Minggu, 09 Desember 2012

Pernikahan Kita Tinggal Dua Hari Lagi




Mulanya biasa saja, seperti perkenalan-perkenalan lain yang pernah kualami, menyebutkan nama kemudian berbasa-basi, bertanya mengenai hal-hal umum, setelah itu, bila kebetulan ada kesempatan lain untuk bertemu, cukup dengan kata “Hallo.., apa kabar, kamu yang pernah ketemu di..di....dst dst...”. atau bahkan hanya memandang ragu-ragu sambil berbisik kepada seseorang “Perasaan familiar deh, siapa dia?" 

 “Halloo, kamu Fe kan ? Ferlita yang tinggal di daerah Rawa mangun dan kuliah di fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia? punya Hobby membaca buku-buku fiksi dan sekali-sekali menulis di majalah kampus..?” cowok ini terus nyerocos dalam bis kota yang kami tumpangi. Di antara suara cempreng anak kecil pengamen yang bernyanyi sambil memukul-mukul kaleng bekas sof drink, juga teriakan kondektor yang dengan semangatnya memanggil-manggil penumpang “Mangun....mangun....mangun.....!!!”, Bau keringat yang bercampur aroma berbagai merek parfum tidak lagi menggangguku, sudah biasa, aku berusaha keras mengingatnya tapi hasilnya nol besar. Pertemuan ini tanpa rencana dan tanpa janji sebelumnya. 

Sementara aku hanya bisa bengong, berusaha mengenalinya lagi, dan berpikir keras di mana aku pernah bertemu dengannya sebelum ini?. “ he eh....iya, betul..betul...”, hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku, Gila ...siapa cowok ini? Begitu detil dia tau tentang aku..jangan-jangan dia berniat memperdaya aku dengan sebelumnya menguntit dan mencari tau, supaya aku percaya dan membuka diri lalu...hiiih......serem!!

 “Bagaimana perkembangan aktifitas tulis menulisnya? Sudah merambah penerbitan umum belum?” tanyanya kemudian. 
 “Sudah mencoba, tapi belum goal...”jawabku sekedarnya. 

 Sejak pertemuan di bis kota itu, banyak pertemuan-pertemuan lain yang terjadi, lama-lama aku pun menjadi akrab dengannya. Dia adalah Deris, aku bertemu pertama kali dengannya ketika diajak kakakku menghadiri reuni bersama teman-teman SMPnya. 

 Mulanya biasa saja tapi kemudian pertemuan demi pertemuan itu telah menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku. Kisah cintaku dengan Deris berjalan sangat mulus, nyaris tanpa pertengkaran, kalaupun ada perdebatan, itu hanya perdebatan kecil sebagai bumbu penyedap hubungan itu saja. 

Deris dan aku selalu berusaha menjaga keutuhan serta kesucian nilai-nilai indah yang kami namai cinta itu. Pernah suatu ketika aku, Deris, libur bareng dengan salah seorang teman sekantornya yang juga membawa kekasihnya. Kami menginap di sebuah losmen yang memiliki 2 kamar, aku tidur bersama kekasih teman Deris itu,Wiwin namanya, sedangkan Deris tidur sekamar dengan temannya. 

 Tengah malam aku terjaga, adalah kebiasaanku apabila menginap di luar rumah pasti tidurku tak nyenyak, alangkah kagetnya aku, Wiwin yang tadi tidur sekamar denganku, tidak lagi kulihat, jam di Hpku menunjukkan sudah pukul 02 dini hari. Kemana dia?, kucoba menajamkan pendengaranku, sambil terus clingak clinguk ke seluruh ruangan, Wiwin tetap tidak kutemukan. Aku khawatir terjadi sesuatu dengannya. 

 Akhirnya aku putuskan untuk melihatnya di luar kamar, kubuka pintu kamar perlahan, aku tak ingin suara deritannya mengagetkan semua orang, lho...?! yang aku temukan justru Deris yang tertidur nyenyak di sofa. 
 “Der...Deris...” kusentuh tubuhnya perlahan, tidak tega sebetulnya membangunkannya dari tidur nyenyaknya. 
 “Eh.....kamu Fe, ada apa? Jam berapa ini?” Deris menjawab sambil menguap dan mengucek –ngucek matanya, mukanya lecek, tapi itu tetap indah dimataku.
 “jam 2 lewat” “oh..., kenapa bangun..ada apa?”
 “Wiwin menghilang, Aku takut sendirian...tapi kamu kenapa tidur di luar?” 
 “Enggak kenapa-napa, udah balik lagi sana ke kamar, gak usah takut, aku ada di sini kok” “tapi… Bagaimana dengan Wiwin? Dia kemana?” tanyaku lugu, atau malah nampak Oon di mata Deris 
 “Ada.!, udah jangan banyak tanya, tidur lagi ke sana..” Deris membimbingku, atau tepatnya mendorongku ke depan pintu kamar. Dan dia kembali meneruskan tidurnya. Itulah Deris, Dia tidak memanfaatkan keadaan, Dia memilih tidur di luar, karena temannya meminta Dia dan wiwin tukaran kamar. Semua berjalan sesuai rencana, harapan dan impian yang aku dan Deris bangun pun tak mendapat halangan dari sesiapapun, Deris dan keluarganya akhirnya memintaku dari orang tuaku, Mereka meminangku, setelah kami membina cinta ini selama 3 tahun.  

 Pernikahan itu tinggal satu bulan lagi, aku dan Deris sibuk mempersiapkan semuanya, kami ingin semuanya sempurna, sesempurna cinta kami, termasuk untuk foto prawedding, kami memilih puncak yang romantis, di sebuah villa milik keluarga Deris yang dipenuhi bunga beraneka warna. 

 Usai kegiatan pemotretan, aku dan Deris memilih beristirahat dulu di villa, sementara tim pemotretan sudah mendahului pulang. Udara dingin yang mengantarkan semilir harum bunga, terasa semakin indah di saat Deris memeluk erat tubuhku, kami begitu menikmati syahdunya kemesraan itu. Pelukan Deris semakin erat, dan debar-debar kencang di hati kami telah meluruhkan semua yang kami pertahankan selama ini, aku sempat mengingatkan deris untuk bersabar 


“Der..tinggal sebulan lagi, sabar” 
 “Apa bedanya? Toh aku sudah pasti akan jadi suamimu?” 
 “Tapi Der....?” 
 “Fe, sebulan itu terlalu lama untukku merasa memilikimu seutuhnya, padahal semuanya kan sudah pasti, Fe, tak akan ada lagi yang bisa memisahkan kita, pernikahan itu hanya soal melegalkannya saja sayang, kau pasti menjadi istriku, dan aku adalah suamimu, sekarang atau sebulan lagi, sama saja Fe….” 

Seribu bahkan mungkin sejuta setan akhirnya menari-nari mengiringi helaan demi helaan nafas kami 

Persiapan pernikahan itu sudah hampir mencapai akhirnya, dua hari lagi !!, Suasana rumahku sudah nyaris seperti persiapan penyelenggaraan pasar malam, semua saudara mama dan papaku yang berada di luar kota telah berkumpul, rumah penuh sesak, semuanya sibuk dengan berbagai aktivitas, ada yang sedang meronce bunga, memask kue-kue tradisional, mencoba baju-baju kebaya yang sudah dipersiapkan untuk dikenakan pada hari H nya nanti. 

Aku sangat bahagia, kebahagiaan itupun ada pada mama, papa, dan Kak Rey, yang juga teman Deris.
 “Hebat kamu Fe, kamu tidak seperti gadis-gadis lain yang selalu gonta-ganti pacar, yang lebih parah lagi ada yang akhirnya terpaksa menikah karena kecelakaan alias tekdung” aku hanya tersenyum dengan pujian dari adik mama itu, habis mau apa lagi, aku kan gak mungkin bilang pada tanteku bahwa sebetulnya aku juga gak beda dari mereka.


 Pukul 23.00 pada saat sebagian orang sudah mulai beranjak ke pembaringan, Hp ku berdendang, Suara agnes Monika yang melantunkan “Karena Kusanggup” itupun ku raih, mama Deris meneleponku, masih ada saja yang perlu dikompromikan lagi pikirku, kudekatkan HP  ke telinga,
 “Hallo ma, selamat malam..” 
 “Fe…cepat kemari nak!, Deris... Deris...Dia… Dia kecelakaan...keadaannya sangat parah... jangan sampai terlambat Fe... kata dok…” Tiba-tiba tubuhku lemah, tak sanggup lagi aku berdiri, semuanya hancur… dan akupun ambruk…

 Awal Desember 2011

Sabtu, 01 Desember 2012

Cara Jitu Memilih Pacar

                Jalan-jalan jum’at sore bersama anak pertamaku, sambil menemaninya menghilangkan rasa galau akibat putus dengan pacarnya. Perjalanan kurang lebih 13 km, jarak dari Menes ke Labuan kami isi dengan ngobrol santai diselingi memberikan masukan yang dibutuhkannya untuk menghilangkan rasa galaunya.
Sesampainya di Labuan, aku menghentikan kendaraan di depan toko Kakak tertuaku. Biasanya kakakku ini punya trik-trik jitu ngobrol dengan para ABG walaupun pada kenyataannya komunikasinya dengan anak-anaknya sendiri agak keteteran. Ini memang mengherankan bagiku.
Setelah memastikan kendaraan terparkir dengan benar, kami langsung memasuki ruang bagian dalam toko. Di sana kutemukan kakakku sedang asyik menonton televisi di temani istrinya. Nida, nama panggilan anakku, langsung menuju tempat tidur yang ada di ruangan itu dan seperti kelakuan ABG –ABG lainnya sambil berbaring dia mulai menekuni Handphone yang ada di tangannya. Update status, itu yang dilakukannya.
Setelah menikmati es kacang hijau yang disuguhkan istri kakakku, tiba-tiba obrolan kami sampai pada tujuanku. Kakakku berhasil menggiring obrolan pada masalah yang dihadapi anakku. Hingga akhirnya anakku itu bertanya bagaimana caranya memilih pacar?
Menyimak percakapan om dan keponakan itu, aku mulai mencatat point-point penting dalam benakku, terutama jawaban tentang bagaimana memilih pacar atau pasangan hidup. Kesimpulan yang aku peroleh begini:
Untuk menentukan seseorang layak tidak kita jadikan pacar, caranya ternyata mudah, ingat saja papa. Nah lo. Kok papa sih?, ternyata papa itu sebuah akronim, bila diuraikan sebagai berikut,
P yang pertama adalah Performance, Pilih pacar yang performance-nya menarik, bukan berarti harus seganteng Rafli Ahmad atau Andika, jika perempuan tidak pula harus secantik Laudia Cintya Bella atau Bunga Citra Lestari, yang terpenting dia pantas dan tidak membuat kamu merasa malu memperkenalkannya kepada teman-temanmu.
A, yaitu Agama. Pacar kamu harus seiman dan patuh terhadap ajaran agama. Pacar yang tidak seiman sudah dapat dipastikan akan mengalami banyak kendala.
P, selanjutnya Prospek. Pacar kamu harus memiliki prospek. Itu dapat dilihat dari kesungguhannya mengapai impian-imian masa depannya. Serius menekuni pendidikan/pekerjaannya.
A, yang terakhir adalah ahlak, maksud akhlak di sini adalah kepribadian. Cari pacar yang berakhlak baik, dengan akhlak yang baik dia akan memperlakukan kamu dengan baik pula.
Nah bagi anda yang sama galaunya dengan anak saya terutama sedang bingung menentuka siapa yang layak anda jadikan pacar ingatlah papa, mudah-mudahan anda tidak salah dalam memilih.
Satu hal lagi, ini tentang citra diri, untuk mendapatkan pacar yang sesuai dengan papa tadi, maka buatlah citra diri anda juga baik dan layak untuk mendapatkan pacar seperti itu. Citra diri harus dibentuk, bagaimana membentuknya? Sebetulnya tidak terlalu sulit lakukan sesuai dengan rumus di bawah ini:
S+S+S+… = P
P+P+P+…= C
Apalagi ini?
S = sikap, P= Penilaian, dan C = Citra diri.
Setiap sikap yang kita perlihatkan kepada orang lain akan menghasilkan penilaian dari orang lain. Misalnya anda selalu ramah, selalu sopan, selalu peduli, maka penilaian orang terhadap diri anda pasti positif. Selanjutnya bila penilaian-penilaian positif ini datang dari banyak orang, maka citra diri anda yang terbentuk juga positif.
Memiliki citra diri positif pasti akan menjadikan diri anda sosok yang disukai banyak orang dan itu tentunya sangat menyenangkan. Maka tebarkanlah sikap-sikap positif agar hidup anda bahagia.
Salam…
  

Minggu, 19 Februari 2012

CINTAMU YANG MENGUATKANKU


      Matahari baru saja melepaskan diri dari rengkuhan malam, kabut tipis membuat cahayanya meredup dan terlihat kelelahan, bulir-bulir sisa hujan yang tersangkut di atas dedauan semakin menyempurnakan kemuraman pagi ini.

      Ayudya masih saja tergeletak lesu di atas pembaringan, tak dimilikinya lagi semangat untuk melakukan sesuatu apapun. Matanya merah dan sembab akibat menangis semalaman.
Ayudya adalah gadis yang dibesarkan dalam keluarga yang teramat sempurna, Ayah dan Ibunya telah menjadikannya gadis cantik penuh pesona, Dia tidak saja cantik secara lahiriah tetapi juga memiliki sikap dan prilaku secantik rupanya.
Saat remaja, dia menjadi panutan kawan-kawan sebaya, Dia juga menjadi gadis yang disayangi oleh lingkungan sekitarnya. Sebagai gadis yang lulus kuliah secara cum loud, Ayudya sangat dikagumi sekaligus disegani.
          Kesempurnaan yang dimilikinya sebetulnya tidak membuat hidupnya menjadi mudah tetapi sebaliknya, Ayudya selalu merasa kesepian, tidak ada kekasih yang mengunjunginya di malam minggu karena Ayu tidak memiliki kekasih, tidak ada teman yang menjemputnya untuk sekedar jalan-jalan di mall atau aktivitas-aktivitas lain yang selalu dilakukan gadis-gadis seusianya karena mamanya tidak suka bila dia melakukan hal-hal seperti itu. Terkadang dia ingin memberontak atas keadaan ini, tetapi mama dan papanya selalu berhasil membuat dirinya tidak melakukan pemberontakan itu.
Hingga pada suatu hari,
“Ayudya, coba ke sini…” suara mama yang sangat disayanginya memanggil dari ruang tamu
“Ya.. mam…” Ayudya menyahut seraya menghampiri mamanya, di ruang tamu di dapatinya mamanya sedang bersama dengan seorang wanita yang usianya sepertinya sama dengan usia mamanya juga seorang pemuda tampan dengan penampilan yang elegant.
“Ayudya, ini tante Rina teman mama, ingin berkenalan denganmu, dan ini anak tunggalnya, Rio!” Tante Rina dan Rio serentak berdiri serta mengulurkan tangannya ke arah Ayudya, Ayudyapun menyambut perkenalan itu dengan ramah.
Perkenalan Ayudya dan Rio pada siang itu ternyata tidak berhenti sampai di situ, dengan dukungan mama dan papanya juga tante Rina tentunya, akhirnya Ayudya dan Rio semakin dekat hingga kemudian mereka menikah.
Ayudya memasuki kehidupan perkawinannya dengan hati bersih, tanpa curiga, tanpa prasangka, Dia sangat percaya kepada pilihan ke dua orang tuanya, Dia yakin bahwa mama dan papanya pasti memilihkan laki-laki terbaik untuknya.
Rio memang suami yang baik, Rio sangat perhatian terhadap dirinya bahkan memanjakannya, sebagai suami Dia memang laki-laki sempurna, apalagi sebagai anak tunggal dari seorang penggusaha yang sukses, kehidupan ekonomi merekapun sangat terjamin.
Satu tahun di awal perkawina mereka adalah masa-masa yang sangat indah dan penuh kebahagiaan, hingga tiba-tiba Ayudya merasa ada yang berbeda pada dirinya, perutnya seringkali mual dan kepalanya terasa pusing.Ketika Ayudya menyampaikan hal ini kepada suaminya, Rio malah bersorak-sorak kegirangan sambil memeluk dan menciuminya,
“Istriku hamil, istriku hamil” Rio terus mengulang-ulang kata itu tanpa mempedulikan Ayudya yang kaget dengan responnya itu.
“Mama, Ayudya hamil, aku akan jadi ayah!!” Riopun mengabarkan kegembiraannya itu kepada mamanya
“Mas…sadar mas, aku belum tentu hamil, kok sudah sesumbar gitu sih? Bagaimana kalau aku tidak hamil?” Ayudya mencoba menyadarkan Rio yang terlalu yakin atas dugaannya sendiri itu.
“Ok, kita ke dokter sekarang, kamu pasti hamil!” Rio tetap yakin dengan pikirannya.
“Kita kan bisa memeriksanya sendiri, gak perlu ke dokter dululah, Mas” usul Ayudya
“Ah, tanggung … kita ke dokter saja, ayo ganti bajumu” Rio setengah mendorong tubuh Ayudya ke kamar.
Ruang tunggu klnik bersalin yang mereka datangi sudah dipenuhi banyak pengunjung, ini memang klinik terbaik yang ada di kota tempat mereka tinggal.
Ayudya menunggu dengan gelisah, pikirannya dipenuhi kecemasan, Dia sangat hawatir jika ternyata hasi pemeriksaan nanti tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, sebagai seorang istri, dia seringkali merasa tidak sempurna karena setelah satu tahun usia pernikahan mereka dia belum juga hamil. Ayudya takut bila hal ini membuat Rio meninggalkannya.
Setelah menunggu agak lama, akhirnya perawat memanggil nama Ayudya, Ayudya melangkah dengan berdebar-debar, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya sedangkan Rio melangkah dengan penuh keyakinan dan ini semakin mencemaskan Ayudya.
Usai menjalani pemeriksaan, dokter menuliskan resep untuk Ayudya seraya menjelaskan bahwa Ayudya hanya mual-mual biasa, begitu ringan cara dokter itu menyampaikannya tetapi begitu menyakitkan untuk Ayudya, Dia pun tertunduk lesu, Dia betul-betul kecewa dengan kenyataan ini, ada bulir bening yang tertahan di balik kelopak matanya, diberanikannya menoleh ke arah Rio, Rio lalu menggenggam tangannya seraya berkata “Jangan sedih, belum waktunya” ucapnya dengan ringan, semakin pedih hati Ayudya mendengar ucapan Rio, dia tahu Rio pasti sangat kecewa, tetapi Dia selalu menyembunyikan hal itu dari Ayudya..
Seminggu setelah berkunjung ke kinik, keluhan mual dan sakit kepala Ayudya belum juga reda, mereka berdua memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di praktek Dokter spesialis penyakit dalam.
“Ibu harus menjalani perawatan intensif, saya akan beri rujukan ke RS untuk ibu” itulah keputusan yang mereka terima dari dokter tersebut.
“Istri saya sakit apa dok?”
“Saya belum dapat memastikan, harus dilakukan beberapa tes untuk memastikannya.”, ada yang aneh pikir Ayudya, tapi dia tidak berani bertanya lebih lanjut, nanti saja di Rumah sakit, putusnya kemudian.
Sudah satu minggu Ayudya di rawat di rumah sakit itu, tetapi dari hari kehari, Ayudya merasakan tubuhnya tidak menjadi lebih baik, ditambah lagi hingga saat ini dia tidak tahu secara pasti apa yang dideritanya.
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” sekali-sekali pertanyaan itu dia sampaikan kepada Rio yang begitu telaten mengurus dirinya.
“Tidak apa-apa, kamu hanya butuh istirahat saja” selalu itu jawaban yang disampaikan Rio, bahkan dokter yang merawat dirinya pun mengatakan hal yang sama. Ayudya tidak percaya begitu saja dengan jawaban itu dia yakin ada yang mereka sembunyikan tentang penyakit yang di deritanya.
Setelah lebih dari satu bulan berada di rumah sakit, tanpa tahu apa penyakit yang di deritanya, Ayudya mulai tidak sabar, tapi Rio tetap menjawab dengan jawaban yang sama, hingga tadi malam ketika Rio tertidur lelap di sampingnya, Ayudya memaksakan diri turun dari pembaringannya berjalan tertatih – tatih dengan berpegangan ke dinding dan menyelusup masuk ke ruang dokter yang biasa memeriksanya.
“Oh….Ibu Ayudya, ada apa ? ada yang bisa saya bantu?” dokter Ikhsan menyapa Ayudya dengan ramah, inilah yang membuat Rumah Sakit ini dipercaya banyak orang, keramahan serta keakraban para dokter dan perawat sangat membantu kesembuhan pasien, mereka pun selalu peduli dengan segala kondisi yang dialami oleh pasien. Ayudya pun duduk di kursi yang tepat berhadapan dengan kursi yang diduduki dokter, internist yang menangani dirinya itu.
“Dokter, saya hanya ingin tahu tentang penyakit saya ini dokter” suara Ayudya begitu memelas, nyaris tak terdengar.
“Memang kenapa, Bu?, ada keluhan baru?”dokter Ikhsan balik bertanya tetap dengan suara tenang dan penuh perhatian.
“Saya hanya merasa semakin hari tubuh saya semakin melemah, rasa sakit di perut dan kepala juga tidak hilang-hilang, bahkan nyeri di kepala ini semakin tidak tertahankan, lalu mengapa pula besok saya harus kemotherapy? Saya ini sakit apa dokter? Apakah ada kanker di tubuh saya?”
“Oh itu, Bu Ayudya jangan terlalu merisaukan penyakit ibu, justru itu yang membuat penyakit Ibu bertambah parah” dokter Ikhsan tetap menjawab dengan suaranya yang tenang dan menenangkan.
“Tapi dok, saya sangat ingin tahu, sebetulnya penyakit apa yang saya derita?” Ayudya tetap kukuh pada keinginannya.
Tiba-tiba ruangan menjadi hening, Dokter Ikhsan tampak berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Ayudya. Tetapi ternyata itu tidak mudah baginya, lama dia terdiam sambil mempermainkan pulpen yang berada di atas meja.
“Dokter, tolong saya dokter, saya janji, saya akan tetap tenang walau mendengar kabar terburuk sekalipun, saya justru tidak suka berada dalam ketidak tahuan seperti ini, tolong saya dokter…” Ayudya terus berusaha, kali ini bahkan sambil menciumi tangan dokter Ikhsan, air matanya telah mengalir dengan deras membasahi pipinya yang semakin hari semakin tirus. Dokter Ikhsan masih saja diam, hingga akhirnya,
“Bu Ayudya, kita manusia adalah makhluk yang sangat beruntung, banyak ni’mat Allah yang telah diberikan-Nya kepada kita, tapi seringkali kita manusia hanya melihat apa yang menimpa kita, dan melupakan segala kenikmatan yang datang kepada kita”
“Maksud dokter apa?… saya selalu bersyukur dengan apa yang ada pada diri saya, saya bersyukur karena terlahir dalam keluarga yang menyayangi saya, saya juga bersyukur karena memiliki suami yang baik, saya juga bersyukur karena tidak kelaparan, saya selalu bersyukur dokter……”
“Ibu Ayudya, saya tahu itu, banyak kebahagiaan yang telah Allah berikan kepada Bu Ayudya, tapi pernahkah Ibu Ayudya berpikir, bahwa sakitnya bu Ayudya juga anugrah Allah?” masih dengan nada suara yang tenang dan tatapan yang menyejukkan dokter Ikhsan mengatakan ini
“Saya tidak paham maksud dokter..” lirih suara Ayudya
“Allah itu menyayangi manusia dengan cara-Nya yang kadang-kadang manusia tidak mampu memahaminya, Allah menyayangi Bu Ayudya, maka diberinya Ibu sakit seperti ini, supaya Ibu lebih dekat dengan-Nya”
“Jadi saya sakit apa dokter?” kembali Ayudya mendesak dokter Ikhsan untuk memberitahukan penyakitnya
“Ibu benar-benar siap untuk mendengarnya?”
“Sangat siap dokter!”
“Baiklah, saya percaya, Ibu adalah wanita kuat dan sangat paham dengan apa yang disebut dengan takdir.“ Dokter Ikhsan kembali terdiam sambil menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah Ayudya lekat-lekat untuk meyakinkan dirinya bahwa wanita di depannya ini benar-benar telah siap mendengarkan kenyataan yang akan disampaikannya, kemudia Dia pun melanjutkan kembali ucapannya dengan sangat hati-hati “Ada jaringan tumor pada lambung Ibu dan sudah berada pada stadium empat”
“Stadium empat, Dok?” tergagap Ayudya mendengar kenyataan ini, Dia tahu tumor pada stadium empat berarti tidak dapat disembuhkan.
“Ya Allah.. benarkah ini cara-Mu menyayangiku?” Beribu tanya berkecamuk di hati Ayudya, “Jika ini hukuman untukku, dosa besar apa yang sebenarnya telah aku perbuat sehingga Kau menghukum aku seberat ini?” Air matanya deras mengalir dari kelopak matanya yang cekung, tubuhnya terguncang karena tangisan yang tak bisa lagi ditahankannya.
“Mengapa Tuhan tega memberi ini semua kepada saya dok?” suara Ayudya disela isakannya
“Dari kecil saya selalu berusaha menjadi anak yang baik, saya tidak pernah membantah apa yang dikatakan mama maupun papa kepada saya……….saya selalu berusaha untuk selalu baik kepada siapapun…….salahkah saya kalau saya merasa Allah tidak adil kepada saya?”
“Bu, Ayudya…, percayalah ini semua karena Allah menyayangi Ibu, Allah Maha tahu, siapa yang patut disayangi-Nya, Allah itu maha adil Bu, tapi akal kita sebagai manusia terkadang tidak mampu berpikir dan melihat sampai ke situ”
“Jadi…. Tak ada lagikah harapan bagi saya untuk hidup lebih lama dok?”
“Secara medis, Ya.. tetapi pada akhirnya Allah dan semangat Ibu yang akan menentukan segalanya..”
Ayudya hanya bungkam demi mendengar penjelasan dokter itu, dia hanya menunduk menatap lantai, Pikirannya melayang pada semua bahagia yang telah dinikmatinya selama ini, yang sesaat lagi akan segera ditinggalkannya, ada penolakan di hatinya..ada rasa berat karena harus melepaskan semua itu.
“Ibu Ayudya… tetaplah menjad wanita yang tabah, yang selalu bersyukur dengan semua keputusan Allah, percayalah… do’a tulus dari orang-orang yang mencintai Ibu, dari mereka yang menyayangi Ibu, akan membuat semuanya menjadi lebih baik”.
Ayudya masih tetap tertunduk…apa yang berkecamuk di pikirannya tak dapat dikendalikannya, Dia masih belum mampu memahami keputusan yang ditetapkan untuknya.
Matahari pagi pelahan mulai memperlihatkan terangnya, Ayudya mencoba duduk di sisi pembaringan yang telah dihuninya lebih dari satu bulan ini. Rasa mual dan sakit di kepalanya menghilangkan semangatnya untuk menyentuh makanan yang disediakan untuknya.
Percakapannya dengan dokter Ikhsan tadi malam masih menyisakan rasa perih dan ketakutan dalam dirinya.
“Pagi sayang……” Rio muncul dari balik pintu dengan senyuman hangat dan selalu memancarkan rasa cinta yang dalam.
Ayudya hanya menoleh sesaat, lalu kembali tertunduk, Rio merasakan perubahan sikapnya, dihampirinya istrinya dan duduk di sisinya
“Ada apa? Mengapa kamu murung begini? Kamu bersediakan di kemo?”
Ayudya tetap bungkam, ada rasa kesal karena Rio selama ini tidak jujur kepadanya, tetapi juga ada rasa iba, karena dia tahu betapa telatennya Rio menjaganya, betapa sulitnya bagi Rio menyembunyikan semua ini darinya, hanya karena Rio tidak suka melihatnya bersedih dan putus asa.
“Aku sudah tahu semuanya, Mas” akhirnya terucap juga kalimat itu
“Tahu tentang apa?” Bingung Rio balik bertanya
“Aku sudah tahu, apa sebenarnya yang terjadi padaku”
“Maksudmu?” kali ini Rio yang gugup
“Sudahlah Mas, kamu tidak perlu berbohong lagi, itu hanya akan menyakitiku dan pasti menyakiti dirimu juga”
“Ayudya, aku tidak ingin kamu bersedih”
“Aku tahu, Mas…. Karena aku juga tahu kamu selalu melakukan yang terbaik untukku”
Hening kembali menyergap, Rio merengkuhkan lengannya ke bahu Ayudya, dibelainya punggung Ayudya dengan menahan air mata yang tiba-tiba saja menyeruak dari balik bola matanya.
“Ayu, jika ada yang merasakan sakit, karena apa yang kau alami ini, maka rasa sakit di hatiku ini tak akan ada yang melebihi. Melihat penderitaanmu benar-benar membuat aku tak tahan” tangis Riopun akhirnya membuncah tak tertahankan lagi. Ayudya dapat merasakan guncangan tubuhnya.
“Mas, jangan menangis…jika kau menjadi lemah bagaimana mungkin aku bisa kuat, aku pasrah akan semua keadaan ini, karena ini adalah kehendak Allah. Bantu aku untuk kuat, bantu aku dengan kekuatan cintamu agar aku tetap memiliki semangat dan keyakinan untuk sembuh, jika pun Allah berkehendak lain, bantu aku agar aku benar-benar siap ketika Allah menghendaki aku kembali kepadaNya” begitu tenang suara itu, begitu ikhlas, dan Rio justru semakin merasakan sakit di dadanya.
Matahari semakin tinggi, Mereka berdua masih tenggelam dalam rasa nestapa, tetapi Allah telah membukakan hati mereka berdua akan takdir yang menjadi kewenangan-Nya. Ayudya dan Rio pun pasrah dan ikhlas atas cobaan ini.



Selasa, 24 Januari 2012

Lelaki dan Payung Hitam



Guyuran hujan deras yang membasahi bumi telah membuat senja kehilangan jingganya, sisa-sisa butir hujan masih menenggelamkan langit dalam gelap. Sore yang dingin dan seorang laki-laki paruh baya berjalan di tengah derasnya hujan dengan payung hitam melindungi tubuhnya. Dia berjalan gontai sambil sesekali mengusap wajahnya dari cipratan air hujan yang terbawa angin.
“Bu, maaf numpang tanya," dia menyapa seorang perempuan pedagang kaki lima yang sedang duduk termenung sambil menatapi hujan yang belum juga reda.
“ya..?”
“Ini jalan Jendral A.Yani,  kan?” lanjutnya kemudian
“Iya betul, Bapak mau mencari siapa?” tanya perempuan itu.
“Saya mencari rumah kawan lama saya, namanya Rahma, Ibu tau rumahnya?” laki-laki paruh baya itu bertanya dengan penuh antusias
“Rahma....., maaf pak... seingat saya di sini tidak ada yang namanya Rahma,” perempuan itu menjelaskan.
Laki-laki paruh baya yang berjalan dalam derasnya hujan terus berusaha menemukan alamat yang dia cari, matanya terpaku pada segerombolan pedagang durian, aroma durian melambungkannya pada kenangan masa lalu, saat dia dan Rahma menjadi dua orang yang saling mencintai.
Januari berpuluh tahun yang lalu, Dia dan Rahma berjalan berdua di bawah lindungan payung hitam, di tengah derasnya air hujan dan aroma durian yang dijual orang disepanjang jalan. Mereka berpelukan saling melindungi dan entah siapa yang memulai dalam deras hujan bibir mereka bersentuhan mesra.
Rahma....gadis itu tersipu malu, ketika tiba-tiba sebuah mobil melintas dengan cepat dan cipratan genangan air menyentuh wajah mereka, merekapun mengakhiri ciuman pertama itu.
Sejak hari itu, Rahma telah menjadi perempuan istimewa di hatinya. Apapun yang dilakukannya selalu bermuara untuk kebahagiaan Rahma. Tidur dan bangunya, bahagia dan gelisahnya adalah Rahma.
Cinta yang tumbuh dan mengisi di setiap relung hatinya, mengalir deras di dalam pembuluh darahnya, mendesak hebat dalam jantungnya, ternyata tak dapat dimilikinya. 
Suatu hari Rahma datang kepadanya dengan isakan.
“Haekal.. aku tidak ingin berpisah denganmu,” ucapan Rahma membingungkannya
“Ada apa Rahma, siapa yang akan berpisah ?” Haekal bertanya kebingungan
“Kita,...kita akan berpisah Haekal!”
“Tapi, kenapa?” Haekal berusaha tetap tenang, walau ada kecemasan di hatinya. 
“Papa dan Mama melarang aku bertemu denganmu lagi”
“Apa salahku?”
“Aku juga tidak mengerti Kal, kata mereka aku terlalu muda untuk jatuh cinta.”
“Tapi aku juga tidak ingin berpisah dengan kamu Rahma. Aku betul-betul sayang sama kamu," Haekal memeluk erat Rahma, kekasihnya. Dia betul-betul takut kehilangan. Malam berlalu dengan linangan air mata mereka berdua, sampai akhirnya orang tua Rahma menemukan mereka dan memaksa Rahma pulang.
Rahma memang masih muda bila dibandingkan dengan usianya, Rahma baru kelas 3 SMP, sementara dia telah menjadi karyawan di sebuah perusahaan. Tapi baginya Rahma bukanlah seorang bocah manja yang menuntut perhatian dan minta dihadiahi macam-macam barang, Rahma berbeda dari anak-anak seusianya. Dia gadis yang memiliki pemikiran matang dan dewasa.
Sejak hari itu, Haekal tidak lagi bisa menemui Rahma, Papa dan Mamanya telah memindahkannya ke luar kota. Bukan tidak ada usaha Haekal mencari Rahma, tetapi Rahma seperti di telan bumi, tak ada seorangpun yang tau dimana keberadaanya.
Setelah pencariannya yang gagal, dan usaha kerasnya melupakan, akhirnya Haekal memutuskan menerima perempuan yang diperkenalkan keluarganya sebagai istri. Demi ketenangan rumah tangganya, Haekal meminta dipindahtugaskan ke kota lain. Sejak itu dia tidak pernah pulang menjenguk kampung halamannya.
Hidup Haekal cukup bahagia dengan istrinya, mereka dikarunia seorang anak perempuan bernama Vita, tetapi tiga tahun yang lalu istrinya meninggal karena sakit ginjal yang dideritanya. Akhirnya Haekal hanya hidup berdua dengan anak tunggalnya..
“pa...” Vita gadis tunggalnya telah bergayut manja di sampingnya
“Ada apa sayang....? biasanya kalau begini pasti ada yang penting” Dia menggoda anak gadis kesayangannya itu
“Pa, kata Pandu, dia mau melamar Vita” begitu hati-hati Vita menyampaikan hal ini.
Haekal terdiam....tiba-tiba dia begitu ketakutan, mengapa miliknya satu-satunya ini harus pergi juga. Siapa yang akan menemani hari-harinya nanti?..... tetapi bukankah memang Vita sudah dewasa, Vita berhak atas kebahagiaanya.....
Lama Haekal tercenung, terjebak dalam kebimbangannya sampai kemudian terdengar lagi suara Vita
“Papa tidak keberatan kan?”
“ eh......... eh..... tentu tidak... tentu tidak..” gelagapan Haekal menjawab
Pernikahan Vita akhirnya berlangsung, karena Pandu bekerja di luar kota, Vitapun akhirnya meninggalkannya. Dan Haekal benar-benar sendiri.
Laki-laki separo baya itu, tiba-tiba teringat akan kampung halamannya, teringat akan cinta yang tertinggal di sana, teringat akan Rahma. Dia betul betul merindukannya.

Sore ini di tengah derasnya hujan, Haekal, laki-laki separuh baya itu, kembali berjalan di tengah guyuran hujan, di antara seksinya aroma durian, dengan payung hitam yang sama. berusaha menemukan cintanya lagi.
Hujan belum juga reda. Dia berjalan ke arah salah satu pedagang durian untuk sekadar berteduh dan beristirahat, seorang wanita telah berada di  situ sedang menawar durian, Haekal memperhatikan perempuan itu dengan seksama, darahnya berdesir....jantungnya berdegup dengan kencang....Dia mengenali perempuan itu.. sangat mengenalnya........
“Rahma.....” disebutnya juga akhirnya nama itu
Perempuan itu menoleh, dipandanginya Haekal dengan takjub, lama dia terdiam seakan tidak percaya dengan pemandangan yang ada dihadapannya
“Kamu ..... kamu.......Haekal kan?” Hanya kata itu yang meluncur dari bibirnya, yang terucap dengan getaran penuh ketakjuban.
“Ya.. aku Haekal... apa kabar Rahma?”
Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir Rahma hanya sebutir bening mengembang di matanya bercerita banyak tentang perasaan apa yang saat ini tengah menderanya, hingga akhirnya, setelah Dia mampu meredakan gelombang besar yang melanda hatinya...
“Kamu kemana saja Kal, aku sudah sangat lelah menunggumu, aku kira kamu tidak akan pernah muncul lagi...aku kira kamu telah melupakan aku.....” dan isakan itupun pecah berubah menjadi tangis yang memilukan. Rahma menghambur dalam pelukan Haekal, laki-laki yang tidak pernah hilang dari hatinya..laki-laki yang selalu ada dalam do’a do’anya.... Sayup-sayup suara Acil Bimbo mengalun lembut dengan lagu payung hitamnya..........
Hujan Merata di Kota Manis kasihku
Jalan di depanku menyambut hampa
Musim Durian Bertahun lalu di sini
Dalam Gelap Hujan Mesra Kau Pinta


Januari 2012
love

Aku Akan Tetap Hidup Walau Tanpa Cintamu

Mendung yang menggelayut di langit mulai meluruhkan gerimisnya yang tipis, tapi akankah gerimis ini akan berganti menjadi hujan yang deras mengguyur? Atau akan menguak gelap hingga lembayung senja perlihatkan senyumannya yang cantik?, Entahlah…..
Kehadiranmu dalam hidupku, telah membangun sebuah menara cinta yang begitu kokoh dan tinggi di dasar hatiku, kemudian kau melambungkanku ke puncaknya yang tertinggi, aku bahagia berada di atas sana, memandangi setiap burung yang melintas, berarak menebar harapan akan masa depan. Lalu mengapa hari ini kau ingin merobohkan menara itu?, pada saat aku begitu bahagia berada di puncaknya? Aku hanyalah pemilik rasa yang begitu takut akan luka. Tetapi hari ini kau hadirkan sembilu dalam hatiku.
Atas nama rasa, ku katakan padamu, aku tak ingin kehilanganmu. Aku tak ingin meluruhkan semua mimpi indah yang ku miliki, tentang kita. Lalu apa yang harus kukatakan kepadamu? Haruskah ku teteskan air mata, agar kau tau betapa dalam rasa yang aku miliki terhadapmu?
Tak akan sirna dalam alam sadarku, ketika kau sentuh lembut dinding-dinding hatiku, menyenandungkan kisah tentang nyayian alam yang menawarkan kesejukan pagi, lalu mengapa hari ini kau katakana kata perpisahan ini?
“Reina, aku betul-betul minta maaf, aku tak ingin menyakitimu…tapi…. Aku harus melakukan ini…” Inilah penjelasan paling tak logis yang pernah mampir dalam gendang telingaku. Bila kau tak ingin menyakitiku, mengapa kau lakukan semua ini?. Kau yang dulu memulainya, tapi mengapa harus diakhiri?
“Reina, aku memang salah……. Seharusnya aku tidak pernah memulai semuanya ini?’
Ya….itulah yang kau lakukan kepadaku, Kau ketuk lembut pintu hatiku, kuijinkan kau masuk, kau biarkan aku menebar harapan, berharap akan menuai bahagia itu terus bersamamu, lalu hari kau mohon diri, pamit untuk meninggalkanku.
“Dia tunanganku, aku telah terikat janji dengannya…, aku tak mungkin meninggalkannya..” itulah penjelasanmu.
Mengapa hari ini kau akui itu di hadapanku, dan mengapa dulu kau melupakan Dia untukku? Apakah aku memang pantas untuk kau sakiti….? Bukankah kau yang selalu mengatakan kepadaku, aku adalah perempuan yang telah membuat hari-harimu penuh dengan harapan…
Walau sakit, walau perih, walau luka, aku tak akan teteskan air mataku di hadapanmu. Bukan karena cintaku telah pupus, bukan pula karena kau tak lagi berarti untukku, tapi karena aku memang harus terus melangkah, aku tak akan biarkan hidupku terpuruk, aku harus sanggup menghadapinya, maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok yang bahagia, dan aku yakin di depan sana Tuhan telah menyiapkan laki-laki terbaik untukku.. Semoga



GITAR KECIL DIKA






”… maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”

Kata-kata ini  terus bergema dalam ingatanku, dan pada saat bersamaan wajah Dika, bocah 10 tahun itu melintas jelas di pelupuk mata.

Sekitar sebulan lalu aku berkenalan dengannya, keberadaanya menarik perhatianku, seragam sekolah yang dikenakan dan tas ransel yang bergayut dipunggungnya, tentu dia baru saja pulang sekolah, tapi gitar kecil yang ditentengnya dan dengan gesit  berlarian ke sana ke mari meyelinap di antara mobil-mobil yang terjebak lampu merah, lalu bernyanyi sesaat dan menerima lembar ribuan yang disodorkan pengendara mobil, itu yang berbeda.

Lampu hijau kembali menyala, dia berlari kecil ke arah halte tempat aku berteduh, tempat biasa aku menunggu Mas Heru menjemput. Wajahnya penuh keringat, Dia asyik menghitung uang lembaran seribuan dan beberapa recehan lima ratus rupiah, yang baru saja diterimanya.

“Dapat banyak Dek?” tanyaku iseng, sejenak dia mendongakkan wajah ke arahku
“Lumayan kak,” ujarnya sambil tersenyum sumringah
“Uang sebanyak itu untuk apa?” tanyaku mencoba menyelidik
“Macam-macam kak, tapi ini juga masih kurang” jawabnya tetap santai sambil menyeka keringat yang masih menempel di kening.

“Memang uangnya untuk apa, sebanyak itu masih kurang?” Aku menggeser dudukku mendekatinya, Dia tidak segera menjawab, hanya menatapku sambil senyum malu-malu.

Mas Heru belum muncul juga, iseng ku keluarkan notes kecil yang biasa kugunakan untuk menulis ide-ide kecil yang melintas di saat aku tidak berada di tempat yang pantas untuk mengeluarkan laptop, kubuka halaman notes kecil itu, sebuah coretan pendek yang tertulis dengan ukuran huruf yang besar, terbaca “ … .maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”
“Tulisan apa tuh kak?” Anak itu menyorongkan kepalanya, ikut membaca tulisan itu
“Oh..ini kata kunci untuk ikut ngeramein Ramen”
“Artinya apa ?”
“ Apa ya…? , mungkin maksudnya kita harus tetap bersemangat menghadapi dunia, apapun yang terjadi. Dan tetap optimis bahwa di depan ada hari esok yang lebih baik” bingung juga aku menjelaskan pada bocah kecil ini, aku sendiri pun belum tahu akan diselipkan di bagian mana kata kunci ini. Anak itu hanya mengangguk-angguk kecil dengan penjelasanku, aku tidak yakin dia mengerti.

Tiba-tiba dia berdiri seraya berkata 
“Maaf kak, lampu merah lagi..” sambil berlari cepat ke jalanan.
Setelah perkenlan itu, aku jadi tau namanya Dika, dia tinggal tidak jauh dari tempat kami biasa bertemu, Dia adalah murid kelas empat sebuah sekolah dasar. Tapi aku masih belum tau mengapa di usianya yang sekecil itu sudah sibuk mencari uang, kadang-kadang malah harus pula menghadapi sikap kasar anak-anak jalanan lain yang lebih besar darinya.

Suatu hari, di panasnya udara, di antara bisingnya deru kendaraan yang memadati jalanan ibu kota, dia menghampiri dengan senyum bangga.
“Kak, uang tabunganku sudah banyak, Kak, kata Ibu kalau digabung dengan uang yang dikumpulkan Ibu dan Bapak sudah hampir cukup”
“Ah.. kamu tuh bikin kakak bingung, memangnya uang itu untuk apa?.. setiap kali kakak tanya soal itu kamu tidak pernah menjawab” aku pura-pura merajuk, setelah hampir sebulan aku berteman dengannya dia masih saja merahasiakan yang satu ini.
“he he he…” Dika hanya nyengir, memperlihatkan gigi serinya yang kecil-kecil seperti gigi kelinci.
“Ayo dong kasih tau kakak” bujukku
“Tapi Bapak dan Ibu melarangku untuk menceritakan ke siapa-siapa kak?’
“Lho.. kenapa”
“Ini rahasia keluarga, kata Bapak begitu, kata Ibu ini aib, tidak boleh cerita kesiapa-siapa”
“Ya… udah deh, kalau begitu kakak gak akan tanya-tanya lagi..”
“tapi…kalau aku cerita, kakak tidak akan menjauhi aku kan?” tatapannya penuh selidik juga rasa khawatir, aku tersenyum sambil mengangkat dua jariku “tentu tidak, kakak janji!!!”
“Uangnya untuk berobat kak” bisiknya sangat pelan ke dekat telingaku sambil menoleh ke kiri dan ke kanan takut ada orang lain yang menguping percakapan kami
“Berobat siapa?, siapa yang sakit?” tanyaku tak kalah pelannya dengan suaranya tadi
“Enggak ah…nanti kalau kakak tau, terus gak mau lagi berteman dengan saya” kembali dia mengucapkan kata yang sama, dengan kecemasan yang sama.
“kakak janji!!, kakak akan tetap jadi teman kamu, apapun yang terjadi”
“kata dokter, aku ….” Kembali keraguan menghentikan ucapannya, aku hanya menunggu tidak tega kalau terus memaksanya, walau aku begitu ingin tau.
“kata dokter, aku mengidap virus HIV” serasa mendengar ledakan yang begitu dasyat, yang akan meledakkan jantungku, aku tak tau seperti apa ekspresi wajahku saat itu, aku hanya bengong tanpa tau harus berkata apa.
“Kak, kakak masih mau berteman dengan aku kan?” begitu memelas ucapan itu, tapi HIV????, yang aku tau HIV itu mudah menular, jangan-jangan aku nanti tertular karena sering berdekatan dengannya, karena menyentuh tubuhnya yang berkeringat, jangan..jangan… oh tidak!

Tidak sepatah katapun yang dapat aku ucapkan saat itu, lidahku tiba-tiba kelu, jantungku berdetak sangat cepat, sebenarnya aku begitu iba ketika melihat sorot matanya yang putus asa, tapi aku tidak mampu menutupi kengerianku sendiri. Aku tinggalkan Dika dengan kekecewaannya, sayup-sayup masih terdengar teriakannya ketika aku menaiki taxi “Kak, kita masih berteman kan?”

Sejak aku tahu Dika adalah penderita HIV, aku tidak lagi menunggu Mas Heru di halte yang sama, aku berusaha menghindar, berjumpa dengan Dika hanya akan membuat aku menyakiti hatinya walau sebenarnya akupun tidak mampu berhenti memikirkannya.

Kerinduanku pada Dika, membuat aku mencari tahu tentang penyakit ini, browsing di beberapa web kesehatan telah membuka mataku, menyadarkan aku tentang sikapku yang salah, sekarang aku sangat merasa bersalah terhadap Dika.

Siang ini, aku kembali menunggu mas Heru di halte tempat aku dan Dika biasa bertemu, aku ingin bertemu Dika, melihat lagi senyumannya, mengagumi lagi semangatnya,tapi kemana dia?Kemana bocah kecil kurus yang selalu bersemangat dan tak kenal menyerah, mengumpulkan seribu demi seribu demi kesembuhannya ?
Tiba-tiba, 
”Kaka, kakak!” Aku menoleh ke arah asal suara. Di antara mobil-mobil yang berhenti menunggu lampu hijau menyala, Dika tengah melambaikan tangan ke arahku, wajahnya sangat bahagia, 
"Kakak, aku di sini!” teriaknya lagi. Lampu hijau menyala lagi. Tiba-tiba saja sebuah sepeda motor melaju kencang dari arah belakang  mobil, dan……
”Dika!” aku berteriak keras, melihat tubuh kecilnya terpental ke aspal keras, setelah motor itu menghantam tubuhnya.

Aku berlari ke arah tubuh Dika yang bersimbah darah, bahkan aku tak peduli lagi beberapa pengendara yang memaki karena  menyeberang begitu saja. Dika hanya mengerang perlahan lalu diam, di sisinya sebuah gitar kecil tergeletak diam. Orang-orang mengangkat jasad Dika ke atas metromini yang lewat, sementara aku hanya berdiri mematung membaca coretan kecil pada bagian sisi gitar kecil milik Dika yang nyaris hancur, di situ tertulis : “… maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”.

Senin, 12 Desember 2011

Aku Bukan Anak Durhaka

“Kamu memang anak durhaka.. seharusnya kamu memihak mama, mama kandungmu!!”, sumpah serapah itu meluncur deras tanpa ada jeda dari mulut mama, masih banyak lagi kata-kata makian lain yang mama tujukan kepadaku, telunjuknya menari-nari tepat di depan hidungku, aku hanya mengalihkan pandangku ke sisi lain, menghindari tajamnya tatapan mata mama melalui pupil mataku dan terus menghujam ke dalam jantung dan menyakiti perasaanku. tanpa menjawab sepatah kata pun.
Mataku akhirnya tertambat pada dua ekor anak kucing yang sedang tertidur lelap dalam pangkuan induknya.
Pemandangan seperti ini, ketika seekor induk kucing mendekap erat anak-anaknya yang tertidur lelap, pastinya sesuatu yang sangat biasa, tapi tidak kali ini, tiba-tiba aku memimpikan menjadi anak kucing itu, betapa bahagianya berada dalam pelukan mama yang penuh dengan kasih sayang.
Mamaku??, Dia adalah sosok yang tidak bisa kupahami, di dalam memoriku tidak satupun tertinggal kenangan yang indah antara aku dan mama, selayaknya jalinan kasih antara seorang anak dan mamanya, yang ada di kepalaku hanya hal-hal buruk, yang membuat aku begitu ingin menghindar darinya.
Pagi tadi aku kembali berkunjung ke rumah bunda Rara, teman papa, tepatnya kekasih papa. Di tempat bunda Rara justru aku merasa tentram, Bunda selalu dapat mengerti segala keluh kesahku, tak sekalipun ada kata-kata kasar yang keluar dari mulut bunda, apalagi menyakiti fisikku, tidak ada ketakutan di sana. Sungguh sangat berbeda dengan apa yang aku terima selama ini dari mamaku. Mama kandungku!.
Aku tidak mengerti, apa sebetulnya yang membuat mama begitu membenciku, hingga mama pernah hampir saja membunuhku. Saat itu usiaku baru empat tahun, hampir semua kejadian yang aku alami pada usia itu telah hilang dari ingatanku, tapi tidak peristiwa itu.
La.. bawa ke sini baju kotor itu!” perintah mama kepadaku, saat itu mama sedang mencuci di belakang rumah, ada sumur besar di sana, karena sedang asyik memperhatikan kupu-kupu yang sedang hinggap di sebuah tangkai daun, aku tidak segera melaksanakan perintah mama, tiba-tiba saja mama sudah berdiri di depanku, mengangkat tubuh kecilku, dan…..ah itu sangat mengerikan!!, seandainya saja papa tidak segera datang, dan menarik tubuhku dari tangan mama, maka tubuhku mungkin sudah tenggelam di dalam sumur itu, papa memelukku, mencoba menenangkanku yang menjerit-jerit histeris…hanya bergantung ke tangan mama, tepat di atas lubang sumur yang gelap adalah pengalaman yang tidak akan pernah mampu kuhapuskan dari ingatanku.
Aku tidak mendendam pada mama, tapi aku selalu dibayangi rasa takut bila berada di dekat mama.
Kegilaan mama sebetulnya tidak hanya tertuju kepadaku, tapi juga pada papa. Suatu hari papa harus di rawat di RS karena kepalanya mengalami trauma yang cukup parah akibat di lempar mama dengan benda keras.
“La, kita tidak bisa meninggalkan mama, kita berdo’a saja semoga mama menyadari kesalahannya” jawaban ini, tidak menenangkanku, tapi malah sebaliknya, aku jadi menganggap papa laki-laki lemah, yang tidak melindungi aku sebagai anaknya.
Papa memang tidak meninggalkan mama, tapi papa juga mencari ketenangan di tempat lain, di rumah bunda Rara, tadinya aku juga tidak setuju dengan apa yang dilakukan papa, berselingkuh dengan bunda Rara, janda tanpa anak yang suaminya meninggal setahun yang lalu, tapi akhirnya aku merasakan bahwa bunda Rara adalah dewi cantik yang melindungi dan mengasihi.
“Apa kamu lupa ya, kamu itu anak mama !, mama yang melahiran kamu, mama yang menyusui kamu!!, tapi kenapa kamu justru berakrab-akrab dengan perebut suami orang itu?”
Aku masih saja bungkam, tak perlu menjelaskan apa-apa, karena apapun penjelasan yang akan aku sampaikan, pasti itu akan membuat mama lebih meradang. Tiba-tiba… diantara kata-kata yang tidak lagi dapat kutampung dengan telinga normalku, mama menjambak rambutku, di seretnya aku ke kamar, dan rambut panjang yang aku sayangi ini, dipangkasnya menjadi sangat pendek. Ya sangat pendek, nyaris plontos. Aku tetap diam, aku biarkan mama dengan semua tindakannya, tidak setetespun air mata mengalir dari mataku, hatiku sudah beku…..
“Tuhan maafkan mama” bisikku dalam hati……mama tak perlu tahu itu…….!
Suka

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....