Selasa, 24 Januari 2012

Lelaki dan Payung Hitam



Guyuran hujan deras yang membasahi bumi telah membuat senja kehilangan jingganya, sisa-sisa butir hujan masih menenggelamkan langit dalam gelap. Sore yang dingin dan seorang laki-laki paruh baya berjalan di tengah derasnya hujan dengan payung hitam melindungi tubuhnya. Dia berjalan gontai sambil sesekali mengusap wajahnya dari cipratan air hujan yang terbawa angin.
“Bu, maaf numpang tanya," dia menyapa seorang perempuan pedagang kaki lima yang sedang duduk termenung sambil menatapi hujan yang belum juga reda.
“ya..?”
“Ini jalan Jendral A.Yani,  kan?” lanjutnya kemudian
“Iya betul, Bapak mau mencari siapa?” tanya perempuan itu.
“Saya mencari rumah kawan lama saya, namanya Rahma, Ibu tau rumahnya?” laki-laki paruh baya itu bertanya dengan penuh antusias
“Rahma....., maaf pak... seingat saya di sini tidak ada yang namanya Rahma,” perempuan itu menjelaskan.
Laki-laki paruh baya yang berjalan dalam derasnya hujan terus berusaha menemukan alamat yang dia cari, matanya terpaku pada segerombolan pedagang durian, aroma durian melambungkannya pada kenangan masa lalu, saat dia dan Rahma menjadi dua orang yang saling mencintai.
Januari berpuluh tahun yang lalu, Dia dan Rahma berjalan berdua di bawah lindungan payung hitam, di tengah derasnya air hujan dan aroma durian yang dijual orang disepanjang jalan. Mereka berpelukan saling melindungi dan entah siapa yang memulai dalam deras hujan bibir mereka bersentuhan mesra.
Rahma....gadis itu tersipu malu, ketika tiba-tiba sebuah mobil melintas dengan cepat dan cipratan genangan air menyentuh wajah mereka, merekapun mengakhiri ciuman pertama itu.
Sejak hari itu, Rahma telah menjadi perempuan istimewa di hatinya. Apapun yang dilakukannya selalu bermuara untuk kebahagiaan Rahma. Tidur dan bangunya, bahagia dan gelisahnya adalah Rahma.
Cinta yang tumbuh dan mengisi di setiap relung hatinya, mengalir deras di dalam pembuluh darahnya, mendesak hebat dalam jantungnya, ternyata tak dapat dimilikinya. 
Suatu hari Rahma datang kepadanya dengan isakan.
“Haekal.. aku tidak ingin berpisah denganmu,” ucapan Rahma membingungkannya
“Ada apa Rahma, siapa yang akan berpisah ?” Haekal bertanya kebingungan
“Kita,...kita akan berpisah Haekal!”
“Tapi, kenapa?” Haekal berusaha tetap tenang, walau ada kecemasan di hatinya. 
“Papa dan Mama melarang aku bertemu denganmu lagi”
“Apa salahku?”
“Aku juga tidak mengerti Kal, kata mereka aku terlalu muda untuk jatuh cinta.”
“Tapi aku juga tidak ingin berpisah dengan kamu Rahma. Aku betul-betul sayang sama kamu," Haekal memeluk erat Rahma, kekasihnya. Dia betul-betul takut kehilangan. Malam berlalu dengan linangan air mata mereka berdua, sampai akhirnya orang tua Rahma menemukan mereka dan memaksa Rahma pulang.
Rahma memang masih muda bila dibandingkan dengan usianya, Rahma baru kelas 3 SMP, sementara dia telah menjadi karyawan di sebuah perusahaan. Tapi baginya Rahma bukanlah seorang bocah manja yang menuntut perhatian dan minta dihadiahi macam-macam barang, Rahma berbeda dari anak-anak seusianya. Dia gadis yang memiliki pemikiran matang dan dewasa.
Sejak hari itu, Haekal tidak lagi bisa menemui Rahma, Papa dan Mamanya telah memindahkannya ke luar kota. Bukan tidak ada usaha Haekal mencari Rahma, tetapi Rahma seperti di telan bumi, tak ada seorangpun yang tau dimana keberadaanya.
Setelah pencariannya yang gagal, dan usaha kerasnya melupakan, akhirnya Haekal memutuskan menerima perempuan yang diperkenalkan keluarganya sebagai istri. Demi ketenangan rumah tangganya, Haekal meminta dipindahtugaskan ke kota lain. Sejak itu dia tidak pernah pulang menjenguk kampung halamannya.
Hidup Haekal cukup bahagia dengan istrinya, mereka dikarunia seorang anak perempuan bernama Vita, tetapi tiga tahun yang lalu istrinya meninggal karena sakit ginjal yang dideritanya. Akhirnya Haekal hanya hidup berdua dengan anak tunggalnya..
“pa...” Vita gadis tunggalnya telah bergayut manja di sampingnya
“Ada apa sayang....? biasanya kalau begini pasti ada yang penting” Dia menggoda anak gadis kesayangannya itu
“Pa, kata Pandu, dia mau melamar Vita” begitu hati-hati Vita menyampaikan hal ini.
Haekal terdiam....tiba-tiba dia begitu ketakutan, mengapa miliknya satu-satunya ini harus pergi juga. Siapa yang akan menemani hari-harinya nanti?..... tetapi bukankah memang Vita sudah dewasa, Vita berhak atas kebahagiaanya.....
Lama Haekal tercenung, terjebak dalam kebimbangannya sampai kemudian terdengar lagi suara Vita
“Papa tidak keberatan kan?”
“ eh......... eh..... tentu tidak... tentu tidak..” gelagapan Haekal menjawab
Pernikahan Vita akhirnya berlangsung, karena Pandu bekerja di luar kota, Vitapun akhirnya meninggalkannya. Dan Haekal benar-benar sendiri.
Laki-laki separo baya itu, tiba-tiba teringat akan kampung halamannya, teringat akan cinta yang tertinggal di sana, teringat akan Rahma. Dia betul betul merindukannya.

Sore ini di tengah derasnya hujan, Haekal, laki-laki separuh baya itu, kembali berjalan di tengah guyuran hujan, di antara seksinya aroma durian, dengan payung hitam yang sama. berusaha menemukan cintanya lagi.
Hujan belum juga reda. Dia berjalan ke arah salah satu pedagang durian untuk sekadar berteduh dan beristirahat, seorang wanita telah berada di  situ sedang menawar durian, Haekal memperhatikan perempuan itu dengan seksama, darahnya berdesir....jantungnya berdegup dengan kencang....Dia mengenali perempuan itu.. sangat mengenalnya........
“Rahma.....” disebutnya juga akhirnya nama itu
Perempuan itu menoleh, dipandanginya Haekal dengan takjub, lama dia terdiam seakan tidak percaya dengan pemandangan yang ada dihadapannya
“Kamu ..... kamu.......Haekal kan?” Hanya kata itu yang meluncur dari bibirnya, yang terucap dengan getaran penuh ketakjuban.
“Ya.. aku Haekal... apa kabar Rahma?”
Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir Rahma hanya sebutir bening mengembang di matanya bercerita banyak tentang perasaan apa yang saat ini tengah menderanya, hingga akhirnya, setelah Dia mampu meredakan gelombang besar yang melanda hatinya...
“Kamu kemana saja Kal, aku sudah sangat lelah menunggumu, aku kira kamu tidak akan pernah muncul lagi...aku kira kamu telah melupakan aku.....” dan isakan itupun pecah berubah menjadi tangis yang memilukan. Rahma menghambur dalam pelukan Haekal, laki-laki yang tidak pernah hilang dari hatinya..laki-laki yang selalu ada dalam do’a do’anya.... Sayup-sayup suara Acil Bimbo mengalun lembut dengan lagu payung hitamnya..........
Hujan Merata di Kota Manis kasihku
Jalan di depanku menyambut hampa
Musim Durian Bertahun lalu di sini
Dalam Gelap Hujan Mesra Kau Pinta


Januari 2012
love

Aku Akan Tetap Hidup Walau Tanpa Cintamu

Mendung yang menggelayut di langit mulai meluruhkan gerimisnya yang tipis, tapi akankah gerimis ini akan berganti menjadi hujan yang deras mengguyur? Atau akan menguak gelap hingga lembayung senja perlihatkan senyumannya yang cantik?, Entahlah…..
Kehadiranmu dalam hidupku, telah membangun sebuah menara cinta yang begitu kokoh dan tinggi di dasar hatiku, kemudian kau melambungkanku ke puncaknya yang tertinggi, aku bahagia berada di atas sana, memandangi setiap burung yang melintas, berarak menebar harapan akan masa depan. Lalu mengapa hari ini kau ingin merobohkan menara itu?, pada saat aku begitu bahagia berada di puncaknya? Aku hanyalah pemilik rasa yang begitu takut akan luka. Tetapi hari ini kau hadirkan sembilu dalam hatiku.
Atas nama rasa, ku katakan padamu, aku tak ingin kehilanganmu. Aku tak ingin meluruhkan semua mimpi indah yang ku miliki, tentang kita. Lalu apa yang harus kukatakan kepadamu? Haruskah ku teteskan air mata, agar kau tau betapa dalam rasa yang aku miliki terhadapmu?
Tak akan sirna dalam alam sadarku, ketika kau sentuh lembut dinding-dinding hatiku, menyenandungkan kisah tentang nyayian alam yang menawarkan kesejukan pagi, lalu mengapa hari ini kau katakana kata perpisahan ini?
“Reina, aku betul-betul minta maaf, aku tak ingin menyakitimu…tapi…. Aku harus melakukan ini…” Inilah penjelasan paling tak logis yang pernah mampir dalam gendang telingaku. Bila kau tak ingin menyakitiku, mengapa kau lakukan semua ini?. Kau yang dulu memulainya, tapi mengapa harus diakhiri?
“Reina, aku memang salah……. Seharusnya aku tidak pernah memulai semuanya ini?’
Ya….itulah yang kau lakukan kepadaku, Kau ketuk lembut pintu hatiku, kuijinkan kau masuk, kau biarkan aku menebar harapan, berharap akan menuai bahagia itu terus bersamamu, lalu hari kau mohon diri, pamit untuk meninggalkanku.
“Dia tunanganku, aku telah terikat janji dengannya…, aku tak mungkin meninggalkannya..” itulah penjelasanmu.
Mengapa hari ini kau akui itu di hadapanku, dan mengapa dulu kau melupakan Dia untukku? Apakah aku memang pantas untuk kau sakiti….? Bukankah kau yang selalu mengatakan kepadaku, aku adalah perempuan yang telah membuat hari-harimu penuh dengan harapan…
Walau sakit, walau perih, walau luka, aku tak akan teteskan air mataku di hadapanmu. Bukan karena cintaku telah pupus, bukan pula karena kau tak lagi berarti untukku, tapi karena aku memang harus terus melangkah, aku tak akan biarkan hidupku terpuruk, aku harus sanggup menghadapinya, maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok yang bahagia, dan aku yakin di depan sana Tuhan telah menyiapkan laki-laki terbaik untukku.. Semoga



GITAR KECIL DIKA






”… maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”

Kata-kata ini  terus bergema dalam ingatanku, dan pada saat bersamaan wajah Dika, bocah 10 tahun itu melintas jelas di pelupuk mata.

Sekitar sebulan lalu aku berkenalan dengannya, keberadaanya menarik perhatianku, seragam sekolah yang dikenakan dan tas ransel yang bergayut dipunggungnya, tentu dia baru saja pulang sekolah, tapi gitar kecil yang ditentengnya dan dengan gesit  berlarian ke sana ke mari meyelinap di antara mobil-mobil yang terjebak lampu merah, lalu bernyanyi sesaat dan menerima lembar ribuan yang disodorkan pengendara mobil, itu yang berbeda.

Lampu hijau kembali menyala, dia berlari kecil ke arah halte tempat aku berteduh, tempat biasa aku menunggu Mas Heru menjemput. Wajahnya penuh keringat, Dia asyik menghitung uang lembaran seribuan dan beberapa recehan lima ratus rupiah, yang baru saja diterimanya.

“Dapat banyak Dek?” tanyaku iseng, sejenak dia mendongakkan wajah ke arahku
“Lumayan kak,” ujarnya sambil tersenyum sumringah
“Uang sebanyak itu untuk apa?” tanyaku mencoba menyelidik
“Macam-macam kak, tapi ini juga masih kurang” jawabnya tetap santai sambil menyeka keringat yang masih menempel di kening.

“Memang uangnya untuk apa, sebanyak itu masih kurang?” Aku menggeser dudukku mendekatinya, Dia tidak segera menjawab, hanya menatapku sambil senyum malu-malu.

Mas Heru belum muncul juga, iseng ku keluarkan notes kecil yang biasa kugunakan untuk menulis ide-ide kecil yang melintas di saat aku tidak berada di tempat yang pantas untuk mengeluarkan laptop, kubuka halaman notes kecil itu, sebuah coretan pendek yang tertulis dengan ukuran huruf yang besar, terbaca “ … .maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”
“Tulisan apa tuh kak?” Anak itu menyorongkan kepalanya, ikut membaca tulisan itu
“Oh..ini kata kunci untuk ikut ngeramein Ramen”
“Artinya apa ?”
“ Apa ya…? , mungkin maksudnya kita harus tetap bersemangat menghadapi dunia, apapun yang terjadi. Dan tetap optimis bahwa di depan ada hari esok yang lebih baik” bingung juga aku menjelaskan pada bocah kecil ini, aku sendiri pun belum tahu akan diselipkan di bagian mana kata kunci ini. Anak itu hanya mengangguk-angguk kecil dengan penjelasanku, aku tidak yakin dia mengerti.

Tiba-tiba dia berdiri seraya berkata 
“Maaf kak, lampu merah lagi..” sambil berlari cepat ke jalanan.
Setelah perkenlan itu, aku jadi tau namanya Dika, dia tinggal tidak jauh dari tempat kami biasa bertemu, Dia adalah murid kelas empat sebuah sekolah dasar. Tapi aku masih belum tau mengapa di usianya yang sekecil itu sudah sibuk mencari uang, kadang-kadang malah harus pula menghadapi sikap kasar anak-anak jalanan lain yang lebih besar darinya.

Suatu hari, di panasnya udara, di antara bisingnya deru kendaraan yang memadati jalanan ibu kota, dia menghampiri dengan senyum bangga.
“Kak, uang tabunganku sudah banyak, Kak, kata Ibu kalau digabung dengan uang yang dikumpulkan Ibu dan Bapak sudah hampir cukup”
“Ah.. kamu tuh bikin kakak bingung, memangnya uang itu untuk apa?.. setiap kali kakak tanya soal itu kamu tidak pernah menjawab” aku pura-pura merajuk, setelah hampir sebulan aku berteman dengannya dia masih saja merahasiakan yang satu ini.
“he he he…” Dika hanya nyengir, memperlihatkan gigi serinya yang kecil-kecil seperti gigi kelinci.
“Ayo dong kasih tau kakak” bujukku
“Tapi Bapak dan Ibu melarangku untuk menceritakan ke siapa-siapa kak?’
“Lho.. kenapa”
“Ini rahasia keluarga, kata Bapak begitu, kata Ibu ini aib, tidak boleh cerita kesiapa-siapa”
“Ya… udah deh, kalau begitu kakak gak akan tanya-tanya lagi..”
“tapi…kalau aku cerita, kakak tidak akan menjauhi aku kan?” tatapannya penuh selidik juga rasa khawatir, aku tersenyum sambil mengangkat dua jariku “tentu tidak, kakak janji!!!”
“Uangnya untuk berobat kak” bisiknya sangat pelan ke dekat telingaku sambil menoleh ke kiri dan ke kanan takut ada orang lain yang menguping percakapan kami
“Berobat siapa?, siapa yang sakit?” tanyaku tak kalah pelannya dengan suaranya tadi
“Enggak ah…nanti kalau kakak tau, terus gak mau lagi berteman dengan saya” kembali dia mengucapkan kata yang sama, dengan kecemasan yang sama.
“kakak janji!!, kakak akan tetap jadi teman kamu, apapun yang terjadi”
“kata dokter, aku ….” Kembali keraguan menghentikan ucapannya, aku hanya menunggu tidak tega kalau terus memaksanya, walau aku begitu ingin tau.
“kata dokter, aku mengidap virus HIV” serasa mendengar ledakan yang begitu dasyat, yang akan meledakkan jantungku, aku tak tau seperti apa ekspresi wajahku saat itu, aku hanya bengong tanpa tau harus berkata apa.
“Kak, kakak masih mau berteman dengan aku kan?” begitu memelas ucapan itu, tapi HIV????, yang aku tau HIV itu mudah menular, jangan-jangan aku nanti tertular karena sering berdekatan dengannya, karena menyentuh tubuhnya yang berkeringat, jangan..jangan… oh tidak!

Tidak sepatah katapun yang dapat aku ucapkan saat itu, lidahku tiba-tiba kelu, jantungku berdetak sangat cepat, sebenarnya aku begitu iba ketika melihat sorot matanya yang putus asa, tapi aku tidak mampu menutupi kengerianku sendiri. Aku tinggalkan Dika dengan kekecewaannya, sayup-sayup masih terdengar teriakannya ketika aku menaiki taxi “Kak, kita masih berteman kan?”

Sejak aku tahu Dika adalah penderita HIV, aku tidak lagi menunggu Mas Heru di halte yang sama, aku berusaha menghindar, berjumpa dengan Dika hanya akan membuat aku menyakiti hatinya walau sebenarnya akupun tidak mampu berhenti memikirkannya.

Kerinduanku pada Dika, membuat aku mencari tahu tentang penyakit ini, browsing di beberapa web kesehatan telah membuka mataku, menyadarkan aku tentang sikapku yang salah, sekarang aku sangat merasa bersalah terhadap Dika.

Siang ini, aku kembali menunggu mas Heru di halte tempat aku dan Dika biasa bertemu, aku ingin bertemu Dika, melihat lagi senyumannya, mengagumi lagi semangatnya,tapi kemana dia?Kemana bocah kecil kurus yang selalu bersemangat dan tak kenal menyerah, mengumpulkan seribu demi seribu demi kesembuhannya ?
Tiba-tiba, 
”Kaka, kakak!” Aku menoleh ke arah asal suara. Di antara mobil-mobil yang berhenti menunggu lampu hijau menyala, Dika tengah melambaikan tangan ke arahku, wajahnya sangat bahagia, 
"Kakak, aku di sini!” teriaknya lagi. Lampu hijau menyala lagi. Tiba-tiba saja sebuah sepeda motor melaju kencang dari arah belakang  mobil, dan……
”Dika!” aku berteriak keras, melihat tubuh kecilnya terpental ke aspal keras, setelah motor itu menghantam tubuhnya.

Aku berlari ke arah tubuh Dika yang bersimbah darah, bahkan aku tak peduli lagi beberapa pengendara yang memaki karena  menyeberang begitu saja. Dika hanya mengerang perlahan lalu diam, di sisinya sebuah gitar kecil tergeletak diam. Orang-orang mengangkat jasad Dika ke atas metromini yang lewat, sementara aku hanya berdiri mematung membaca coretan kecil pada bagian sisi gitar kecil milik Dika yang nyaris hancur, di situ tertulis : “… maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok…”.

Senin, 12 Desember 2011

Aku Bukan Anak Durhaka

“Kamu memang anak durhaka.. seharusnya kamu memihak mama, mama kandungmu!!”, sumpah serapah itu meluncur deras tanpa ada jeda dari mulut mama, masih banyak lagi kata-kata makian lain yang mama tujukan kepadaku, telunjuknya menari-nari tepat di depan hidungku, aku hanya mengalihkan pandangku ke sisi lain, menghindari tajamnya tatapan mata mama melalui pupil mataku dan terus menghujam ke dalam jantung dan menyakiti perasaanku. tanpa menjawab sepatah kata pun.
Mataku akhirnya tertambat pada dua ekor anak kucing yang sedang tertidur lelap dalam pangkuan induknya.
Pemandangan seperti ini, ketika seekor induk kucing mendekap erat anak-anaknya yang tertidur lelap, pastinya sesuatu yang sangat biasa, tapi tidak kali ini, tiba-tiba aku memimpikan menjadi anak kucing itu, betapa bahagianya berada dalam pelukan mama yang penuh dengan kasih sayang.
Mamaku??, Dia adalah sosok yang tidak bisa kupahami, di dalam memoriku tidak satupun tertinggal kenangan yang indah antara aku dan mama, selayaknya jalinan kasih antara seorang anak dan mamanya, yang ada di kepalaku hanya hal-hal buruk, yang membuat aku begitu ingin menghindar darinya.
Pagi tadi aku kembali berkunjung ke rumah bunda Rara, teman papa, tepatnya kekasih papa. Di tempat bunda Rara justru aku merasa tentram, Bunda selalu dapat mengerti segala keluh kesahku, tak sekalipun ada kata-kata kasar yang keluar dari mulut bunda, apalagi menyakiti fisikku, tidak ada ketakutan di sana. Sungguh sangat berbeda dengan apa yang aku terima selama ini dari mamaku. Mama kandungku!.
Aku tidak mengerti, apa sebetulnya yang membuat mama begitu membenciku, hingga mama pernah hampir saja membunuhku. Saat itu usiaku baru empat tahun, hampir semua kejadian yang aku alami pada usia itu telah hilang dari ingatanku, tapi tidak peristiwa itu.
La.. bawa ke sini baju kotor itu!” perintah mama kepadaku, saat itu mama sedang mencuci di belakang rumah, ada sumur besar di sana, karena sedang asyik memperhatikan kupu-kupu yang sedang hinggap di sebuah tangkai daun, aku tidak segera melaksanakan perintah mama, tiba-tiba saja mama sudah berdiri di depanku, mengangkat tubuh kecilku, dan…..ah itu sangat mengerikan!!, seandainya saja papa tidak segera datang, dan menarik tubuhku dari tangan mama, maka tubuhku mungkin sudah tenggelam di dalam sumur itu, papa memelukku, mencoba menenangkanku yang menjerit-jerit histeris…hanya bergantung ke tangan mama, tepat di atas lubang sumur yang gelap adalah pengalaman yang tidak akan pernah mampu kuhapuskan dari ingatanku.
Aku tidak mendendam pada mama, tapi aku selalu dibayangi rasa takut bila berada di dekat mama.
Kegilaan mama sebetulnya tidak hanya tertuju kepadaku, tapi juga pada papa. Suatu hari papa harus di rawat di RS karena kepalanya mengalami trauma yang cukup parah akibat di lempar mama dengan benda keras.
“La, kita tidak bisa meninggalkan mama, kita berdo’a saja semoga mama menyadari kesalahannya” jawaban ini, tidak menenangkanku, tapi malah sebaliknya, aku jadi menganggap papa laki-laki lemah, yang tidak melindungi aku sebagai anaknya.
Papa memang tidak meninggalkan mama, tapi papa juga mencari ketenangan di tempat lain, di rumah bunda Rara, tadinya aku juga tidak setuju dengan apa yang dilakukan papa, berselingkuh dengan bunda Rara, janda tanpa anak yang suaminya meninggal setahun yang lalu, tapi akhirnya aku merasakan bahwa bunda Rara adalah dewi cantik yang melindungi dan mengasihi.
“Apa kamu lupa ya, kamu itu anak mama !, mama yang melahiran kamu, mama yang menyusui kamu!!, tapi kenapa kamu justru berakrab-akrab dengan perebut suami orang itu?”
Aku masih saja bungkam, tak perlu menjelaskan apa-apa, karena apapun penjelasan yang akan aku sampaikan, pasti itu akan membuat mama lebih meradang. Tiba-tiba… diantara kata-kata yang tidak lagi dapat kutampung dengan telinga normalku, mama menjambak rambutku, di seretnya aku ke kamar, dan rambut panjang yang aku sayangi ini, dipangkasnya menjadi sangat pendek. Ya sangat pendek, nyaris plontos. Aku tetap diam, aku biarkan mama dengan semua tindakannya, tidak setetespun air mata mengalir dari mataku, hatiku sudah beku…..
“Tuhan maafkan mama” bisikku dalam hati……mama tak perlu tahu itu…….!
Suka

Selasa, 29 November 2011

BUNDA JAHAT

"Bunda jahat, bunda kejam, puput gak sayang lagi sama bunda, Bunda pergi aja, puput tidak  mau liat bunda lagi!", tulisan ini lah yang membuat detik detik yang aku lalui sepanjang hari ini betul-betul tidak menyenangkan. Sejak pagi hingga sore aku terus saja merasa terganggu, beberapa pekerjaan yang seharusnya bisa kuselesaikan pada hari ini, terabaikan. tulisan puput di white board yang tergantung di dinding kamarnya itu telah merusak konsentrasiku.

Tulisan itu aku ketahui  pagi tadi, ketika aku akan merapikan kamar anakku, puput 6 tahun. Memang seharusnya aku langsung membahas tulisan itu dengannya, tapi karena jam sudah menunjukkan pukul 07.00 artinya Puput akan segera berangkat ke sekolah, begitu juga denganku, aku harus berangkat ke tempat kerja, maka kuputuskan untuk menyelesaikannya sore nanti, sepulang kerja.

Di tempat kerja, aku jadi senewen, sebagai pelayan publik, hari ini aku tidak lagi menjadi pelayan yang baik, otakku tak dapat aku ajak kompromi, aku betul-betul terganggu dengan tulisan anakku itu. aku bingung mengapa sebegitu besar kemarahannya padaku,  selama ini aku selalu berusaha jadi ibu yang baik, pada saat-saat libur, aku selalu menikmati kebersamaanku dengannya.

Menyadari mood ku betul-betul kacau, aku minta izin dari atasan untuk pulang lebih awal,  aku harus berbicara dengan puput.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus merancang kata-kata yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak usia 6 tahun ini, aku tidak mau salah-salah nanti malah memperburuk keadaan. Aku tiba di rumah kira-kira pukul empat sore, Puput tidak ada di rumah, tentu dia sedang mengaji di mushola dekat rumah. Aku kemudian berwudhu dan sholat asar, usai solat aku berdo'a memohon kepada Allah untuk di mudahkan dalam menyelesaikan masalah in.

Usai solat, aku menuju kamar Puput, aku ingin menunggunya di kamar ini. di dalam kamar lagi-lagi aku dikagetkan  dengan tulisan yang ada di white board
"Bunda jelek, enggak mau beliin puput coklat, tapi puput sayang bunda"
Tiba-tiba setetes bening meluncur dari kelopak mataku....dan aku pun menulis pada white board tersebut "Bunda juga sayang sama Puput"














Sabtu, 26 November 2011

Katakanlah Cinta Itu !!


Cerita ini cocok dengan lagu Kepastiannya Aurel, klik lagunya, nikmati ceritanya, rasakan sensasinya



Merindukanmu seolah terjebak dalam rengkuhan kabut malam, menanti dengan sabar saat sang surya segera meluruhkan cahayanya, menepis satu demi satu tetesan embun yang tersangkut di atas dedaunan. Namun mengapa tak kau sentuh juga jemari rinduku padahal kau begitu dekat.. teramat dekat sehingga tak ada sesuatupun yang berani tegak di antara kita?

  Kau selalu membuatku bertanya-tanya tentang arti tersebunyi dari semua sikapmu. Kau yang selalu baik padaku, selalu ada ketika aku inginkan seseorang mendengar semua keluh kesahku, kau bahkan rela mengorbankan banyak waktumu hanya untuk menemaniku, kau selalu ada dalam setiap langkahku. Tapi satu yang aku tak yakin apakah kau mencintaiku?

Menantikan kepastian tentang perasaanmu untukku membuatku seperti pengelana yang tersesat di padang tandus tanpa berbekal setetes airpun. Betapa dahaganya aku atas cintamu, cinta yang sesunguhnya yang kau wujudkan dalam sebuah ikrar yang nyata, biarlah orang mengatakan itu hanya retorika belaka, tak penting apa yang dikatakan orang, bagiku itu sangat bermakna, cinta yang tak pernah dinyatakan bukanlah cinta yang sesungguhnya, tetapi pertemanan dengan bumbu-bumbu asmara.

“Apa sebenarnya perasaanmu ke aku?” itu pertanyaan terberat yang pernah aku ucapkan kepadamu, sebagai wanita, aku tidaklah termasuk tipe agresif, tapi aku membutuhkan kepastianmu, maka pertanyaan itupun kupaksa untuk meluncur dari bibirku. Kau tak bergeming, kau juga tidak berkata sepatah katapun, kau hanya menatapku denga tatapan yang tak dapat kupahami, lalu kau  genggam tanganku, dan aku membiarkannya saja sambil terus berharap kau akan ucapkan tiga kata ajaib yang akan mengubah semua impianku menjadi sesuatu yang nyata, yang akan membebaskanku  dari kepekatan malam. Detik-demi detik pun berlalu, kau masih saja  mempermainkan tanganku dalam genggamanmu, dan akupun masih saja setia menunggu.
“so..?” desakku kemudian, aku mulai tidak sabar dengan semua ini, jiwaku resah.
“Mengapa kau tanyakan itu padaku ?” pertanyaan aneh, pikirku, 
“Karena aku butuh kejelasan” jawabku.
“Bukankah semuanya sudah sangat jelas ?”
“Mungkin iya dari sudut pandangmu tapi sangat tidak jelas menurut sudut pandangku“ tegasku kemudian.
“Apanya yang tidak jelas?”
“Semuanya!” semakin keras suaraku,  aku mulai tidak sabar dengan gayamu yang menurutku sangat mempermainkan perasaanku.
“Kau seharusya tau tanpa harus aku ucapkan, kau harusnya mampu merasakan tanpa harus aku katakan” kali ini justru suaramu yang mengeras.
“Aku ingin kau mengatakannya!”
“Artinya kau selama ini tidak menganggapku berbeda dari yang lain??”
“Aku hanya ingin mendengar semua itu dari mulutmu, semua orang bisa berbuat baik semua orang bisa selalu berada di dekatku, dalam kondisi apapun, tapi belum tentu dia mencintaiku”
Aku tak mampu lagi menahan kegusaranku, berapa lama lagi kau akan membiarkanku terombang ambing dalam lautan gelisah. Cinta butuh keyakinan, bukan tebak-tebakkan atau sekadar kira-kira dan aku tak berani meyakini sesuatu hanya karena secara logika sikapmu menunjukkan bahwa kau berbeda dari yang lain.

Merindukan kata-kata cinta darimu, adalah penantian tak berujung, bagimu pernyataan cinta bukanlah sesuatu yang penting tapi bagiku pernyataan cinta adalah sebuah ikrar tentang kesetiaan dan upaya untuk tetap saling menjaga. Kau menilaiku egois atas perbedaan prinsip kita ini  tapi siapa sebenarnya yang egois?

Aku lelah dalam pengharapan, mengapa dalam banyak hal kita bisa saling memahami, tapi  menjadi sulit dalam hal yang satu ini?. Perbedaan ini telah membuat semuanya menjadi kehilangan makna. Aku mulai menghindarimu  dan kau pun tak berusaha membuat semua menjadi lebih baik.
Ada yang hilang dari hari-hariku, semua mimpi-mimpi itu sekarang telah lumat di telan ketidak pastian, kujalani hidup dengan terseok karena tanpamu aku menjadi lemah…sangat lemah… yang tersisa hanya rasa hampa, aku tak hanya kehilangan cintamu, tapi aku juga kehilangan dirimu…

______________________****_____________________
Pagi ini, di acara temu kangen dengan kawan-kawan lama, kita kembali dipertemukan. Kau datang menghampiriku sambil cengengesan seperti gaya khasmu dahulu.
Di antara riuh rendah suara  musik dan gelak tawa penuh keakraban itu kau menghampiriku
“Apa kabar Dita?” sapamu, akhirnya kau ada lagi di hadapanku, tapi   semua pasti tak sama lagi seperti dulu, aku sadar semuanya pasti telah berubah.
“Baik, kabar kamu bagaimana?”  jawabku kemudian
Kau  tersenyum, membentangkan kedua tanganmu sambil sedikit mengangkat bahu
 "Ya, inilah aku!” Jawaban aneh menurutku, Kamu selalu saja menjadi sosok yang tidak jelas. Bagaimana mungkin aku tau tentang dirimu, keadaanmu, hanya dengan melihat sosok cengengesanmu? Gayamu tidak juga berubah, pasti egomupun masih sama seperti dulu.
Duduk berdua dengamu, melambungkanku pada kenangan-kenangan tentang kebersamaan kita, yang berakhir tanpa kata selamat berpisah. Aku dan kamu sama-sama diam, tanganku asyik mempermainkan sendok yang berada dalam gelas jus buahku , dentingan bunyinya adalah irama kegelisahanku, sementara kaupun hanya menepuk-nepuk  meja , entah apa yang kau rasakan saat itu, kita hanya asyik mengembara dalam pikiran masing-masing.
“Sudah tiga tahun ya, Dit” tiba-tiba suaramu membuyarkan kebekuan diantara kita. Aku hanya mengangguk menyetujui.
“Pasti sudah banyak yang berubah”  lagi-lagi aku hanya menangguk,  sementara  aku sebenarnya sedang sibuk meredam hatiku yang meronta-ronta, hidup tanpamu adalah kegetiran yang panjang, kedukaan yang demikian nestapa, kerinduan yang tak berujung, seandainya kau tau hal itu…
“Dita, seandainya kita mampu membalikkan waktu…” terdengar sangat jelas ditelingaku, helaan nafas panjangmu. Apakah kau juga memiliki rindu itu, rindu yang membelenggu, yang membuatmu tak mampu berpaling kepada hati yang lain?
Tiba-tiba kau menatapku sangat dekat, kau lepaskan sendok es dari tanganku, kau genggam lagi tanganku, seperti yang kau lakukan tiga tahun lalu, ketika kita tak mampu mengalahkan ego kita masing-masing, membiarkan diri kita terbenam dalam nelangsa yang teramat dalam.
“Dita, masih bisakah kita ulangi lagi semuanya di sini, sekarang ini?” mendengar apa yang kau tuturkan, hatiku berdesir , jiwaku melambung, sebongkah gunung es yang selama ini membelengguku seakan mencair dalam sesaat. Aku hanya menatapmu dengan segala kelembutan yang aku miliki, dengan segala rasa cinta dan kerinduan yang aku punya.
“Apakah, harus kuucapkan juga kata itu, Dita?” kali ini kamu menatapku dengan sangat serius Aku bingung bagaimana harus  menjelaskannya padamu, aku sudah tak butuh lagi kata-kata itu, yang aku mau kau selalu berada dekat  denganku membiarkan detak jantungku berdegup keras ketika berada dalam pelukanmu.
“Dita, Aku Sangat Mencintaimu, melewati hari tanpamu adalah kehampaan yang melukaiku," bisikmu dekat telingaku. 
Cinta memang membingungkan, Dalam harapan cinta, begitu sulit memisahkan antara bahagia dan nestapa, antara mimpi dan kenyataan, antara  perasaan dan logika.


Salam penuh cinta
yety






Jumat, 25 November 2011

Ketika Kau Harus Pergi





 Burung itu terbang tinggi…., tinggi… sekali, mengepakkan sayapnya yang kokoh, mencoba meraih semua mimpi yang  kami miliki.  Aku hanya berdiri memandang ke langit sambil  berharap suatu hari dia akan kembali dengan senyuman yang lebih indah dari semua yang dia berikan untukku selama ini.
Hari ini,  pesawat itu tinggal landas membawa Mas Dani terbang, menuju semua pengharapannya, harapan untuk membawa kami pada kehidupan yang lebih baik.
“Arma, cobalah untuk mengerti dengan keputusanku ini…” itu pinta Mas Dani sekitar empat bulan yang lalu, aku diam tak menanggapi ucapannya , yang ada di benakku hanya rasa hampa…rasa yang membuat aku menjadi perempuan yang begitu lemah..tiada berdaya, bahkan ketika suami  menemukan jalan buntu untuk mengatasi segala kesulitan hidup ini, aku pun tak bisa berbuat banyak.
Rencana kepergian mas Dani telah membuat aku sangat bingung, Aku merasa seperti anai-anai yang terbang tertiup angin, melayang-layang tanpa pengharapan, aku takut jika akhirnya terhempas dalam kegelapan yang pekat.
“Mas, aku takut hidup tanpa kamu mas..” akhirnya kata itupun tak lagi dapat kusimpan tak lagi aku mampu menyembunyikan kegelisahanku.
“Apa sebetulnya yang kau hawatirkan, Arma?”
“Aku menyayangimu, aku tak mau harus kehilangan dirimu, aku takut terjadi sesuatu ”
“Tak ada yang akan kehilangan, Arma, kepergianku hanya untuk memperbaiki kehidupan kita, tak ada yang dapat aku lakukan di sini, aku harus pergi..ini satu-satunya cara agar hidup kita lebih baik agar semua mimpi yang pernah kita rajut bersama dapat terwujud”  Mas Dani mencoba meyakinkanku. Aku masih bingung, teramat bingung…Begitu banyak peristiwa-peristiwa buruk yang telah dialami para TKI, aku takut kalau mas Dani nantinya dituduh sebagai pengedar narkotika, atau dia masuk penjara karena difitnah melakukan pencurian.
Setiap hari mas Dani dengan sabar berusaha meyakinkanku, meyakinkan akan kesetiaanya, meyakinkan aku akan keselamatan dirinya, sampai  akhirnya aku luluh… bukan karena aku percaya bahwa sistim perlindungan TKI sudah semakin baik, atau Negara yang akan dituju Mas Dani telah berjanji untuk memperlakukan para pejuang devisa Negara ini dengan lebih adil, tapi lebih karena kegigihan mas Dani membujukku, aku tak ingin Mas Dani  menilaiku sebagai istri yang keras kepala, bandel, seperti anak kecil, tidak percaya pada perlindungan Allah dan lain sebagainya.
 “Arma, jaga anak-anak, jangan lupa selalu berdo’a , aku sayang kalian semua…”  Ingin rasanya aku mengghambur dalam pelukan mas Dani, seperti yang dilakukan sepasang remaja disampingku, tapi aku malu, aku hanya menatap wajah mas Dani lekat-lekat, aku takut kehilangan waktu yang sangat berharga ini, tinggal sesaat lagi aku bisa  menikmati wajahnya, Tuhan  berapa lama aku harus kehilangan pujaanku ini?, wajah lelaki baik yang selalu mengisi hari-hariku dengan cinta yang begitu damai…
Mas Dani pergi, bukan karena keegoisannya, tetapi karena Dia adalah suami yang beranggung jawab atas nasib rumah tangganya. Dia hanya ingin mewujudkan impian-impian kami, impian tentang rumah mungil yang senantiasa menyertai perjalanan indah cinta kami, tentang tawa ceria anak-anak ketika berpamitan berangkat ke sekolah. Mimpi-mimpi yang belum berhasil kami wujudkan.
Lelaki perkasa itu akhirnya meninggalkan aku yang hanya mampu menatap langit dengan linangan air mata…
Selamat jalan mas Dani, bawalah juga hatiku bersamamu, simpan dia rapat-rapat di sisi jantungmu, rasakan selalu degupannya agar kau selalu yakin akan kesetiaanku padamu…

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....