zahira, gadis cantik yang setiap lelaki pasti ingin memilikinya. Zahira anak ketiga dari tiga bersaudara. Dia hidup dalam keluarga broken home.Zahira tinggal bersama papanya. Kedua kakaknya kebetulan telah berumah tangga dan telah memiliki rumah sendiri.
Sejak hidup terpisah dengan mamanya, semua kebutuhan Zahira dipenuhi oleh papanya Papanya begitu telaten merawatnya. Ketika masih duduk di bangku SMP, Zahirasudah kelihatan mandiri, hal ini yang membuat sang papa semakin sayang kepadanya.
Pagi ini zahira akanberangkat ke sekolah. Zahira menghampiri papanya  yang tengah menunggu sambil membaca koran dan ditemani secangkir kopi untuk berpamitan.
”Ra, kamu sekolah yang benar, ya.Gapailah cita citamu. Jangan seperti mamamu….ingat jangan dulu pacaran karena pendidikan kamu harus yang menjadi no 1” ujar sang papa saat Zahira mencium tangannya .Zahira mengangguk mengiyakan kemudian berlalu meninggalkan papanya.
Waktu bergerak begitu cepat.Zahira kecil kini sudah menjelma menjadi seorang gadis cantik.Papa yang sangat mencintai anak bungsunya itu mulai diliputi rasa cemas. Dia takut Zahira akan terperosok pada pergaulan anak muda zaman sekarang yang terkadang begitu jauh dari nilai-nilai kebajikan. Kecemasan yang datang karena ketiadaan sosok mama dalam kehidupan Zahira.Kecemasan yang berakibat dia sangat ketat menjaga Zahira.
***
Sore ini Zahira bersama sahabatnya tengah asyik menikmati segelas lemon tea di kantin sekolah.Dia tidak menyadari saat sepasang mata terus tertuju kepadanya.Tak lama kemudian laki-laki yang sedari tadi memperhatikannya itu berdiri dan melangkah menghampiri.
“Hai, boleh gabung di sini?” ujarnya sambil langsung menduduki bangku kosong yang ada tepat di depan Zahira. Zahira dan sahabatnya hanya saling pandang. Laki-laki yang duduk didepannya  itu mengulas senyum. Dada Zahira tiba-tiba berdegup kencang.Laki-laki itu Alif.Pemain basket andalan sekolah mereka.Alif yang dipuja-puja oleh hampir seluruh anak perempuan di seantero sekolah.
Alif ternyata begitu pandai mencairkan suasana.Zahira yang pemalu dan selalu dingin terhadap teman laki-lakinya, kini lebih banyak mengumbar senyum.Pertemuan ini menyisakan kebimbangan di hati Zahira. Alif telah berhasil menciptakan getar-getar cinta di hatinya, tetapi pada saat yang sama, Zahira selalu ingat kata-kata ayahnya.“Jangan berpacaran, sekolah nomor satu!”
Perhatian Alif yang begitu besar terhadap Zahira, pertemuan-pertemuan yang semakin sering terjadi membuat Zahira merasa nyaman mengenal dirinya. Larangan berpacaran dari papanya mulai terabaikan, apalagi Arif selalu meyakinkan dirinya bahwa dia berhak bahagia, dia berhak mencintai dan dicintai.Zahira akhirnya mengangguk setuju ketika Arif mengungkapkan keinginannya untuk menjadi kekasih Zahira.
Sudah dua bulan Zahira berpacaran dengan Alif.Selama ini dia selalu berhasil menutupi semua itu dari papanya.Papa yang sempat curiga dangan perubahan sikap dan penampilan Zahira selalu berhasil diyakinkannya.‘Aku terpaksa bohong pada Papa.Papa yang membuat aku begini.Seandainya Papa seperti papa-papa yang lain, yang memahami anaknya, aku tentu akan jujur pada Papa’ suara hati Zahira, membuat pembenaran sendiri atas semua kebohongannya.
Malam belum terlalu larut saat papa masuk ke kamar Zahira.Awalnya dia hanya ingin berbincang karena beberapa hari terakhir ini dia agak sibuk sehingga kurang berkomunikasi dengan anak gadisnya itu.Zahira telah tertidur dengan pules. Buku-bukunya masih berserakan di atas meja belajar, sepertinya dia kelelahan setelah mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Papa Zahira kemudian merapikan buku-buku itu, tetapi kesibukkannya terhenti saat mendengar dering telepon genggam milik Zahira. Sebuah pesan terbaca jelas pada layar  perangkat seluler itu. ”Ra jangan lupa besok kita bertemu di taman zaini sehabis pulang sekolah.”
“Ra, siapa yang tadi malam sms kamu?” tanya  Papa Zahira tiba-tiba, saat  mereka berada di meja makan untuk sarapan.
“Maksud, Papa?” Rara yang belum menyadari akan keberadaan sms itu balik bertanya dengan wajah polosnya.
“Coba lihat HP-mu!”lanjut papa Zahira dengan tegas. Zahira lalu mengeluarkan telepon genggam dari tas sekolahnya. Wajah Zahira tiba-tiba memucat, tetapi secepat kilat dia menyenggol gelas susu yang ada di depannya hingga terjatuh dan pecah.
“Hati-hati, Ra,” ucap papanya saat melihat Zahira sibuk memunguti pecahan-pecahan kaca yang berserakan di lantai.
Pertanyaan itu diulang lagi oleh papa ketika Zahira berpamitan untuk berangkat ke sekolah, tetapi Zahira telah menyiapkan jawaban yang sangat masuk akal dan mampu membuat papanya percaya.
***
Sudah pukul lima sore, satu-satu pengunjung mulai meninggalkan taman.  Zahira dan Alif masih asik menikmati kebersamaan mereka.Taman yang sepi telah membuat mereka lupa diri, lupa pada batasan-batasan yang harusnya tak boleh dilanggar.
“Dari mana, Ra?Sesore ini baru pulang,” Papa menyambut Zahira dengan muka merah.
“Tadi di taman hujan, Yah.Aku dan Mita nunggu reda dulu. Lagi pula Ara kan sudah bilang mau pergi ke taman dengan Mita, ada  tugas kelompok yang harus kami kerjakan.”
“Tapi kamu kan tidak bilang mau pulang sesore ini?”Papa bersikukuh.
“Pa…Memang Papa mau aku hujan-hujanan terus sakit.Papa mau aku sakit?” Zahira yang sangat tahu kelemahan papanya menggunakan  cara itu untuk meredakan kemarahannya.
***
Sudah sebulan ini Zahira merasa ada yang tidak beres dengan dirinya.Kepalanya yang sering pusing dan perut yang sering mual membuat dia benar-benar cemas. . Diam-diam Zahira melakukan tes kehamilan dengan menggunakan tespeck yang dibelinya di sebuah apotik.Dua garis merah yang muncul pada alat tes kehamilan itu seperti sebuah isyarat kematian bagi Zahira. Terbayang kembali apa yang pernah dilakukannya berdua dengan Alif. Saat itu dia sudah menolak, tetapi Alif terus memaksa sehingga akhirnya dia menyerah.
Semua sudah terjadi.Zahira harus menanggung sendiri semua akibatnya karena Alif tiba-tiba menghilang begitu saja.Zahira juga tak mungkin mengatakan hal ini kepada papanya. Laki-laki paruh baya itu pasti sangat marah, bahkan kemarahanitu  mungkin bisa menghancurkannya, Bagi Zahira hidupnya seakan telah berakhir. Tak ada lagi masa depan yang bisa diimpikannya. Hanya satu yang ada dalam pikiran Zahira saat ini. Dia akan pergi jauh meninggalkan orang-orang yang dicintainya.
Pagi ini, papa Zahira bermaksud membangunkan anak gadisnya yang belum juga keluar dari kamar.Beberapa kali dia mengetuk pintu kamar, tetapi tak juga ada sahutan. Perlahan dia membuka pintu yang ternyata tidak dikunci  lalu  masuk
“Ra…?” panggil papa, tapi tetap tak  ada sahutan.  Dikitarinya seluruh ruangan kamar, tapi dia tak menemukan gadis kesayangannya.Tiba-tiba matanya tertumpu pada sebuah kertas yang terlipat yang berada di atas meja belajar Zahira.
“Pa, Maafkan Ara. Ara bukan anak yang baik.Ara sudah melakukan kesalahan besar.Ara tidak mau Papa ikut menaggung malu karena perbuatan Ara.”
Laki-laki paruh baya itu hanya tercenung. Selama ini dia merasa telah melakukan yang terbaik untuk anak gadisnya, nyatanya…


Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....