Senin, 14 November 2011

Nida dan Pinsil

Pukul sepuluh kurang saat ini, seperti biasa perapatan cimanying ramai dan agak semraut. motor ojeg yang parkir disembarang tempat, mobil angkot yang juga berhenti bukan pada tempatnya memberi kesan tidak nyaman dan memang kurang aman, sering terjadi kecelakaan lalin disini. dan pada jam-jam seperti ini keramaian di Cimanying diwarnai pula dengan banyaknya orang tua yang datang untuk menjemput anak-anaknya dari sekolah.
Dua orang bocah kecil tampak berdiri di salah satu sisi jalan raya, Baju seragam merah putih yang mereka kenakan penuh dengan keringat, tak lama kemudian  mereka menghampiri seorang pemuda yang tengah bersiap hendak  menyeberang jalan, dua bocah kecil itupun segera menghampirinya seraya berkata “ Om, Nida sama Tiara tolong diseberangkan lagi ya om !?” Pemuda itupun tersenyum seraya menuntun keduanya kearah seberang jalan.
Sesampainya diseberang jalan mereka langsung berlari-lari kecil kearah sebuah toko sampai - sampai mengucapkan terima kasihpun mereka lupa.
“ Mau beli apa, Nida ?” penjaga toko menyapa mereka dengan ramah, tampaknya dia mengenal akrab salah satu dari anak-anak tersebut. Sambil tersenyum malu-malu Nida hanya menggelengkan kepalanya, “ Nida cuma ingin lihat pinsil-pinsil itu tante “ ujarnya kemudian. “Oh...begitu, Papa Nida belum menjemput ? “ “ Belum, Tante “ Dan percakapan kecil itupun terhenti tatkala seorang pembeli datang dan penjaga toko itupun tenggelam dalam kesibukannya. Toko itu memang toko terlengkap di kawasan ini, di toko itu dijual berbagai keperluan. baik keperluan rumah tangga ataupun perlengkapan untuk anak-anak sekolah.
“ Tiara.. lihat ! pinsil seperti itu kan yang dibawa Tita tadi ?, dan lihat yang disebelah sana, itu yang dia pakai kemarin “ Tiara pun mengikuti arah telunjuk Nida, dan dengan serius ikut memperhatikan pinsil pinsil itu.
Dua bocah itu tampak sangat antusias memperhatikan pensil-pensil yang dipajang dengan sangat rapih di toko itu.
“Nida, kamu mau beli yang mana ? “,
“ Ih Siapa yang mau beli. akukan cuma bilang mau melihat pinsil-pinsil itu “
“Tapi kamu kan tadi bilang, kamu ingin pinsil seperti yang punya Tita itu”
“Iya aku memang ingin, tapi kata mama itu pemborosan” kali ini kata-katanya mengandung kekecewaan. Nida jadi teringat lagi kata-kata mama beberapa hari lalu ketika dia mencoba ungkapkan keinginananya mempunyai pinsil seperti yang dimiliki Tita, baru saja dia mencoba bercerita, mama sudah menasehatinya dengan berbagai teori ekonomi, tentang prinsip ekonomi, tentang keadaan ekonomi, tentang penghematan dan yang lain-lainya yang intinya mama tidak setuju membeli pinsil itu karena Nida masih memiliki pinsil yang masih layak untuk dipakai, Nida masih ingat apa yang dikatakan mama .
“ Nida, pinsil Nida masih ada?”
“ masih, mama”
“ Apa warna tulisannya?”
“ Hitam, mama “
“ Kalau Nida salah menulis, bisa dihapus ?”
“ Bisa, mama “
“ Lalu apa yang menjadi kelebihan pinsil yang dimiliki Tita ?”
“ Pinsil punya Tita itu warnanya bagus ma, ada gambar tokoh kartun kesayangan Nida lagi, juga penghapusnya tidak nempel di pinsil, tapi memakai rantai kecil yang diikatkan ke pinsil itu “.
“ Kalau kegunaanya ?” potong mama
“ Eh.....eh.....” Nida tidak melanjutkan ucapannya
“ ayo sayang apa kegunaan pinsil itu ? “ bujuk mama “ untuk menulis, ma” lanjutnya perlahan
“ Jadi sama dengan pinsil punya Nida “
“ sama, mama “
“ Nida, berusahalah untuk tidak membeli sesuatu yang manfaatnya sama dengan sesuatu yang sudah kita miliki, itu pemborosan sayang “
“ Tapi ma...Tita....” kembali ucapannya menggantung karena papa juga ikut nimbrung menasehati “ Tita itu, papanya kan anggota DPR, sedangkan Nida...” “ Ya sudah, sekarang sudah malam, Nida tidur ya ? “
dan Nidapun mengangguk.
Sepanjang malam dia berpikir keras bagaimana caranya untuk meluluhkan hati mama dan papa, keinginanya memiliki pinsil itu masih belum juga hilang bahkan dia tidak mengerti apa yang dimaksud mama dengan pemborosan juga apa yang dikatakan papa tentang anggota DPR, yang dia tau dia ingin pinsil seperti yang dimiliki Tita.
“ Nida....lihat yang berwarna merah itu, bagus ya? “ suara Tiara menyadarkanya kembali.
“Iya..., itu kan sama dengan yang dibawa Tita waktu hari senin”
“ Kemarin sefti juga memakai pinsil seperti itu “
“ benar Tiara? “
“ sungguh..., aku melihatnya “ hati Nida semakin galau, sepertinya hanya dia dan Tiara yang belum mempunyai pinsil seperti yang sudah dimiliki teman temannya yang lain. Lalu tiba-tiba dia mengeluarkan pinsil dan rautan dari dalam kotak pinsilnya dan pinsil yang masih tajam itupun dia raut terus, terus dan terus hingga panjang pinsil itu tinggal separo dari panjang sebelumnya, hampir saja pinsil itu habis dia raut kalau saja dia tidak mendengar suara motor tua papanya yang sudah datang menjemput, diapun mengakhiri meraut dan menyimpan kembali pinsil dan rautannya ke dalam tas .
“ Ma, lihat pinsil Nida sudah pendek?” Nida menunjukan pinsilnya kehadapan mama. sejenak mama tercenung. ada yang aneh. mama masih ingat dua hari yang lalu pinsil itu masih panjang, tapi pinsil yang diperlihatkan Nida kali ini sangat berbeda.
“ Nida, ini pinsil yang kemarin ? “
“ Iya, ma “
“ tapi mengapa jadi pendek begini ?”
“ tadi waktu diraut patah-patah terus, ma “ kali ini keheranan mama berubah menjadi keterkejutan yang luar biasa, mama tau betul, pinsil yang dibelikan mama untuk Nida bukan pinsil yang cepat patah.
“ Nida, Nida bohong ya.... ? “ mama mencoba mengatasi keterkejutannya dengan bijak.
Kali ini bocah mungil enam tahun itu yang terkejut, dia bingung, dia takut, dia sadar betul mama dan papa paling tidak suka kalau anaknya berbohong.
“ betul kan Nida bohong ?” Tak ada suara yang keluar dari mulut mungilnya yang biasanya rajin berceloteh itu. Nida bungkam seribu bahasa. mama terus menunggu, dan akhirnya dengan lirih terdengar ucapannya “ Nida minta maaf, ma.... pinsil itu tidak patah, tapi Nida ingin pinsil itu cepat habis, jadi pinsil itu Nida raut terus menerus, sampai menjadi pendek begini, Nida ingin supaya mama membelikan pinsil seperti pinsil punya Tita..” suara itu makin tidak terdengar diujungnya, karena sudah tercampur dengan isakan. Mama memeluk Nida “ Ya. sudahlah, mama maafkan ..lain kali tidak boleh begitu lagi “ hanya itulah kata yang dapat diucapkan mama untuk menetralisir kegundahan hatinya sendiri.
“Tiara..., kamu lihat pinsil aku tidak ?” Nida sibuk mencari - cari pinsilnya, sudah dua kali dia membalik-balikan tasnya agar seluruh isinya tumpah keluar, tapi pinsil itu tidak tampak juga.
Ada apa Nida ? “ Ibu guru menegurnya, karena teman-temannya yang lain sudah mulai mencatat apa yang tertulis di papan tulis
” Pinsil Nida hilang Bu!’ jawabnya lirih.
“ Oh begitu, ini ibu guru pinjami “ ibu guru menjulurkan tangannya yang memegang pinsil dan Nida pun mulai menulis.
Teng.....teng........teng....... bel pulangpun terdengar dan murid-murid kelas satu itupun satu persatu meninggalkan kelasnya, Dengan enggan Nida beranjak keluar, hatinya gundah, Dia takut bertemu mama, dia takut karena pinsilnya hilang, dia takut mama tidak percaya kalau pinsilnya sungguh-sungguh hilang, kesalahannya kemarin sangat memungkinkan mama untuk mencurigai kejujurannya . “ Nida , ayo.. kenapa sih jalannya pelan begitu ? “ Tiara menegurnya .
Nida tidak menjawab, tapi juga tidak mempercepat langkahnya. Dia tidak berharap papa segera datang untuk menjemput, Dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi nanti, pada saat Dia sampai di rumah.  Dan semakin sempurnalah kehawatirannya ketika yang datang menjemput justru mama. ingin rasanya dia sembunyi agar tidak nampak oleh mama.
Mama datang menghampiri Nida sambil mengulum senyum, Nida tidak berani menatap wajah mama, jika bisa Ingin rasanya dia mengecil dan bersembunyi di dalam kotak pinsilnya.
“ Nida, mengapa murung begitu ?.” Nida bungkam tanpa kata, bahkan mengangkat wajahnyapun dia tidak mampu.
“ mama punya kejutan untuk kamu... ayo lihat .!! mama bawa apa ini !” Nida masih belum berani juga mengangkat wajahnya, Dia masih menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam-dalam. Melihat sikap Nida yang aneh ini mama menjadi bingung, ada rasa bersalah di dalam hati mama, mama juga semakin menyadari putri kecilnya ini masih terlalu polos untuk mengerti apa yang sering dia nasehatkan pada bidadari kecilnya ini.
“ Nida, mama tau Nida ingin sekali punya pinsil seperti pinsil teman teman Nida yang lain. makanya tadi sebelum kesini mama membeli pinsil ini dulu, coba lihat.., Nida suka ? “
tiba-tiba semburat merah menyergap wajahnya yang langsung menengadah,
” Ma, ini untuk Nida ? “ Mama mengangguk dengan mantap dan Nida pun memeluk mamanya “ terima kasih ma, Nida sayang mama “
dan pinsil itu pun diciuminya dengan terus mengembang senyum, bahkan hingga malam menjelang, Nida tertidur dengan senyumanya itu ...............
Menes, 7 Maret 2003
Yety Ursel
catatan : untuk Nida kecilku ,

1 komentar:

  1. Anak kecil tetaplah anak kecil biar dia tumbuh sesuai dengan usianya

    BalasHapus

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....