Rabu, 08 Juli 2020

Hati yang Mendua #3


“Ay, kali ini kamu harus dateng!” Vina berusaha mengintimidasi.
“sudah tiga kali pertemuan kamu gak pernah ikut, anak-anak selalu nanyain kamu, atau buat kamu kami ini gak penting?” Kalimat Vina semakin tajam. Selama ini Vina tak pernah memaksa Aini untuk hadir di acara reuni SMA mereka. Aini selalu punya alasan. Tapi, kali ini berbeda. Dia diberi mandat untuk menghadirkan Aini.

“Gimana, ya?”  Aini masih berusaha mencari alasan. Reuni tahun pertama yang dihadirinya menyisakan rasa tak nyaman di hati Aini. Saat itu dia mengetahui Ridho,  kakak tingkat di kampus yang telah mengisi sebagian besar ruang di hatinya,  ternyata hadir pula  menemani salah seorang temannya. Mereka tampak begitu dekat.  Acara reuni menjadi berlangsung angat lama dan membosankan.

“Ay, aku mohon, sebentar juga gak apa-apa. Yang penting kamu nongol, setelah itu terserah kamu deh.mau langsung pulang lagi juga boleh.” Vina rupanya  sudah kehabisan ide untuk membujuk Aini.  
“Ikutlah, Ay. Temani Vina! Kamu juga kangen kan sama teman-temamu?” Ibu yang tak sengaja mendengar percakapan mereka ikut berkomentar
“Kasian, udah jauh-jauh jemput kamu ke sini,” lanjut Ibu. Rupanya bujukan Ibu berhasil melunakkan hati Aini. Gadis manis berwajah cabi itu pun segera bersiap. Tak butuh waktu terlalu lama, dia sudah muncul lagi dengan pakian rapi dan sedikit polesan make up ala anak muda masa kini. Vina menyambutnya dengan suka cita.
“Ayok, langsung berangkat, nanti keburu bubar.” Ajak Vina sambil berjalan ke arah mobil brio putih yang terparkir di depan rumah Aini.
@@@

Reuni sederhana berlangsung dengan suasana akrab. Aini tak merasakan suasana yang dikhawatirkannya. 
“Eh Fitri, kok gak datang, ya?” 
“Dia lagi ngidam” sebuah suara dari arah belakang Aini menimpali.
“Dia udah nikah?” Aini ikut bertanya walaupun yang ingin dipastikannya, dengan siapa Fitri menikah. 
“Udah empat bulan yang lalu. Cowoknya ganteng. Dia tuh emang paling bisa. Dari dulu selalu dapet cowok keren,” Tera kini yang angkat bicara..
“Bukan dengan Ridho?” 
“Ridho?” semua wajah memandang Aini dan itu membuat Aini rishi.
“Iya, kan? Mereka sempat pacaran juga, kan?”
“Ay, kok kamu gak update sih? Pasti gara-gara kamu gak gaul. Diajak reuni gak pernah datang. Makanya ketinggalan informasi.” Riko yang lebih suka dipanggil  Rika menyela dengan gaya khasnya yang gemulai. 
“Ridho itu bukan pacarnya Fitri, tapi pamannya. Ridho yang selalu diminta ayah Fitri mngantarkannya ke mana-mana, Fitri kan gak bisa bawa motor.”

Entah rasa apa yang sedang berkecamuk di hati Aini, ada binary-binar harapan tumbuh lagi di hatinya, tapi bukankah dia telah menerima cinta Ami?

#yetyurselmenulis
#Aini

Hati yang Mendua #2

Bagian sebelumnya


Sore ini ada tamu yang datang, sudah cukup lama dia tak muncul di rumah Aini, jaga jarak menjadi penyebabnya.

"Kirain gak mau main ke sini lagi," ajuk Aini saat membukakan pagar untuk lelaki muda yang kini berdiri di hadapannya. Lelaki muda itu hanya tersenyum.
"Seandainya boleh, setiap hari aku akan muncul di hadapanmu," si lelaki muda berkelit.
Aini hanya mendelik dengan pasang muka cemberut, tapi sambil menahan senyum.
"Ngapain juga harus muncul setiap hari, bosen juga kali," ucapnya sambil melangkah menuju teras.
"Iya, yah. Tapi, aku sih gak bosen. Kamu yang bosen,"
"Aku? Hmmm...gimana, ya? Udah, ah. Obrolan gak mutu," Aini menghenyakkan tubuhnya di kursi teras, Ami duduk di kursi lain, ada meja kecil di antara mereka.
"Kemana aja,Mas Bro?"
"Kangen, ya?"
"Ih, ge er! Cuman nanya aja. Basa basi."
"Aku sih kangen, tapi aku gak enak, kan harus jaga jarak. Harus ngasih contoh buat anak-anak."
"Terus, kok sekarang ke sini?"
"Ay, bisa kan gak nanya-nanya gak jelas kayak gitu? Mau aku jujur sama kamu? Nanti kamu malah malu."
"Kok aku yang malu?"
"Oke, dengerin ya! Aku ke sini karena aku sudah kangen sama kamu dan udah gak bisa ditahan lagi. Denger ya...Aku jatuh cinta sama kamu! Puas?" Ami mengucapkannya dengan setengah berbisik, tapi setiap suku kata diberinya tekanan, Aini tergagap, dia tiba-tiba kehilangan jutaan kosa kata yang tersimpan di benaknya.
"Sekarang, kamu yang harus jawab! Kamu punya rasa yang sama, gak?" Mata Ami yang langsung tertuju ke tengah-tengah mata Aini, membuat gadis itu semakin tak bisa bersuara.
"Tuh kan, tadi kamu yang maksa aku. Sekarang giliran disuruh jawab, eh malah diem," Ami memalingkan wajahnya, berbuat seolah tengah kecewa.

Aini masih terdiam. Jantungnya berdegup takkaruan. Rasa bahagia telah membungkam mulutnya. Aini ingin mengangguk, tapi Ami tidak menghadap ke arahnya. Mulut Aini tiba-tiba teras kering.
"Aini yang baik, aku tahu jawaban kamu, tapi aku takut kegeeran. Begini deh, kalau kamu mengambilkan aku air minum itu artinya kamu punya rasa yang sama, tapi.."
"Eh, lupa. Kamu belum aku suguhi air, ya?"
Aini langsung melangkah masuk dan tak lama sudah muncul lagi dengan dua gelas teh.
"Ini untuk aku? Yakin?" Ami menyeruput air yang dihidangkan Aini.
Aini hanya mengangguk. Ami pikir itu juga sudah cukup.



Aini #Hati yang Mendua


Masih ingat aku?" Seorang laki-laki mengenakan seragam warna kaki dengan kelengkapan logo dinas pendidikan,  menyapa. Aini yang sedang berada di depan ruang TU untuk absen pingerprint hanya bisa mengernyitkan dahi sambil melihat kiri kanan, dia ragu pada siapa sosok ini berbicara.
"Kamu Aini, kan?" tak salah, dia memang berbicara padaku, bisik hatinya. Aini kini memperhatikan dengan lebih teliti sosok yang sedang berdiri di hadapannya.
"Maaf, Pak. Bapak mengenal saya?" Dia tetap berusaha bersikap formal, laki-laki pemilik rambut agak ikal tersisir rapi dan aroma parfum yang tidak terlalu tajam tetapi menyegarkan tersenyum maklum.
"Kamu pasti lupa, aku juga pernah sekolah di sini. Wajar kalau kamu tidak mengenalku. Di kelas dua aku pindah, ikut Bapak yang pindah tugas ke provinsi." Laki-laki muda itu menjelaskan jati dirinya.
"Maaf, ya. Belum kebayang. Kita seangkatan?" Aini mulai penasaran.
Aku kakak kelasmu satu tingkat. Coba kamu ingat-ingat siswa berambut kribo, baju selalu dikeluarkan, kesibukannya hanya nulis di mading."

Aini menelitik lagi sosok yang ada di hadapannya kemudian senyumnya mengembang tanpa ragu.
"Kang Ami? Kok beda sih? Beneran aku tadi gak ngenalin," tidak ada lagi kekakuan di antara mereka karena dulu mereka cukup akrab dan sama sama jadi pengurus mading.

Percakapan mereka baru terhenti saat Bapak Kepala Sekolah datang dan Ami harus menemuinya untuk sebuah urusan. Aini kemudian menyelesaikan pingerprint yang tadi sempat tertunda. Tapi sebelum berpisah mereka masih sempat saling bertukar nomor kontak.

Pertemuan tak sengaja itu sudah terjadi hampir sebulan lalu, Aini hampir melupakannya. Nomor kontak yang saling dipertukarkan tidak serta merta membuat mereka saling menyapa.
Jika hari ini tiba-tiba Ami datang menyambanginya, tentu membuat Aini sedikit bertanya-tanya

"Tumben mampir , ada apa?" tanyanya saat Ami sudah duduk dan segelas teh manis pun telah terhidang.
"Hanya mampir aja, kamu tidak terganggu?"
"Enggak, enggak apa-apa."
Setelah sedikit berbasa-basi akhirnya mereka asyik berbincang ke sana ke mari, sesekali terdengar gelak mereka. Cerita masa sekolah di SMP, tentu sangat indah saat dikenang.
Cukup lama pemuda itu berada di sana, sebelum azdan magrib berkumandang, dia baru berpamitan.
"Boleh aku mampir lagi kapan-kapan?" tanyanya saat sudah berada di depan pintu pagar.
"Boleh," jawab Aini ringan.
"Enggak ada yang marah?"
Enggaklah, Ibu enggak pernah ngelarang aku berteman dengan siapa pun," jawabnya polos
"Bukan, bukan Ibu...eh, pacarmu?"
Sejenak Aini terdiam. Mau menjawab jujur dia tak enak hati.
"Kalau kamu diam, berarti kamu izinkan aku untuk datang lagi, iya kan?"

Entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk mengangguk, walau akhirnya membuat wajahnya memerah.
"Insya Allah, Sabtu besok aku ke sini lagi," Ami kemudian pamit. Aini mengikuti dengan pandangannya motor yang dikendarai Ami menghilang di ujung jalan.
Sambil masuk ke dalam rumah dia senyum- senyum sendiri. Tak disadarinya Ibu memperhatikan dari balik jendela kamar, juga tersenyum.


#aini #cerpen #galau #menduahati

Namaku Aini #2




Aini, perempuan muda yang dulu merasa terperangkap dalam profesi yang tak diminati, kini ternyata bermetamorfosis. Dia kini menikmati profesi seorang guru. Tak ada lagi keluhan tentang siswa bandel yang mengolok-olok atau yang tak mau melibatkan diri dalam kegiaan  belajar. Jika ada cerita yang dibawanya pulang, bukan lagi berupa keluhan, tetapi hanya meminta pendapat ibunya yang dulu seorang guru madrasah.

Aini mengamati dengan teliti setiap lembar tugas siswa yang ada di hadapannya. Tadi pagi dia meminta para siswa menuliskan pengalaman paling berkesan dengan Ayah atau Ibu. Banyak kisah unik yang mereka tulis. Ada yang berhasil merangkainya menjadi cerita yang runtut ada pula yang hanya sekadar menulis beberapa kalimat saja.
Sekarang mata Aini terpaku pada satu tulisan, milik Doni. Anak yang paling sering membuat masalah. Beberapa hari yang lalu berkelahi, sebelumnya kedapatan menyobek lembaran buku paket pelajaran matematika. Hampir semua guru saling menimpali kalau sudah berbicara soal Doni, semuanya berisi penilaian negatif.

Kertas Doni hanya berisi beberapa kata saja.
"Bu, saya tak punya banyak pengalaman dengan mereka. Sejak kecil saya tinggal dengan Nenek karena Ayah dan Ibu saya bercerai. Ibu dan Ayah saya sekarang sudah menikah lagi. Mereka tidak ada yang menginginkan saya."
Hati Aini bergetar. Teringat kembali rasa sedihnya saat Ayah dipanggil yang Maha Kuasa. Beberapa hari dia tak bisa tidur dan hampir setiap hari dilaluinya dengan tangis. Aini beruntung mempunyai Ibu yang tegar, walau hanya guru honor di sebuah madrasah di tengah kampung, Ibu berhasil menyelamatkan hati sekaligus masa depannya.

Pikiran Aini kemudian pada Doni, remaja tanggung berusia 14 tahun. Tubuhnya kurus dengan rambut ikal yang kadang-kadang diwarnai dengan wana kuning atau hijau yang keesokan hari akan kembali berwarna hitam setelah mendapat teguran dari guru BP. Doni yang hampir tak pernah mengerjakan PR dan saat ditegur guru, ada saja alasan yang disampaikannya.
"Bu, tolong baca ini. Nanti aku akan cerita tentang dia," Aini menyerahkan lembar kerja Doni pada Ibunya. Susah payah Ibu membaca tulisan Doni karena tulisan tangannya yang berantakan.
"Kasihan..." lirih suara ibu berkomentar.
"Dia sangat bandel. Guru-guru tak suka padanya," Aini kemudian menceritakan bagaimana kelakuan Doni dan sikap guru-guru padanya.
"Dia butuh cinta,"
"Bagaimana menunjukkan rasa cinta padanya? Dia sulit didekati," Aini bertanya pada Ibu yang sudah makan asam garam dalam dunia pendidikan. Guru madrasah yang selalu dikenang oleh murid-murid karena dia selalu memperlakukan mereka seperti anak kandungnya sendiri.
"Dekati dengan hatimu karena cinta itu harus ikhlas, jika kau gunakan hatimu maka hatinya pun akan tersentuh," Aini manggut-manggut meresapi setiap penjelasan Ibu.
"Nak, siswa-siswamu itu manusia, walau mereka masih sangat muda, perlakukan mereka sebagai manusia. Jadilah gurunya manusia!" Suara azan magrib menghentikan obrolan mereka.
Hati Aini lega. Dia kini tahu apa yang akan dilakukannya besok. Dia harus menjadi gurunya manusia. Memperlakukan semua siswa sebagai manusia yang selalu haus akan cinta dan kasih sayang.
--------
Pagi-pagi sekali Aini sudah mengeluarkan motor. Tas ransel besar menggantung di punggungnya. Dia sudah siap bertempur. Model pembelajaran dan berbagai media telah disiapkan plus notebook 12 inci yang jadi senjata utamanya.
Udara dingin tak menyurutkan semangat Aini. Badannya terbungkus jaket berbahan kaus tebal yang dilengkapi hudi. Helm warna biru muda melindungi kepalanya. Aini melaju di atas jalan aspal yang berlubang di sana sini.

Tiba di sekolah dia langsung menuju ruang TU, meminjam proyektor dan membawanya ke ruang kelas 8B, jadwalnya mengajar jam pertama.
Ada desir aneh di hatinya. Ini kelas Doni, siswa yang selalu menjadi bahan perbincangan di ruang guru, bukan karena prestasinya, tapi karena berbagai masalah yang dibuatnya.
Kelas masih sepi. Hanya ada dua anak perempuan yang baru saja membersihkan dan merapikan ruangan. Aini menyapa dengan mengucap salam, spontan sambil menjawab salam dua anak itu menghampiri dan mencium punggung tangannya. Selanjutnya Aini sibuk merangkai notebook beserta infocus dan berbagai perelengkapan lain yang akan digunakan .
Satu persatu siswa berdatangan setelah menyalami Aini, mereka duduk di kelompknya masing-masing. Kemana Doni? Sebentar lagi pelajaran dimulai, Aini menunggunya.

"Asalamualaikum," suara cempreng sedikit berteriak. Doni si pemilik suara sambil menyeringai langsung menuju tempat duduknya.
"Waalaikum salam," Aini menjawab salamnya dengan tersenyum.
"Senang sekali melihat kamu selalu bersemangat," lanjut Aini lagi, sementara beberapa siswa mulai kasak kusuk, bagi mereka hal aneh kalau ada guru yang mau memuji Doni.
"Baiklah, silakan KM, pimpin doa,"
Seluruh kelas hening, semua berdoa dalam hati masing-masing.
Kegiatan belajar mulai berlangsung, Aini mengamati kegiatan di tiap kelompok. Kelompok terakhir yang diamatinya adalah kelompok Doni. Aini menarik salah satu kursi yang tak berpenghuni ke dekat Doni, di situ dia duduk sambil sesekali bertanya pada Doni tentang materi yang sedang mereka kerjakan.

Cara Aini bertanya sekaligus membantunya menjawab, membuat Doni tidak merasa tertekan. Dia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya bahkan dia kemudian berani menyampaikan pendapatnya sendiri kepada teman-temannya.
Aini tersenyum. Dibelainya punggung Doni sambil berdiri dan kembali ke meja guru.
"Anak-anak, sekarang kita akan mengedarkan bola ini ke seluruh kelas sambil kalian bernyanyi lagu di sini senang, di mana pun bola ini saat lagu selesai, berarti dia yang akan presentas, siap?"
"Siaaaap!" Serentak seluruh siswa menimpali.
Aini bahagia, walau baru satu langkah, dia sudah berhasil membuat Doni fokus pada pelajaran. Tak perlu tergesa-gesa agar dia tetap merasa nyaman, pikirnya.
Terima kasih, Bu, jika bukan karena Ibu, mungkin aku tidak akan pernah tahu rasa bahagia yang hakiki. Walau ibu tak pernah mengecap bangku kuliah, tapi ketulusan hati ibu terhadap siswa telah mengantarkan mereka meraih kesuksesan. Aku bangga jadi  anakmu.

Namaku Aini #1


Setahun sudah Aini menjalani profesi sebagai seorang guru di sekolah menengah pertama satu-satunya yang ada di dekat tempat tinggalnya. Tidak terlalu dekat sebetulnya karena untuk menuju ke sekolah dia harus berjalan kaki sekitar satu kilo meter. Tak ada angkutan umum, kecuali ojeg. Naik ojeg akan menghabiskan uang honornya mengajar sehingga berjalan kaki menjadi satu-satunya pilihan.

Meskipun dia pernah belajar ilmu pendidikan di jurusan pendidikan, nyatanya hingga hari ini dia belum juga mampu menikmati profesinya. Menjadi guru bukanlah impian Aini. Cita-citanya menjadi karyawan perusahaan yang ada di perkotaan. Dulu dia selalu berdecak kagum setiap kali melihat perempuan-perempuan berpakaian kantoran. Pakaian seragam modis, sepatu hak tinggi, dan riasan yang mempercantik wajah. Tetapi, Ibunya yang kala itu menjadi guru madrasah lebih mendorongnya belajar ilmu pendidikan. Mulanya Aini menolak. Dia tak ingin hidup seperti ibu yang setiap hari hanya berkutat dengan berlembar- lembar tugas siswa. Sebelum mengajar, malamnya harus pula begadang menyiapkan alat peraga, menulis resume bahan ajar dan seabrek kesibukan lainnya. Belum lagi kalau di sekolah ada siswa yang membuat masalah. Benar-benar pekerjaan yang membosankan.

Untuk menyenangkan hati ibunya, saat mendaftar ke perguruan tinggi, dia menjadikan pendidikan guru Bahasa Indoneaia sebagai pilihan ke dua dan nasib mengantarkannya menjadi guru karena pilihan dua itu yang lolos. Menimbang kemampuan orang tuanya, Aini akhirnya menerima nasib.
Lulus tepat waktu, jika tidak dia harus membayar uang kuliah untuk semester berikut yang harus dijalani. Itulah konsekwensi beasiswa bidikmisi. Aini tak ingin menyusahkan ibunya.
Tak lama setelah wisuda, dia ditawari mengajar di sekolah tempatnya mengajar sekarang.
------
"Sudah paham?"
Tak ada jawaban. Semua hanya saling pandang.
"Baiklah, ibu jelaskan sekali lagi," Aini kembali menjelaskan dengan suara nyaring. Dia mulai terengah kelelahan. Ini penjelasan yang ketiga kali. Aini menjelaskan sambil matanya mengitari kelas. Matanya tertumbuk pada tiga orang anak yang tengah berbisik-bisik. Aini mengabaikan, dia benar-benar lelah. Dia melanjutkan penjelasannya, kali ini di bangku ke tiga dari depan seorang anak perempuan melirik sesuatu yang ada di dalam tasnya, sepertinya sedang bercermin. Dengan konsentrasi yang semakin hilang, Aini terus berbicara sampai akhirnya matanya menangkap basah Vito melempar sesuatu ke arah Andi. Aini sudah tak tahan lagi.
"Vito!" Tiba-tiba Dia berteriak keras.
"Bagaimana kamu bisa mengerti kalau tidak mendengarkan?" lanjutnya masih dengan suara tinggi.
Kelas hening seketika. Semua terdiam, apalagi Vito. Dia tertunduk dengan muka pucat. Aini terus melampiaskan kekesalannya dengan mengungkapkan kalimat-kalimat keras. Tanpa basa basi dia melangkah meninggalkan kelas. Semua murid tak ada yang berani bersuara. Mereka hanya memandang punggung Aini yang hilang di balik pintu.
-----
"Bu, aku mau berhenti mengajar," ujarnya sambil menghenyakkan tubuhnya di kursi tepat di sebelah ibunya.
Sekejap ibu menatap wajahnya, mencoba meyakini apa yang baru saja dia dengar.
"Kenapa?" tanyanya kemudian.
"Aku gak mampu jadi guru. Anak-anak itu tidak menghargaiku." Seterusnya adalah cerita kejadian tadi pagi meluncur lancar dari bibirnya.
"Ibu tidak bisa memaksamu mengikuti jalan hidup Ibu. Tapi, kamu belum lama mengajar. Mungkin kamu belum menemukan kesenangan mengajar seperti yang Ibu rasakan," jawaban bijak ibu.
"Aku sudah setahun mengajar, Bu. Aku memang gak cocok jadi guru."
"Baiklah bila itu keinginanmu, tapi tunggu!" ibu berdiri dan melangkah ke kamar. Aini menunggu dengan rasa ingin tahu.
"Bacalah ini!" Ibu menyodorkan selembar kertas.
Aini membaca surat itu. Surat dari salah seorang murid ibu. Isinya ucapan terima kasih karena ibu telah menyelamatkan masa depannya.
"Itulah kebahagiaan seorang guru. Bukan harta, tapi sangat tak ternilai." ibu mengucapkannya dengan wajah berbinar.
"Entahlah Bu. Aku tak mampu menghadapi mereka," Aini masih bersikukuh.
"Karena kamu belum melakukannya dengan ikhlas. Nak," ibu menatap wajah Aini lekat-lekat 
"Pahami apa yang mereka mau, mengerti apa yang mereka inginkan. Anak-anak itu sebenarnya haus pengetahuan, tapi setiap mereka berbeda. Mereka harus diperlakukan dengan cara berbeda." Aini mencoba mencerna kaka-kata Ibu. Teringat kembali dosen Psikologi Pendidikan yang pernah mengajarkan tentang Holistic caracter.

Tingkah laku mereka menunjukkan karakter mereka. Mengapa aku melupakan hal ini? Mereka bukan anak bandel, tapi aku yang tidak memahami mereka. Seharusnya aku mengajar sesuai karakter mereka.
Tiba-tiba saja Aini memeluk Ibu.
“Terima kasih, Bu. Selalu menjadi inspirasiku, aku mau belajar lagi supaya jadi guru seperti ibu."
Ibu tersenyum. Dia percaya Aini akan menemukan kebahagiaan  menjadi seorang guru,  sebagaimana yang selalu dirasakannya.


#cerpen #ceritaguru #belajarnulis   #semuabisanulis  

Senin, 01 Juni 2020

Senandung Cinta Reyna

Reyna hanya tertunduk, bahkan menatap punggung  Dika yang menjauh darinya pun dia tak sanggup. Ada luka yang menimbulkan rasa sakit. Dia menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya untuk menyembunyikan tangis, bahunya yang bergerak naik turun tetap tak bisa menyembunyikan hal itu.
"Dika" Laki-laki itu memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan.
"Reyna"
"Mau kemana?' Lanjut laki-laki yang sebetulnya sudah tidak muda lagi itu. Usianya mungkin sudah memasuki 40 tahun.
"Mau ke kampus"
"Ya udah ikut saya saja. Nanti kamu telat" Walau awalnya ragu, Reyna akhirnya mau memenuhi tawaran Dika. Di mobil Dika sudah ada dua bocah kecil yang menunggu.
"Ini anak-anakku" Dika mengenalkan bocah bocah itu seraya menyuruh anak anaknya untuk bersalaman dengan Reyna.
Honda CRV  melaju dengan tenang meninggalkan mobil bus yang tadi ditumpangi Reyna dan mengalami pecah ban. Pikiran reyna masih diliputi kekhawatiran akan terlambat mengikuti ujian sidang skripsi. Dia sudah mati-matian mempersiapkan semuanya. Dia sudah bertekad untuk mendapatkan nilai terbaik, dia tak mau jika harus gagal gara-gara datang terlambat.
"Kamu buru-buru, ya?"  Dika menyadari kegelisahan Reyna. Dia mempercepat kendaraannya saat melihat anggukan tipis gadis mungil yang duduk di jok bagian tengah bersama salah seorang anaknya.
"Kamu kuliah jam berapa?" Dika berusaha menguraikan diamnya Reyna.
"Saya hari ini akan ujian siding skripsi. Jadwalnya jam Sembilan" 
"Oke, kita akan sampai  seperempat  jam sebelum jam Sembilan. Kamu kuliah di Jalan Surapati, kan? Kamu tidak usah khawatir"
Jam Sembilan kurang sepuluh menit CRV sudah berhenti di depan salah satu gedung di kampus itu.
"Maaf lewat lima menit" 
"Tidak apa. Terima kasih, Pak"  Reyna tidak banyak berbasa basi. Dia langsung lari meninggalkan Dika dan anak-anaknya.
Begitulah awal perkenalan mereka. Jika kemudian tanpa rencana mereka bertemu lagi, sudah barang tentu Reyna tidak bisa menolak ajakan Dika untuk makan siang bersama. Paling tidak sebagai balas jasa karena telah menyelamatkannya dari kegagalan mengikuti ujian sidang skripsi.
Pertemuan demi pertemuan itu akhirnya menjadi kebutuhan yang menimbulkan rasa kangen. Saat ada rentang waktu yang membatasi untuk bertemu, ada rasa sesak yang menekan dada.
Reyna tau, Dika mempunyai istri dan dua anak. Kehidupan rumah tangga  mereka juga tidak dalam masalah. Dika juga sering bercerita tentang kelucuan anak-anaknya. Sekali-sekali Dika juga bercerita tentang kegiatan dia dan istrinya. Tidak ada yg patut membuat Dika harus meninggalkan keluarganya. Reyna hanya bertahan demi rasa cinta yang perlahan-lahan tumbuh di hatinya.
Kelembutan Dika, perhatiannya pada keluarga, juga perhatian dan kepeduliannya pada Reyna telah menjerat gadis itu pada satu keinginan 'memiliki Dika'.
Semakin dia berusaha untuk menjauh dari Dika, semakin kuat rasa rindu yang dirasakannya. Tak ada lagi logika si Cerdas Reyna.  Kebutuhannya untuk selalu bersama Dika telah membuatnya melupakan segala aturan main yang menjadi prinsip hidupnya.
Hingga akhirnya...
"Reyna, spertinya ini pertemuan terakhir kita. Ada yang salah dengan semua pertemuan ini"
"Maksud, Bapak?" Jemari Reyna yang sedari tadi asyik memainkan sedotan dalam gelas milkshake-nya, tiba tiba terdiam kaku. Wajahnya menegang.
"Reyna, selama ini saya tidak pernah berbohong padamu. Saya memiliki keluarga. Kehidupan kami bahagia. Tidak ada yg kurang. Tapi saya telah menghianati mereka dengan menyimpan kamu dalam salah satu ruang hati saya"
"Tapi, Pak. Ini sudah berlangsung lama. Sudah lima tahun. Saya bahkan telah melupakan mimpi-mimpi remaja saya demi untuk selalu dengan Bapak. Saya mencintai Bapak."
    "Reyna...Itu tidak mungkin."
    "Mengapa tidak mungkin? Bapak Egois! Usia saya sekarang sudah 28 tahun. Bapak telah merebut masa masa muda saya dan sekarang?"
    "Reyna...Maafkan saya. Saya tetap pada keputusan saya. Anak-anak saya sudah mulai remaja. Mereka tidak boleh membenci saya. Saya mencintai mereka" Dika bangkit.
    "Reyna....Terima kasih untuk semua hari-hari manis yang sudah kita lalui. Sekali lagi maaf..." Dika pun melangkah meninggalkan Reyna.

Senin, 28 November 2016

Bahagiaku Bersamamu



    Vivi Vilawati

Bagi Reva, seakan tak pernah bosan bermanja-manja di pangkuan sang suami tercinta, memandang wajahnya yang berjerawat, memainkan rambutnya yang super keren “katanya” sampai memijit hidungnya yang mancung,, yaa itulah yang membuat  perempuan 25 tahun itu selalu terlihat bahagia memiliki suami yang sausianya. Hidup bersama Rayhan Saputra dijalaninya sudah hampir satu tahun.  Perempuan yang berprofesi sebagai guru bantu di Sekolah itu seakan tak pernah bisa sehari saja untuk tak bahagia, bukan karena kehidupannya yang layak dan serba mencukupi, namun karena Reva menyadari bahwa segala yang ia miliki semua patut disyukuri , itulah yang selalu membuatnya bahagia menjalani hidup ini.  
Reva yang walau hanya tinggal bersama seorang ibu, tak pernah merasa sedih ataupun kekurangan kasih sayang. Sebelum anak perempuannya itu menikah, Lasmini tak pernah mengabaikan apapun yang diminta anak gadisnya itu, semua kebutuhan Reva dicukupinya dari hasil membuka kios dagangan miliknya. Walau dirinya hanya seorang janda, Lasmini ternyata membuktikan bahwa dirinya mampu mengurus Reva hingga anak gadisnya itu mampu menyelesaikan pendidikan Strata 1 di perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Lasmini sangat perduli pada kehidupan Reva. Mulai dari hal terkecil, sampai pada ketika Reva dilamar oleh Ray pun, Lasmini tetap tak pernah membuat Reva bersedih. Walau sebenarnya Lasmini sudah punya pilihan laki-laki yang lain yang dikiranya pantas untuk Reva. Namun ketika dengan raut muka yang sangat menggambarkan kebahagiaan itu mengatakan
“Ibu, aku sangat mencintai Ray. Empat tahun bukanlah waktu yang sedikit untuk membuat aku meyakinkan hatiku bahwa Ray adalah laki-laki terbaik yang pernah aku temui di dunia ini”.
 Mendengar perkataan yang begitu mengharukan dari sang anak, akhirnya Lasmini pun membatalkan niatnya untuk menjodohkan Reva dengan laki-laki pilihannya. Reva terlihat sangat tulus ketika mengatakan hal yang membuat hati sang ibu terharu, Reva terlihat penuh harap dengan hubungan yang sudah dijalaninya dengan Ray. Lasmini akhirnya mengiyakan keinginan Reva dan menerima lamaran Ray dan keluarganya.
 “Untukmu anakku, apapun akan aku lakukan” usik Lasmini dalam hati.
Berjalanlah resepsi pernikahan yang sungguh istimewa dan berkesan elit. Keluarga besar Ray yang hartawan sekaligus dermawanlah yang mempersiapkan segala kebutuhan acara pernikahan mereka. Lasmini bersyukur dirinya dapat dipertemukan dengan orang-orang yang baik dan mau menerima ia dan anaknya tanpa memandang derajat.
Bahagianya Reva dan Ray bak Raja dan Ratu di kayangan yang mempunya segalanya. Yaaaaa, segalanya, “cinta diatas segalanya”, begitulah ujar Reva pada Ray ketika mereka bercanda di taman belakang rumah. Bak ratu di istana, Reva tak pernah dibiarkan menyentuh pekerjaan apapun oleh Ray. Semua pekerjaan rumah di tugaskannya kepada pembantu, begitu pula ibu mertua yang sangat dihormatinya itu tak pernah ia biarkan melakukan pekerjaan apapun.
“nak, ibu rasa, kita perlu tinggal di rumah sebesar ini, rumah ibu yang lama kan masih layak untuk kita tempati, lagipula ibu masih terbayang semua kenangan yang terjadi di rumah itu ! “ ujar sang ketika Reva dan Ray hendak masuk ke dalam rumah.
“bukan maksud Ray memisahkan ibu dari kenangan indah itu bu, Ray hanya ingin ibu dan Reva benar-benar merasakan kehidupan yang lebih baik. Maafkan jika ini menggores hati ibu, tapi sungguh, Ray hanya ingin kita bahagia”  jawab Ray dengan penuh harap agar sang ibu mau tetap tinggal bersamanya.
Reva yang berdiri sambil menggandeng tangan Ray hanya tersenyum manis sebelum ia berkata “ibu, dimanapun kita tinggal, yang terpenting adalah kita tetap bersama, iyaa kan buu ?” ujar Reva sambil memeluk Lasmini. “baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Ibu hanya ingin anak menantu ibu bahagia”. Jawab Lasmini sambil membalas pelukan Reva.
Termasuk pula Reva yang akhirnya harus berhenti dari tugasnya sebagai tenaga pendidik. Bukan karena Ray tak menghargai profesinya, namun Ray pikir, istri adalah perhiasan yang harus benar-benar dimuliakan. Maka dari itu, Ray meminta Reva untuk beralih menjadi bidadari di istananya. Berbulan-bulan Ray dan Reva memadu kasih dalam mahligai rumah tangga yang membuat keduanya larut dalam kebahagiaan. Tak ada yang membuat mereka bersedih, walau pertengkaran kecil selalu menjadi bumbu pada pernikahan mereka. Namun, Tuhan tak selamanya memberikan kebahagiaan pada  mahluknya, adakalanya, hadiah Tuhan dibungkus dengan lapisan masalah yang memilukan.
Sore itu, dengan suasana hati yang teramat tegang namun mencoba untuk pasrah, Reva duduk bersandar di bahu Ray yang masih menggunakan stelan jas yang selalu dipakainya ketika bekerja. Setelah menikah Ray, memang beralih jabatan, yaitu sebagai Direktur Utama di perusahaan sang Ayah, itulah sebabnya banyak waktu yang ia habiskan di kantor.
Dengan hembusan nafas yang hampir tak terdengar, Reva mencoba untuk tenang, dan berkata
“Ray, aku tak sanggup jika harus kehilang ibu saat ini juga, aku belum bisa membahagiakannya” .
Ray mengubah posisi duduknya, kali ini Ray lebih terlihat seperti sedang memeluk Reva
“ Sayank, jodoh,rezeki dan kematian itu adalah taqdir-Nya, apapun takkan bisa mengubahnya jika Allah sudah menentukannya”.
Reva terdiam, tanpa terasa, dua butir embun yang sedari tadi ditahannya kali ini harus terjatuh karena kesedihan yang amat mendalam. Ibunda yang divonis positif terkena stroke saat ini sedang berjuang melawan dahsyatnya sakit yang dirasa. Dua bulan setelah pernikahan Reva, wanita paruh baya dengan usia 50 tahun itu sudah tak kuasa lagi walau hanya berjalan ke kamar mandi, darah tinggi yang dideritanya setahun belakangan ini ternyata membuat Lasmini harus berhenti melakukan seluruh rutinitasnya, dari mulai mengerjakan seluruh pekerjaan rumah sampai rutinitas yang selama ini menjadi pengasilannya, yaitu membuka kios di depan rumah pun sudah tak lagi ia lakukan.
“Ray, aku ingin sekali menemani ibu yang mungkin ini akan menjadi saat-saat terakhirnya”
celoteh Reva sebari membenarkan posisi duduknya agar terlihat lebih tegar.
 “Sayank, dokter sedang mencoba memberikan pertolongan pada ibu, sebaiknya kita menunggu saja. Dan bukankah lebih baik kita berdo’a dibanding kita gelisah tak menentu seperti ini”
kata Ray yang berusaha menenangkan sang istri. Reva mengangguk sebari menundukkan kepalanya dan entah apa yang dikatakannya pada sang pencipta, mungkin ia meminta agar Allah menyembuhkan ibu yang selama ini merawatnya. Walau ia tahu, bukan Lasmini yang telah melahirkannya ke dunia ini.
 Banyaknya orang yang berlalu lalang di lorong rumah sakit itu, membuat suasana hati sepasang suami istri itu semakin tak tenang, keduanya ingin segera mengetahui bagaimana kondisi sang ibu saat ini. Jika melihat kondisi di rumah tadi, rasanya taka ada lagi harapan untuk wanita pengidap darah tinggi itu hidup. Badan yang sudah hampir seluruhnya mati, semakin sulit untuk menghembuskan nafas-nafas yang menyambungnya untuk tetap hidup. Lasmini memang tak banyak diobati dengan berbagai alat medis, karena dokter menyarankan, bahwa penderita stroke sebaiknya perlu menjalankan beberapa terapi agak membantu proses penyembuhan otot-otot yang kaku.
Sudah beberapa kali Reva membawa ibunya pada tempat-tempat terapi, namun hasilnya tetap saja nihil. Kian hari keadaan Lasmini kian memburuk. Sedari pagi, Lasmini meringis kesakitan, entah apa dan bagian mana yang terasa sakit kali ini, jangankan untuk menengokkan kepala pada arah samping, untuk mengalihkan pandangan mata saja terlihat sangat sulit, hal inilah yang membuat Reva segera mengambil keputusan untuk meminta pertolongan untuk ibunda pada pihak rumah sakit. Ray yang sedang bekerja, saat itu pun terpaksa harus pulang karena tak kuasa mendengar istrinya menangis ditelpon menceritakan bagaimana keadaan ibunya.
Pintu yang hampir seluruh bagiannya terbuat dari kaca tebal itu mulai terbuka, Reva dan Ray dengan sigap segara berdiri dan menghadap pada seorang dokter laki-laki yang keluar dari pintu besar tadi.
“Dok, bagaimana kondisi ibu saya ?”
Tanya Reva dengan harap-harap cemas. Dokter berkaca mata itu terlihat sulit sekali untuk menjawab, hingga Ray pun angkat bicara
“ Dok, ibu saya bagaimana ? baik-baik saja kan ?”
Tanya Ray sebari melingkarkan tangannya pada bahu Reva, dan ternyata Reva mulai mengeluarkan air mata pilunya. Dengan wajah yang murung dan tak enak untuk dipandang, akhirnya dokter itu pun menjawab
“ Mohon maaf sebelumnya Bu Pak, dengan berat hati saya katakan, ibu Lasmini, sudah tiada. Tekanan darah yang sangat tinggi membuat jantungnya tak mampu untuk memompa darah, sehingga ibu Lasmini tidak dapat terselamatkan. Ibu dan Bapak yang sabar yaaa, saya turut berduka”.
Sungguh bak tersambar petir di siang hari. Badan yang sedari tadi sudah setengah lemas, kali ini dibuat seperti tak berdaya, mata yang mulai deras mengeluarkan airnya dan hati yang sungguh sakit bak tertusuk anak panah. Reva yang menjerit histeris mendengar jawaban itu segera dipeluk erat oleh Ray.
 “Ibuuuuuuuu, jangan tinggalin Reva bu, Reva belum bisa bahagiain ibuuuuuu”.
Dengan isak tangis dan nafas yang tersendu-sendu Reva masuk ke ruang ICU dengan diikuti Ray. Tak kuasa menerima semuanya, dipeluklah dengan erat jenazah sang ibunda oleh anak perempuan yang 25 tahun lamanya menemani hidup sang ibunda dengan penuh suka cita. Sebari menggoyah-goyakan badan sang ibunda Reva terus menangis, Ray yang tak kuasa melihat sang istri hanya mampu menenangkannya dalam pelukan dadanya yang bidang.
2 bulan sudah kepergian ibu. Reva yang mencoba untuk mengikhlaskan segalanya ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Ray yang selalu ada disampig Reva tak pernah kehabisan akal untuk selalu membuat Reva bahagia. Kecintaannya pada Reva yang membuat segalanya menjadi  bukanlah sebuah beban, tapi memanglah sebuah keharusan.  Dan usahanya ternyata tak sia-sia, menjelang bulan ke 4 dari perginya ibunda, Ray dan Reva terkejut dengan hasil tes yang telah dilakukannya pada dokter kandungan beberapa hari yang lalu. Reva positi hamil. Itulah salah satu cara Tuhan memberikan yang terbaik untuk mahluknya. Ketika sang ibunda pergi meninggalkan dunia yang fana ini, maka Tuhan memberikan hal yang paling diharapkan oleh seorang wanita, yaitu seorang bayi yang akan lahir dari rahimnya. Kesedihan yang sudah berlalu diganti-Nya dengan harapan-harapan untuk bahagia dengan dikaruniainya seorang calon anak.

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....