Minggu, 13 November 2011

Hanya Orang Kedua (Yety Ursel)


-->
Menjadi orang kedua  bukanlah impianku, karena sejak dulu aku sudah sangat tau bagaimana rasanya menjadi orang nomor dua.  Seperti halnya ibuku. Ibuku adalah perempuan yang dinikahi Bapak setelah Bapak mempunyai istri dan 3 orang anak. Pada saat menikah,  ibu dan keluarganya tidak pernah tau bahwa Bapak telah memiliki keluarga di kota. Awalnya Bapak dan Ibu hidup bahagia, aku dan kedua adikkupun lahir, sampai kemudian istrinya datang ke rumah ibu dan menceritakan keadaan Bapak yang sebenarnya. Sejak saat itu Kehidupan Bapak dan Ibu berubah, Bapak mulai memperlakukan ibu sebagai orang kedua. Bapak  lebih banyak hidup bersama istri tuanya, dan ibu menerima keadaan itu dengan rela, Ibu tidak meminta Bapak untuk menceraikannya, Ibu hanya meminta agar Bapak tetap memperhatikan kebutuhan aku dan adik-adikku, untungnya istri tuanyapun tidak keberatan dengan usulan ibu itu.
Ibuku adalah wanita rumahan yang benar-benar rumahan, yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana menjadi istri yang baik di mata suaminya, juga menjadi ibu yang baik di hadapan anak-anaknya, Ibu begitu setia dan tekun melayani Bapak, Ibu selalu berusaha terlihat  cantik walaupun dalam keadaan yang sangat lelah setelah seharian sibuk memasak makanan kesukaan kami, terutama kesukaan Bapak, tapi apa hendak dikata, setelah sedemikian besarnya pengorbanan ibu, yang telah rela berhenti dari pekerjaannya karena Bapak menginginkan demikian, justru pada akhirnya Dia harus rela hanya menjadi istri kedua yang dikunjungi sewaktu-waktu saja..
Ibu tidak dapat berbuat banyak, dia harus lebih banyak lagi berkorban, kali ini untuk anak-anaknya. Dia harus rela dimadu agar anak-anaknya tetap mendapatkan kasih sayang yang utuh.
Hari-hari yang dijalani Ibu selanjutnya adalah hari-hari yang penuh kepahitan dan kegetiran. Ibu menjadi sering terilihat murung, walau sedemikian kuat usahanya menyembunyika itu dariku, aku tetap dapat melihat, aku masih  dapat merasakan,  aku adalah anak paling besar, dan aku perempuan, di usiaku yang baru menginjak 10 tahun, aku sudah dapat merasakan penderitaan Ibu, berbeda tentunya dengan kedua adikku, Deni dan Dina, mereka dua adik kembarku yang baru berumur lima tahun. Bagi kedua adikku, selama mereka masih dapat jajan dan sekali-sekali di ajak Bapak jalan-jalan, itu sudah cukup.
Menjadi orang kedua bukan cita-citaku… tapi …huh.., mengapa aku tak mampu menolak? Kehadiran Rama benar-benar telah mempesonaku. Rama yang bertubuh jangkung, berkulit hitam dan memiliki bentuk muka lonjong ditambah dengan  rahangnya yang keras menyiratkan betapa laki-lakinya dia, kontras dengan semua itu, Rama memilki sorotan  mata yang teduh, mata yang kadang-kadang menyiratkan kerinduan dan hasrat ingin melindungi…dan mata itulah yang kemudian membuatku jatuh hati padanya.
Mata teduhnya? Ya… sorotan mata Rama memang berbeda dengan sorot mata laki-laki pada umumnya, sorotan matanya penuh dengan  daya cinta, Jangan tanya kan padaku mengapa aku  bisa tergila-gila pada mata teduhnya itu, bukankah memang tak ada penjelasan logis bagaimana rasa cinta itu datang, yang aku tau setiap kali aku beradu pandang dengannya maka dadaku akan berdebar sangat kencang dan kemudian hilanglah semua beban di hatiku. Semua duka,  yang pernah singgah  dan membelengguku sirna. 
Rama adalah teman sekantorku. Dia  ayah dari tiga orang anak, Mita, 12 tahun, Eko, 9 tahun, dan Riko, 5 tahun. Istrinya wanita sunda yang cantik dan anggun, kami telah beberapa kali bertemu pada even-even kantor yang melibatkan keluarga karyawan. Beberapa kali dialog ringan dengannya telah dapat membuatku mengambil  kesimpulan, istri yang bagaimana yang dimiliki Rama ini. Sita, itu namanya, Dia tidak hanya cantik, tetapi juga seorang perempuan hebat, Dia memang bukan seorang menejer  di sebuah perusahaan, tetapi bisnis yang dia kelola di rumahnya beromset besar, dan telah menjadikan keluarganya  salah satu keluarga muda yang sukses secara ekonomi.
Pada suatu ketika Rama datang ke kantor dengan membawa anaknya yang paling kecil, Riko. Kehadiran Rama dengan anaknya ternyata membuat beberapa teman mengolok-oloknya sebagai Suami ideal, bahkan ada yang menyebutnya anggota ISTI, Ikatan Suami takut Istri. Aku sempat melihat sikap rikuh Rama atas semua olok-olok teman-teman itu, tetapi Dia berusaha menutupinya dengan seringai yang justru membuat Dia senakin terlihat kikuk, dan aku bersimpati karenanya. Dan kejadian seperti itu tidak terjadi hanya satu kali  saja.
“Nan, boleh aku minta tolong?” Tanya Rama suatu hari
“Menolong apa Ram?, apa ada pekerjaan yang belum kamu selesaikan?”
“Bukan Nan, aku mau nitip Riko, barang beberapa hari” jelasnya kemudian. Sejenak aku bingung, apa maksudnya menitipkan anaknya beberapa hari?. “ Aku ada tugas ke luar kota, tapi Sita juga sedang tidak di rumah, Dia sedang ikut lelang pengadaan barang di sebuah kantor pemerintah di Bandung,  si mbak yang biasa menjaga Riko juga sedang pulang kampung” Rama akhirnya menghapus kebingunganku.
“Oh… boleh…boleh… Riko mau kan menginap di rumah tante?” tanyaku kemudian ke bocah kecil 5 tahun itu, wajah polosnya sebetulnya menunjukkan rasa tidak senang, mana ada anak yang rela dititipka ke orang lain, yang bukan keluarganya sendiri, tetapi sepertinya dia sangat sadar betul kesulitan yang dihadapi ayahnya, lalu pelahan Dia mengangguk.
“OK… kamu jangan sedih begitu dong, tante janji… nanti setiap sore tante akan bawakan oleh-oleh untukmu, makanan apa yang paling kamu suka?”
“Kue Donat dan es krim!!” jawabnya spontan. Dasar anak-anak… kalau dibujuk dengan makanan kesukaan, Dia mudah sekali melupakan kesedihannya. Dan aku tau itu, karena aku sudah terbiasa berhadapan dengan para keponakanku. Anak-anak Dina maupun Deni.
Dina dan Deni memang telah mendahuluiku menikah, bukan salah mereka memang, karena diusianya yang sudah 27 tahun sudah sepantasnya mereka berdua  menikah. Dari perkawinanya dengan Rani, kekasih yang dipacarinya sejak SMA, Deni mempunyai 2 orang buah hati, sedangkan Dina menikah dengan Bagas teman sekantornya, merekapun telah mempunyai 2 orang jagoan.
Ya… usiaku  memang telah berada pada masa kritis, 35 tahun, dan aku belum juga menikah. Bukan tidak ingin aku seperti kawan-kawanku yang lain, aku juga bukan perempuan frustasi yang tidak mau menikah setelah ditinggal oleh kekasih pujaan hati. Tuhan memang belum mengirimkan jodoh untukku, dan aku menerima itu degan ikhlas.
Sejak kesuksesanku mengurus anak Rama beberapa hari di rumahku, aku menjadi akrab dengan semua anak-anak Rama, sepertinya mereka memang mendambakan sosok seorang perempuan dewasa di rumahnya, yang bukan si mbak, yang mau mendengar cerita-cerita seru mereka saat di sekolah, atau membantu mereka menyelesaikan PR yang mereka tidak bisa menjawabnya. Rama menjadi sering mengajak anak-anaknya bertandang ke rumahku, terutama Eko dan Riko. Pertemuan demi pertemuan itu telah  membuat aku dan Rama semakin dekat  lalu debar-debar itupun tumbuh di hatiku, mungkin juga di hati Rama.
“Nan…” Suatu hari ketika mengajak anak-anaknya bermain ke rumahku
“hmm…?”
“Mengapa ya akhir-akhir ini aku jadi sering memikirkan kamu?”
“maksudmu?” hanya suara itu yang keluar dari mulutku, padahal pada saat yang bersamaan hatiku berdendang riang.. dan udara panas merambati seluruh tubuhku.
“Ah… sudahlah…”
“lho, kenapa?”
“Mungkin gak penting untukmu?”
“maksudmu?”
“Tante…tante, Bang Eko tuh mecahin vas bunga!!” suara Riko memecah kekakuan diantara kami.
“Oh… terus Bang Ekonya tidak apa-apa?”tanyaku khawatir.
“Bang Ekonya nangis tante, tangannya berdarah…” mulut kecil Riko berceloteh dengan rasa khawatir. Melompat aku dari tempat dudukku diikuti oleh Rama menuju ke tempat Eko, ternyata tangannya hanya berdarah sedikit, aku hanya tersenyum menyadari bahwa tangis Eko bukan karena luka itu, tetapi karena takut dipersalahkan atas pecahnya vas bunga tersebut. “Sudah ya Eko, anak laki-laki harus kuat, tuh kayak papa, tidak suka nangis, soal vas itu jangan khawatir, tante  masih punya uang kok, untuk menggantinya dengan yang baru. Dan pastinya lebih bagus” bujukanku ternyata cukup ampuh, dan Ekopun menghentikan tangisannya  sesaat kemudian Dia telah asyik bermain bola di halaman luar bersama adiknya Riko.
“Nan, seandainya kamu yang menjadi ibu mereka…” tiba-tiba ucapan Rama kembali membelai-belai hatiku, mengguncang dadaku dan menghangatkan seluruh permukaan kulitku. Digenggamnya tanganku..dan tatapan matanya tajam menusuk ke dasar hatiku. Aku tak berdaya, tak sepatah katapun keluar dari mulutku, kunikmati tatapannya, kunikmati sentuhan nafasnya, kunikmati kecupannya di keningku  ah…………
“Papa…”  ups… kutarik tanganku dari genggaman Rama, Rama segera menjauhkan kepalanya dari keningku.
“Kita pulang yuk..!”
Rupanya Eko dan Riko sudah bosan bermain, dan mereka ingin pulang. Kulepas mereka di depan pintu rumahku, lalu kecupan Eko  dan Rikopun mendarat di pipiku.
“Dadah tante…kami pulang dulu ya…”
“Dadah sayang….” Dan ucapan itu tidak hanya untuk Riko dan Eko tapi juga untuk Rama.
            Sejak kecupan Rama mendarat dikeningku hari-harikupun  berubah, hidupku menjadi lebih bergairah dan penuh warna. Aku Nanda..aku bahagia  karena   seorang laki-laki mencintaiku dan  aku merasa sempurna sebagai perempuan.
Aku tidak ingin menjadi orang  kedua!. Tapi,  Rama !, pesonanya telah membuat aku merasa menjadi sangat istimewa, Rama yang telah membuat benih-benih cinta di hatiku tumbuh dengan suburnya.  benih-benih yang selama ini meranggas,  merana karena tumbuh di lahan yang tanpa hara.
            Kedekatanku dengan Rama akhirnya diketahui pula oleh teman-teman sekantor, mereka mulai berbisik-bisik dan menggunjingkannya, sepertinya mereka begitu antusias membahas perjalanan cinta kami yang menurut sebagian dari mereka adalah cinta terlarang...perselingkuhan seorang suami dengan teman sekantornya.. mereka tidak paham betapa telah begitu lamanya aku memimpikan saat-saat seperti ini, saat-saat menjadi wanita yang dicintai seorang lelaki dan aku tak ingin mengakhirinya.
“Nanda…sebaiknya kamu tidak melanjutkan kedekatanmu dengan Rama!”  akhirnya Ibupun ikut mengomentari kedekatanku dengan Rama
“Tapi Bu, aku mencintainya… Rama juga tulus mencintaiku!” jawabku pelahan, tidak mudah bagiku menyampaikan hal ini, selama ini aku adalah gadis penurut yang selalu mendengar apa yang Ibu nasihatkan padaku. Aku selalu khawatir akan menambah duka Ibu bila aku membantah ucapannya.
“Nanda, dalam cinta segitiga pada akhirnya akan selalu ada yang dikorbankan!”
“Maksud Ibu?”
“Kita semua, Ibu, kamu dan dua adikmu pernah merasakan betapa sakitnya ketika orang yang kita sayangi  tidak lagi utuh  menjadi milik kita, terlebih lagi ketika kita hanya menjadi orang kedua yang menerima sisa-sisa waktu yang ada pada Bapak” sesaat ibu terdiam, sepertinya pikirannya menerawang pada saat-saat sulit yang pernah kami lalui, betapa kami kebingungan ketika tiba-tiba sanyo di rumah mati, atau pada saat kamarku banjir akibat genting yang bocor, Kami harus mengatasinya berdua saja, ya berdua, karena Bapak sedang di rumah istri tuanya.Kemudian lanjutnya “ Ibu hanya tidak ingin kamu mengulang  penderitaan yang pernah  ibu rasakan, Hanya ada satu jalan untuk menyelesaikan masalah cinta segitiga, Nan, yaitu mengorbankan salah satunya!”
Aku hanya terdiam menyimak semua yang disampaikan ibu, pada saat yang sama butir bening mengambang di permukaan mataku, kupalingkan wajahku dari tatapan ibu, aku tak ingin ibu mengetahui kegalauanku.
“Bu, Nanda sadar betul bahwa yang Nanda lakukan ini salah, tetapi Bu, usia Nanda telah 35 tahun, dan terlebih lagi Nanda merasa bahagia bila berada di dekat Rama, Nanda merasa menjadi wanita sempurna, wanita yang dicintai oleh seorang laki-laki” pelahan suaraku, terasa pahit ludah yang aku telan, Betapa nelangsanya aku, baru merasakan dicintai seorang pria pada saat usiaku sudah tidak muda lagi dan yang mencintaiku itu seorang laki-laki yang telah mempunyai istri dan 3 orang anak…ah!!
Ibu kemudian meletakkan tangannya dikepalaku, itu yang selalu dilakukan ibu setiap kali Ibu tau kami sedang bersedih, dan biasanya kesedihan itu akan semakin berkurang dan kemudian hilang, tapi tidak kali ini, belaian ibu di kepalaku telah membuat bola bening di mataku yang sedari tadi aku sembunyikan akhirnya menetes deras seiring dengan isakanku dalam pelukan ibu.
“Sudahlah Nanda, semua ini bukan salahmu…ini adalah cobaan yang harus kau hadapi, kamu yang tabah ya…”  bergetar suara ibu, dan akupun semakin tak mampu menahan isakanku…
Pukul 17.00, Hand phone-ku berdering, dan tubuhkupun lunglai. Rama mengalami kecelakaan, teman sekantor yang mengabarkannya padaku, apa yang harus kulakukan, aku tak mungkin datang ke Rumah Sakit, di sana pasti sudah ada Sita, istrinya, dan Sita sepertinya telah mulai mencium perselingkuhan Rama suaminnya dengan teman sekantornya, Aku, Nanda seorang gadis yang telah berusia 35 tahun…ah!!!
Malam bergerak begitu lamban, matahari seolah enggan untuk segera muncul, jarum panjang jam dinding di kamarkupun sepertinya tak beranjak dari tempatnya semula. Aku gelisah, aku mencemaskan keadaan Rama. Bagaimana keadaannya saat ini? Tak seorangpun yang mengabariku tentang kondisinya saat ini, parahkah akibat kecelakaan itu? Atau bahkan Rama tidak dapat diselamatkan?. “Ya Tuhan…aku memang hanya orang kedua, tak ada orang yang akan peduli dengan perasaanku saat ini, semua orang akan menganggap aku tak berhak atas dirinya, hanya istrinya yang berhak ….ah!!! dan tangisankupun tak lagi dapat kubendung….

1 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....