Kamis, 13 Desember 2012

SMP N 1 PULOSARI: Tentang SMPN 1 Pulosari

SMP N 1 PULOSARI: Tentang SMPN 1 Pulosari:                            SMP Negeri 1 Pulosari beralamat di Jalan Raya Kadu Pager Desa Koranji Kecamatan Pulosari.Kabupaten Pand...

Selasa, 11 Desember 2012

Aku



Pagi:
Aku hanyalah hening
Yang terperangkap dalam bising
Selalu bicara agar terlihat penting
Ternyata semua hanya berputar seperti gasing


Siang:
Aku menjadi debu dalam badai
Terpontang panting sampai lunglai
Berharap temukan damai
Yang kudapat hanyalah andai

Sore :
Aku mencair  menjadi  keluh
Setelah terkapar lelah bermandi peluh
Mulutku tak lagi bisa berkata uuuuh...
Tapi aku bertahan agar tak jatuh

Malam:
Aku berubah menjadi mimpi
Berharap bisa  menjadi pasti
Tidak hanya menjadi pengelana di ruang sepi
Lalu berakhir mati...




Senin, 10 Desember 2012

Kamu Kok Merokok Sih??



Tadi siang saya melihat lagi sebuah pemandangan yang cukup memprihatinkan di dunia pendidikkan. Memang bukan peristiwa besar  yang akan berdampak sistemik, seperti century misalnya, tetapi cukup berhasil membuat saya mengusap dada.
“Kamu…masih bau kencur sudah berani merokok, mau jadi apa kamu nanti?”
Kalimat seperti ini sudah barang tentu bukan kalimat luar biasa, kita bisa mendengarnya dari siapa saja,  dari ayah/ibu siapa saja, kakak/paman/tante siapa saja, ketika menasehati  anak di bawah umur yang ketahuan sedang mencoba-coba merokok, kalimat ini menjadi  favorit  untuk diucapkan.
Lalu, apa masalahnya?
Bukan kalimat itu sebenarnya yang menjadi masalah, tetapi  dengan sikap bagaimana kalimat itu diucapkan.
Tadi siang seorang rekan guru tengah menegur seorang anak (siswa SMP) yang tertangkap sedang nongkrong di warung di luar pagar sekolah pada saat jam pelajaran berlangsung sambil merokok. Si anak lalu di bawa ke ruangan guru untuk dinasehati salah satu kalimat yang diucapkan rekan saya tersebut, ya kalimat itu.
Sekali lagi, bukan kalimatnya yang salah, tetapi  rekan guru itu menasehati anak murid agar tidak merokok, sementara di antara telunjuk dan jari tengahnya terselip sebatang rokok, yang sesekali diisapnya, sambil terus mengatakan bahwa anak itu telah melanggar peraturan sekolah.
Setelah anak itu diperbolehkan kembali memasuki kelas untuk melanjutkan kegiatan belajarnya, saya mendiskusikan hal itu dengan rekan saya. Salah satu pertanyaan yang saya lontarkan adalah :”Mengapa anak-anak tidak boleh merokok, sedangkan gurunya juga merokok?”. Rekan saya menjelaskan bahwa anak-anak tidak boleh merokok karena mereka belum  memiliki penghasilan sendiri untuk membeli rokok. “Astagfirullah”, saya  sangat terkejut mendengar  penjelasan itu.
Larangan merokok bagi siswa seharusnya diterapkan dalam upaya melindungi anak-anak dari pengaruh negative yang ditimbulkan rokok, bukan karena dia belum punya uang untuk membelinya sendiri.  Siswa harus mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang bahaya merokok, apalagi  sudah banyak yang berpendapat bahwa remaja perokok lebih beresiko untuk terjerumus menjadi pengguna narkotika.
Menggunakan alasan anak belum mempunyai penghasilan  untuk membeli rokok,  sehingga mereka tidak pantas merokok, menurut saya ini konyol. Karena kalimat ini sepadan maknanya dengan : Merokoklah kalau nanti kamu sudah mempunyai penghasilan. Dimana letak penanaman karakter bertanggung jawab?, mencintai sesame? . Bahkan bisa jadi ketika dinasehati pun di dalam hatinya mereka berkata  “ Ini kan duit bapak saya, ngapain repot”.
Pada saat yang lain saya menegur  rekan guru yang lain yang juga perokok, karena rekan saya yang satu ini  merokok di dalam kelas, walaupun sebetulnya dilarang. Rekan ini berdalih bahwa dia kehilangan motivasi dan inspirasinya bila tidak merokok, makanya dia terpaksa sering melanggar peraturan dilarang merokok di dalam kelas.
Ini bukan orang pertama yang saya kenal yang mengucapkan kata-kata yang sama, pada saat saya kuliah dahulupun ada dosen saya yang seperti ini. Apakah memang rokok bisa memberi  inspirasi atau motivasi untuk melakukan sesuatu? Entahlah!!
Menurut pemikiran saya, bukan rokok yang menginspirasi, tetapi ketergantungan anda terhadap rokok yang telah membuat anda tidak mampu berpikir bila tidak di dopping dengan nikotin. Lalu apa sebenarnya yang terjadi kepada mereka yang merasa tidak mampu ngobrol  atau berkomunikasi dengan orang lain secara lancar bila tidak ditemani rokok?. Pada kasus ini memang anda telah menggunakan rokok sebagai alat untuk menutupi rasa kurang percaya diri anda.  Salahkah ini? No coment!!

Minggu, 09 Desember 2012

Karena Kamu



Raisya, tubuhnya semampai, berkulit putih, dan memiliki tatapan mata sayu. Rambut lurus dan halus tergerai sebahu. Raisya, beberapa hari lagi usianya 30 tahun dan belum juga menikah. Bukan karena dia tidak ingin menikah, tetapi jodoh itu belum datang kepadanya.

Usianya 14 tahun, ketika jatuh cinta yang pertama kali. Rangga, teman sekelas yang menjadi idola banyak gadis seuasia, ternyata juga telah mencuri perhatiannya. Rangga memang layak untuk diidolakan, di usianya yang masih SMP, selain  hitam manis, Rangga dilengkapi pula dengan banyak fasilitas.

Raisya jatuh cinta pada Rangga bukan karena fasilitas yang dimiliki,  bukan pula ikut-ikutan arus gelombang trend yang  tertuju kepada Rangga. Raisya memang menyukai Rangga, karena menurutnya Rangga baik. Mereka telah berteman sejak masih di SD.

Raisya dan Rangga bersahabat sejak masih kanak-kanak, sejak berada satu bangku di kelas 4 SD. Saat itu Raisya baru pindah dari sekolahnya yang lama di Serang. Banten. Ketika dia ragu-ragu melangkah memasuki kelasnya yang baru, Rangga menyapanya dengan ramah dan menawarkan bangku di sebelahnya yang kosong.Di hari-hari selajutnya selalu ada Rangga disamping Raisya.

Raisya tidak ingat sejak kapan dia mulai merasakan getar-getar aneh di dadanya bila bertemu dengan Rangga. Yang diketahuinya, perasaan aneh itu semakin lama semakin kuat dan debar-debar di dadanya pun semakin membuatnya tersiksa.

Raisya tidak pernah berusaha menyampaikan kepada Rangga, dia tidak ingin Rangga kecewa dan membuat persahabatan mereka merenggang. Raisya menyimpannya sendiri dan membiarkan banyak peristiwa yang menyakitkan terjadi di hadapannya. 

Raisya sering merasa cemburu bila melihat Rangga mendapat perhatian lebih dari teman-teman perempuannya, tapi dia hanya menyimpannya dalam tangisan tertahan.
Rangga, semua anak perempuan di sekolah itu mengenalnya. Bukan saja karena wajahnya tetapi penampilan dan gayanya yang tak acuh juga dukungan beberapa fasilitas yang tidak dimiliki oleh teman-teman sebayanya. Rangga memang layak jadi idola.

Rangga menyukai Raisya, tak seorang pun tahu. Rangga tidak berusaha mengungkapkan perasaannya kepada siapapun, Rangga membiarkan saja perasaan yang berkecamuk, meronta-ronta di dalam hatinya. Rangga tidak ingin membuat persahabatan dengan Raisya terganggu oleh perasaan itu.

“Rangga…bilang sama fans-fansmu yang kecentilan itu. Aku bukan petugas humas kamu yang harus menjelaskan kepada mereka apa saja yang kamu lakukan dari pagi sampe malem” Suatu hari Raisya bersungut-sungut di hadapan Rangga.
“Kenapa harus aku? Bilang saja sendiri atau kamu gak usah ladeni permintaan mereka," Jawab Rangga membela diri
“Tapi Ranggaaa, bagaimana cara aku menolaknya?”
“Kamu kok repot amat sih, Ichaaaa. Bilang saja “No coment”, tapi ngomong-ngomong kamu sewot karena cemburu ya?” tiba-tiba Rangga menggodanya
“Ranggaaaa, mana mungkin aku cemburu sama kamu anak jelek gak jelas kayak gini” lalu terdengar derai tawa mereka, beberapa pasang mata tampak iri melihat keakraban mereka.

Sore  penuh canda dan tawa ternyata menghilang ketika Raisya sudah berada sendirian di dalam kamarnya. Raisya menyesali semua ucapannya. Mana mungkin Rangga menjadi miliknya dan menjadi kekasihnya bila dia selalu saja mengatakan ketidakmungkinan jatuh cinta kepada Rangga.

Di kamarnya Rangga juga tengah gelisah. Ucapan Raisya yang didengarnya tadi telah membuatnya kecewa. Raisya sama sekali tidak akan pernah jatuh cinta kepadanya, dia bukan type laki-laki yang dicintai Raisya. Rangga kecewa.

Raisya dan Rangga tetap bersahabat, selalu bersama melakukan banyak aktivitas. Maraton pagi bersama, bersepeda bersama, berenang bersama, nonton bersama, mengerjakan tugas-tugas sekolah bersama, semua mereka lakukan bersama. Dan cinta itu semakin menyala dan membakar hati.

Ketika melanjutkan ke SMA ternyata mereka diterima di sekolah yang berbeda. Bahkan letak sekolah mereka berjauhan. Mulanya Rangga bermaksud pindah ke sekolah Swasta yang berada dekat dengan sekolah Raisya, tetapi dia urung melakukan itu. Dia tak ingin Raisya tahu rahasia hatinya.

Tidak ada yang ingin mengakhiri persahabatan itu, tetapi kesibukandi sekolah masing-masing membuat mereka jarang bertemu. Raisya terus tenggelam dalam usahanya meraih harapan, yang juga harapan kedua orang tuanya, dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya yang telah bekerja keras untuk mendukung biaya pendidikannya.

Apa yang terjadi pada Rangga sangat berbeda. Tanpa Raisya dia gamang, dulu Raisya yang membuat dia memiliki perhatian terhadap pelajaran sekolah. Raisya yang membuatnya selalu menjaga sikap dan prilaku. Raisya yang menjadi motivasi hidupnya. Rangga kehilangan itu semua. Hidup Rangga berantakan. Orang tuanya mengajak pindah ke luar kota demi menyelamatkan masa depannya. Sebagai anak tunggal, Rangga adalah harapan mereka satu-satunya.
______________________@@@@@@@______________
Raisya, beberapa hari lagi usianya 30 tahun dan belum menikah. Saat ini dia bekerja di perusahaan yang cukup besar. Prestasi kerjanya baik. Dia juga menjadi rekan kerja yang menyenangkan bagi sejawatnya.

Raisya memiliki banyak mimpi dan harapan dalam hidup. Salah satunya menikah paling lambat di usia 28 tahun. Usia itu sudah terlampaui. Di saat dia ulang tahun yang ke 28 tahun, justru kekasihnya memutuskan untuk meninggalkannya, tanpa alasan yang jelas.
Raisya nyaris putus asa. Untung Dia memiliki sahabat-sahabat yang baik. Mereka yang telah membangkitkan kembali keyakinan Raisya bahwa suatu hari nanti Allah akan mengirimkan seorang laki-laki yang paling tepat untuknya.

Sudah dua tahun dia menunggu, Jodoh yang diharapkan itu belum juga ada tanda-tanda  segera datang. Raisya masih menunggu dengan sabar seraya tak pernah berhenti berdo’a.
“Ya Allah…dua hari lagi usiaku sudah 30 tahun, tolong kirimkan padaku seorang laki-laki yang mencintaiku dengan tulus, yang akan menjadi imam dan penanggung jawab atas hidupku di hadapanMu, ya Allah” do’a Raisya.

Rangga, Usianya sudah 30 tahun. Dia belum menikah. Dia pernah merencanakan menikah dengan teman sekantor yang sempat menarik perhatiannya, tetapi itu dulu, tiga tahun yang lalu. Dia gagal menikah karena ternyata terlalu banyak syarat yang harus dipersiapkan untuk pernikahan itu. Dia menyerah. Bukan karena tidak mampu memenuhi permintaan itu, dia hanya tidak suka cara mengawali pernikahan dengan cara seperti itu. Bagi Rangga pernikahan bukan pesta bar bar dengan menghambur-hamburkan banyak uang. Pernikahan adalah ibadah.

Dua hati, Rangga dan Raisya bersabar dan tawaqal dalam keyakinan bahwa Allah akan memberi mereka jodoh yang tepat. Jodoh yang akan menjadikan rumah tangga mereka rumah tangga penuh keberkahan. Bukan tindakan buru-buru yang akan disesali di kemudian hari.

“Apa kabar, Icha?” Raisya menengadahkan kepala yang sedari tadi hanya tertunduk memperhatikan deretan angka-angka di atas kertas, Catatan belanja rutin kantor yang harus dibukukan. Seorang laki-laki berdiri di hadapannya. Hampir saja dia menegur laki-laki yang sudah masuk ke ruangannya sebelum dipersilakan. Tapi, laki-laki itu menyebut nama kecilnya. Tidak semua orang tahu nama kecilnya. Diperhatikannya secara lebih seksama. Mulai dari cara berdirinya, cara memandangnya, cara dia tersenyum. Tiba-tiba saja Raisya berdiri dan berlari mengitari meja kerjanya
“Ranggaaa, kamu Rangga kan? Aku yakin kamu pasti Rangga” tanpa menunggu jawaban laki-laki itu Raisya sudah menghambur dalam pelukannya. Mereka berdua melompat-lompat kegirangan sebagaimana yang mereka selalu lakukan belasan tahun yang lalu setiap kali berhasil melakukan sesuatu.
“Rangga, kamu kemana saja? Mengapa kamu tiba-tiba menghilang? Aku mencari-cari kamu Rangga?” Raisya tidak mampu mencegah pertanyaan beruntun itu meluncur deras dari mulutnya.
Tidak satupun pertanyaan itu dijawab oleh Rangga. Dia hanya memandangi Raisya dengan tersenyum.
“Rangga, kamu kok hanya senyum-senyum, jawab dong!”
“Kamu belum menyuruhku duduk apalagi memberiku minum tapi malah memberondongi aku dengan pertanyaan, sahabat seperti apa kamu ini?”
“Rangaaaaaa” Kegembiraan itu kembali menjadi milik mereka. Untung saja ruang kerja Raisya kedap suara sehingga tidak mengundang keheranan orang sekantor.

Setelah menyuguhi Rangga minuman dan membiarkannya sejenak beristirahat, Raisya kembali bertanya
“Ayoo sekarang kamu harus cerita sama aku, kemana saja kamu selama ini?”
“Ok, nona jelek, dengar baik-baik. Karena tidak bersama kamu nilai-nilai sekolahku anljok. Akupun salah memilih teman. Masa depanku hampir saja hancur. Orang tuaku menyelamatkan aku dengan mengajakku pindah ke kampung halaman mereka. Di sana aku kembali menata masa depanku. Syukurnya berkat dukungan orang tuaku. Aku berhasil” Rangga berhenti sejenak kemudian menyeruput orange juice yang ada di depannya.
“Lalu?”
“Sekarang aku meneruskan usaha papaku, kebetulan kantormu bekerja sama dengan kantorku. Kemarin aku melihat kamu di lobby gedung ini, ketika aku tanyakan kepada seseorang yang ada di sana, aku tahu kamu memang Icha jelek yang sedang aku cari”
“Kamu mencari aku?”
“Ya, sudah sangat lama”
“Untuk apa?”
“Untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita.”
“Sok tahu kamu, memang kamu tahu apa mimpiku?”
“Mimpi kamu adalah menjadi istri aku.”
“Ranggaaaa, kamu tuh masih saja gila.”
“Ya, aku memang bisa gila bila harus kembali kehilangan kamu, kamu juga kan?”
Kali ini Raisya hanya terdiam selapis kabut melapisi bening bola matanya, semakin menebal kemudian membentuk butiran lalu akhirnya menetes pelahan.
“Lho, kamu kenapa nangis?” Rangga bertanya polos
“Karena kamu”
“Karena aku?”
“Ya, karena kamu akhirnya datang juga untukku”

Dua hati yang selalu bersenandung tentang rindu, akhirnya menyatu mewujudkan segala harap yang telah mereka semai begitu lama. Jodoh itu akhirnya datang di saat yang paling tepat.

Karya Fiksi Juga Perlu Fakta

1337077578782107380

ilustrasi/admin(shutterstock.com)
Perdebatan antara penyuka fiksi dan mereka yang tidak menyukai (anti) fiksi di Kompasiana, kadang-kadang membuat telinga menjadi sedikit panas dan gerah. Perdebatan seperti itu hanyalah perdebatan yang tidak akan menemukan titik temu, yang pada akhirnya menimbulkan perasaan tidak puas (jengkel) pada ke dua belah pihak. (sangat tidak asyik!!)
Menurut hemat saya, sebagai salah seorang penyuka fiksi, tapi kadang-kadang juga menulis yang lain, fiksi itu tidak melulu menjual mimpi dan menawarkan imajinasi yang tidak mungkin terjadi pada dunia nyata, fiksi kadang-kadang juga memerlukan fakta dan data, karena untuk menghidupkan unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah fiksi, seorang penulis haruslah mengenal secara detail apa yang akan di tulisnya terutama bila itu menyangkut hal-hal yang memang ada di dunia nyata apalagi menyangkut profesi orang lain.
Seorang penulis yang tidak mengenal istilah-istilah hukum, tidak mungkin mampu menulis cerita yang berhubungan dengan masalah hukum, seorang penulis yang membuat kisah perjalanan astronot, maka harus belajar dulu tentang dunia astronot dan kehidupan luar angkasa. Begitu pula yang berkenaan dengan permasalahan-permasalahan lainnya, seorang penulis fiksi akan berusaha mencari informasi yang tepat dan benar dengan harapan fiksi yang akan ditulis terasa hidup dan seolah-olah merupakan kejadian nyata.
Saya pernah membaca, bagaimana seorang penulis begitu jelas memaparkan kondisi kemacetan jalan di Jakarta, mulai dari waktu, lokasi dan suasana kemacetan tersebut, ketika saya melihat profilnya, penulis tersebut bukan orang Jakarta. Apakah untuk menulis tentang danau toba saya harus berangkat ke Medan?. Saya bisa melakukannya, dengan mencari referensi-referensi yang saya perlukan melalui buku-buku atau browsing di internet.
Demikian pula yang saya alami pada saat menulis fiksi tentang wanita hamil, saya berusaha mengetahui masalah-masalah yang dialami seorang wanita hamil sampai melahirkan. Dengan sedikit kekhawatiran adanya kesalahan istilah yang berakibat fatal, dan mungkin akan diprotes oleh praktisi kesehatan, saya membaca beberapa tulisan yang berhubungan dengan istilah-istilah kedokteran yang saya butuhkan dalam proses penulisan fiksi yang sedang saya tulis tersebut, akibatnya saya jadi banyak tahu dan lumayan paham.
Jadi sangat tidak tepat kalau dikatakan menulis fiksi itu tidak bermanfaat, menulis fiksi juga membutuhkan pengetahuan dan ketelitian serta kemampuan berpikir secara logis. Menulis fiksi juga akan membuat penulis (juga pembaca) belajar banyak tentang permasalahan-permasalahan hidup, sehingga memiliki kepekaan sosial dan kehalusan budi. Jadi Jika Ingin Menulis puisi…Mengapa Tidak?

Guru itu Hampir Saja Membunuh Kreatifitas Anak Umur 10 Tahun

        

           Foto: Interview & tanya jawab dengan penulis novel "Blue Romance" 
 Jizan (yang paling kecil) sedang terlibat dalam "ngobrol bareng penulis" di acara Kompasianival Gandaria Citty Jakarta
            
Waktu itu, anak saya Jizan Mufida baru berumur 10 tahun, Setelah berhasil menjadi juara menulis cerpen tingkat SD se kecamatan, dia di utus untuk mengikuti lomba tingkat kabupaten. Menilik bakat yang ada padanya, juga keuletan gurunya memberikan bimbingan, saya memiliki harapan besar bahwa dia bisa masuk sepuluh besar.
        Jizan dan gurunya berangkat sehari sebelum lomba itu dilaksanakan karena tempat lomba itu cukup jauh, kurang lebih 40 km dari tempat kami tinggal dengan kondisi jalan yang rusak berat, tepatnya di kecamatan Cimanggu, salah satu kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang berada di ujung barat Banten.Saya dan suami menyusul keesokan harinya.
          Harapan ternyata masih belum bisa terwujud, salah satu criteria penilaian lomba cerpen itu adalah kemampuan menulis tegak bersambung, walau menurut pemikiran saya, menulis tegak bersambung itu bukan bagian dari unsur-unsur cerpen, apa mau dikata karena itulah yang ditetapkan oleh panitia. Jizan hanya tidak beruntung karena Dia tidak mahir menulis indah, yang dia miliki hanya bakat mengungkapkan ide dan gagasan melalui tulisan dengan media computer. Sssssst tulisan tangan Jizan mirip tulisan saya, sama sekali tidak indah.
       Karena tidak masuk ke dalam kelompok sepuluh besar, saya bersepakat dengan suami untuk mengajak Jizan pulang lebih dulu dari rombongan sekolahnya, saya tidak ingin dia berlama-lama di tempat yang Dia sudah merasa tidak nyaman di dalamnya akibat tidak masuk sepuluh besar itu.
Saya dapat melihat raut kecewa di wajahnya, dia tidak banyak bicara ketika berjalan menuju ke tempat parkir. Tiba-tiba seorang laki-laki yang mengenakan batik PGRI, berteriak dari seberang jalan;
“YANG PULANG DULUAN PASTI TIDAK MASUK FINAL”
Saya tersentak mendengar suara teriakan itu, langsung saya lirik wajah Jizan, benar saja, wajah itu sekarang menunduk dalam-dalam dengan bahu yang naik turun, Dia menangis!!
         Ingin rasanya saya memaki laki-laki yang pasti seorang guru itu, bagaimana mungkin seorang guru yang sudah belajar Imu Pendidikan, Ilmu Jiwa Anak, belajar pula PAKEM, PAIKEM, Quantum Learning, melakukan hal sekeji itu.
Yang saya lakukan saat itu hanya membujuk Jizan, kembali membesarkan hatinya, walau di sela isakannya dia sempat mengatakan,
“Jizan malu mah, Jizan itu gak bisa bikin cerpen, kenapa sih bu Guru nyuruh Jizan yang ikut?”
     Inilah sekelumit kisah, terkadang ternyata orang dewasa itu kejam, tidak menyadari bahwa yang dilakukannya dapat menghancurkan rasa percaya diri seorang anak, kalau seorang guru saja memiliki sikap seperti ini, Apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita???

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....