Jumat, 05 November 2021

Cerita dari Masa Lalu #3

bagian sebelumnya Sejak ada dering telpon itu, sejak suara Han mampir lagi di pendengarannya, semua berubah. Ada ruang kosong di hatinya. Ada detak aneh yang mengusiknya, ada keinginan untuk kembali pada masa masa diperlakukan sebagai wanita istimewa, yang setiap saat dilambungkan oleh diksi diksi cinta. Resti menghela napas berat sambil menggelengkan kepala. Tidak, jangan, tidak boleh! Resti menghenyakkan tubuhnya di kursi tamu, meraih boneka Rilakuma yang tergeletak di sampingnya lalu mendekapkannya ke dada. Seharusnya kita tidak memulai canda- canda itu. Seharusnya kita tidak bermain main dengan hati. Rasa itu  ternyata tak pernah mati dan sekarang malah menjadi pengganggu. Han, seharusnya aku membencimu. Kamu yang pergi tanpa pamit. Kalau tidak ada Ilham, dengan pikiran pikiran logisnya yang terus menyadarkanku untuk bertahan lalu kembali melangkah, entah apa yang terjadi padaku. Denting kecil terdengar dari suara HP yg tergeletak di lantai karena sedang dicas. Kilatan layar saat muncul notif mengundang perhatian Resti. Dia meraih HP itu tanpa berusaha bangkit dari tempatnya duduk. Ikon berwarna hijau dan tulisan angka 12. Sudah ada 12 pesan masuk. Salah satunya ternyata dari Han. Res, untuk kali ini aku pamit. Tidak menghilang tanpa kabar seperti dulu. Mohon maaf atas segala kesalahanku. Dalam dua atau tiga hari ini kamu akan mengerti semuanya. Resti membaca tulisan itu berulang-ulang. Rasa penasaran membuatnya menuliskan beberapa kata untuk Han. Han, mau ke mana? Resti tak langsung menekan tombol panah. Perlukah aku menanyakan hal ini? Bukankah lebih baik bila dia pergi? Aku sudah memiliki kehidupan bersama Ilham dan anak-anak. Tak perlu lagi ada masa lalu. Resti mengurungkan niatnya. Diletakkannya kembali HP yang kabel chargernya masih terpasang, ke lantai. Hari hari penuh gundah. Rasa penasaran dan usaha keras untuk setia pada komitmen pernikahan  ternyata tidak mudah. Resti tak bisa menghapus begitu saja rasa ingin tahunya. Ada apa dengan Han? Mau ke mana dia? Dua buah tanya yang cukup menganggu.

 @@@ Sejak 30 menit yang lalu Resti sudah sibuk di dapur. Menyiapkan sarapan. Hari Minggu biasanya Fio minta dibuatkan nasi kuning komplit dengan urak arik tempe dan kacang tanah juga telur mata sapi setengah matang. Semua kini sudah terhidang di meja makan. Acara sarapan di Minggu pagi adalah saat bercengkerama. Usai makan  tidak ada yang beranjak meninggalkan meja, tak ada HP. Saling bercerita, saling mendengar. Bila ada yang menyampaikan masalah  Ilham akan memberikan saran-saran logis dan Resti memberi pandangan lewat hati dan kelembutan. Hari beranjak siang, saatnya melanjutkan aktivitas. Resti merapikan bunga-bunga yang memenuhi teras depan, Ilham pergi ke bengkel motor, dan Fio memanfaatkan jatah satu jam main game di HP milik Resti. "Ma, ada telepon." Fio menghampiri sambil menyerahkan HP yang ada di genggamannya. Mulutnya sedikit menggelembung. "Lagi seru, eh ada telepon," rungutnya. Mendengar itu Resti hanya tersenyum. "Selamat pagi," suara asing di seberang sana. "Pagi," ragu ragu Resti menjawab. "Dengan Ibu Resti?" "Iya... Saya sendiri.. Ada apa?" "Saya Andin, perawat di RS Cahaya Medika, ingin bertemu ibu." "RS? ... Mau ketemu saya? Kok saya jadi  bingung." "Maaf, Bu. Saya punya titipan dari seorang pasien untuk Ibu." "Dari siapa?" Dada Resti kini berdetak kencang. Kalau tadi hatinya diliputi keraguan dan rasa curiga, kini ada cemas menyertai. "Maaf, Bu. Boleh saya mampir ke rumah Ibu sekarang?  Saya sudah dalam perjalanan menuju RS dan sebentar lagi  melewati rumah Ibu." "Iya, silakan." Jawaban spontan terluncur begitu saja. Scoopi putih kini berhenti di dekat pagar. Seorang perempuan muda mengenakan kulot berbahan jeans dan atasan berbahan katun  berwarna biru muda tutun sambil melempar senyum ke arah Resti. "Assalamualaikum,"sapanya ramah. "Waalaikum salam, silakan masuk." Resti menyilakan tamunya duduk. "Maaf, saya tidak lama. Hanya akan menyerahkan ini." Selembar amplop coklat seukuran kertas folio diserahkannya kepada Resti. "Ini apa?" Resti kembali dibuat bingung. "Ini titipan dari Bapak Han. Beliau meminta saya menyerahkan ini ke Ibu dua hari yang lalu, sebelum tindakkan operasi dilakukan." "Operasi apa?" "Ibu Baca saja surat ini. Mungkin Pak Han menulisnya di sini," setelah sedikit berbasa-basi perawat itu pun berpamitan. Resti hendak beranjak masuk, Fio  menjaganya, telapak tangan Fio terbuka di depan dada. Resti menyerahkan HP-nya. Resti mengeluarkan selembar kertas dari amplop coklat itu.  tulisan tangan Han. Re, Aku tulis ini hanya untuk menjawab pertanyaan yang aku yakin masih ada di hati kamu. Tujuh tahun lalu aku divonis cancer prostat dan  harus dioperasi. Dampak operasi itu aku tidak bisa punya keturunan. Ini alasanku 7 tahun lalu meninggalkanmu tanpa pamit. Besok aku harus operasi lagi karena cancerku ternyata menjalar ke usus. Re, aku tidak tahu apakah operasinya akan berjalan baik-baik saja atau tidak. Sebelum terlambat aku mau minta maaf atas semua sikapku yang menyakitimu. Jika aku harus pergi aku ingin pergi dengan maafmu. Jika  surat ini sampai kepadamu, itu artinya kita tak lagi bisa bertemu. Berbahagialah bersama keluargamu. Karena hanya itu yang selama ini menjadi harapanku. Han. Detak jantung Resti kini semakin tak karuan. Dadanya tiba-tiba sesak. Tanpa dapat dibendung bulir-bulir air mata  mengalir deras di wajahnya. # masa lalu adalah catatan hidup yang.tak harus dihapus. Biarlah jadi bagian warna kehidupan (yety)

Sabtu, 29 Agustus 2020

Teknik Penokohan dalam Teks Fiksi



Penokohan dan tokoh tidaklah sama. Tokoh adalah pemeran, orang-orang yang ada dalam cerita. Sedangkan penokohan adalah teknik atau cara yang dilakukan penulis menghidupkan tokoh-tokoh dalam tulisannyanya sehingga pembaca dapat membayangkan atau mengaggap tokoh itu benar-benar ada.


Berikut beberapa teknik penokohan yang dilakukan penulis,
1. Menjelaskan secara langsung
2. Melalui dialog antar tokoh
3. Menggambarkan tindakan atau perbuatan
5. Melalui penggambaran ciri-ciri fisik
6. Pemberian nama

Contoh 1. Menjelaskan secara langsung.
Dia anak yang selalu patuh pada nasihat orang tua, dia juga disayangi oleh guru karena selalu bersikap sopan.

Contoh 2. Melalui dialog antar tokoh
"Kalau dia tidak keras kepala, tentu hal ini tidak akan terjadi," ujar Romi pada Yuli.
"Ya, Anton memang aneh. Dia tak pernah mau mendengar pendapat orang lain, merasa paling benar." Yuli menimpali dengan lebih emosional.

Contoh 3. Menggambarkan tindakan atau perbuatan.
Aini berpamitan seraya mencium punggung tangan Ibu. Dia tak akan berangkat ke mana pun sebelum melihat wajah Ibunya..

Contoh 4. Melalui penggambaran ciri-ciri fisik.
a. Lelaki yang lengannya penuh tato itu tingginya sekitar 1,7 meter. Di bagian pelipis kirinya terdapat garis lurus, mungkin bekas luka.

b. Gadis berhijab yang duduk di bangku taman itu, pemilik senyum paling manis yang aku kenal. Matanya ikut berbinar bila tersenyum. Gadis itu juga memiliki suara lembut bahkan saat tertawa.

5. Pemberian nama.
Setiap manusia pasti memiliki nama, memberi nama pada tokoh fiksi, membuat tokoh itu seolah benar-benar nyata adanya.
Pemberian nama pada tokoh, perlu pula disesuaikan dengan karakter tokoh itu. Nama anak kota tentu berbeda dengan nama anak desa.

Demikianlah, teknik penokohan dalam fiksi.
Semakin sering anda menulis, anda akan semakin mahir dalam menulis fiksi.

Selasa, 25 Agustus 2020

Cerita dari Masa Lalu #2

 


Klik untuk membaca bagian sebelumnya
Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu. Berbeda antara di telpon dan menelpon. Ditelpon, berarti bukan aku yang memulai. Aku hanya merespon sebuah panggilan, batinnya.

Lengan Resti sudah kembali di tuas porsneleng, siap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba gawainya berdering lagi. Dua belas deretan nomor muncul lagi di layar gawai. Bersegera jari telunjuknya menggeser ikon telepon berwarna hijau, jantungnya lagi-lagi berdegup tanpa irama, berkejaran.
"Halo, Re!" Suara Han di seberang sana.
"Halo," sahutnya perlahan, suaranya seolah tersangkut ditenggorokan
"Kamu baik-baik saja, kan?"
"He eh," diiringi anggukan untuk menegaskan dan ini gerakan reflek saja karena dia menyadari ada getar di suaranya. 
"Aku ingin bertemu kamu, bolehkah?"
Resti terdiam. Bukan perkara mudah menjawab ini. Satu sisi hatinya tengah bersenandung riang, melagukan nyanyian cinta masa lalu yang tengah menguasai, tapi ada sisi lain yang mencegah. Aku belum terlalu gila untuk menjadi wanita peselingkuh. Selama ini aku punya kehidupan yang bahagia. Ilham, Fio, adalah masa kiniku. Gejolak hati yang hanya melahirkan rasa duka. Rasa menderita, rasa yang sama dengan yang dirasakannya saat kehilangan Han, dulu. Tak disadarinya dua butir air mata bergulir di wajahnya.
"Re?" Suara Han kembali terdengar.
"Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu," lanjutnya.

Resti masih bergeming. Tak lama kemudian dia mengakhiri percakapan dengan mennyentuh ikon telepon berwarna merah. 

Resti menggerakan tangannya, memasukkan gigi  dengan sembarangan, tersirat kegelisahan pada gerakannya. Terdengar suara  bunyi gir beradu. 

Kaki kanannya menginjak pedal gas terlalu keras,  mobil meraung dan Resti terkejut. Spontan matanya melirik ke kiri dan kanan, beberapa pasang mata memang tengah memandang ke arahnya. Dengan perasaan tak enak, Resti melaju meninggalkan orang-orang yang masih memperhatikan.

Ruangan kerja Ilham ada di lantai 15, agak jauh dari lift, hal ini yang membuat Resti jarang mau naik ke atas. Seperti saat ini, dia memilih duduk di lobbi, tadi dia sudah menelpon Ilham untuk memberitahukan kedatangannya. Tak menunggu terlalu lama, Ilham terlihat keluar dari lift.

Berkas sudah pindah ke tangan Ilham,
"Sudah makan? Kalau mau makan ke kantin belakang, aja? Resti hanya menggeleng.
"Nanti saja,di rumah." Resti sudah terbiasa dengan gaya Ilham. Dia hanya memberi saran, bukan mengajak. Dia juga tidak akan menemani. Ilham melakukan segala sesuatu secara efisien, logis, dan tanpa basa basi. Dia tidak akan membuang waktu duduk di kantin bila hanya untuk menemani, buang-buang waktu, begitu pendapatnya.

Terkadang Resti iri pada teman-temannya. Ingin sekali-sekali diberi kejutan manis, diajak makan malam romantis berdua saja, atau apalah bentuknya. Tapi, bukan Ilham namanya, kalau mau melakukan hal itu.

Resti sudah lama berkompromi dengan segala ingin yang ada di hatinya, terutama dengan sikap Ilham. Dia berusaha untuk juga menjadi logis. Selama ini Ilham setia, bertanggung jawab, dan memberikan keleluasaan pada Resti untuk beraktivitas. Resti sudah merasa cukup. Entah mengapa, kehadiran Han mengubah keadaan. Dia tak lagi merasa baik-baik saja.






selanjutnya

Sabtu, 22 Agustus 2020

Ambulan di Seberang Jalan


Suara gaduh di luar pagar rumah membangunkan Aini dari tidur siang yang sebenarnya sangat jarang dinikmatinya. Dia mengintip ke luar melalui jendela kamar yang menghadap ke jalan raya. Sebuah mobil ambulans terparkir dan beberapa orang, tidak jelas jenis kelaminnya karena pakaian mereka layaknya seperti makhluk luar angkasa, masuk ke rumah Pak Joko yang tepat berseberangan dengan tempat Aini berdiri sekarang. 

"Tak disadarinya Ibu yang membuka pintu kamar dan menghampiri. 

"Pak Joko mau dibawa ke Jakarta," ujar Ibu setelah ada di sisi Aini dan ikut mengamati dari balik jendela. 

"Sakitnya tambah parah?" tanya Aini tanpa melepaskan pandangan dari kesibukan orang-orang di luar sana.

"Iya, ternyata Pak Joko positif." Sejak melihat pakaian orang-orang yang masuk ke rumah Pak Joko tadi, Aini sudah menduga. 

"Kasian, ya Bu. Oh, iya, Bu Jokonya bagaimana?" Ikut ke Jakarta juga? Kasian anak-anaknya. Mereka kan masih kecil-kecil. Siapa yang akan menemani?" Aini memberondong Ibu dengan pertanyaan beruntun, Ibu tak menjawab. Mungkin Ibu belum punya informasi tentang hal itu.

Mobil ambulans sudah berangkat membawa Pak Joko. Orang-orang yang tadi melihat dari kejauhan, sudah membubarkan diri pula. 

"Sepertinya hanya Pak Joko yang ke Jakarta. Bu Joko mungkin negatif," Aini bersuara lagi.

"Mudah-mudahan saja. Tapi, mereka harus karantina mandiri, kan?" Sekarang giliran Ibu yang bertanya. Aini juga tak menjawab. Beberapa saat kemudian dia baru menanggapi,

"Kalau Pak Joko positif, kemungkinan Ibu Joko juga positif. Tapi karena belum keluar hasilnya, beliau harus karantina mandiri, sampai dinyatakan negatif, kalau tidak salah, begitu Bu." 

"Terus kita tetangganya?"

"Kalau selama ini Bu Joko sering ke luar rumah dan bergaul akrab, tanpa jaga jarak dengan orang-orang sekitarnya, kita juga akan diperiksa dan harus karantina.Wah gawat ini. Aku bisa pinsan kalau disuntik."

"Pemeriksaan SWAB tidak disuntik, Neng," Ibu meluruskan.

"Maksud aku rapid test," Aini menutup mulut dengan telapak tangannya. 

"Jadi sekarang kita harus bagaimana?" Ibu yang paling tenang se dunia ini, ternyata bisa paranoid juga.

"Selama ini kita sudah disiplin, Insya Allah, kita akan baik-baik saja.Yang sekarang harus kita carikan jalan keluarnya adalah membantu Bu Joko memenuhi kebutuhan hidupnya."

"Iya, nanti kita ajak Ibu-ibu sekitar sini untuk membantu."

Di luar keadaan sudah kembali normal. Rumah Pak Joko tampak sepi. Bu Joko dan anak-anak harus karantina mandiri.

Mobil ambulan yang membawa Pak Joko menghilang di ujung jalan yang agak berkelok, meninggalkan raungan sirine yang semakin lama semakin perlahan lalu senyap.

Bu Joko meraih lengan anak pertamanya yang baru berusia 8 tahun sedangkan anak kedua yang baru berusia 1 tahun tetap berada dalam gendongan. Bertiga mereka masuk ke dalam rumah, memulai karantina. Gadis kecil 8 tahun itu, Aida, sempat hendak menepis lengan mamanya saat melihat beberapa anak bermain sepeda. Bu Joko mempererat pegangannya, Aida melirik wajah Bu Joko mencari jawaban atas kebingungannya, mungkin juga protes.

Bu Joko mengambil beberapa kertas hvs dan pinsil lalu mengajak mereka menggambar. Kedua anak itu kemudian asyik mencorat-coret kertas, Aida mengambar gunung dan sawah seperti yang dia lihat di lembar kalender yang tergantung di dinding sedangkan Defan hanya membuat coretan-coretan tak berbentuk.

Ternyata anak-anak tak bertahan lama menikmati kegiatan itu. Aida kini tampak gelisah, sebentar-sebentar menengok ke luar lewat jendela. Di lapangan bulu tangkis yang hanya terhalang tanah kosong, anak anak semakin ramai. Aida menunggu saat yang tepat agar bisa pergi ke sana.

Bu Joko bisa merasakan keresahan Aida. Biasanya pada jam-jam sebegini dia bermain bersama teman-temannya. Anak seusia Aida pasti tak suka bila harus di rumah saja. Bermain bersama teman adalah aktivitas utama mereka.

"Ma, boleh pinjam HP?" Aida berusaha mencari kegiatan lain. BU Joko kebingungan. Dia tahu benar bahaya radiasi gudget bagi anak. Keponakannya ada yang harus mengikuti terapi karena matanya nyaris buta. Bahkan dia pernah mendengar ada anak yang tangannya terus bergerak sendiri, seperti gerakan bermain games akibat terus menerus bermain game di gadget. 

"Boleh ya, Ma?" Aida mulai merengek.

"Boleh, tapi kita buat kesepakatan dulu," Bu Joko mengalah. 

"Apa sih kesepakatan?" Aida tak paham.

"Kita atur, main HP-nya berapa jam," Bu Joko menjelaskan. 

"Berapa jam, Ma?" Aida bersemangat lagi.

"Paling lama 30 menit, setelah itu kembalika ke Mama.Aida mengangguk, dia belum bisa memperkirakan waktu yang dibutuhkannya. Baginya yang penting Mama mengijinkan memakai HP.

Duduk di balik jendela menjadi sering dilakukan Aini sejak Keluarga Pak Joko dikarantina. Lewat jendela itu pula dia memerhatikan Aida yang juga sering berada di balik jendela rumahnya. Aini bisa melihat kemurungan bocah 8 tahun itu. Terkadang dia mendengar suara Aida menangis keras, minta dibolehkan keluar.

Sesekali terdengar pula suara Bu Joko memarahi Aida, Bu Joko pasti tertekan dengan semua keadaan itu.

"Ay!" Ibu yang tadi terlihat sibuk membantu Bi Ida menyiapkan pesanan seblak sekarang sudah ada di depan pintu kamar, Aini menghampiri Ibu

"Ada apa, Bu?" tanyanya setelah dekat.

"Antar Ibu ke rumah Bu RT." Tanpa menjawab Aini langsung mengeluarkan kunci motor dari dalam laci meja kecil tempat menyimpan riasan. 

"Jalan kaki saja, supaya badan bergerak," 

"Panas, Bu,"  

Akhirnya disepakati untuk naik motor saja.

Dalam perjalanan Ibu menjelaskan maksudnya berkunjung ke rumah Bu RT. Ternyata Ibu juga prihatin dengan kondisi Bu Joko dan anak-anaknya. 

"Ibu mau minta ijin Bu RT, menggalang dana dari warga,"

"Maksud Ibu dana untuk Bu Joko?" Ibu mengiyakan. 

Rumah Bu RT tidak terllalu jauh, tak sampai 10 menit mereka sudah sampai.

Rumah bercat hijau dengan taman kecil yang tertata dengan rapi, terlihat asri. Bu RT rupanya sudah menunggu karena Ibu sudah mengabari sebelum berangkat.

Tak terlalu lama berbasa-basi, Ibu pun menguraikan maksudnya. Bu RT menyimak.

"Saya setuju, sangat setuju! Tapi, masalahnya, warga kita agak beda, agak susah kalau dimintai donasi. Giliran dapat BLT, dijadwal jam 12.00, jam 06.00 pagi sudah sampai di lapangan." Ibu dan Aini hanya tersenyum menanggapi cerita Bu RT.

Ibu terus berusaha meyakinkan Bu RT, akhirnya Bu RT menyetujui dan menjadi donatur pertama. Pada baris berikutnya nama Ibu dan Aini, juga Bi Ida telah mengisi lis pengumpulan donasi itu

Tiga hari Ibu sibuk berkeliling mengumpulkan donasi untuk keluarga Pak Joko, Ibu tidak hanya mendatangi tetangga satu RT, tapi juga mengirim pesan WA ke murid-murid madrasahnya yang sudah mampu.

Sore ini Ibu mulai menghitung jumlah uang yang terkumpul. Di atas meja berserakan uang lima ribuan, sepuluh ribuan, dan ada beberapa uang lima puluhan ribuan.

"Dapat berapa, Bu?" Aini menghenyakkan tubuhnya di kursi panjang, di samping Ibu. 

"Ibu baru mengecek jumlah yang ditransfer ke rekening. Oh, ya. Tolong periksa di WA Ibu, siapa saja yang konfirmasi sudah transfer, sekalian jumlahnya." Aini mengambil gawai Ibu dan memeriksa pesan masuk, sesuai permintaan, lalu mencatat di kertas selembar.

Lama juga Aini dan Ibu merekap seluruh dana yang masuk.

"Ini amanat, kita harus teliti. Tak boleh ada yang terlewat dan tak tersampaikan ke yang berhak." 

"Iya, Bu," jawab Aini sambil mengangguk.

Setelah selesai merekap, Ibu menelepon Bu RT dan membicarakan rencana selanjutnya. Aini yang mendengar percakapan itu teringat pada Aida. Aida yang berdiri di balik jendela melihat teman sebayanya bermain dengan tatapan sedih.

"Bu, kalau bisa sih, jangan semuanya diberikan ke Bu Joko dalam bentuk uang atau sembako. Beli mainan edukasi untuk Aida." 

"Tapi, sembako yang mereka butuhkan sekarang." nada suara Ibu menunjukkan ketaksepakatan. 

"Bu, anak seusia Aida kalau harus di dalam rumah terus, sedangkan dia juga melihat teman-temannya ramai di luar, pasti dia tertekan." Aini berargumen. Sejenak Ibu tercenung. Ibu juga pernah melihat pemandangan yang sama dengan Aini. 

"Saranmu, kita belikan apa?" lanjutnya kemudian.

"Mainan edukasi saja. Ada papan tulis bersuara, pasti dia suka. Aku pernah lihat di toko online. Tidak terlalu mahal, paling sekitar Rp150.000,-," jelas Aini.

"Mahal juga ya," Ibu meragu.

"Bu, anak-anak kalau tertekan, malah biaa sakit," Aini berusaha meyakinkan.

"Yasudah, kamu yang pesan."

Aini bahagia karena yakin besok dari balik jendela kamarnya akan melihat lagi senyum ceria di wajah Aida

Rencananya pagi ini Ibu bersama Bu RT akan menyerahkan sumbangan untuk Bu Joko. Sejak tadi malam Ibu sudah menyiapkan masker, sarung tangan karet dan cairan antiseptik.

"Sebetulnya gak enak juga memakai pakaian begini ke rumah Bu Joko, tapi ini kan untuk keselamatan kita semua," ujar Ibu sambil mengencangkan tali maskernya.

"Perginya dengan Bu RT?" tanya Aini yang dijawab Ibu dengan anggukan.

Masker sudah terpasang erat menutupi sebagian wajah Ibu, sarung tangan karet pun telah pula dikenakan. Cairan antiseptik dimasukkannya ke dalam tas.

Suara ketukan dan salam terdengar dari arah pintu depan. Aini bergegas menghampiri. Saat membuka pintu dilihatnya Bu Ati sudah berdiri di situ. 

"Ibu ada?" tanya Bu Ati di detik berikutnya.

"Ada, silakan masuk, Bu!" Setelah menyilakan Bu Ati duduk, Aini bermaksud memberitahu Ibu, tapi ibu sudah muncul dari balik pintu kamar. 

"Oh, Bu Ati. Saya dan Bu RT mau ke rumah Bu Joko sore ini, Bu Ati mau ikut sekalian?" 

"Oh, tidak...terima kasih. Saya hanya mau mengantarkan ini." ujar Bu Ati sambil menyerahkan sebuah amplop kecil berwarna putih lalu berpamitan. Sikap Bu Ati yang gugup dan terburu-buru membuat Aini bertanya-tanya. 

"Bu Ati kok sikapnya aneh, ya Bu?"

"Aneh kenapa?"

"Seperti tidak nyaman,"

"Sebetulnya dua hari yang lalu Ibu sudah ke rumahnya, dia yang pernah Ibu ceritakan itu, dia tidak setuju dengan penggalangan dana. Dia bilang tokonya sekarang sepi. Boro-boro ngasih sumbangan," 

"Terus?"

"Ya, tidak pake terus! Ibu pamit, dan bilang semoga warungnya ramai lagi dan bisa menjadi ladang amal. Dan semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah."

"Mungkin karena kata-kata Ibu itu," Aini menduga-duga.

"Itu kan kata-kata biasa. Ibu tidak menyindir." Ibu panik.

"Jangan baper dong. Mungkin kata-kata Ibu menyentuh kesadarannya untuk tetap beramal."

"Mudah-mudaha begitu. Ibu jadi gak enak."

"Ih, jangan baper. Bu Ati datang ke sini tanpa ada yang memaksa. Ini tentu karena kesadarannya sendiri. Karena ada hidayah dari Allah."

Tak lama setelah kepulangan Bu Ati, Bu RT sudah memarkir motornya di depan rumah. Berdua, dengan mengenakan masker dan sarung tangan karet, mereka mengetuk rumah Bu Joko.

*****

Sore ini Aini kembali berdiri di depan jendela kamar. Pandangannya lurus ke depan. Ke seberang jalan, ke jendela rumah Bu Joko. Bila di tarik garis maka akan terbentuk garis lurus yang menghubungkan dua jendela itu. Di balik jendela rumah Bu Joko Aini bisa melihat Aida yang sedang asik bermain sambil belajar membaca melalui papan bersuara yang kemarin sore dibawakan oleh Ibu.

Tamat


Rabu, 19 Agustus 2020

Cerita dari Masa Lalu #1



 "Gila, rasa apa ini?"

Resti nyaris membanting gawainya, sudah beberapa hari ini dia melakukan kekonyolan. Bangun tidur memeriksa gawai hanya untuk tahu apakah ada pesan dari Han. Dan dia akan memulai hari dengan senyum ketika Han menyapa walau hanya dengan sebuah kalimat pendek, bahkan hanya dengan sebuah sticker emot sekalipun.

Han adalah masa lalunya, seseorang yang pernah mengisi hampir seluruh rongga di hatinya. Cinta yang sesungguhnya tak pernah berakhir, tetapi harus disudahi.

"Mah, lihat buku yang tadi malam di atas meja ini?" Suara Fio, gadis kecilnya yang akan berangkat sekolah.
Rasti menunjuk ke arah rak buku yang ada di samping Fio.
"Tadi Mama simpan ke situ."
Fio menuju rak buku, sementara Resti langsung mengambil kunci mobil dan beranjak ke garasi. Kegiatan rutin Resti pagi hari, mengantarkan Fio sekolah. Ilham, suaminya sudah sejak pukul enam pagi berangkat menuju kantor. Tinggal di perumahan di luar kota, memang ini risikonya, memulai semua pekerjaan sebelum matahari terbit.

Selamat pagi, Re... dan gambar sekuntum bunga dikirim Han pagi ini, Resti membalas dengan gambar dua telapak tangan yang disatukan, sebagai ucapan terima kasih.
Hanya itu, tak lebih. Tapi, Resti seakan kembali berada pada masa bahagia bersama Han. Ketika bunga-bunga cinta bermekaran di sekitar mereka.

Resti kini melaju menuju sekolah Fio, pohon-pohon palem yang berjajar di sepanjang jalan dalam komplek perumahan, menebar aroma khas. Pagi ini sangat sempurna. Udara pagi yang sejuk dan sapa manis Han menjadi penyebabnya. Sambil menyetir dia bersenandung, mendendangkan lagu-lagu lawas, yang biasa dianyanyikan bersama Han.

Mobil kemudian berhenti di depan gerbang sekolah Fio, setelah memastikan Fio sudah melewati gerbang itu, Resti kembali melaju di jalan raya, pulang. Sambil menyetir, sesekali matanya melirik gawai yang diletakkannya di dasboard, berharap Han akan meyapanya lagi.

Suara getar gawai seiring suara Aurel dengan lagu Kepastian yang menjadi nada dering, menarik perhatian Resti. Dadanya berdebar kencang, Han menelpon? segera lengan kirinya meraih gawai dan mendekatkan ke telinga,
"Ma, berkas-berkas yang Papa perlukan untuk meeting sore ini, tertinggal di rumah. Bisa tolong antarkan ke kantor?" Ilham di seberang sana.
"Oke, tunggu sekitar 30 menit,"
"Jangan ngebut, meetingnya nanti jam empat," tukas Ilham.
"Siap, Boss!"
"Terima kasih."

Ilham berbeda dengan Han. Dia bicara sekadarnya. Tak pernah menelpon kalau tak penting. Tak pernah mengumbar kata cinta. Katanya, cinta terlalu sakral untuk diumbar, cinta yang sesungguhnya ada di hati dan rasa, bukan di dalam ucapan. Han mencintai keluarga dengan bekerja keras dan tetap setia.

Resti mengenal Ilham melalui sahabatnya. Ilham yang dewasa, bijaksana, memiliki masa depan cerah sungguh ideal dijadikan sebagai suami. Ilham juga berpenampilan menarik, berjalan di sampingnya membuat Resti bangga, lalu mereka menikah. Han yang saat itu entah di mana jejaknya, memaksa Resti melupakan cinta mereka.
Walau sebenarnya, dia tak pernah benar-benar berhasil.

Han, mereka dipertemukan di SMA, sama-sama murid baru. Bedanya, Resti murid baru di kelas X dan Han anak pindahan di kelas XII. Han dengan santainya menyelusup di antara peserta dan mengaku sebagai panitia OSPEK, korban yang dikerjainya adalah Resti. Dia menyuruh Resti menyanyikan sebuah lagu sambil berlari-lari mengelilingi posko panitia. Sementara Resti melakukan tugasnya, Han sudah kabur entah ke mana.

Perkenalan yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh Resti, walau awalnya membuat Resti marah besar, pada akhirnya mereka malah menjadi akrab dan saling jatuh hati.

Han, dengan gaya tak acuhnya, dalam urusan cinta ternyata penuh perhatian, terkadang sangat mengejutkan. Dia bisa melakukan hal konyol dan tak tahu malu, menyerahkan sebuah buket yang terbuat dari daun tanaman pagar sekolah, di tengah lapangan basket. Han juga tak segan membawakan tas Resti sampai ke dalam kelas. Mulanya Resti yang malu, tapi lama-lama dia terbiasa.

Cerita cinta Resti dan Han, menjadi kisah roman yang dibicarakan seantero sekolah, layaknya cinta dua artis idola yang tengah viral saat ini.

Resti telah membawa berkas berkas yang diminta Ilham dalam kendaraannya. Mobil yang dikendarainya bergerak perlahan di tengah kemacetan. Dia memang tak harus buru-buru karena baru pukul 10.00. Dia juga ingat pesan Ilham agar tak ngebut di jalanan.

Gawainya berdering lagi, Resti membiarkan alunan lagu Kepastian memenuhi kendaran. Di depan sebuah pusat perbelanjaan dia menepi dan memarkir kendaraan kemudian  memeriksa gawainya. Dua belas angka berderet yang sangat dia kenal, sengaja tak diberi nama, ada di layar gawai. Resti tak segera menelpon balik, dipandanginya saja gawai yang ada di atas pangkuan. Han aku di sini. Tapi, hingga lima belas menit menunggu, Han tak menghubunginya lagi.
Klik untuk melanjutkan















Selasa, 11 Agustus 2020

Pulang


 Pulanglah, Nak. Sudah terlalu lama. Semua sudah terjadi dan tak akan bisa diperbaiki lagi. Setidaknya pulanglah untuk kami. Keluarga yang selalu menyayangi dan merindukanmu.


Bagian akhir surat ibu yang diterima Lulu seminggu lalu. Surat itu dibawakan Ratri yang baru saja mudik. Lulu membacanya berulang-ulang. Kerinduan pada keluarga yang selama ini berhasil kalah oleh ego dan rasa kecewa yang bersemayam dalam hatinya, mendesak-desak rongga dadanya dan menimbulkan rasa nyeri.

Surat ibu telah berulang kali dibacanya sehingga dia hapal betul isinya, apa lagi bagian akhir surat itu.

"Lu, menurutku, memang sudah saatnya kamu pulang. Kasian ibumu. Sudah tiga tahun, Lu." Ratri teman sekampung yang sekarang menampungnya di Jakarta memulai percakapan malam itu.
"Aku tahu, peristiwa itu sangat menyakiti hatimu, tapi melarikan diri seperti ini juga bukan solusi. Belum cukup kamu menghukum kedua orang tuamu? atau kamu berprasangka mereka memang menginginkan kejadian itu?"
"Entahlah, Tri. Awalnya aku sudah menolak, tapi mereka selalu membicarakan hal itu, hampir setiap hari sampai aku bosan dan akhirnya mengiyakan...lalu peristiwa itu terjadi."

Sebutir bening menggantung di sudut matanya, disekanya sebelum benar-benar jatuh.
"Kamu harus bisa melihat dari sisi pandang mereka, Lu. Mereka menginginkan kebahagiaanmu, itu yang utama." Ratri masih berupaya membuka hatinya.
"Mereka menginginkan kebahagiaan mereka sendiri. Mereka berharap aku bisa mengubah segalanya." Wajah Lugu Lulu kini memyiratkan kemarahan yang masih tersimpan.
"Sudah tiga tahun, Lu. Tidak bisakah kamu memahami kesederhanaan dan keluguan mereka? Aku ini hanya temanmu, bukan siapa-siapa bagi mereka, tapi aku masih bisa memahami itu, Lu. Kenapa hati kamu begitu tertutup?" Ratri tak bisa lagi menahan ucapannya. Dia ingin hidup Lulu bahagia. Dia tak tega melihat teman masa kecilnya terus menerus terbelenggu dalam rasa marah dan kecewa yang tentunya menyakitkan.

Lulu hanya diam, hatinya bergemuruh. Sebenarnya dia sendiri tak tahu pada siapa kemarahan ini ditujukan. Orang tuanya, laki-laki pembobong itu, atau pada Tuhan. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, suara isakan lirih terdengar.

Ratri memeluk Lulu. Matanya ikut mengembun.
"Maaf, Lu kalau ucapanku melukaimu," ujarnya kemudian.
"Aku bingung, Tri. Aku merindukan mereka, sangat rindu. Tapi, di sana, di kampung kita akan ada tatapan-tatapan kejam. Mereka akan menuduhku sebagai perebut suami orang. Aku tidak siap, Tri."
Ratri semakin mempererat pelukannya, tangannya mengusap-usap punggung Lulu dengan lembut.

_______

Perhelatan sederhana tengah berlangsung. Pengantin cantik dengan seorang pemuda kota duduk bersanding di pelaminan berwarna putih. Perhelatan yang menjadi perbincangan banyak orang. Ada yang kagum bahkan ada pula yang ikut bersyukur karena gadis sebaik Lulu dipersunting pemuda kota yang terlihat mapan. Tapi, ada pula yang menatap iri. Mulut mereka mendesis-desis seperti suara ular menebar racun ke mana-mana.

Tamu undangan terus berdatangan, semua orang tampak sibuk. Perempuan-perempuan muda berdandan menor ikut memeriahkan suasana perhelatan. Nasi dan lauk pauk tak henti-henti ditambahkan.

Meriahnya suasana pesta membuat orang tak menyadari saat seorang perempuan muda dengan anak kecil sekitar 5 tahun yang menemaninya telah berada di atas pelaminan. Secara agresif dia menyerang Lulu disertai kalimat-kalimat makian. Lulu yang kebingungan tak bisa berbuat apa-apa. Pemuda yang ada di sampingnya seperti kerbau dicucuk hidung saat ditarik perempuan itu turun dari pelaminan dan akhirnya menghilang bersama kendaraan yang terparkir di pinggir jalan.

Suasana bahagia yang tadi menyelimuti hati seluruh keluarga tiba-tiba saja berubah. Semua orang kasak- kusuk, berbisik-bisik ada yang bersimpati dan tak sedikit pula yang mencemooh.
"Oh, jadi itu suami orang."
"Gak nyangka, kok dia mau menikah dengan suami orang?" dan masih banyak lagi kalimat-kalimat ejekan lain yang terdengar. Lulu merasa dunianya menjadi gelap. Dia lari ke kamar dan mengurung diri di sana. Tak ada yang bisa membujuknya.

Hari masih gelap. Sebagian orang masih terlelap. Hanya Ayah dan Ibu yang duduk tepekur menatap lantai di ruang depan.
Perlahan Lulu membuka pintu kamar. Tangan kananya menjinjing tas berisi pakaian.
"Ayah, Ibu aku pamit. Aku mau ke Jakarta.'
Ayah dan Ibu tak berdaya mencegah. Perdebatan kecil sempat terjadi, tapi tekad Lulu terlalu kuat untuk dihentikan. Dengan berat hati mereka melepas kepergian Lulu.

Tiga tahun sudah Lulu tak pulang. Pulang baginya adalah luka. Dia bahkan mengabaikan kerinduan kepada kedua orang tuanya. Tapi, surat Ibu yang terakhir dan ucapan Ratri menggoyahkan kekerasan pendiriannya.
Foto Ayah dan Ibu yang diperlihatkan Ratri mengusik hatinya. Betapa cepat mereka menua. Ada penderitaan di mata mereka.

Hari ini Lulu memutuskan untuk pulang. Dia ingin menghapus derita kedua orang tuanya. Selama ini dia berusaha menyembuhkan lukanya sendiri, tapi pada saat yang sama dia semakin memperparah luka di hati kedua orang tuanya. Aku mau pulang, bisik hatinya.
Tapi, luka Lulu dan kedua orang tuanya belum dapat disembuhkan. Tak ada tiket pulang yang bisa diperolehnya. PSBB dan larangan mudik membuatnya masih harus menunggu entah sampai kapan.


Tamat







Senin, 10 Agustus 2020

Aku Gak Mau Dia Jadi Wali Nikahku

 


"Kapan aku boleh ketemu Bapakmu? 

"Gak usah, kamu datang ke Ibuku saja."

"Gak bisa gitu dong! Nanti siapa walinya?"

"Aku gak peduli, pokoknya aku gak mau Bapak ikut campur dengan urusanku."

Pertengkaran kecil kembali terulang. Nyaris setiap kali bertemu dan membahas tentang rencana lamaran, selalu ada pertengkaran. 

"Tris, kalau begini terus, kapan jadinya? Atau sebetulnyan kamu sengaja ngulur-ngulur waktu supaya rencana pernikahan kita gagal?" Suara Didi meninggi, rupanya dia mulai bosan dengan perdebatan yang berkepanjangan. 

"Coba jujur, sebenarnya kamu mau enggak aku lamar?" 

Tris menatap Didi dengan sorot mata tajam, pipinya membulat, lekuk bibirnya melengkung ke bawah. Tak lama kemudian dia berdiri.

"Aku udah bilang, aku mau kamu lamar, tapi aku enggak mau kamu datang ke Bapak. Aku tinggal sama ibu, jadi ngelamarnya ke Ibu." Suara Tris tak kalah kerasnya dari suara Didi, bahkan jauh lebih melengking sehingga orang-orang yang ada di sekitar pantai, sama-sama duduk di tumpukan batu yang sengaja di pasang untuk mencegah abrasi, bahkan yang tengah berendam di air laut, menoleh ke arah mereka.

"Jangan berisik, malu." Didi memelankan suara sambil meletakkan telunjuk di depssn mulut.

Tris tersadar, dia menoleh ke kiri dan kanan, orang-orang memalingkan wajah seolah-olah tak mendengar dan tak memperhatikan.

Tris menarik lengan Didi, melangkah dari satu bongkahan besar batu ke bongkahan lainnya kemudian melompat turun.

"Mau kemana, Tris?" Didi yang berjalan mengikuti Tri bertanya.

"Pulang!"

"Tris, kita harus selesaikan dulu. Orang tuaku sudah aku minta melamar kamu, mereka selalu bertanya, "Kapan, kapan", pusing jadinya." Didi terus saja bicara walaupun Tris tak memperdulikannya.

Sesampainya di rumah, wajah Tris masih saja cemberut. Dia langsung masuk kamar dan membiarkan Didi salah tingkah sendiri. 

"Kenapa dia?" Ibu bertanya pada Didi, yang memang sudah sangat dikenalnya. 

"Maaf, Bu. Tris gak mau aku melamarnya ke Bapak, tapi kan yang bisa menikahkan Tris dan aku, Bapak. Tris maunya Bapak gak usah dikasih tau. Saya jadi bingung. Kata orang tua saya, selama Bapak masih ada, maka yang berhak menikahkan anak perempuan hanya Bapaknya," Didi akhirnya menceritakan semua pada Ibu.

Setelah mendengar cerita dari Didi, Ibu menghampiri Tris di kamar. Gadis 23 tahun, pemilik mata bundar dan hidung lancip itu tengah berbaring menelungkup. Kepalanya menghadap ke dinding. 

Ibu mengusap punggung anak tunggalnya itu. Ibu sangat paham mengapa Tris tak bisa menerima kenyataan bahwa dia masih punya seorang bapak. Hidupnya terlalu pahit. Tris yang semasa kecil sangat dimanjakan Bapak, tiba-tiba harus kehilangan. Bapak kepincut seorang janda, pemilik motor yang dipakai Bapak ngojeg. Bapak rela meninggalkan keluarga demi memiliki motor, kabarnya Bapak langsung dapat jatah motor baru setelah menikah dengan perempuan itu. 

Setelah Bapak tak lagi memperdulikan mereka, Ibu pontang panting mencari nafkah untuk kehidupan mereka berdua. Pagi Ibu pergi ke rumah-rumah tetangga untuk menawarkan tenaganya, terkadang ada yang menyuruhnya mencuci pakaian, ada pula yang minta tolong dimasakkan, tak jarang yang memintanya merapikan rumput di taman. Tri kecil terpaksa di rumah sendirian, paling tetangga sebelah yang kadang-kadang menengok dan memberinya jajanan. 

Kehidupan mereka yang susah, tak menghentikan semangat Ibu menyekolahkan Tris hingga akhirnya dia tamat SMK jurusan akuntansi kemudian bekerja di sebuah wedding Organizer sebagai staf keuangan.

"Tris, Ibu ngerti kamu masih marah sama Bapak," Ibu memulai dengan suara lembut.

"Tapi, kamu gak bisa menafikkan bahwa kamu adalah anaknya,"

"Aku gak mau! Aku gak punya Bapak," Tris membalik tubuhnya, sekarang terlentang menghadap Ibu. Air matanya merembes melewati telinga. 

"Bapak kan masih hidup, jadi dia yang harus jadi wali,"

"Bapak sudah mati, Bu," Tris kini membelakangi Ibu.

Ibu menarik nafas dalam-dalam, sebelum kembali membujuk anak semata wayangnya.

"Kamu gak bisa nikah kalau gak ada wali,"

"Si Upit, bulan lalu nikah enggak sama Bapaknya," Tris berargumen.

"Itu karena Bapaknya ada di Malaysia."

"Kalau mau, dia kan bisa pulang," 

"Tidak sesederhana itu, Bapaknya Upit harus wajib lapor karena kedapatan menjadi kurir barang terlarang, dia tidak bisa keluar dari Malaysia."

"Tris, satu hal yang tidak bisa kamu tolak, di darahmu ada darah Bapakmu. Kamu anak kandungnya dan dia wajib menjadi wali nikahmu."

Tris tak bersuara, tapi hatinya masih belum bisa menerima semua penjelasan Ibu. Perihnya kehidupan yang dirasakannya selama ini, menyisakan kemarahan yang susah diobati.

@@@@

“Tris, keluargaku akan datang Minggu depan ke rumahmu,” percakapan Didi dan Tris di salah satu sudut warung baso, masih tentang rencana lamaran.

“Ke rumah Ibuku, kan?” 

“Ya, sesuai maumu. Lamaran dan acara,  semua di rumah Ibu, tapi untuk akad Bapakmu harus datang dan jadi wali,” Didi  sangat hati-hati bicara pada Tris. Dia tak mau Tris ngambek lagi.

“Di, kita gak usah nikah aja. Aku tetep gak mau kalau dia yang jadi wali nikahku,”

“Tris, kok gitu, sih? Aku mau nikah sama kamu. Keluargaku semua sudah tau, kalau dibatalkan berarti kamu bener bener pengen mempermalukan aku.”

“Kamu pikir aku gampang ngomong kayak tadi? Tapi kamu maksa aku ngomong kayak gitu. Kamu gak ngerti gimana sakitnya diabaikan, ditinggalkan, dilupakan. Mengapa tiba-tiba saja dia harus menjadi bagian penting dalam hidup aku?” ragu-ragu Didi menyentuh lengan Tri, menenangkannya dengan usapan.

"Tris, kita ini hanya manusia. Hanya berkewajiban menjalani apa yang sudah ada aturannya. Dia,  Yang Maha Mengatur ini yang paling tau yang terbaik bagi kita," Tris tak menjawab. Kepalanya masih tertekuk menghadap lantai.

Sementara itu di sudut lain warung baso, tempat mereka saat ini berada, seorang lelaki paruh baya hanya tertunduk  menahan sesak, dia tak mampu lagi menelan sesendok kuah baso yang baru disorongkannya ke mulut.

Ditulisnya beberapa baris kalimat di dua lembar kertas nota yang dimintanya dari pedagang baso.

Tris, Bapak minta maaf. Bapak banyak dosa sama kamu. Kalau kamu enggak mau Bapak jadi wali, Bapak ikhlas. Bilang saja sama penghulunya, Bapakmu enggak ada. Bapak  tetep doain kamu supaya dapat jodoh yang baik, gak punya adat seperti Bapak.

Di lembar nota ke dua, Lelaki itu menuliskan izinnya untuk menikahkan anaknya. Kalimat yang ditulisnya tidak cukup rapi, tapi lumayan bisa dipahami maksudnya.

Lelaki iu lalu menyelinap keluar lewat pintu samping, setelah membayar semangkuk baso yang ditinggalkannya begitu saja. Kertas nota yang tadi dtulisinya dititipkannya supaya diberikan ke Tris. 

Usai membaca surat pendek di atas kertas nota, Tris berdiri dan mencari-cari keberadaan bapaknya, tapi sudah tak tampak. Tris berusaha mengejar ke luar warung baso, juga tak terlihat.

Lamaran itu akhirnya berlangsung juga. Setelah itu Tris dan Didi  berusaha menemukan Bapak. Tapi seminggu kemudian mereka dapat kabar  ayah Tris meninggal di RS setelah mengalami kecelakaan saat akan menjemput penumpang langganannya. 

Pak maafkan Tris. Tris cuman kangen sama Bapak, tapi Bapak gak pernah pulang. Tris kangen dibonceng sepeda sama Bapak, Tris kangen disuapin sama Bapak. Tris kangen Bapak. 

Di ujung malam, doa Tris terpanjat, untuk pengampunan atas dosa dosa Bapak. 












Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....