Minggu, 22 September 2013

NGIDAM

“Selamat, kamu hamil, Keila. Sekali lagi, selamat. Eh, Baranya mana? Oh ya, aku tahu. Kamu pasti merencanakan sebuah kejutan manis untuk Bara, suami kerenmu itu, jadinya kamu datang ke sini sendirian. Iya, kan? Iya, kan?” Fika terus bicara tanpa memberi kesempatan padaku untuk menyela, memang begitulah kebiasaan dokter ahli kandungan Fika Amalia yang kebetulan sudah menjadi temanku sejak kami dipertemukan di kelas yang sama, bahkan duduk di bangku yang sama.
Aku hanya tersenyum kecil sambil mengedipkan sebelah mataku ke arahnya dan Fika menimpalinya dengan mengacungkan dua jempol tangannya sekaligus.
“Kamu tidak tahu, Fika, kamu memang tidak perlu tahu,” aku membathin sambil melangkah meninggalkan Fika di ruang kerjanya itu. Sehelai kertas yang berisi hasil pemeriksaan urineku yang tadi aku terima dari Fika, aku masukan ke dalam tas, begitu saja.
Tiga tahun yang lalu aku syah menjadi istri Bara, laki-laki tampan yang selalu menjadi bahan pembicaraan antara aku dan beberapa teman perempuanku di kantor. Bukan saja tampan, bara juga cerdas. Berkat ide-idenya penjualan barang yang diproduksi oleh perusahaan kami, terus meningkat dan tentunya memberikan dampak positif juga bagi kami para karyawan.
Bara juga disukai karena dia baik. Dia akan segera mengosongkan isi kantongnya, apalagi bila baru saja menerima bonus, bila aku dan teman-teman meminta traktirannya.
Bara itu perhatian, dia akan rela meluangkan waktunya untuk mendengarkan curhatan kami,bahkan jika harus pulang terlambat sekalipun.
Alu aku jatuh cinta padanya.
Aku mencintai Bara diam-diam. Aku menuliskan semua curahan isi hatiku di sebuah buku kecil bersampul biru langit yang aku beri nama Lulu.
Suatu hari aku dikejutkan dengan sebuah sms yang datang dari Bara.
“Aku ingin menikah denganmu,” begitu bunyi sms itu. Sms itu menimbulkan dampak yang sangat hebat. Aku jadi tolol. Aku tidak menjadikan lamaran mendadak itu sebagai sesuatu yang layak untuk dicurigai. Aku bahkan lupa kalau aku adalah adik kesayangan pemilik perusahaan tempat kami bekerja dan kakakku bisa berbuat apa saja terhadap Bara demi menyenangkanku, adiknya.
Pernikahan itu akhirnya terjadi. Pernikahan yang tidak membuat aku merasa memiliki Bara. Bara tetap menjadi milik dirinya sendiri yang selalu sibuk untuk orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Bara tetap menghabiskan uangnya bersama teman-teman sekantor, katanya “Aku gak mau teman-teman beranggapan aku berubah sejak menikah dengan kamu, nantinya mereka akan menganggap aku sombong.”
Bara juga masih sibuk menjadi tempat curhat bagi mereka yang galau. Dia terlalu sering pulang terambat.
Pada akhirnya, aku harus bisa berkompromi dengan hatiku sendiri. Aku berusaha tetap bahagia walau tanpa perhatian dari Bara.
Aku memasuki gerbang rumah yang sepi. Tidak lama kemudian Bi Nah muncul menyongsongku lalu dia melirik ke dalam mobil mencari sesuatu yang mungkin harus dibawakannya ke dalam. Bi Nah kembali masuk ke dalam rumah saat melihat mobil yang kosong melompong.
Aku melangkah di belakang Bi Nah. Sesampainya di ruang tengah aku hempaskan tubuhku di atas sofa besar yang mampu memuat tubuhku yang memang berukuran kecil. Terlentang sejenak di sana lalu kembali duduk ketika Bi Nah meletakkan secangkir teh hangat di meja yang ada di depanku.
@@@
Sudah hampir satu bulan sejak aku mengunjungi Fika di kliniknya. Aku tidak pernah membicarakan kehamilanku ini kepada Bara. Aku rasa itu tak penting. Kabar itu tidak akan membuat Bara bahagia. Bahkan melihat wajahku yang memucat dan nafsu makanku yang hilang saja dia tak pernah bertanya apa-apa. Ya, sudahlah. Aku anggap saja ini nasibku.
“Keyla, Keyla, Sayang….?” Suara Bara yang bernada riang dan panggilan sayang, yang baru kali ini aku dengar malah membuatku kaget dan hanya duduk terpaku.
“Keyla, kamu di sini rupanya,” Bara muncul di kamar dan langsung memeluk pinggangku dan mengecup keningku. Tubuhku malah menjadi kaku. Terus terang, aku menjadi was-was dan takut.
“Key, kamu mau aku belikan apa? Kamu mau buah manga muda? Atau mau kelapa muda?”
“Aku tidak ingin apa-apa. Tapi sebentar, kamu kok tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Tadi Fika bertanya tentang kejutan yang kamu buat untukku.” Bara berusaha menjelaskan.
“Kejutan apa?” Aku masih saja bingung.
“Sudahlah Key, jangan pura-pura lagi. Aku tahu kamu hamil. Aku tidak ingin anakku nantinya menganggap bapaknya tidak menyayanginya. Makanya aku akan turuti apa yang dia inginkan, sejak dia masih dalam kandungan. Kamu sekarang ngidam apa?”
Jawaban Bara, mugkin seharusnya membahagiakan aku. Tetapi bukan itu yang aku rasakan. Aku kecewa. Semuanya hanya karena bayi dalam kandunganku, bukan karena dia peduli kepadaku.
“Sekarang dia belum ingin apa-apa, Bara. Entahlah kalau nanti malam, besok, atau lusa,” jawabku sambil berlalu meninggalkan kamar menuju ruang televisi.
Sejak malam itu aku tiba-tiba ngidam banyak hal. Mulanya yang biasa-biasa saja, sampai yang luar biasa dan Bara selalu memenuhinya.
Sore ini setelah nonton acara wisata kuliner daerah bogor di salah satu stasiun televisi swasta, aku jadi ingin makan asinan bogor. Aku lalu menghubungi ponsel Bara, yang aku yakin, pada jam segini sedang dalam perjalanan menuju pulang, aku tidak ingin dia terlanjur melewati daerah pasar minggu tempat pedagang asinan Bogor langgananku.
Cukup lama aku menunggu Bara menjawab panggilanku hingga akhirnya,
“Ya, halo. Ada apa, Keyla?” suara Bara di seberang sana.
“Mampir di toko asinan bogor langganan aku, ya…”
“Memangnya, kamu mau apa?”
“Belikan asinan, jangan lupa kerupuknya yang banyak. Oh,ya. Jangan ditambah cabe lagi, perutku suka mules kalau terlalu banyak makan pedas. beli…”
Ucapanku belum selesai ketika aku mendengar suara dentuman keras serta suara teriakan Bara yang keras dan setelah itu sepi…

Bila Cinta Jangan Selingkuh

Akhirnya bagian terakhir novelku, yang telah tertunda beberapa lama, berhasil juga aku selesaikan. Entah mengapa begitu sulit rasanya membuat ending yang meninggalkan kesan untuk cerita yang tengah aku tulis ini. Walaupun akhirnya selesai juga, sebetulnya aku belum benar-benar puas.
Baru pukul sembilan malam tetapi Rahmi istriku telah tertidur pulas. Aku yakin dia pasti sangat kelelahan setelah seharian mengurus rumah sekaligus mengasuh dua anak buah cinta kasih kami. Telah banyak masa yang kami lewati bersama. Tak hanya bahagia tetapi juga duka kami jalani bersama. Rahmi telah buktikan padaku bahwa dia istri yang baik bahkan nyaris sempurna.
Di luar hujan turun sangat deras disertai angin yang bertiup kencang. Hembusan angin dingin yang menerobos melalui ventilasi jendela kamar menerpa tubuhku, aku menggigil dibuatnya. Cuaca akhir tahun selalu seperti ini.
Setelah mematikan laptop dan menyimpannya kembali di dalam laci meja, tempat aku biasa duduk berjam-jam untuk menguraikan semua isi kepalaku, aku lalu menghampiri Rahmi dan mencium keningnya. Rahmi menggeliat tanpa membuka matanya, aku kemudian merapikan selimutnya yang agak tersingkap lalu ikut berbaring di sisinya.
Sudah hampir satu jam aku mencoba tidur tetapi ternyata tidak mudah. Mataku tetap saja terbuka dengan pikiran yang terus menari-nari, melompat kian kemari. Bosan di tempat tidur aku kembali bangkit dan berjalan ke ruang tengah. Di ruang tengah aku menyalakan televisi. Setelah berpindah dari satu kanal ke kanal lainnya dan tidak satupun acara yang mengundang minatku. Televisi kembali aku matikan.
Pilihan terakhirku membaca sebuah novel lama yang ditulis oleh Barbara cartland. Kisah romantic yang selau berakhir bahagia. Sepuluh halaman selesai kubaca, ketika membuka halaman ke sebelas, mataku tertumpu pada sehelai kertas yang warnamya sudah agak kusam. Kuamati kertas itu, sebuah puisi dengan tulisan tangan yang sangat aku kenal. Eka Wijaya, nama penulisnya.
Jantungku tiba-tiba berdegup keras. Kertas kusam itu telah mencuri sepenggal kesetiaanku pada Rahmi. Degupan yang semakin keras telah menumbuhkan rindu dengan sangat cepatnya. Tak ada ragu di hatiku ketika aku menekan beberapa angka pada ponselku. Tak juga harus menunggu lama karena dia segera menjawab ponselku.
“Ya, halo” suara halus di seberang sana semakin mempercepat degup jantungku.
“Maaf mengganggu, belum tidur?” aku berbasa-basi
“Belum, masih menunggu suami pulang.” Jawabnya tenang.
“Oh” aku mulai kehilangan kata-kata.
“Ada apa, Mas? Tumben menelepon.” Lanjutnya lagi.
“Eh, gak ada apa-apa kok, cuman kangen aja.” Jawaban konyol ini meluncur begitu saja dari mulutku.
“Ah, si Mas ini.” Dia hanya tergelak ringan.
“Aku serius lho. Kamu kangen juga, gak?” kembali aku mengajuk hatinya.
“Mas, rasa kagen itu sesuatu yang alamiah, aku juga sering tiba-tiba kangen sama Mas. Rasa kangen itu mungkin karena cerita masa lalu kita tak mudah untuk dilupakan.” Sejenak dia terdiam, akupun hanya menunggu sambil terus berharap dia segera melanjutkan ucapannya.
“Mas, rasa kangen yang tumbuh di hatiku maupun di hati Mas sendiri itu hanya boleh sebatas kangen saja, semua cerita itu telah selesai. Kita sekarang mempunyai kehidupan yang berbeda. Mas dengan istri Mas dan aku dengan suamiku,” lanjutnya.
“Ya, semua memang sudah selesai. Mas minta maaf. Tak ada niatan untuk mengubah semua keadaan ini. Mas hanya terbawa rasa rindu ini saja.”
“Saya mengerti, Mas. Selamat malam.” Klik. Dia mengakhiri percakapan.
“Mas…” Rahmi muncul dari balik pintu kamar.
“Aku di sini, kok bangun?” aku mengembalikan novel ke rak buku berikut puisi yang berada di dalamnya. Kenangan itu akan tetap aku simpan di situ.
“belum tidur, Mas?” Rahmi menghampiri dan duduk di sampingku sambil menyandarkan kepalanya ke bahuku.
“Belum mengantuk.” Jawabku singkat. Kukecup keningnya sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya.
“Maafkan Mas, ya” bisikku pelahan. Rahmi menatapku bingung.
Aku biarkan saja dia dengan kebingungannya. Rahmi tidak terus bertanya karena aku kini tidak hanya mencium keningnya tetapi melumat bibir mungilnya dengan penuh cinta.

Sabtu, 22 Juni 2013

Ini adalah novel pertamaku.
Berkisah tentang Arief lelaki muda yang jatuh cinta kepada gadis belia 14 tahun, Mira.
Jika kemudian Arief harus menikah dengan wanita lain, dapatkah dia benar-benar melupakan Mira?
Kepada siapakah cintanya akhirnya berlabuh?
Untuk mengetahui lanjutan kisahnya, silakan kunjungi Scoop, Qbaca, disana anda dapat membaca dalam format ebook. harga Rp18.000,-
 Kalau ingin versi cetak bisa hubungi penerbit Jentera Pustaka atau melalui @JenteraPustaka, di tweeter nya. Harga sebelum ongkir Rp 39.000,-

Kamis, 04 April 2013

Menunggu Lahirnya "Pelabuhan Hati"

Beberapa hari yang lalu saya menerima email dari penerbit Jentera Pustaka (JP) sebagai konfirmasi atas naskah yang telah saya kirimkan beberapa hari sebelumnya. JP mengabarkan bahwa naskah saya layak untuk diterbitkan. Bagi saya ini adalah kabar  istimewa karena saya memang  sangat  ingin  memiliki setidaknya sebua karya yang dapat dinikmat banyak orang (mudah-mudahan).
Saat ini naskah tersebut sudah berada di tangan Mbak Rina Shu, salah satu editor di JP.  Saya masih menunggu hasil tinjauan Mbak Rina. Bisa saja Mbak Rina Shu meminta saya mengedit bagian-bagian tertentu dari naskah tersebut.  Mudah-mudahan saja tidak terlalu banyak yang harus saya revisi (rasanya seperti sedang menunggu skripsi diperiksa oleh pembimbing)
Naskah novel yang saya kirimkan itu, awanya adalah  sebuah cerpen berjudul “Cintaku Tidak Salah Alamat, Kan?”  yang saya posting di Kompasiana. Ada satu komentar pada postingan tersebut  yang menyerankan saya untuk  mengembangkannya menjadi sebuah novel. Saat  itu saya ragu. Saya khawatir tidk sanggup melakukannya. Saya takut kehilangan ide dan akibatnya cerita itu tidak selesai. Tetapi kemudian entah dari mana datangnya, keberanian itu tiba-tiba muncul. Saya lalu  membuat postingan berseri yang merupakan lanjutan dari cerpen tersebut  bahkan hingga 20 episode. (sekarang sudah saya unpublish )
Setelah sampai pada bagian akhir, lagi-lagi ada komentar yang  mencuri perhatian saya. Kali ini dari seorang teman, Sekar Mayang. Dia  menulis  “Ayo bunda edit  lagi. Siapa tahu bisa diterbitkan dan nangkring di book store”.  Mungkinkah? Saya kembali ragu.
Beberapa hari yang lalu saya ngobrol dengan DP Anggi, melalui fasilitas chating di Facebook. Dia memperkenalkan JP kepada saya dengan mengirimkan linknya plus penjelasan-penjelasan yang saya butuhkan.
Saya menindaklanjuti saran DP Anggi. Naskah saya kirimkan dan beberapa hari kemudian saya menapatkan balasannya, seperti yang saya tulis di bagian awal tuisan ini. Oh ya DP Anggi juga saya mintai tolong untuk membuatkan cover untuk novel tersebut. Kami sudah mendiskusikan desainnya  dan sekarang sedang dalam pengerjaan.
Sekarang saya sedang membayangkan saat kelahiran novel pertama tersebut. Semoga nantinya kawan-kawan juga suka…

Rabu, 23 Januari 2013

Rapuh

 
sumber gambar :ibahpanda.blogspot.com

Susah payah dia berusaha bangkit dari sajadah setelah solat di sepertiga malam.  Tulang-tulang sendinya, terutama pada bagian lutut, sudah beberapa hari ini semakin terasa nyeri. Bukan itu saja, beragam masalah yang datang secara beruntun membuat perempuan tua itu semakin tak berdaya.
Tertatih dia kembali ke pembaringan. Sebelum menghempaskan tubuh tuanya di atas kasur yang tertutup sprei berwarna putih, tangannya meraih sesuatu dari balik bantal. Jam tangan berwarna kuning keemasan sekarang berada dalam genggamannya. Diusap-usapnya benda itu sementara sebutir embun terbentuk di sudut kelopak mata tuanya. Butiran air itu semakin lama semakin menggenang akhirnya melimpah dan membentuk sungai kecil yang mengalir melewati pipi keriputnya.
Nenek Ani, begitu dia biasa dipanggil. Mengusap matanya dengan punggung tangan, tetapi aliran itu malah semakin deras. Dadanya berdebar-debar tak karuan. Jam tangan keemasan itu masih tetap dalam genggamannya. Pikirannya mengukir sosok yang sangat dirindukannya. Suami yang telah meninggalkannya sepuluh tahun lalu. Pemilik jam berwarna kuning keemasan.
Nenek Ani sangat berharap bisa kembali ke masa lalu ketika dia memiliki laki-aki pelindung yang tak pernah membiarkannya bersedih. Tak ada masalah berat yang membebaninya karena lelaki pencintanya selalu dengan segera mengatasi.
Semua sekarang berbeda. Dia harus menghadapi beragam persoalan sendiri. Tak ada tempat berbagi apalagi mengadu. Anak-anak yang seharusnya menjadi tumpuan justru menjadi sumber perkara yang membebani.
Siang tadi perdebatan hebat tepatnya pertengkaran antara anak-anaknya kembali terulang. Galih anak bungsunya bermaksud menjual satu-satunya rumah warisan milik mereka. Kakaknya Galang tidak menyetujui hal itu. Galang merasa itu adalah kenangan indah masa kecil mereka. Galih menuduh Galang egois karena tidak memikirkan kehidupannya yang sedang terpuruk.
Pertengkaran itu sungguh menakutkan bagi Nenek Ani. Ribuan makian bahkan kata-kata kotor berseliweran di pendengarannya, Nada-nada tinggi begitu menghujam dan menusuk-nusuk hatinya. Nenek Ani tidak tahan dengan semua itu. Tubuhnya menggigil tetapi tak ada yang memperhatikan. Semuanya sibuk dengan perjuangan memenangkan egoisme masing-masing.
Sebetulnya Nenek Ani juga tidak ingin menjual rumahnya. Kebanggaan satu-satunya yang dia punya. Di rumah ini semua bermula. Di rumah ini dengan cinta dan kesetiaan yang dimiliki, mereka membangun harapan. Membesarkan anak-anak, memberikan pendidikan yang layak. Menikahkan mereka. Semuanya di sini, di rumah ini. Tetapi, dia juga tak tega melihat kesulitan yang dihadapi Galih.
“Pak…” Tanpa sadar dengan suara lirih nenek Ani memanggil suaminya.
“Ada apa, Buk?” Perempuan tua itu terkesima. Suami tercinta berada di hadapannya,  berdiri tegak dengan senyum lembut dan sorot mata penuh cinta. Jantung Nenek Ani berdebar kencang. Dikucek-kuceknya mata tuanya, tetapi sosok itu tidak juga menghilang,  malah semakin  nyata.
“Ada apa, Buk?” diulanginya lagi pertanyaan itu. Kali ini sambil merangsek mendekati pembaringan tempat nenek Ani berbaring. Senyuman lembut dan tatapan cinta yang sangat dikenali oleh nenek Ani berhasil mengurangi ketegangan yang dirasakannya. Dibiarkannya sosok itu mendekat dan mengusap kepalanya. Rasa tenang menjalari hati Nenek Ani.
“Aku sudah tidak sanggup menghadapi ini sendiri, Pak” Nenek Ani menyelusupkan kepalanya dalam pangkuan lelaki itu.
“Kamu tidak sendiri, Buk. Ada Allah yang pasti menolongmu”
“Tapi Pak… keadaannya sudah sangat berbeda Sejak kau pergi meninggalkan aku dan anak-anak. Semuanya berubah”
“Apa maksudmu, Buk?”
“Anak-anak, Pak….”
“Ada apa dengan anak-anak?. Mereka kan sudah kita bekali dengan pendidikan yang layak. Sudah kita antarkan ke pelaminan. Mereka sudah menjadi manusia dewasa dan sudah harus menjadi manusia mandiri”
“Semuanya tidak seperti yang kita harapkan, Pak. Sudah beberapa hari ini ada pertentangan hebat di antara mereka. Aku takut, Pak”
“Apa yang kamu takutkan? Mereka semua anak-anakmu. Mereka pasti mau mendengar apa yang kamu ucapkan”
“Sekarang tidak lagi! Dahulu mereka mendengarkan aku karena mereka takut sama Bapak. Mereka tidak pernah benar-benar mendengarkan aku Pak. Apa lagi sekarang, aku hanya sosok tua yang hanya menjadi beban bagi mereka. Mana mungkin aku berani menasihati mereka sedangkan hidupku saja bergantung kepada rasa kasihan mereka”
“Bu… Mereka tidak seperti itu. Mereka tetap menyayangi dan mencintai Ibu. Mereka tetap akan mendengar semua nasihat Ibu”
“Pak… Itu tidak mungkin! Mana mungkin mereka saling hardik di hadapaku, bila mereka masih menghormatiku. Mana mungkin mereka saling mengungkapkan kata-kata keras bahkan saling mengancam bila mereka masih menganggapku ada. Aku takut, Pak..” Nenek Ani tak lagi mampu membendung tangis yang telah disimpannya beberapa hari ini. Tubuhnya berguncang dengan hebat. Masih dicobanya menahan isak dengan mengatupkan kedua bibirnya tetapi justru nafasnya menjadi sesak, debaran jantungnya tak dapat lagi dikendalikan. Dipeluknya sosok laki-laki itu, Nenek Ani berharap sosok penjaga dan pelindungnya ini tidak akan pernah meninggalkannya lagi.
Suara azan subuh membangunkan Nenek Ani dari tidurnya. Dipandanginya sekeliling ruangan. Tak ada siapa-siapa selain dirinya. Dilihatnya jam tangan warna kuning keemasan yang masih tergeletak di atas pembaringan. Kembali dikitarinya seluruh ruangan dengan mata tuanya berharap sosok laki-laki yang dicintainya itu masih berada di situ.
“Pak…” Dipanggilnya dengan suara pelahan. Tak ada sahutan. Diulanginya lagi, masih juga tak ada jawaban. Suara nenek Ani semakin keras.
“Ada apa, Buk?” Galang dan Galih muncul bersamaan.
“Mana Bapak?” Pertanyaan Nenek Ani sejenak menghentikan detak jantung mereka berdua.
“Bapak sudah pergi, Buk. Sudah lama sekali!” Galang berusaha menyadarkan Nenek Ani.
“Tidak, Bapak ada di rumah ini. Bapak tidak kemana-mana” Nenek Ani bersikukuh
“Tapi, Buk …” Galih tak melanjutkan ucapannya, Dia bingung menghadapi sikap aneh Nenek Ani.
“Bapak ada di sini !!, Bapak akan mengatasi semua masalah kita. Ya… Bapak yang akan mengatasinya. Ibu tidak mampu. Hanya Bapak yang mampu !!. Ibu hanya perempuan tua bodoh. Tak ada yag akan mendengarkan kata-kata Ibu. Mana Bapak??… Mana??.”
Galih dan Galang hanya saling pandang. Rasa sesal menguasai hati mereka. Mereka telah lupa menjaga hati Ibunya. 


Giska Mogok Sekolah





Upacara bendera senin pagi baru saja usai, Ibu guru Anisa, melangkahkan kakinya dengan ringan menuju kelas VII A. Kelas yang menjadi asuhannya sebagai wali kelas. Sudah menjadi kebiasaanya memberikan pembinaan disela-sela istirahat menjelang pelajaran pertama hari senin di mulai.
Memasuki ruang kelas, Didapatinya para siswa sudah berkumpul. Mereka memang telah membuat kesepakatan untuk selalu bertemu di senin pagi, tentunya bila upacara tidak berakhir terlalu siang.
“Assalamu’alaikum” Sapanya dengan ramah sambil melangkah menuju meja guru yang berada di sebelah kanan bagian depan ruang kelas itu. Anak-anak yang tadinya masih bergerombol di beberapa sudut bersegera menuju bangkunya masing-masing.
“Wa’alaikum salam” Serempak mereka membalas salam itu.
“Bagaimana kabar kalian pagi ini?. Mudah-mudahan semuanya sehat dan membawa semangat yang tinggi untuk belajar”
“Baiiiik, Siaaaap” jawab para siswa dengan penuh semangat”
“Siapa yang tidak hadir hari ini?”
“Giska, Buuuuu”
Bu Nisa mengernyitkan dahinya. Giska adalah murid yang baru masuk di sekolah ini tiga hari yang lalu. Sebelumnya dia sekolah di SMP yang ada di Ibu kota Provinsi. Setahu Ibu Anisa, Giska adalah anak yang rajin dan penuh semangat, itu diketahuinya ketika mereka sempat bertemu dan berbincang di hari pertama ketika dia diantar orang tuanya untuk mendaftar.
“Ada pemberitahuan atau surat dari keluarganya tidak?”
Beberapa anak langsung berteriak “Tidaaaak” sementara sebagian yang lain masih menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan.
Setelah beberapa saat, akhirnya perbincangan akrab itupun berakhir.
“Baiklah, sebentar lagi pelajaran pertama akan segera dimulai, jangan lupa tetap semangat dan…”
“Siap meraih prestasi” lanjut anak-anak dengan penuh semangat.
Sesampainya di ruang guru, Ibu Anisa masih memikirkan ketidak hadiran Giska yang tanpa kabar. Sempat terpikirkan untuk menelepon orang tuanya, tetapi bu Anisa belum menyimpan nomor kontak mereka, begitu juga di bagian Tata Usaha sekolah, Dia juga tidak mendapatkannya.
Bu Anisa sejenak berhenti memikirkan masalah Giska karena harus melaksanakan tugas mengajar di kelas VII B dan VIIC. Hari ini dia biarkan berlalu tanpa mendapatkan kepastian tentang ketidak hadiran Giska. “Mungkin mereka sekeluarga masih sibuk dengan berbagai urusan, mereka kan baru pindah beberapa hari yang lalu” pikirnya mencoba meredakan rasa penasarannya.
_________@@@@@_____
Udara segar pegunungan mengiringi langkah Ibu Anisa menuju ke sekolah. Tepat pukul 07.00, Ibu Guru muda yang cantik itu sudah memasuki gerbang sekolah dengan kendaraan Yamaha Mio-nya. Satu tekadnya ingin mengetahui apakah Giska hari ini hadir di sekolah atau tidak.
Bel masuk belum lagi berbunyi, Bu Anisa telah berada di depan kelas VII A, Dia tidak menemukan Giska di sana.
“Ada yang melihat Giska?” tanyanya kepada sekelompok anak yang berada di depan kelas.
“Tidak, Bu” Jawab mereka hampir berbarengan.
Bu Anisa menyapu semua sudut yang terjangkau pandangannya. Giska tidak juga ditemukan.
“Hari ini saya tidak ada jam mengajar, saya mohon izin untuk mengunjungi Giska, murid baru itu, Pak. Sampai hari ini dia belum juga masuk” Ibu Anisa meminta izin untuk melakukan home visit.
Rumah dinas yang ditempati keluarga Giska terlihat lengang, Ibu Anisa melangkah ragu memasuki halaman rumah itu. Sebelum Dia sempat mengetuk pintu seorang ibu muda kira-kira berusia 37 tahun muncul dari balik pintu dan menyambut Ibu Anisa dengan ramah.
“Oh, ada Ibu guru rupanya. Silakan masuk, Bu…?”
“Anisa” Bu Guru Anisa menyebutkan namanya
“Oh ya, Ibu Anisa, maaf, mungkin karena baru bertemu satu kali, saya belum hafal nama Ibu” Ibu guru Anisa hanya tersenyum. Mereka kemudian beriringan masuk dan duduk berhadapan di ruang tamu.
Setelah sedikit berbasa-basi, akhirnya Ibu Annisa mengutarakan maksudnya. Pembicaraan berubah serius, air muka orang tua Giska pun terlihat berubah. Senyum yang sedari tadi mengembang tiba-tiba menghilang.
“Saya juga cemas dan bingung, Bu. Saya sudah berusaha membujuknya tetapi sampai tadi pagi dia masih belum mau diajak bicara. Dia terus menerus mengurung dirinya di kamar”
“Ibu sudah tahu, apa sebetulnya yang terjadi pada Giska?” Ibu Anisa mencoba mencari tahu.
“Itulah, Bu Guru. Giska selalu bungkam setiap kali saya tanyakan alasannya, jika saya agak keras dia menangis dan masuk ke kamarnya”
“Boleh saya bertemu Giska sekarang, Bu?”.
“Silakan, Bu Guru, mari saya antar ke kamarnya”
Kamar Giska berada di dekat ruang makan, pintu kamar itu tertutup rapat.
“Giska, ini ada Ibu guru Anisa, kami boleh masuk kan?” Ibu Anisa sedikit terkejut sekaligus kagum mendengar kata-kata ibu Giska itu. Meskipun Anisa masih kecil tetapi ibunya sudah menghargai privasinya.
“Ya, ma. Giska saja yang keluar” Giska muncul dari balik pintu, kemudian mencium tangan Bu Guru Anisa. Bu Anisa beserta Giska dan mamanya kembali menuju ruang tamu.
“Giska, apa kabar?, Ibu kangen sama Giska”
“Baik, Bu” jawaban Giska sengkat saja.
“Ibu ingin Giska kembali ke sekolah” lanjut Ibu Anisa
Giska hanya diam dengan kepala tertunduk. Samar terlihat dia menggeleng lemah.
“Giska marah sama Bu Guru?” kembali Ibu Anisa membujuk dan kembali Giska menggeleng.
Pertemuan Ibu Anisa dan Giska hari ini belum membuahkan hasil sesuai yang diharapkannya. Ibu Anisa akhirnya berpamitan dengan satu tekad “Aku harus tahu, apa yang terjadi sebenarnya”
___________________@@@@@____________________
“Windi, Giska waktu hari jum’at sebangku dengan kamu, kan?” Bu Anisa mulai menanyai beberapa murid kelas VIIA, Dia tidak memanggil mereka ke ruang guru ataupun ke ruang BP. Ibu Anisa melakukannya di kantin.
“Iya, Bu” jawab Windi polos.
“Giska tidak bercerita apa-apa?, misalnya dia tidak ingin pindah ke sini, atau dia marah atau kecewa pada seseorang?”
Sejenak Windi mengingat-ingat apa yang telah Dia dan Giska lakukan selama hari Juma kemudian dia menggeleng. “Tidak, Bu, Dia tidak mengatakan apa-apa. Keliatannya sih dia senang sekolah di sini” lanjut Windi.
“Selain bersama kamu, hari itu Giska bermain dengan siapa lagi?”
“Hari itu Giska hanya bersama dengan saya, Bu. Bahkan saat pulang sekolah dia mengajak saya mampir ke rumahnya”
Ibu Guru Anisa mencatat setiap jawaban yang dianggapnya penting layaknya detektif professional yang tengah menyelidiki sebuah kasus besar.
“Mega, waktu hari Sabtu, Ibu lihat saat istirahat kamu bersama Giska, betulkan?”
“Iya, Bu” Mega menjawab dengan raut wajah sedikit bingung. “Memang kenapa Bu?” Dia balik bertanya.
“Tidak ada apa-apa, Ibu hanya ingin tahu mengapa tiga hari ini Giska tidak datang ke sekolah”
“Mungkin Dia sakit, Bu” Mega menduga-duga. Ibu Anisa hanya tersenyum.
“Kamu sempat melihat hal aneh atau apalah…yang pasti sebuah kejadian terhadap Giska pada hari itu?” lanjut Ibu Anisa
“Maksud ibu, hal aneh apa Bu?” Mega masih bingung.
“Misalnya, ada teman yang menjaili Giska atau ada yang mempermalukannya, atau ada yang menakut-nakutinya, seperti itu”
“Oh iya, Bu. Waktu itu…” Tiba-tiba terdengar suara menyela dari samping kanan Ibu Anisa. Mila berdiri di situ dengan senyum manisnya.
“Oh, kamu Mila, apa yang terjadi pada Giska pada hari itu?”
“Giska bilang, dia ingin ke toilet dan minta antar kepada saya, karena saya males nganternya, saya tunjukkan saja tempatnya”
“Lalu, Giska pergi sendiri ke toilet?”
“Iya, Bu. Tapi cuman sebentar, saya lihat dia lari ke kelas. Mukanya pucat”
“Apa yang terjadi dengan Giska?”
“Gak tahu, Bu”
Ibu Anisa mulai merasa menemukan titik terang, untuk memperjelas masalahnya diapun melanjutkan penyelidikannya ke toilet siswa.
Masih dua meter menjelang pintu toilet, ada aroma menyengat yang menusuk lubang penciumannya. Ibu Anisa terus masuk, suasana mencekam menyergapnya. Matanya tertumpu kepada sarang laba-laba yang bergayut di langit-langit, hampir menutupi setiap sudut ruangan itu. Saat melihat ke lantai, beberapa keramik telah terlepas. Pada bagian yang terlepas itu telah ditumbuhi oleh lumut dan berwarna hijau kehitam-hitaman.
Ibu Anisa terus bertahan, lalu pandangannya diarahkannya ke dinding yang sudah tidak jelas warnanya. Kepala Ibu Anisa mulai terasa pusing, perutnya mual. Dia menyerah dan bergegas meninggalkan ruangn itu.
_________________@@@@@_______________
“Pak, saya ingin mengusulkan sesuatu” Pagi ini Ibu Anisa kembali menghadap Bapak Kepala Sekolah di ruangannya.
“Silakan, siapa tahu usulan itu memang kita perlukan” Sambut Bapak kepala sekolah dengan ramah.
“Saya ingin mengajak seluruh warga sekolah, mulai dari penjaga, siswa, juga, maaf, Bapak tentunya bergotong royong membersihkan dan merenovasi kamar mandi siswa.
“Kalau merenovasi, dananya belum ada, Bu”
“Saya pikir, kita tidak butuh dana terlalu besar, Pak. Paling-paling hanya untuk membeli cet dan sedikit semen, untuk tenaga dengan bergotong royong saja” Ibu Anisa begitu bersemangat menyampaikan usulannya.
“Ibu, yakin bisa mengondisikannya?”
“Dengan izin dan dukungan Bapak tentunya
Tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengatasi hal itu, Sehari berselang ruang toilet siswa itu sudah sangat bersih dan sehat.
Ibu Anisa dengan senyum mengembang dan penuh keyakinan menyampaikan hal itu kepada Giska. Sejak hari itu Giska kembali ke sekolah.


Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....