Rabu, 08 Juli 2020

Hati yang Mendua #5




Aini memarkir motornya di halaman rumah Vina. Dulu saat SMA rumah ini seperti rumah keduanya. Sejak mereka kuliah di tempat yang berbeda,  hanya sesekali saja dia berkunjung, terlebih setelah lulus kuliah dan Vina juga sibuk di tempatnya bekerja. 

Aini melangkah di antara berbagai jenis bunga anggrek yang  tengah mekar,  tersusun di sisi kanan dan kiri jalan yang menghubungkan tempat parkir dan teras rumah. Sebelum sampai ke teras matanya telah menangkap keberadaan Fitri dan seorang laki-laki, mungkin suaminya, duduk di sofa panjang. Vina juga ada di situ.
"Nah, akhirnya datang juga," Vina setengah berteriak. Fitri dan laki-laki di sebelahnya spontan menoleh ke arah Aini.
Aini terkesiap, jantungnya berhenti sesaat. Laki-laki yang berada di samping Fitri adalah Ridho, bukan suaminya.
"Ayo, Ay! Kami lagi makan rujak. Oleh-oleh dari Fitri." Vina bangkit dan menghampiri Aini, dua buah kecupan persahabatan dihadiahkan Vina untuk Aini.  tapi Aini masih terlalu sibuk menata gerak irama jantungnya. 

Aini mulai menyesali penampilan dirinya yang terlalu biasa saja. Tadi sebelum berangkat, dia hanya memoleskan bedak tipis dan seulas lips balm  di bibirnya. Dia juga menyesali tak mengenakan pakaian terbaik, saat ini dia hanya mengenakan celana kulot berbahan jeans  dan blues katun bermotif bunga dengan model sederhana.

Aini terus sibuk dengan dirinya sendiri. Dia bahkan tak menyadari sepasang mata elang milik Ridho justru tak lepas memandanginya. 

Dia masih saja seperti dulu, gayanya juga masih sama. Sederhana tapi terlihat  menarik. Ridho membatin. 
Ada seberkas harapan tumbuh lagi di hatinya. 
@@@

Aini belum juga beranjak dari tempatnya berdiri. Tawaran rujak dari Vina  tak mendapat perhatiannya. Seluruh dirinya hanya terpusat pada sosok Ridho yang memandang tajam dengan tatapan mata elang. Aini seakan terperangkap dalam Sebuah ruangan sempit, gelap, dan hampa udara. Dia nyaris terjajar saat Vina menarik lengannya. Fitri yang sudah berdiri di dekatnya merentangkan dua lengan, mereka berpelukan. 

Aini masih belum bisa mengatur irama jantungnya. Debaran kencang seakan menembus gendang telinganya.
"Kamu kemana aja sih?" tanya Fitri setelah melepas pelukan. Aini hanya membalas dengan senyuman.
"Oh, ya. Aku bareng Bang Ridho, kamu kenal dia kan?" Aini membenarkan dengan anggukan.
Aini melangkah menghampiri Ridho yang sudah berdiri dan mengulurkan tangan.
"Apa kabar Aini?"
"Alhamdulillah, baik, Mas Ridho?" Jawabnya sambil melepas masker yang masih menutup sebagian wajah.
"Alhamdulullah, seperti yang kamu lihat," Ridho membuka dua tangannya dan mengangkat bahunya sedikit.
Aini menghela nafas. Berusaha menenangkan diri, menyembunyikan segenap rasa yang tengah menguasai.
"Duduk Ay," Ridho memberikan kursinya pada Aini dan menarik kursi lain yang berada agak jauh, ke dekat kursi yang sekarang diduduki Aini. 

Aini mulai menguasai diri. Percakapan dengan Vina, Fitri,dan juga Ridho mulai mengalir. Tinggal desiran lembut yang tersisa setiap kali dia beradu tatap dengan Ridho, dan Aini menyembunyikannya dengan memalingkan wajah ke arah lain, Dia sadar saat itu wajahnya pasti bersemu merah. 

Aini tak tahu, rasa itu pun tengah mendera hati Ridho. Gadis yang sedari dulu disukainya, kini ada di sampingnya. Ridho bukan tipe lelaki yang mudah jatuh hati dan mengumbar perasaan. Selama ini dia tengah meyakinkan diri atas rasa yang dirasakannya. Dia tak ingin salah dalam menentukan pada siapa rasa itu akan dilabuhkan.

Selanjutnya

Hati yang Mendua #4

Bagian sebelumnya
Secangkir kopi dalgona buatan sendiri dan sepiring kecil goreng kentang yang baru digorengnya, terhidang di atas meja kecil yang ada di teras rumah, keduanya mengepulkan asap tipis, dingin dan panas. Aini menikmati sore ditemani merdu suara BCL dari gawainya yang tersambung melalui head set melantunkan Keabadian Cinta. Novel A Gentleman in Love milik Barbara Cartland terbentang pula di hadapannya, romantisme cinta terpapar indah dalam novel ini.

Sore yang sejuk setelah hujan lebat mengguyur siang tadi membawa Aini berpetualang bersama angannya. Wajah Ridho sesekali terlintas di pikirannya. Seandainya saja cinta selalu berlabuh di tempat yang diinginkan, seperti yang selalu ada di tulisan Barbara, begitu yang terlintas di pikirannya. Tapi cerita hidupnya sungguh berbeda. Usaha kerasnya melupakan Ridho dan akhirnya menerima cinta Ami, seperti sebuah puzel yang tak lengkap. Ada ruang kosong yang akhir-akhir ini terbentuk, sejak dia tahu Ridho masih tetap sendiri, dalam bongkahan hatinya.

Aini menarik nafas dengan tarikan berat, debar di jantungnya tak berirama. Mengapa rasa ini kembali menggoda padahal aku sudah menerima kehadiran Ami? Pantaskah aku melakukan hal ini? Tapi rasa cinta memang tak mudah dikendalikan, dia datang dan menerkammu tanpa bisa memberi ampun. Tak ada logika untuk sebuah rasa. Tak jelas letak benar dan salahnya.
Aini memandangi asap yang semakin menipis dari dalgona yang belum diminumnya. Diraihnya cangkir itu dan didekatkannya ke bibir. Aini mencoba melepas gulananya dengan nikmatnya dalgona. 

@@@

Senja masih saja temaran, hujan lagi lagi mengguyur walau tak sederas hujan kemarin. Aini masih melanjutkan membaca novel yang kemarin, Barbara cartlan, juga dengan kegundahan yang sama.
"Suka menyendiri sekarang!" Komentar itu meluncur juga dari mulut Ibu. Aini menoleh ke arah Ibu yang sudah duduk di sebelahnya.
"Lagi galau?" Ibu menggodanya.
"Enggak, lagi baca!" elaknya.

Ibu menjulurkan kepala ke depan Aini, mencari tahu judul novel yang di bacanya.
"Tumben bukan Sherlock Holmes? Sejak kapan membaca Barbara?"
"Ini buku lama kok, Bu. Ada beberapa judul yang aku punya. Memang kalah banyak dari Sherlock."
"Ibu baru membaca satu judul novel Barbara, happy ending. Bangsawan bertemu bangsawan. Si cantik berjodoh dengan si tampan. Menurut ibu, seperti cerita dari negeri dongengnya HC Andersen."

Aini tak menimpali, dia malah menenggelamkan diri dalam bacaannya.
Dia baru mengangkat kepala saat gawainya berdering dan wajah Vina memenuhi layar gawai.
"Ay, ada Fitri di rumahku. Kemarin kamu nanyain dia, ke sini dong! Kamu pasti ingin melihat si seksi Fitri perutnya buncit."
Aini tertegun sejenak, teringat pada Fitri yang dulu begitu peduli pada penampilan dirinya. Fitri yang tak akan pernah mau bila diajak makan makanan berkalori tinggi. Jangan ajak dia makan baso, jajan es krim, atau pizza sekalipun. Dia rela hanya duduk sambil memainkan aplikasi permainan di gawainya, menunggu teman-temannya menghabiskan makanan di piringnya masing-masing.
Aini memutuskan akan memenuhi undangan Vina, bukan sekadar kangen pada Fitri, tapi dia ingin tahu kabar tentang Ridho.

Selanjutnya

#yetyurselmenulis
#aini

Hati yang Mendua #3


“Ay, kali ini kamu harus dateng!” Vina berusaha mengintimidasi.
“sudah tiga kali pertemuan kamu gak pernah ikut, anak-anak selalu nanyain kamu, atau buat kamu kami ini gak penting?” Kalimat Vina semakin tajam. Selama ini Vina tak pernah memaksa Aini untuk hadir di acara reuni SMA mereka. Aini selalu punya alasan. Tapi, kali ini berbeda. Dia diberi mandat untuk menghadirkan Aini.

“Gimana, ya?”  Aini masih berusaha mencari alasan. Reuni tahun pertama yang dihadirinya menyisakan rasa tak nyaman di hati Aini. Saat itu dia mengetahui Ridho,  kakak tingkat di kampus yang telah mengisi sebagian besar ruang di hatinya,  ternyata hadir pula  menemani salah seorang temannya. Mereka tampak begitu dekat.  Acara reuni menjadi berlangsung angat lama dan membosankan.

“Ay, aku mohon, sebentar juga gak apa-apa. Yang penting kamu nongol, setelah itu terserah kamu deh.mau langsung pulang lagi juga boleh.” Vina rupanya  sudah kehabisan ide untuk membujuk Aini.  
“Ikutlah, Ay. Temani Vina! Kamu juga kangen kan sama teman-temamu?” Ibu yang tak sengaja mendengar percakapan mereka ikut berkomentar
“Kasian, udah jauh-jauh jemput kamu ke sini,” lanjut Ibu. Rupanya bujukan Ibu berhasil melunakkan hati Aini. Gadis manis berwajah cabi itu pun segera bersiap. Tak butuh waktu terlalu lama, dia sudah muncul lagi dengan pakian rapi dan sedikit polesan make up ala anak muda masa kini. Vina menyambutnya dengan suka cita.
“Ayok, langsung berangkat, nanti keburu bubar.” Ajak Vina sambil berjalan ke arah mobil brio putih yang terparkir di depan rumah Aini.
@@@

Reuni sederhana berlangsung dengan suasana akrab. Aini tak merasakan suasana yang dikhawatirkannya. 
“Eh Fitri, kok gak datang, ya?” 
“Dia lagi ngidam” sebuah suara dari arah belakang Aini menimpali.
“Dia udah nikah?” Aini ikut bertanya walaupun yang ingin dipastikannya, dengan siapa Fitri menikah. 
“Udah empat bulan yang lalu. Cowoknya ganteng. Dia tuh emang paling bisa. Dari dulu selalu dapet cowok keren,” Tera kini yang angkat bicara..
“Bukan dengan Ridho?” 
“Ridho?” semua wajah memandang Aini dan itu membuat Aini rishi.
“Iya, kan? Mereka sempat pacaran juga, kan?”
“Ay, kok kamu gak update sih? Pasti gara-gara kamu gak gaul. Diajak reuni gak pernah datang. Makanya ketinggalan informasi.” Riko yang lebih suka dipanggil  Rika menyela dengan gaya khasnya yang gemulai. 
“Ridho itu bukan pacarnya Fitri, tapi pamannya. Ridho yang selalu diminta ayah Fitri mngantarkannya ke mana-mana, Fitri kan gak bisa bawa motor.”

Entah rasa apa yang sedang berkecamuk di hati Aini, ada binary-binar harapan tumbuh lagi di hatinya, tapi bukankah dia telah menerima cinta Ami?

#yetyurselmenulis
#Aini

Hati yang Mendua #2

Bagian sebelumnya


Sore ini ada tamu yang datang, sudah cukup lama dia tak muncul di rumah Aini, jaga jarak menjadi penyebabnya.

"Kirain gak mau main ke sini lagi," ajuk Aini saat membukakan pagar untuk lelaki muda yang kini berdiri di hadapannya. Lelaki muda itu hanya tersenyum.
"Seandainya boleh, setiap hari aku akan muncul di hadapanmu," si lelaki muda berkelit.
Aini hanya mendelik dengan pasang muka cemberut, tapi sambil menahan senyum.
"Ngapain juga harus muncul setiap hari, bosen juga kali," ucapnya sambil melangkah menuju teras.
"Iya, yah. Tapi, aku sih gak bosen. Kamu yang bosen,"
"Aku? Hmmm...gimana, ya? Udah, ah. Obrolan gak mutu," Aini menghenyakkan tubuhnya di kursi teras, Ami duduk di kursi lain, ada meja kecil di antara mereka.
"Kemana aja,Mas Bro?"
"Kangen, ya?"
"Ih, ge er! Cuman nanya aja. Basa basi."
"Aku sih kangen, tapi aku gak enak, kan harus jaga jarak. Harus ngasih contoh buat anak-anak."
"Terus, kok sekarang ke sini?"
"Ay, bisa kan gak nanya-nanya gak jelas kayak gitu? Mau aku jujur sama kamu? Nanti kamu malah malu."
"Kok aku yang malu?"
"Oke, dengerin ya! Aku ke sini karena aku sudah kangen sama kamu dan udah gak bisa ditahan lagi. Denger ya...Aku jatuh cinta sama kamu! Puas?" Ami mengucapkannya dengan setengah berbisik, tapi setiap suku kata diberinya tekanan, Aini tergagap, dia tiba-tiba kehilangan jutaan kosa kata yang tersimpan di benaknya.
"Sekarang, kamu yang harus jawab! Kamu punya rasa yang sama, gak?" Mata Ami yang langsung tertuju ke tengah-tengah mata Aini, membuat gadis itu semakin tak bisa bersuara.
"Tuh kan, tadi kamu yang maksa aku. Sekarang giliran disuruh jawab, eh malah diem," Ami memalingkan wajahnya, berbuat seolah tengah kecewa.

Aini masih terdiam. Jantungnya berdegup takkaruan. Rasa bahagia telah membungkam mulutnya. Aini ingin mengangguk, tapi Ami tidak menghadap ke arahnya. Mulut Aini tiba-tiba teras kering.
"Aini yang baik, aku tahu jawaban kamu, tapi aku takut kegeeran. Begini deh, kalau kamu mengambilkan aku air minum itu artinya kamu punya rasa yang sama, tapi.."
"Eh, lupa. Kamu belum aku suguhi air, ya?"
Aini langsung melangkah masuk dan tak lama sudah muncul lagi dengan dua gelas teh.
"Ini untuk aku? Yakin?" Ami menyeruput air yang dihidangkan Aini.
Aini hanya mengangguk. Ami pikir itu juga sudah cukup.



Aini #Hati yang Mendua


Masih ingat aku?" Seorang laki-laki mengenakan seragam warna kaki dengan kelengkapan logo dinas pendidikan,  menyapa. Aini yang sedang berada di depan ruang TU untuk absen pingerprint hanya bisa mengernyitkan dahi sambil melihat kiri kanan, dia ragu pada siapa sosok ini berbicara.
"Kamu Aini, kan?" tak salah, dia memang berbicara padaku, bisik hatinya. Aini kini memperhatikan dengan lebih teliti sosok yang sedang berdiri di hadapannya.
"Maaf, Pak. Bapak mengenal saya?" Dia tetap berusaha bersikap formal, laki-laki pemilik rambut agak ikal tersisir rapi dan aroma parfum yang tidak terlalu tajam tetapi menyegarkan tersenyum maklum.
"Kamu pasti lupa, aku juga pernah sekolah di sini. Wajar kalau kamu tidak mengenalku. Di kelas dua aku pindah, ikut Bapak yang pindah tugas ke provinsi." Laki-laki muda itu menjelaskan jati dirinya.
"Maaf, ya. Belum kebayang. Kita seangkatan?" Aini mulai penasaran.
Aku kakak kelasmu satu tingkat. Coba kamu ingat-ingat siswa berambut kribo, baju selalu dikeluarkan, kesibukannya hanya nulis di mading."

Aini menelitik lagi sosok yang ada di hadapannya kemudian senyumnya mengembang tanpa ragu.
"Kang Ami? Kok beda sih? Beneran aku tadi gak ngenalin," tidak ada lagi kekakuan di antara mereka karena dulu mereka cukup akrab dan sama sama jadi pengurus mading.

Percakapan mereka baru terhenti saat Bapak Kepala Sekolah datang dan Ami harus menemuinya untuk sebuah urusan. Aini kemudian menyelesaikan pingerprint yang tadi sempat tertunda. Tapi sebelum berpisah mereka masih sempat saling bertukar nomor kontak.

Pertemuan tak sengaja itu sudah terjadi hampir sebulan lalu, Aini hampir melupakannya. Nomor kontak yang saling dipertukarkan tidak serta merta membuat mereka saling menyapa.
Jika hari ini tiba-tiba Ami datang menyambanginya, tentu membuat Aini sedikit bertanya-tanya

"Tumben mampir , ada apa?" tanyanya saat Ami sudah duduk dan segelas teh manis pun telah terhidang.
"Hanya mampir aja, kamu tidak terganggu?"
"Enggak, enggak apa-apa."
Setelah sedikit berbasa-basi akhirnya mereka asyik berbincang ke sana ke mari, sesekali terdengar gelak mereka. Cerita masa sekolah di SMP, tentu sangat indah saat dikenang.
Cukup lama pemuda itu berada di sana, sebelum azdan magrib berkumandang, dia baru berpamitan.
"Boleh aku mampir lagi kapan-kapan?" tanyanya saat sudah berada di depan pintu pagar.
"Boleh," jawab Aini ringan.
"Enggak ada yang marah?"
Enggaklah, Ibu enggak pernah ngelarang aku berteman dengan siapa pun," jawabnya polos
"Bukan, bukan Ibu...eh, pacarmu?"
Sejenak Aini terdiam. Mau menjawab jujur dia tak enak hati.
"Kalau kamu diam, berarti kamu izinkan aku untuk datang lagi, iya kan?"

Entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk mengangguk, walau akhirnya membuat wajahnya memerah.
"Insya Allah, Sabtu besok aku ke sini lagi," Ami kemudian pamit. Aini mengikuti dengan pandangannya motor yang dikendarai Ami menghilang di ujung jalan.
Sambil masuk ke dalam rumah dia senyum- senyum sendiri. Tak disadarinya Ibu memperhatikan dari balik jendela kamar, juga tersenyum.


#aini #cerpen #galau #menduahati

Namaku Aini #2




Aini, perempuan muda yang dulu merasa terperangkap dalam profesi yang tak diminati, kini ternyata bermetamorfosis. Dia kini menikmati profesi seorang guru. Tak ada lagi keluhan tentang siswa bandel yang mengolok-olok atau yang tak mau melibatkan diri dalam kegiaan  belajar. Jika ada cerita yang dibawanya pulang, bukan lagi berupa keluhan, tetapi hanya meminta pendapat ibunya yang dulu seorang guru madrasah.

Aini mengamati dengan teliti setiap lembar tugas siswa yang ada di hadapannya. Tadi pagi dia meminta para siswa menuliskan pengalaman paling berkesan dengan Ayah atau Ibu. Banyak kisah unik yang mereka tulis. Ada yang berhasil merangkainya menjadi cerita yang runtut ada pula yang hanya sekadar menulis beberapa kalimat saja.
Sekarang mata Aini terpaku pada satu tulisan, milik Doni. Anak yang paling sering membuat masalah. Beberapa hari yang lalu berkelahi, sebelumnya kedapatan menyobek lembaran buku paket pelajaran matematika. Hampir semua guru saling menimpali kalau sudah berbicara soal Doni, semuanya berisi penilaian negatif.

Kertas Doni hanya berisi beberapa kata saja.
"Bu, saya tak punya banyak pengalaman dengan mereka. Sejak kecil saya tinggal dengan Nenek karena Ayah dan Ibu saya bercerai. Ibu dan Ayah saya sekarang sudah menikah lagi. Mereka tidak ada yang menginginkan saya."
Hati Aini bergetar. Teringat kembali rasa sedihnya saat Ayah dipanggil yang Maha Kuasa. Beberapa hari dia tak bisa tidur dan hampir setiap hari dilaluinya dengan tangis. Aini beruntung mempunyai Ibu yang tegar, walau hanya guru honor di sebuah madrasah di tengah kampung, Ibu berhasil menyelamatkan hati sekaligus masa depannya.

Pikiran Aini kemudian pada Doni, remaja tanggung berusia 14 tahun. Tubuhnya kurus dengan rambut ikal yang kadang-kadang diwarnai dengan wana kuning atau hijau yang keesokan hari akan kembali berwarna hitam setelah mendapat teguran dari guru BP. Doni yang hampir tak pernah mengerjakan PR dan saat ditegur guru, ada saja alasan yang disampaikannya.
"Bu, tolong baca ini. Nanti aku akan cerita tentang dia," Aini menyerahkan lembar kerja Doni pada Ibunya. Susah payah Ibu membaca tulisan Doni karena tulisan tangannya yang berantakan.
"Kasihan..." lirih suara ibu berkomentar.
"Dia sangat bandel. Guru-guru tak suka padanya," Aini kemudian menceritakan bagaimana kelakuan Doni dan sikap guru-guru padanya.
"Dia butuh cinta,"
"Bagaimana menunjukkan rasa cinta padanya? Dia sulit didekati," Aini bertanya pada Ibu yang sudah makan asam garam dalam dunia pendidikan. Guru madrasah yang selalu dikenang oleh murid-murid karena dia selalu memperlakukan mereka seperti anak kandungnya sendiri.
"Dekati dengan hatimu karena cinta itu harus ikhlas, jika kau gunakan hatimu maka hatinya pun akan tersentuh," Aini manggut-manggut meresapi setiap penjelasan Ibu.
"Nak, siswa-siswamu itu manusia, walau mereka masih sangat muda, perlakukan mereka sebagai manusia. Jadilah gurunya manusia!" Suara azan magrib menghentikan obrolan mereka.
Hati Aini lega. Dia kini tahu apa yang akan dilakukannya besok. Dia harus menjadi gurunya manusia. Memperlakukan semua siswa sebagai manusia yang selalu haus akan cinta dan kasih sayang.
--------
Pagi-pagi sekali Aini sudah mengeluarkan motor. Tas ransel besar menggantung di punggungnya. Dia sudah siap bertempur. Model pembelajaran dan berbagai media telah disiapkan plus notebook 12 inci yang jadi senjata utamanya.
Udara dingin tak menyurutkan semangat Aini. Badannya terbungkus jaket berbahan kaus tebal yang dilengkapi hudi. Helm warna biru muda melindungi kepalanya. Aini melaju di atas jalan aspal yang berlubang di sana sini.

Tiba di sekolah dia langsung menuju ruang TU, meminjam proyektor dan membawanya ke ruang kelas 8B, jadwalnya mengajar jam pertama.
Ada desir aneh di hatinya. Ini kelas Doni, siswa yang selalu menjadi bahan perbincangan di ruang guru, bukan karena prestasinya, tapi karena berbagai masalah yang dibuatnya.
Kelas masih sepi. Hanya ada dua anak perempuan yang baru saja membersihkan dan merapikan ruangan. Aini menyapa dengan mengucap salam, spontan sambil menjawab salam dua anak itu menghampiri dan mencium punggung tangannya. Selanjutnya Aini sibuk merangkai notebook beserta infocus dan berbagai perelengkapan lain yang akan digunakan .
Satu persatu siswa berdatangan setelah menyalami Aini, mereka duduk di kelompknya masing-masing. Kemana Doni? Sebentar lagi pelajaran dimulai, Aini menunggunya.

"Asalamualaikum," suara cempreng sedikit berteriak. Doni si pemilik suara sambil menyeringai langsung menuju tempat duduknya.
"Waalaikum salam," Aini menjawab salamnya dengan tersenyum.
"Senang sekali melihat kamu selalu bersemangat," lanjut Aini lagi, sementara beberapa siswa mulai kasak kusuk, bagi mereka hal aneh kalau ada guru yang mau memuji Doni.
"Baiklah, silakan KM, pimpin doa,"
Seluruh kelas hening, semua berdoa dalam hati masing-masing.
Kegiatan belajar mulai berlangsung, Aini mengamati kegiatan di tiap kelompok. Kelompok terakhir yang diamatinya adalah kelompok Doni. Aini menarik salah satu kursi yang tak berpenghuni ke dekat Doni, di situ dia duduk sambil sesekali bertanya pada Doni tentang materi yang sedang mereka kerjakan.

Cara Aini bertanya sekaligus membantunya menjawab, membuat Doni tidak merasa tertekan. Dia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya bahkan dia kemudian berani menyampaikan pendapatnya sendiri kepada teman-temannya.
Aini tersenyum. Dibelainya punggung Doni sambil berdiri dan kembali ke meja guru.
"Anak-anak, sekarang kita akan mengedarkan bola ini ke seluruh kelas sambil kalian bernyanyi lagu di sini senang, di mana pun bola ini saat lagu selesai, berarti dia yang akan presentas, siap?"
"Siaaaap!" Serentak seluruh siswa menimpali.
Aini bahagia, walau baru satu langkah, dia sudah berhasil membuat Doni fokus pada pelajaran. Tak perlu tergesa-gesa agar dia tetap merasa nyaman, pikirnya.
Terima kasih, Bu, jika bukan karena Ibu, mungkin aku tidak akan pernah tahu rasa bahagia yang hakiki. Walau ibu tak pernah mengecap bangku kuliah, tapi ketulusan hati ibu terhadap siswa telah mengantarkan mereka meraih kesuksesan. Aku bangga jadi  anakmu.

Namaku Aini #1


Setahun sudah Aini menjalani profesi sebagai seorang guru di sekolah menengah pertama satu-satunya yang ada di dekat tempat tinggalnya. Tidak terlalu dekat sebetulnya karena untuk menuju ke sekolah dia harus berjalan kaki sekitar satu kilo meter. Tak ada angkutan umum, kecuali ojeg. Naik ojeg akan menghabiskan uang honornya mengajar sehingga berjalan kaki menjadi satu-satunya pilihan.

Meskipun dia pernah belajar ilmu pendidikan di jurusan pendidikan, nyatanya hingga hari ini dia belum juga mampu menikmati profesinya. Menjadi guru bukanlah impian Aini. Cita-citanya menjadi karyawan perusahaan yang ada di perkotaan. Dulu dia selalu berdecak kagum setiap kali melihat perempuan-perempuan berpakaian kantoran. Pakaian seragam modis, sepatu hak tinggi, dan riasan yang mempercantik wajah. Tetapi, Ibunya yang kala itu menjadi guru madrasah lebih mendorongnya belajar ilmu pendidikan. Mulanya Aini menolak. Dia tak ingin hidup seperti ibu yang setiap hari hanya berkutat dengan berlembar- lembar tugas siswa. Sebelum mengajar, malamnya harus pula begadang menyiapkan alat peraga, menulis resume bahan ajar dan seabrek kesibukan lainnya. Belum lagi kalau di sekolah ada siswa yang membuat masalah. Benar-benar pekerjaan yang membosankan.

Untuk menyenangkan hati ibunya, saat mendaftar ke perguruan tinggi, dia menjadikan pendidikan guru Bahasa Indoneaia sebagai pilihan ke dua dan nasib mengantarkannya menjadi guru karena pilihan dua itu yang lolos. Menimbang kemampuan orang tuanya, Aini akhirnya menerima nasib.
Lulus tepat waktu, jika tidak dia harus membayar uang kuliah untuk semester berikut yang harus dijalani. Itulah konsekwensi beasiswa bidikmisi. Aini tak ingin menyusahkan ibunya.
Tak lama setelah wisuda, dia ditawari mengajar di sekolah tempatnya mengajar sekarang.
------
"Sudah paham?"
Tak ada jawaban. Semua hanya saling pandang.
"Baiklah, ibu jelaskan sekali lagi," Aini kembali menjelaskan dengan suara nyaring. Dia mulai terengah kelelahan. Ini penjelasan yang ketiga kali. Aini menjelaskan sambil matanya mengitari kelas. Matanya tertumbuk pada tiga orang anak yang tengah berbisik-bisik. Aini mengabaikan, dia benar-benar lelah. Dia melanjutkan penjelasannya, kali ini di bangku ke tiga dari depan seorang anak perempuan melirik sesuatu yang ada di dalam tasnya, sepertinya sedang bercermin. Dengan konsentrasi yang semakin hilang, Aini terus berbicara sampai akhirnya matanya menangkap basah Vito melempar sesuatu ke arah Andi. Aini sudah tak tahan lagi.
"Vito!" Tiba-tiba Dia berteriak keras.
"Bagaimana kamu bisa mengerti kalau tidak mendengarkan?" lanjutnya masih dengan suara tinggi.
Kelas hening seketika. Semua terdiam, apalagi Vito. Dia tertunduk dengan muka pucat. Aini terus melampiaskan kekesalannya dengan mengungkapkan kalimat-kalimat keras. Tanpa basa basi dia melangkah meninggalkan kelas. Semua murid tak ada yang berani bersuara. Mereka hanya memandang punggung Aini yang hilang di balik pintu.
-----
"Bu, aku mau berhenti mengajar," ujarnya sambil menghenyakkan tubuhnya di kursi tepat di sebelah ibunya.
Sekejap ibu menatap wajahnya, mencoba meyakini apa yang baru saja dia dengar.
"Kenapa?" tanyanya kemudian.
"Aku gak mampu jadi guru. Anak-anak itu tidak menghargaiku." Seterusnya adalah cerita kejadian tadi pagi meluncur lancar dari bibirnya.
"Ibu tidak bisa memaksamu mengikuti jalan hidup Ibu. Tapi, kamu belum lama mengajar. Mungkin kamu belum menemukan kesenangan mengajar seperti yang Ibu rasakan," jawaban bijak ibu.
"Aku sudah setahun mengajar, Bu. Aku memang gak cocok jadi guru."
"Baiklah bila itu keinginanmu, tapi tunggu!" ibu berdiri dan melangkah ke kamar. Aini menunggu dengan rasa ingin tahu.
"Bacalah ini!" Ibu menyodorkan selembar kertas.
Aini membaca surat itu. Surat dari salah seorang murid ibu. Isinya ucapan terima kasih karena ibu telah menyelamatkan masa depannya.
"Itulah kebahagiaan seorang guru. Bukan harta, tapi sangat tak ternilai." ibu mengucapkannya dengan wajah berbinar.
"Entahlah Bu. Aku tak mampu menghadapi mereka," Aini masih bersikukuh.
"Karena kamu belum melakukannya dengan ikhlas. Nak," ibu menatap wajah Aini lekat-lekat 
"Pahami apa yang mereka mau, mengerti apa yang mereka inginkan. Anak-anak itu sebenarnya haus pengetahuan, tapi setiap mereka berbeda. Mereka harus diperlakukan dengan cara berbeda." Aini mencoba mencerna kaka-kata Ibu. Teringat kembali dosen Psikologi Pendidikan yang pernah mengajarkan tentang Holistic caracter.

Tingkah laku mereka menunjukkan karakter mereka. Mengapa aku melupakan hal ini? Mereka bukan anak bandel, tapi aku yang tidak memahami mereka. Seharusnya aku mengajar sesuai karakter mereka.
Tiba-tiba saja Aini memeluk Ibu.
“Terima kasih, Bu. Selalu menjadi inspirasiku, aku mau belajar lagi supaya jadi guru seperti ibu."
Ibu tersenyum. Dia percaya Aini akan menemukan kebahagiaan  menjadi seorang guru,  sebagaimana yang selalu dirasakannya.


#cerpen #ceritaguru #belajarnulis   #semuabisanulis  

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....