Aini, perempuan muda yang dulu merasa terperangkap dalam profesi yang tak diminati, kini ternyata bermetamorfosis. Dia kini menikmati profesi seorang guru. Tak ada lagi keluhan tentang siswa bandel yang mengolok-olok atau yang tak mau melibatkan diri dalam kegiaan belajar. Jika ada cerita yang dibawanya pulang, bukan lagi berupa keluhan, tetapi hanya meminta pendapat ibunya yang dulu seorang guru madrasah.
Aini mengamati dengan teliti setiap lembar tugas siswa yang ada di hadapannya. Tadi pagi dia meminta para siswa menuliskan pengalaman paling berkesan dengan Ayah atau Ibu. Banyak kisah unik yang mereka tulis. Ada yang berhasil merangkainya menjadi cerita yang runtut ada pula yang hanya sekadar menulis beberapa kalimat saja.
Sekarang mata Aini terpaku pada satu tulisan, milik Doni. Anak yang paling sering membuat masalah. Beberapa hari yang lalu berkelahi, sebelumnya kedapatan menyobek lembaran buku paket pelajaran matematika. Hampir semua guru saling menimpali kalau sudah berbicara soal Doni, semuanya berisi penilaian negatif.
Kertas Doni hanya berisi beberapa kata saja.
"Bu, saya tak punya banyak pengalaman dengan mereka. Sejak kecil saya tinggal dengan Nenek karena Ayah dan Ibu saya bercerai. Ibu dan Ayah saya sekarang sudah menikah lagi. Mereka tidak ada yang menginginkan saya."
Hati Aini bergetar. Teringat kembali rasa sedihnya saat Ayah dipanggil yang Maha Kuasa. Beberapa hari dia tak bisa tidur dan hampir setiap hari dilaluinya dengan tangis. Aini beruntung mempunyai Ibu yang tegar, walau hanya guru honor di sebuah madrasah di tengah kampung, Ibu berhasil menyelamatkan hati sekaligus masa depannya.
Pikiran Aini kemudian pada Doni, remaja tanggung berusia 14 tahun. Tubuhnya kurus dengan rambut ikal yang kadang-kadang diwarnai dengan wana kuning atau hijau yang keesokan hari akan kembali berwarna hitam setelah mendapat teguran dari guru BP. Doni yang hampir tak pernah mengerjakan PR dan saat ditegur guru, ada saja alasan yang disampaikannya.
"Bu, tolong baca ini. Nanti aku akan cerita tentang dia," Aini menyerahkan lembar kerja Doni pada Ibunya. Susah payah Ibu membaca tulisan Doni karena tulisan tangannya yang berantakan.
"Kasihan..." lirih suara ibu berkomentar.
"Dia sangat bandel. Guru-guru tak suka padanya," Aini kemudian menceritakan bagaimana kelakuan Doni dan sikap guru-guru padanya.
"Dia butuh cinta,"
"Bagaimana menunjukkan rasa cinta padanya? Dia sulit didekati," Aini bertanya pada Ibu yang sudah makan asam garam dalam dunia pendidikan. Guru madrasah yang selalu dikenang oleh murid-murid karena dia selalu memperlakukan mereka seperti anak kandungnya sendiri.
"Dekati dengan hatimu karena cinta itu harus ikhlas, jika kau gunakan hatimu maka hatinya pun akan tersentuh," Aini manggut-manggut meresapi setiap penjelasan Ibu.
"Nak, siswa-siswamu itu manusia, walau mereka masih sangat muda, perlakukan mereka sebagai manusia. Jadilah gurunya manusia!" Suara azan magrib menghentikan obrolan mereka.
Hati Aini lega. Dia kini tahu apa yang akan dilakukannya besok. Dia harus menjadi gurunya manusia. Memperlakukan semua siswa sebagai manusia yang selalu haus akan cinta dan kasih sayang.
--------
Pagi-pagi sekali Aini sudah mengeluarkan motor. Tas ransel besar menggantung di punggungnya. Dia sudah siap bertempur. Model pembelajaran dan berbagai media telah disiapkan plus notebook 12 inci yang jadi senjata utamanya.
Udara dingin tak menyurutkan semangat Aini. Badannya terbungkus jaket berbahan kaus tebal yang dilengkapi hudi. Helm warna biru muda melindungi kepalanya. Aini melaju di atas jalan aspal yang berlubang di sana sini.
Tiba di sekolah dia langsung menuju ruang TU, meminjam proyektor dan membawanya ke ruang kelas 8B, jadwalnya mengajar jam pertama.
Ada desir aneh di hatinya. Ini kelas Doni, siswa yang selalu menjadi bahan perbincangan di ruang guru, bukan karena prestasinya, tapi karena berbagai masalah yang dibuatnya.
Kelas masih sepi. Hanya ada dua anak perempuan yang baru saja membersihkan dan merapikan ruangan. Aini menyapa dengan mengucap salam, spontan sambil menjawab salam dua anak itu menghampiri dan mencium punggung tangannya. Selanjutnya Aini sibuk merangkai notebook beserta infocus dan berbagai perelengkapan lain yang akan digunakan .
Satu persatu siswa berdatangan setelah menyalami Aini, mereka duduk di kelompknya masing-masing. Kemana Doni? Sebentar lagi pelajaran dimulai, Aini menunggunya.
"Asalamualaikum," suara cempreng sedikit berteriak. Doni si pemilik suara sambil menyeringai langsung menuju tempat duduknya.
"Waalaikum salam," Aini menjawab salamnya dengan tersenyum.
"Senang sekali melihat kamu selalu bersemangat," lanjut Aini lagi, sementara beberapa siswa mulai kasak kusuk, bagi mereka hal aneh kalau ada guru yang mau memuji Doni.
"Baiklah, silakan KM, pimpin doa,"
Seluruh kelas hening, semua berdoa dalam hati masing-masing.
Kegiatan belajar mulai berlangsung, Aini mengamati kegiatan di tiap kelompok. Kelompok terakhir yang diamatinya adalah kelompok Doni. Aini menarik salah satu kursi yang tak berpenghuni ke dekat Doni, di situ dia duduk sambil sesekali bertanya pada Doni tentang materi yang sedang mereka kerjakan.
Cara Aini bertanya sekaligus membantunya menjawab, membuat Doni tidak merasa tertekan. Dia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya bahkan dia kemudian berani menyampaikan pendapatnya sendiri kepada teman-temannya.
Aini tersenyum. Dibelainya punggung Doni sambil berdiri dan kembali ke meja guru.
"Anak-anak, sekarang kita akan mengedarkan bola ini ke seluruh kelas sambil kalian bernyanyi lagu di sini senang, di mana pun bola ini saat lagu selesai, berarti dia yang akan presentas, siap?"
"Siaaaap!" Serentak seluruh siswa menimpali.
Aini bahagia, walau baru satu langkah, dia sudah berhasil membuat Doni fokus pada pelajaran. Tak perlu tergesa-gesa agar dia tetap merasa nyaman, pikirnya.
Terima kasih, Bu, jika bukan karena Ibu, mungkin aku tidak akan pernah tahu rasa bahagia yang hakiki. Walau ibu tak pernah mengecap bangku kuliah, tapi ketulusan hati ibu terhadap siswa telah mengantarkan mereka meraih kesuksesan. Aku bangga jadi anakmu.