Tak Bisa Bernyanyi ya Menulis Saja Sekitar
empat bulan yang lalu, saya mengikuti raker untuk mempersiapkan akreditasi
Program studi pada fakultas tempat saya mengajar yang diadakan di salah sebuah
cottage di daerah pantai di Kabupaten Pandeglang. Bukan karena mengikuti trent
menyelenggarakan raker di luar lingkungan kerja, tapi karena agenda raker
tidaksaja menyusun program, tetapi juga
pengadaan segala-sesuatu yangharus
disediakan sebagai barang bukti pada saat dilakukan visitasi oleh assessor
nantinya, jadiya cottage menjaditempat yang cukup layak. Alasan lainnya,
karena jarak kampus ke lokasi tidak terlalu jauh, kurang lebih 25 km. jalan
mulus, dan tanpa macet.
Raker
baru berakhir pukul 01.30 dini hari, Mengikuti Raker, sambilterbatuk-batuk akibat sebelumnya makan buah
lengkeng sekilo berdua dengan suami, entah kebetulan atau memang getah lengkeng
itu dapat menyebabkan batuk, saya tidak tau, membuat fisik terlalu letih
akibatnya susah tidur.
Pukul
05.00 pagi terjaga dan melakukan kewajiban selaku muslim, minum secangkir teh
manis kemudianbbyurrrrr………nyebur ke
kolam renang, salah satu godaan yang belum bisa saya tolak, ya berenang
ini,padahal dalam kondisi lelah dan
fisik juga nyata-nyata tidak dalam keadaan fit, seharusnya saya tidak melakukan
ini. Usai berenang saya rasakan suhu tubuh sedikit meningkat, tenggorokan perih
dan suara yang menghilang.
Menurut
pengalaman sebelumnya, kalau demam dan tenggorokan perih diikuti suara yang
parau, saya cukup minum vitamin C dosis tinggi, paling-paling tiga, empat hari
keadaannya membaik lagi, tapi kali ini kok beda ya?, setelah hampir dua bulan, suara
saya tetap dalam keadaan parau yang cukup parah !. Komunikasi dengan banyak
orang pun terganggu, termasuk kegiatan mengajar, juga terganggu.
Memasuki
bulan ketiga, suara saya mulai membaik, tapi kok ada yang beda?. Saya tidak
bisa bernyanyi dengan suara tinggi apalagi untuk berfalseto ria, sedih juga
sih, karena sejak kecil saya senang bernyanyi, bernyanyi bisa membuat saya
merasa lebih rileks. Dan merasa lebih eksis tentunyahe he he…
Sudah
bulan ke empat, suara saya tidak juga kembali seperti semula, saya harus
melakukan sesuatu, harus ada ruang dalam hidupini tempat saya bisa berekspresi. Apa ya?...
Menulis,
tiba-tiba pikiran itu terlintas di benak saya, ya… sudah lama tidak menulis,
padahal waktu masih jadi murid SMP sampai SMA saya cukup produktif menulis di
MADING. Suara saya masih parau tapi saya sudah tidak gundah lagi… karena saya akan
menulis. Bila besok atau lusa suara saya sudah kembali normal, saya akan
menulis sambil bernyanyi atau bernyanyi sambil menulis??
Wina, Begitu orang biasa
memanggilku. Aku adalah biduan yang bernyanyi dari panggung ke panggung.
Sebagai seorang penyanyi tugasku menghibur, tidak peduli
seperti apa suasana hatiku, yang pasti di atas panggung aku harus berupaya
keras agar penonton suka kemudian dengan senang hati mereka akan menari-nari
bersamaku sambil melepaskan satu demi satu lembaran lima ribuan yang mereka
bawa.
Aku sadar goyangan-goyanganku
yang sensual dan suara-suara desahan yang mengundang berahi, pada saat aku
bernyanyi, seringkali mendapat kritik
pedas dari banyak kalangan, tetapi aku harus bilang apa? Karena inilah duniaku,
dunia yang mau mengalirkan uang yang aku butuhkan untuk membiayai kehidupanku dan
kedua anakku.
“Tariiik Mang….” Teriak salah
seorang anggota grup musik kami, sambil
sibuk melakukan tugasnya mengumpulkan uang saweran yang berserakan di atas panggung.
Seorang lelaki setengah baya naik ke atas panggung sambil mengacung-acungkan
segepok uang di tangannya, riuh rendah suara penonton menyemangatinya, memekakan
telingaku.
“Ayo neng, goyangnya dong!” bisik
lelaki itu ditelingaku, sambil melingkarkan tangannya yang menggenggam gepokan uang
sepuluh ribuan di leherku. Bau parfum bercampur keringat menyengat
menyerang hidungku, ingin muntah rasanya tapi aku terus bernyanyi dan bergoyang
erotis sambil menarik lembar demi lembar
yang dia sodorkan tepat di depan dadaku.
Malam semakin larut, suasana
semakin panas, tubuhku lelah dan batinkupun lelah, tiba-tiba seorang remaja 15
tahun naik ke atas panggung dengan nakalnya diselipkannya uang sepuluh ribuan
tepat di belahan dadaku. Aku tersentak…terlintas wajah Rian, anak cikalku, Dia baru duduk di kelas 1
SMA. Dia adalah harapan terbesarku. Aku akan lakukan segalanya untuk menyiapkan
masa depannya. Dia tidak boleh seperti anak ingusan yang sedang menari-nari di
hadapanku ini.
Bagi penyanyi panggung sepertiku,
rasa tersinggung dan perasaan direndahkan atas perlakuan-perlakuan nakal para
penonton sudah menjadi hal biasa, walau aku tak pernah mampu menahan nyeri di
dadaku, aku menyimpannya rapat-rapat dibalik senyuman dan alunan lagu yang aku dendangkan. Aku tak
ingin kehilangan pekerjaanku satu-satunya ini, terlalu banyak orang yang
mengantri ingin jadi penyanyi panggung sepertiku, makanya pemimpin grup bisa seenaknya menuntut ini dan itu dari
penyanyi-penyanyinya. Bagi pemimpin grup musik seperti mereka, saweran adalah
segala-galanya dan penyanyi adalah tangguk yang akan mereka gunakan untuk
mendapatkan saweran sebanyak-banyaknya.
Tepat pukul 02.00, pertunjukkan
usai, betapa terkejutnya aku ketika Rian menghampiriku.
“Ayo Bu..kita pulang”
“Lho..kamu dari mana malam-malam
begini?”
“Sengaja jemput Ibu”
“Ini sudah larut Rian, tidak baik
remaja seusiamu masih berkeliaran malam-malam begini”
“Aku anak laki-laki Bu,
setidaknya Ibu lebih aman aku boncengin dari pada naik ojeg” kali ini suara
Rian begitu tegas. Anakku sudah dewasa rupanya.
Sepanjang jalan aku dan Rian
hanya diam, tidak ada percakapan. Hatiku mengembara sendiri. Mungkin demikian juga
dengan Rian, sikapnya jelas menunjukkan hal itu, banyak yang ingin
diugkapkannya tapi dia pun hanya diam. Matanya lurus memandang ke depan.
Dua puluh menit berlalu, kami
sampai tepat di depan pintu, Aku dan Rian masuk pelahan, di sofa panjang Mas
Hans tergeletak pulas, asbak di atas
meja penuh dengan puntung rokok. Aku lirik Rian yang memandang sinis ke arah
mas Hans.
“Enak ya jadi Bapak!” masih sinis
suaranya
“sstt….!, ayo tidur sudah malam,
Ibu juga sudah ngantuk..” bisikku, aku tak mau Mas Hans terbangun lalu mulai lagi
menyindir-nyindir pekerjaanku.
Rianpun mengikuti perintahku, Dia
berlalu menuju kamarnya.
Aku mengenal Mas Hans saat aku
kelas 3 SMA. Dia teman sekelasku, Wajahnya yang tampan juga penampilannya yang
berbeda dari teman-temanku yang lain, membuat aku tertarik, sebagai remaja
belia aku masih terlalu polos, aku begitu terpesona dengan segala yang
dimilikinya, setiap berangkat dan pulang sekolah dia selalu menjemputku dengann
mobilnya, di kotaku hanya Dia satu-satunya siswa yang ke sekolah membawa mobil
sendiri, ditambah lagi hadiah-hadiah yang lumayann berharga menurut ukuran
kantong remaja pada masa-masa itu, semuanya membuat aku terlena.
Semua kemewahan yang diberikan
Hans membuat Aku lupa memperhatikan
bahwa Hans hanya mengandalkan kekayaan orang tuanya, Dia tidak focus pada
sekolah, Nilai-nilai ulangannya selalu jauh di bawah nilai-nilaiku, Dia lebih
banyak nongkrong di kantin dari pada belajar di kelas, Hidupnya tanpa tujuan
yang jelas.
Akhir tahun pelajaran, aku lulus
dengan nilai yang lumayan, Hans juga lulus, setelah ayahnya bernegosiasi dengan
kepala sekolah. Aku melanjutkan pendidikanku di sebuah Akademi Sekretaris, dan
Hans memilih tidak melanjutkan pendidikannya, “bosan” itu alasannya. “Otak ku
sudah mampet” lanjutnya. Tapi kami selalu bertemu seperti dulu.
Aku dan Hans menikah setelah aku
lulus, bahagia rasanya, akhirnya impian-impian tentang gaun pengantin, pesta
pernikahan yang kami rajut berdua terwujud juga.
Tahun-tahun pertama
pernikahan penuh dengan senyuman, tak
ada yang kami risaukan, Hans begitu memanjakanku, Dia melarangku bekerja,
“Duduk manis sajalah, aku gak mau melihat kamu dalam keadaan letih, nanti kamu
tidak cantik lagi” ujarnya dan aku tersanjung karenaya. Hans bekerja membantu
ayahnya mengelola bisnis property, rumah dan segala perlengkapan sudah kami
miliki sejak kami menikah, hadiah dari Ibunya Hans. Hans memang anak tunggal
yang dimanjakan oleh kedua orang tuanya.
Semuanya berubah ketika dua tahun lalu Ayahya ketahuan menyuap seorang pejabat untuk
mendapatkan sebuah proyek besar. Ayahnya masuk penjara, karena tidak tahan
menanggung malu, Ibu Hans pun sakit kemudian meninggal. Hans menjadi limbung dia
tidak terbiasa menjalankan usaha itu sendiri, sebetulnya aku pernah menawarkan
diri membantunya, tetapi Hans terlalu angkuh untuk mengakui kekurangannya, dan
kemudian bisnis warisan itupun hancur.
Apa yag dapat aku lakuan?
Walaupun aku memiliki ijazah akademi sekretaris, usiaku saat ini sudah nyaris
40 tahun, perusahaan mana yang mau menerima karyawan baru, tanpa pengalaman,
seusiaku?. Tabungan yang aku siapkan untuk pendidikan anak-anakku, sedikit demi
sedikit habis, mulanya sebagian dipinjam Mas Hans untuk modal usaha jasa rental kendaraan, tetapi malah
kedua mobil itu di bawa lari oleh orang yang menyewa. Akhirnya tabunganpun
habis untuk membiayai kehidupan kami. Mas Hans benar-benar tak berdaya,
Kegagalan-demi kegagalan yang
dialaminya telah membuatnya putus asa, apalagi dengan modal yang sudah tandas.
Satu demi satu perabotan berharga pun meninggalkan rumah, kami harus menjualnya demi keberlangsungan
kehidupan kami. Sampai suatu ketika rumah kami menjadi gelap gulita tanpa
penerangan karena ternyata sudah tiga bulan kami belum melunasi rekening
listrik. Inilah yang memaksaku menerima tawaran seorang teman untuk menjadi
biduan panggung.
“Eh kamu udah pulang sayang..?”
suara mas Hans tiba-tiba mengagetkanku, Dia sudah berdiri tepat dibelakangku.
Aku hanya mengangguk, dipeluknya aku dari belakang dan kami berdua menghadap ke
cermin besar yang ada di kamar “Lihat wajahmu…..kamu itu memang masih
mempesona, berapa lelaki yang malam ini menyentuh payudaramu?.. payudaramu
memang indah apalagi pada saat kamu bergoyang, para lelaki hidung belang itu pasti suka sekali melihatnya..” begitu sinis
suara itu, menusuk-nusuk hatiku.
“Mas, sudahlah…tidak ada
seorangpun yang menyentuhnya, mereka hanya bergoyang bersamaku, tidak lebih
mas” aku berusaha membela diri.
“Wina..Wina….. aku bukan lelaki
bego yang tidak tau bagaimana kelakuan para hidung belang itu di atas panggung,
kamu gak usah bohong!!” keras suara mas Hans. Bukan keras suara itu yang
menyakitiku tetapi apa yang diucapkannya, begitu rendah dia menilai istrinya
sendiri, ku tahan isakanku jangan menangis Wina…jangan !!!…jangan…!!!
Mas Hans mempererat pelukannya,
di sentuhnya bibirku dengan jemarinya,aku hanya diam, aku berharap mudah-mudahan ini bisa membuat Mas
Hans tidak ngomong yang menyakiti hatiku lagi… tapi tiba-tiba dia lepaskan aku
dari pelukannya dengan kasar, aku terhuyung, nyaris terhempas, Mas Hans keluar
kamar sambil membanting pintu dengan sangat keras. Tak terbendung lagi air mataku pun jatuh satu demi satu…
Ya Tuhan…kemana mas Hansku yang
dulu?
Duhai kabut yang menyelimuti
pagi, jangan biarkan bahagiaku mengembara dalam gelap gulita lalu terhempas
dalam kelam yang menyesatkan…
“Bu…!, Rian dan Rani mau berangkat sekolah…” suara Rian
menyadarkanku, hari sudah pagi, sepanjang malam aku uraikan semua beban yang
membeliti jantungku dalam tangisan, kupandangi cermin. Mataku sembab… bagaimana
aku harus menyembunyikan semua ini dari kedua anakku.
“Bu….?” Kembali terdengar suara
anakku, kali ini suara Rina “Bu, hari ini Rina piket, jadi harus buru-buru,
mana ongkosnya Bu?”. “ya, sebentar” kupolesi wajahku dengan make up, terutama
bagian mataku, mereka tidak boleh mengetahui kesedihanku..mereka harus menjadi
anak-anak normal, seperti anak-anak seusia mereka lainnya.
“Ini uang untuk ongkos dan jajan
kalian, hati-hati di jalan..” Rina segera menyambar uang bagiannya, sementara
Rian sejenak memperhatikan wajahku, “Ibu tidak apa-apa kan?” aku hanya
tersenyum menjawab pertanyaan Rian, sambil menggeleng untuk meyakinkannya.
“Wina, rokokku juga habis” ,
kuulurkan uang Rp 20.000,- ke tangan mas Hans “Hanya segini Win?”
“Memangnya harga rokok berapa?”
tanyaku masih hati-hati
“Aku juga mau ke luar, bosan di
rumah terus”
“Tapi Mas, uang ini untuk
persediaan kita beberapa hari, aku belum tau apakah dalam minggu ini ada job
manggung apa tidak” aku masih mencoba meminta pengertian Mas Hans, aku tidak
ingin mas Hans tersinggung dengan penolakanku, aku tau mas Hans sedang
mengalami depresi berat, Dia sedang berada di titik yang sangat rendah dalam
kondisi seperti ini seorang suami akan menjadi manusia yag paling egois
sedunia, demi untuk menutupi segala kekurangannya.
“Kalau begitu goyangan kamu itu
murah sekali ya?” pedas, sangat pedas ucapan itu sampai ke teligaku
“padahal kamu sudah menari-nari
meliuk-liuk seperti penari bugil, mending sekalian aja jadi pelacur !!!” Di
raihnya uang Rp 20.000,- dari tanganku, dan Dia pun menghilang di balik pintu,
entah kemana...
Tuhan, kepada siapa nestapa ini
harus aku labuhkan…Betapa beratnya penderitaan yang aku tanggung, menjadi
biduan panggung juga bukan pilihan
hidupku, tapi aku lakukan untuk menyelamatkan keluargaku…
Malam sudah semakin larut, Rian
dan Rina sudah masuk ke kamarnya masing masing, aku masih belum beranjak ke
kamar. Mas Hans belum pulang, aku mencemaskannya…hingga kemudian…
“Win..Wina, buka pintu…”
“Ya Mas…” bergegas aku membuka
pintu dan mendapati Mas Hans sedang menggandeng
seorang wanita cantik yang usianya jauh lebih muda dariku
“siapa gadis ini Mas?” tanyaku
setelah sesaat aku bingung menghadapi situasi seperti ini.
“oh ya, kenalkan namanya Hesti, Dia cantik kan?”
entah apa maksud mas Hans bertanya
begitu padaku
“ Ya..Dia memang cantik, tetapi
ada apa kamu membawanya malam-malam begini ke rumah kita?” aku berusaha tetap
tenang dan mengusir semua pikiran buruk yang melintas-litas di benakku.
“Wina. Kamu kan tidak punya cukup
uang untuk mengurusi aku, biarlah mulai malam ini Hesti yang akan mengurusiku”
“Mas Hans ?! kamu sudah gila
apa?” tak ada lagi suara Wina yang lembut, yang penuh pengertian, yang selalu
berusaha mengerti keadaan yang menimpa suaminya, aku betul betul meradang, aku
tidak peduli lagi ini pukul berapa, aku juga lupa suaraku akan membangukan ke
dua anak-anakku
“Ibu….” Benar saja Rian dan Rina
sudah ada di samping kiri dan kananku
“Kalau kamu tidak suka kalian
boleh pergi dari sini!!!” tanpa memandang kami, Mas Hans masuk ke dalam rumah
dengan menggandeng wanita muda itu.
Ya Tuhan, kapan Kau akan akhiri
penderitaanku ini, sudah letih hatiku, sudah tak berdaya aku ini ya Tuhan…Kemana
mimpi-mimpi yang pernah kami rajut bersama, kemana bahagia yang pernah kami
jalani dulu…
“Bu... kita pergi saja Bu” suara Rian
menyadarkanku dari ketidakberdayaanku
“Pergi kemana Nak?, Ibu tidak
tau, apa yang dapat Ibu lakukan tanpa Bapak”
“Bu, selama
ini, Ibu kan berjuang sendiri menghidupi kami, sementara Bapak hanya
bisa membuat ibu menagis, tanpa Bapakpun kita pasti bisa lalui ini semua Bu” Tersentak
aku mendengar ucapan Rian, Begitu hebat kata-kata yang diucapkannya, Ya… di
mata Mas Hans mungkin aku hanya perempuan lemah yang hanya diam bila ditindas,
yang akan menuruti semua keinginannya ketika diancam. Yang begitu pasrah dan tak berdaya.Tidak lagi sekarang…!!!
tidak..!!! aku sudah punya Rian yang akan menjadi penguatku ketika aku lemah, yang
akan menahanku ketika aku limbung, aku memiliki Rina, yang dengan keceriaanya
akan membuat aku tetap tegar dan
menjalani hidup ini dengan tersenyum.
Tanpa basa basi, aku, Rian, dan
Rina berkemas, Esok pagi, aku akan mengurus surat pindah sekolah anak-anakku,
dan memulai hidup di tempat lain..kami yakin kasih sayang diantara kami akan
membuat kami menjadi kuat, dan pilihanku…..aku tidak akan menjadi penyanyi
panggung lagi!!
20 November 2011
Saya butuh bantuan dari pembaca untuk meninnggalkan komentar atau masukan sebagai bahan untuk evaluasi..thanks sebelumya.....
Memenuhi Permintaan Orang Kesurupan, Itu kan Syirik
Kaum terpelajar
dapat diidentikkan sebagai orang yang
mampu berpikir logis, menganalisa setiap gejala yang terjadi dihadapannya
dengan nalar yang benar, kemudian akan
bertindak sesuai kajian-kajian yang diyakininya sebagai kebenaran. Kenyataannya
masih banyak orang yang mengaku sebagai kelompok modern, tidak norak, dan mengaku
berilmu setelah mengenyam bangku kuliah,
masih berpikir dan bertindak sangat tidak logis, terutama bila sudah berhadapan
dengan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan alam gaib, seperti yang
terjadi di tempat saya bekerja.
Peristiwa itu
bermula ketika salah seorang murid pinsan pada saat mengikuti upacara senin pagi, entah bagaimana
mulanya murid tersebut kemudiaan berbicara
ngalor ngidul mengaku berasal dari dunia lain, dan disimpulkan bahwa
anak itu kesurupan.
Kesurupan hingga
saat ini masih menjadi perdebatan banyak orang, ada yang menyatakan itu adalah
pekerjaan jin, artinya jin merasuki tubuh manusia, ada pula yang berpendapat
kesurupan adalah munculnya alam bawah sadar seseorang akibat depresi,
Wallahualam bissawab…
Terlepas dari
perbedaan pendapat mengenai fenomena kesurupan, yang pasti kejadian itu dapat
merusak keimanan seseorang,misalnya ketika seseorang dinyatakan kesurupan,
seringkali seseorang itu menjadi nara sumber, tempat bertanya atas
berbagai persoalan yang dihadapi oleh
orang-orang tertentu, yaitu dengan cara berdialog, meminta petunjuk dan
nasehat, seperti yang diakukan seorang teman yang belum mempunyai anak setelah
menikah beberapa tahun, lalu meminta petunjuk supaya dia bisa segera punya anak
(seharusnya dia berkonsultasi ke dokter dan berdo'a dan meminta petunjuk Allah kan?).
Lebih gawat dari
semua itu, ketika anak yang kerasukan tersebut meminta disembelihkan hewan pada
hari tertentu dan jam tertentu, ditambah dengan ancaman akan membawa tiga orang
dari tempat saya bekerja bila keinginannya tidak dituruti, hampir semua orang
bersepakat untuk memenuhi keinginanya tersebut..Astagfirullah… bukankah Allah
telah melarang hal sedemikian? .
“Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Alloh ketika
menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang
semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu
membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu
menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang
musyrik.” (Al-An’am:
121)
Ada yang mencoba
menjelaskan kepada saya, ketika saya tidak bersepakat, upaya yang dapat
dilakukan agar perbuatan itu menjadi
halal, menurut pendapatnya “Supaya pada saat menyembelih hewan itu tidak
mubajir, maka menyembelihnya dengan membaca Bismillah, maka halal daging itu
dimakan” (Lha?? Alasan ngawur apa lagi ini?), bukankah ucapan bismillah yang
seperti ini hanya ucapan yang keluar dari mulut saja, jikapun itu benar, maka
kita hanya terhindar dari kefasikan, sedangkan yang menjadi niat sesungguhnya adalah mengikuti perintah yang
datangnya bukan dari Allah, dan ini lebih gawat, karena termasuk ke dalam dosa
musyrik.
Menyembunyikan
perbuatan dosa di balik kemuliaan itupun semakin menjadi-jadi, kali ini dengan
munculnya ide baru menyelenggarakan peringatan tahun baru hijriah dengnan
segala kelengkapannya tapi tetap dengan
acara utama memotong hewan sebagai mana yang diminta siswa yang
kerasukan tersebut, bukankah ini berarti mencampuradukan yang hak dan yang
batil?.
Dan janganlah kamu campur adukkan
yang hak dan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan
kamu mengetahuniya. (QS:Al’Qur’an (2):42
Bermula dari rasa
takut, seringkali manusia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan
maupun kemampuan nalarnya sendiri. Jika ditanya, golongan ini akan berkata,
saya Islam dan berpegang hanya pada Qur’an dan hadist, tetapi pada kenyataannya
masih mau melakukan perintah-perintah yang bertentangan dengan perintah Allah,
termasuk perintah yang datangnya dari golongan jin, maupun manusia yang
bekerjasama dengan jin. Bukankah
sebagai mahluk ciptaan Allah,
manusia lebih mulia dari golongan
makhluk ciptaan Allah lainya? Seharusnnya ketika kita cemas akan sesuatu, maka Allahlah
satu-satunya tempat berlindung.
“Ya Allah kami memohon perlindungan kepada-Mu jangan sampai kami
menyekutukan-Mu dalam keadaan kami mengetahuinya dan kami memohon ampunan
kepada-Mu untuk dosa yang tidak kami ketahui.”
Entah karena
terpengaruh acara mancing mania atau sekadar menyenangkan suami yang
minta ditemani, akhir-akhir ini aku sering menikmati saat-saat
senggangku di pantai, memancing ikan. Tidak hanya di tepi pantai,
sekali-sekali aku berdua suami memancing di ranggon, panggung dari bambu yang tertancap di laut kurang lebih 100 sampai 200 meter dari pantai.
Seperti
halnya pagi ini, aku bersama suami, juga beberapa penggemar memancing
lainnya telah berjajar di sebuah dermaga yang terbuat dari tumpukan
batu-batu besar di pantai Selat sunda, kami semua asyik dengan pancing
kami masing-masing.
Setelah melempar umpan ke laut, kutancapkan joran
di sela-sela batu untuk selanjutnya menunggu sampai ujungnya
bergerak-gerak menandakan ada sesuatu yang menyentuhnya di ujung sana.
mungkin ikan tapi bisa juga sampah plastik yang akhir-akhir ini sudah
menjadi bagian dari ekosistem laut.
Sambil menunggu ada ikan
kelaparan yang tidak berhati-hati lalu terperangkap pada kailku, aku
melanjutkan menikmati kecerdasan dan kecongkakan poirot dalam
menyelesaikan kasus-kasus misteri yang ditulis oleh penulis
kesayanganku sejak aku masih kelas 1 SMP. Agatha Cristy.
"Aku takut...!" samar terdengar di telingaku, suara itu begitu lirih menyiratkan ketakutan yang dalam
Dua remaja, mereka ada di ujung dermaga, tapi angin telah membuat suara mereka samar-samar sampai ke telingaku.
"Aku juga sama..."
"Tapi ini salah kamu...kamu yag ngajak aku!"
"Iya memang aku yang ngajak kamu, tapi aku kan gak maksa, kamu juga mau kan?"
"tapi kamu harus tanggung jawab !"
"Tanggung jawab bagaimana?, aku juga bingung!"
Hai
apa sebenarnya yang mereka perdebatkan?, mengapa suara si gadis kecil
itu begitu ketakutan, ya gadis kecil, kira-kira usianya 14 tahun,
mengenakan seragam putih biru, aku teringat gadis kecilku di rumah,
usianya kurang lebih sama dengan ABG yang ada di ujung dermaga itu.Ya
Tuhan lindungi anak-anakku, jangan sampai mereka terbelit masalah
seperti kedua remaja itu.
Kembali kutajamkan pendengaran, ini hal luar biasa, mereka masih sangat muda, bagaimana mungkin mereka
terjebak dalam masalah seberat ini.
Dunia memang sudah gila, Remaja sekecil itu sudah terjebak dalam sex bebas... Hah??!! siapa yang harus dipersalahkan?
"Sekarang bagaimana?" kembali suara si gadis terdengar, masih dengan kecemasannya
"kita harus minta tolong seseorang!"
"Minta tolong sama siapa?"
"Ya.. sama orang yang bisa nolong kita!"
"Iya... tapi siapa?"
"Kakak sepupuku, Dia kan mahasiswa kedokteran!"
Hah ???? itu berbahaya anak-anak, itu berbahaya! hatiku berteriak-teriak, tapi aku tidak tau harus berbuat apa.
"apa dia mau membantu kita?" si gadis ragu
"Kakak
sepupuku itu selalu baik sama aku, gak ada jalan lain, kita harus minta
tolong sama dia!" tegas anak laki-laki itu memutuskan.
Kedua remaja itupun berjalan meninggalkan dermaga, pada saat mereka melewatiku, secara tiba-tiba aku menghentikan langkah mereka
"Maaf anak-anak, kalau boleh ibu menyarankan, kalian jangan melakukan itu!"
"melakukan apa?" serentak mereka bertanya, ah mereka sedang berusaha sok polos, batinku,
"Ibu
tadi sempat mendengar masalah yang kalian hadapi!" tegasku kemudian,
"menggugurkan kandungan, bagi gadis seusia kamu, itu berbahaya!"
jelasku kemudian. Mereka berdua saling pandang. sudahlah anak-anak bau
kencur , kalian jangan berbohong kepadaku, aku hanya ingin melindungi
kalian.
"menggugurkan kandungan?" kembali suara mereka serempak seperti suara paduan suara yang fals
"Iya...
itukan yang akan kalian lakukan, kalian harus tau, itu adalah perbuatan
dosa, perbuatan yang telah kalian lakukan itu sudah merupakan dosa
besar, jangan ditambah lagi dengan dosa yang baru, lagi pula ini
berbahaya, apalagi kamu masih sangat muda" begitu bernafsu aku
menasihati mereka, lalu tiba-tiba, aku melihat dua remaja itu
tersenyum-senyum kecil...
"Ibu...sepertinya ibu salah paham" si laki-laki muda menjelasan, masih dengan senyum tertahan.
"maksud kamu?," tanyaku mulai bimbang
"Lalu mengapa kamu harus minta tolong ke kakak kamu yang dokter segala?" lanjutku
"ooh,
kami takut di hukum sama guru biologi yang super galak, karena kami
belum menyelesaikan tugas makalah kesehatan yang harus dikumpulkan
besok, jadi ya.. harus minta tolog sama kakak saya yang mahasiswa
kedokteran.."
Hah!!??? Kini mukaku yang mungkin memerah karena malu dan merasa bersalah terhadap mereka.
Imah tidak mengerti,
mengapa dia harus berada di tempat itu, sebuah ruangan berdinding batu
berukuran 4x4 tanpa jendela, pengap, lembab, dan pada bagian depan
berseberangan dengan ruangan-ruangan lain yang bentuk dan ukurannya
persis sama terdapat jeruji besi, ya Imah memang sedang berada di
sebuah ruang tahanan di kantor polisi. Di ruangan itu, Imah memang
tidak sendiri, seorang wanita paruh baya bertubuh agak gemuk, sedari
tadi, sejak Imah diantar oleh seorang petugas memasuki ruangan itu,
hanya memandanginya tanpa berkata sepatahpun.
Menjelang malam
Imah semakin gelisah, Dia ingin bertanya kepada seseorang, apa gerangan
salah yang telah diperbuatnya, sehingga dia harus dipisahkan dari
anak-anak dan suaminya.Air mata Imah menetes satu demi satu, Sebetulnya
Dia ingin menangis sekeras-kerasnya supaya dadanya yang sesak menjadi
agak lapang, tapi Imah tidak berani, Dia takut perempuan paruh baya,
yang sedari tadi hanya diam mematung itu marah karena terganggu oleh
suara tangisannya.
"menangis saja kalau itu membuat kamu menjadi
lega!" tiba-tiba Imah dikejutkan oleh suara perempuan paruh baya itu,
Ima terkejut, takut-takut diangkatnya kepalanya memandangi wajah
perempuan itu, dia ingin meyakinkan dirinya bahwa suara itu betul-betu
berasal dari perempuan itu.
Perempuan itu tersenyum, menyeringai tepatnya, sambil menganggukkan kepalanya.
Dan tangis imah pun semakin keras,semakin keras lalu Imah pun menghambur ke dalam pangkuan perempuan itu.
"Nak,
kesalahan apa yang telah kau perbuat, sampai-sampai kamu harus
merasakan hidup di tempat yang tidak terhormat ini?" lembut suara
perempuan itu, dan menjadi sangat lembut di telingan Imah.
"Saya tidak tau...!"
"Kok bisa?... kalau kamu tidak salah tentu tidak ada yang akan membawa kamu ke sini?"
"Saya dituduh menipu !" lirih suara Imah
"Kamu tidak melakukannya?"
"tentu
saja tidak, itu anak saya!!, saya menyayanginya, sayaang sekali..."
Imah mencoba meyakinkan perempuan itu, Perempuan paruh baya itu nampak
bingung dengan cerita Imah...
"Ceritakanlah yang jelas kepada saya, supaya beban kamu berkurang" bujuk perempuan itu kemudian.
Delapan
tahun lalu, ketika umur saya 20 tahun, saya terpaksa menikah muda,
karena saya sudah terlanjur hamil, oleh pacar saya, Dia teman kuliah
saya. pernikahan kami tidak diketahui oleh orang tua saya, kami kawin
lari. sejak itu saya tidak pulang-pulang ke rumah. kuliah pun tidak. Sejak
pernikahan itu, hidup saya sangat menderita, suami saya tidak memiliki
pekerjaan tetap, dan mungkin karena tekanan hidup yang berat dia juga
sering pulang dalam keadaan mabuk. Celakanya lagi hampir setiap tahun
saya melahirkan, sekarang anak saya sudah lima, yang paling besar baru
8 tahun, yag paling kecil berumur dua bulan.
Imah
menghentikan ceritanya, Dia usap air matanya dengan punggung tangannya,
nampak baju pada bagian dadanya basah, rupanya waktunya si kecil
menyusu.
Tanpa penghasilan tetap, dan harus
menghidupi empat orang anak bukanlah hal yang mudah, kadang-kadang
terpikirkan untuk pulang ke rumah orang tua saya, tapi saya takut, Ayah
pasti sangat marah kepada kami...saya takut ayah akan mengusir kami
bila berani muncul dihadapannya.akhirnya saya jalani saja hidup seperti
itu, walau kadang-kadang saya hampir menyerah di buatnya, tapi saya
sangat menyayangi anak-anak saya, merekalah satu-satunya kekuatan saya.
Sejenak Imah terdiam, matanya menatap kosong ke atas langgit-langit ruang tahanan.
Empat
bulan yang lalu, ketika saya hamil 7 bulan, hamil anak yang kelima,
Dokter menyatakan ada kelainan pada kehamilan saya, dan saya tidak bisa
melahirkan secara normal, saya harus melahirkan dengan cara operasi.
Mendengar kabar itu, rasanya ruangan rumah sakit itu ambruk dan menimpa
tubuh saya. Saya nyaris menjadi gila memikirkannya, Dari mana kami bisa
memperoleh biaya utuk operasi itu, untuk ongkos memeriksakan diri ke
dokter saja disumbang oleh tetangga baru yang baik hati...ya tetangga
yang baik. Di jaman sekarang ini, jarang ada orang yang sebaik dia.
Imah
menarik nafasnya dalam-dalam, air mata deras mengalir dari kelopak
matanya yang menyiratkan duka dan penderitaan yang teramat dalam.
"tapi bayi itu akhirnya selamat kan?" perempuan itu memecahkan kediaman Imah
"Ya..Dia
lahir dengan selamat, Dia cantik..." Kali ini, Imah sudah tak mampu
lagi menahan nyeri di dadanya, bahunya berguncang keras seiring isakan
yang terdengar pilu...
"Tetangga yang baik hati itu yang menolong saya!! " lanjut Imah setelah dia berhasil menguasai dirinya.
"Dia
meminjami kami sejumlah uang untuk biaya operasi itu, katanya uang itu
uang temannya yang harus kami kembalikan paling lambat satu bulan,
karena kami tidak punya pilihan, kami menyetujui hal itu, bahkan kami
juga menyetujui ketika dia meminta kami menandatangani perjanjian
tertulis yang menyatakan bahwa kami akan menyerahkan anak yang akan
saya lahirkan itu kepadanya apabila setelah satu satu bulan kami tidak
melunasi pinjaman itu"
"dan kalian tidak melunasinya?"
"Iya...dari mana kami harus mencari uang sebanyak itu, sepuluh juta Bu...!!"
"dan kamu serahkan anak kamu kepada tetangga kamu itu?"
"Tidak..
tentu saja tidak, saya tidak akan membiarkan siapa pun mengambil bayi
saya... dia bayi saya Bu!!" kali ini suara Imah berubah menjadi
jeritan pilu..
"Karena saya tidak mau menyerahkan anak saya itu,
dia melaporkan saya ke polisi, dia menuduh saya menipu!, saya bukan
penipu bu, saya hanya orang miskin yang tidak mampu membayar utang,
saya tidak akan membiarkan dia membawa anak saya, tidak akan!!!"
"Ya...
saya mengerti, tidak ada satupun di dunia ini orang yang mau kehilangan
anak yang disayanginya, begitupun dengan anak saya, Saya telah
memaksanya menggugurkan kandungannya, saya ingin dia menyelesaikan dulu
kuliahnya, tapi apa yanng terjadi, dia meninggal pada saat menggugurkan
kandungan itu, dan saya terperangkap di sini"
Terkesima Imah mendengar kisah tragis perempuan paruh baya itu, ternyata dia hidup dalam penyesalan yang panjang.
Malam
yang teramat panjang...Imah tak mampu mengatupkan matanya walau hanya
sekejap, Dia membayangkan wajah kelima anaknya yang masih kecil-kecil
dan polos. Mereka pasti kebingungan di luar sana tanpa ada Imah yang
mengurusi segala keperluan mereka. Ayahnya ? apakah ayahnya ada di
rumah atau seperti malam-malam sebelumnya, Dia baru akan pulang setelah
lewat tengah malam dengan tubuh gontai dan aroma minuman keras dari
mulutnya.lalu bagaimana dengan si bungsu? apakah tanpa ASI dia tidak
rewel? tadi ketika polisi datang menjemputnya, Imah masih sempat
menitipkannya pada tetangga yang bersimpati pada nasib yang
ditanggungnya.
"Ya Allah lindungi anak-anak hamba..."
Azan
subuh bergema, Imah tayamum, dia ingin berwudu tetapi keran air belum
mengalir..khusu dia sholat dan menutupnya dengan do'a- do'a yang
pernah dipelajarinya dulu dari ibunya. Tak lama kemudian perempuan
paruh baya yang kemudian diketahuinya bernama Ani itu, juga terbangun
dan sholat bersamanya.
Usai menutup do'a-do'anya Ibu Ani itupun menghampiri Imah
"Imah,
Kamu pasti tidak lama berada di sini, kalau kamu menyanggupi untuk
melunasi utang kamu itu, kamu pasti dibebaskan, soal anak kamu yang
akan diambil, itu tidak mungkin, manusia apa lagi anak-anak tidak boleh
menjadi jaminan utang piutang"
"lalu mengapa saya ditahan, karena tidak mau menyerahkan anak saya?"
"itu hanya upaya menakut-nakuti kamu saja!"
"Sekarang
begini..." lanjut Bu Ani, kalau petugas itu datang nanti ke sini, kamu
bilang kamu akan melunasi semua utang kamu itu, dan kamu pasti
dibebaskan!"
"Tapi saya tidak punya uang untuk melunasinya"
"Saya
tau, tapi saya punya!!, sekeluar dari sini kamu harus hidup dengan
lebih baik, tinggalkan suami kamu yang hanya membuat hidup kamu
menderita itu, urus semua anak-anak kamu, saya punya toko pakaian yang
dapat kamu kelola, mulailah hidup kamu dengan lebih baik"
Imah
hanya terdiam dia tidak mampu meyakini semua yang masuk melalui
pendengaranya ini, Tubuhnya terasa ringan melayang...
melayang.....melayang
Pukul sepuluh kurang saat ini, seperti biasa perapatan cimanying ramai dan agak semraut. motor ojeg yang parkir disembarang tempat, mobil angkot yang juga berhenti bukan pada tempatnya memberi kesan tidak nyaman dan memang kurang aman, sering terjadi kecelakaan lalin disini. dan pada jam-jam seperti ini keramaian di Cimanying diwarnai pula dengan banyaknya orang tua yang datang untuk menjemput anak-anaknya dari sekolah.
Dua orang bocah kecil tampak berdiri di salah satu sisi jalan raya, Baju seragam merah putih yang mereka kenakan penuh dengan keringat, tak lama kemudian mereka menghampiri seorang pemuda yang tengah bersiap hendak menyeberang jalan, dua bocah kecil itupun segera menghampirinya seraya berkata “ Om, Nida sama Tiara tolong diseberangkan lagi ya om !?” Pemuda itupun tersenyum seraya menuntun keduanya kearah seberang jalan.
Sesampainya diseberang jalan mereka langsung berlari-lari kecil kearah sebuah toko sampai - sampai mengucapkan terima kasihpun mereka lupa.
“ Mau beli apa, Nida ?” penjaga toko menyapa mereka dengan ramah, tampaknya dia mengenal akrab salah satu dari anak-anak tersebut. Sambil tersenyum malu-malu Nida hanya menggelengkan kepalanya, “ Nida cuma ingin lihat pinsil-pinsil itu tante “ ujarnya kemudian. “Oh...begitu, Papa Nida belum menjemput ? “ “ Belum, Tante “ Dan percakapan kecil itupun terhenti tatkala seorang pembeli datang dan penjaga toko itupun tenggelam dalam kesibukannya. Toko itu memang toko terlengkap di kawasan ini, di toko itu dijual berbagai keperluan. baik keperluan rumah tangga ataupun perlengkapan untuk anak-anak sekolah.
“ Tiara.. lihat ! pinsil seperti itu kan yang dibawa Tita tadi ?, dan lihat yang disebelah sana, itu yang dia pakai kemarin “ Tiara pun mengikuti arah telunjuk Nida, dan dengan serius ikut memperhatikan pinsil pinsil itu.
Dua bocah itu tampak sangat antusias memperhatikan pensil-pensil yang dipajang dengan sangat rapih di toko itu.
“Nida, kamu mau beli yang mana ? “,
“ Ih Siapa yang mau beli. akukan cuma bilang mau melihat pinsil-pinsil itu “
“Tapi kamu kan tadi bilang, kamu ingin pinsil seperti yang punya Tita itu”
“Iya aku memang ingin, tapi kata mama itu pemborosan” kali ini kata-katanya mengandung kekecewaan. Nida jadi teringat lagi kata-kata mama beberapa hari lalu ketika dia mencoba ungkapkan keinginananya mempunyai pinsil seperti yang dimiliki Tita, baru saja dia mencoba bercerita, mama sudah menasehatinya dengan berbagai teori ekonomi, tentang prinsip ekonomi, tentang keadaan ekonomi, tentang penghematan dan yang lain-lainya yang intinya mama tidak setuju membeli pinsil itu karena Nida masih memiliki pinsil yang masih layak untuk dipakai, Nida masih ingat apa yang dikatakan mama .
“ Nida, pinsil Nida masih ada?”
“ masih, mama”
“ Apa warna tulisannya?”
“ Hitam, mama “
“ Kalau Nida salah menulis, bisa dihapus ?”
“ Bisa, mama “
“ Lalu apa yang menjadi kelebihan pinsil yang dimiliki Tita ?”
“ Pinsil punya Tita itu warnanya bagus ma, ada gambar tokoh kartun kesayangan Nida lagi, juga penghapusnya tidak nempel di pinsil, tapi memakai rantai kecil yang diikatkan ke pinsil itu “.
“ Kalau kegunaanya ?” potong mama
“ Eh.....eh.....” Nida tidak melanjutkan ucapannya
“ ayo sayang apa kegunaan pinsil itu ? “ bujuk mama “ untuk menulis, ma” lanjutnya perlahan
“ Jadi sama dengan pinsil punya Nida “
“ sama, mama “
“ Nida, berusahalah untuk tidak membeli sesuatu yang manfaatnya sama dengan sesuatu yang sudah kita miliki, itu pemborosan sayang “
“ Tapi ma...Tita....” kembali ucapannya menggantung karena papa juga ikut nimbrung menasehati “ Tita itu, papanya kan anggota DPR, sedangkan Nida...” “ Ya sudah, sekarang sudah malam, Nida tidur ya ? “
dan Nidapun mengangguk.
Sepanjang malam dia berpikir keras bagaimana caranya untuk meluluhkan hati mama dan papa, keinginanya memiliki pinsil itu masih belum juga hilang bahkan dia tidak mengerti apa yang dimaksud mama dengan pemborosan juga apa yang dikatakan papa tentang anggota DPR, yang dia tau dia ingin pinsil seperti yang dimiliki Tita.
“ Nida....lihat yang berwarna merah itu, bagus ya? “ suara Tiara menyadarkanya kembali.
“Iya..., itu kan sama dengan yang dibawa Tita waktu hari senin”
“ Kemarin sefti juga memakai pinsil seperti itu “
“ benar Tiara? “
“ sungguh..., aku melihatnya “ hati Nida semakin galau, sepertinya hanya dia dan Tiara yang belum mempunyai pinsil seperti yang sudah dimiliki teman temannya yang lain. Lalu tiba-tiba dia mengeluarkan pinsil dan rautan dari dalam kotak pinsilnya dan pinsil yang masih tajam itupun dia raut terus, terus dan terus hingga panjang pinsil itu tinggal separo dari panjang sebelumnya, hampir saja pinsil itu habis dia raut kalau saja dia tidak mendengar suara motor tua papanya yang sudah datang menjemput, diapun mengakhiri meraut dan menyimpan kembali pinsil dan rautannya ke dalam tas .
“ Ma, lihat pinsil Nida sudah pendek?” Nida menunjukan pinsilnya kehadapan mama. sejenak mama tercenung. ada yang aneh. mama masih ingat dua hari yang lalu pinsil itu masih panjang, tapi pinsil yang diperlihatkan Nida kali ini sangat berbeda.
“ Nida, ini pinsil yang kemarin ? “
“ Iya, ma “
“ tapi mengapa jadi pendek begini ?”
“ tadi waktu diraut patah-patah terus, ma “ kali ini keheranan mama berubah menjadi keterkejutan yang luar biasa, mama tau betul, pinsil yang dibelikan mama untuk Nida bukan pinsil yang cepat patah.
“ Nida, Nida bohong ya.... ? “ mama mencoba mengatasi keterkejutannya dengan bijak.
Kali ini bocah mungil enam tahun itu yang terkejut, dia bingung, dia takut, dia sadar betul mama dan papa paling tidak suka kalau anaknya berbohong.
“ betul kan Nida bohong ?” Tak ada suara yang keluar dari mulut mungilnya yang biasanya rajin berceloteh itu. Nida bungkam seribu bahasa. mama terus menunggu, dan akhirnya dengan lirih terdengar ucapannya “ Nida minta maaf, ma.... pinsil itu tidak patah, tapi Nida ingin pinsil itu cepat habis, jadi pinsil itu Nida raut terus menerus, sampai menjadi pendek begini, Nida ingin supaya mama membelikan pinsil seperti pinsil punya Tita..” suara itu makin tidak terdengar diujungnya, karena sudah tercampur dengan isakan. Mama memeluk Nida “ Ya. sudahlah, mama maafkan ..lain kali tidak boleh begitu lagi “ hanya itulah kata yang dapat diucapkan mama untuk menetralisir kegundahan hatinya sendiri.
“Tiara..., kamu lihat pinsil aku tidak ?” Nida sibuk mencari - cari pinsilnya, sudah dua kali dia membalik-balikan tasnya agar seluruh isinya tumpah keluar, tapi pinsil itu tidak tampak juga.
“ Ada apa Nida ? “ Ibu guru menegurnya, karena teman-temannya yang lain sudah mulai mencatat apa yang tertulis di papan tulis
” Pinsil Nida hilang Bu!’ jawabnya lirih.
“ Oh begitu, ini ibu guru pinjami “ ibu guru menjulurkan tangannya yang memegang pinsil dan Nida pun mulai menulis.
Teng.....teng........teng....... bel pulangpun terdengar dan murid-murid kelas satu itupun satu persatu meninggalkan kelasnya, Dengan enggan Nida beranjak keluar, hatinya gundah, Dia takut bertemu mama, dia takut karena pinsilnya hilang, dia takut mama tidak percaya kalau pinsilnya sungguh-sungguh hilang, kesalahannya kemarin sangat memungkinkan mama untuk mencurigai kejujurannya . “ Nida , ayo.. kenapa sih jalannya pelan begitu ? “ Tiara menegurnya .
Nida tidak menjawab, tapi juga tidak mempercepat langkahnya. Dia tidak berharap papa segera datang untuk menjemput, Dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi nanti, pada saat Dia sampai di rumah. Dan semakin sempurnalah kehawatirannya ketika yang datang menjemput justru mama. ingin rasanya dia sembunyi agar tidak nampak oleh mama.
Mama datang menghampiri Nida sambil mengulum senyum, Nida tidak berani menatap wajah mama, jika bisa Ingin rasanya dia mengecil dan bersembunyi di dalam kotak pinsilnya.
“ Nida, mengapa murung begitu ?.” Nida bungkam tanpa kata, bahkan mengangkat wajahnyapun dia tidak mampu.
“ mama punya kejutan untuk kamu... ayo lihat .!! mama bawa apa ini !” Nida masih belum berani juga mengangkat wajahnya, Dia masih menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam-dalam. Melihat sikap Nida yang aneh ini mama menjadi bingung, ada rasa bersalah di dalam hati mama, mama juga semakin menyadari putri kecilnya ini masih terlalu polos untuk mengerti apa yang sering dia nasehatkan pada bidadari kecilnya ini.
“ Nida, mama tau Nida ingin sekali punya pinsil seperti pinsil teman teman Nida yang lain. makanya tadi sebelum kesini mama membeli pinsil ini dulu, coba lihat.., Nida suka ? “
tiba-tiba semburat merah menyergap wajahnya yang langsung menengadah,
” Ma, ini untuk Nida ? “ Mama mengangguk dengan mantap dan Nida pun memeluk mamanya “ terima kasih ma, Nida sayang mama “
dan pinsil itu pun diciuminya dengan terus mengembang senyum, bahkan hingga malam menjelang, Nida tertidur dengan senyumanya itu ...............