-->
Menjadi
orang kedua bukanlah impianku, karena
sejak dulu aku sudah sangat tau bagaimana rasanya menjadi orang nomor dua. Seperti halnya ibuku. Ibuku adalah perempuan
yang dinikahi Bapak setelah Bapak mempunyai istri dan 3 orang anak. Pada saat
menikah, ibu dan keluarganya tidak
pernah tau bahwa Bapak telah memiliki keluarga di kota. Awalnya Bapak dan Ibu
hidup bahagia, aku dan kedua adikkupun lahir, sampai kemudian istrinya datang
ke rumah ibu dan menceritakan keadaan Bapak yang sebenarnya. Sejak saat itu
Kehidupan Bapak dan Ibu berubah, Bapak mulai memperlakukan ibu sebagai orang
kedua. Bapak lebih banyak hidup bersama
istri tuanya, dan ibu menerima keadaan itu dengan rela, Ibu tidak meminta Bapak
untuk menceraikannya, Ibu hanya meminta agar Bapak tetap memperhatikan
kebutuhan aku dan adik-adikku, untungnya istri tuanyapun tidak keberatan dengan
usulan ibu itu.
Ibuku
adalah wanita rumahan yang benar-benar rumahan, yang ada dalam pikirannya
hanyalah bagaimana menjadi istri yang baik di mata suaminya, juga menjadi ibu
yang baik di hadapan anak-anaknya, Ibu begitu setia dan tekun melayani Bapak,
Ibu selalu berusaha terlihat cantik
walaupun dalam keadaan yang sangat lelah setelah seharian sibuk memasak makanan
kesukaan kami, terutama kesukaan Bapak, tapi apa hendak dikata, setelah
sedemikian besarnya pengorbanan ibu, yang telah rela berhenti dari pekerjaannya
karena Bapak menginginkan demikian, justru pada akhirnya Dia harus rela hanya
menjadi istri kedua yang dikunjungi sewaktu-waktu saja..
Ibu
tidak dapat berbuat banyak, dia harus lebih banyak lagi berkorban, kali ini
untuk anak-anaknya. Dia harus rela dimadu agar anak-anaknya tetap mendapatkan
kasih sayang yang utuh.
Hari-hari
yang dijalani Ibu selanjutnya adalah hari-hari yang penuh kepahitan dan
kegetiran. Ibu menjadi sering terilihat murung, walau sedemikian kuat usahanya
menyembunyika itu dariku, aku tetap dapat melihat, aku masih dapat merasakan, aku adalah anak paling besar, dan aku
perempuan, di usiaku yang baru menginjak 10 tahun, aku sudah dapat merasakan
penderitaan Ibu, berbeda tentunya dengan kedua adikku, Deni dan Dina, mereka
dua adik kembarku yang baru berumur lima tahun. Bagi kedua adikku, selama
mereka masih dapat jajan dan sekali-sekali di ajak Bapak jalan-jalan, itu sudah
cukup.
Menjadi
orang kedua bukan cita-citaku… tapi …huh.., mengapa aku tak mampu menolak?
Kehadiran Rama benar-benar telah mempesonaku. Rama yang bertubuh jangkung, berkulit
hitam dan memiliki bentuk muka lonjong ditambah dengan rahangnya yang keras menyiratkan betapa
laki-lakinya dia, kontras dengan semua itu, Rama memilki sorotan mata yang teduh, mata yang kadang-kadang
menyiratkan kerinduan dan hasrat ingin melindungi…dan mata itulah yang kemudian
membuatku jatuh hati padanya.
Mata
teduhnya? Ya… sorotan mata Rama memang berbeda dengan sorot mata laki-laki pada
umumnya, sorotan matanya penuh dengan daya cinta, Jangan tanya kan padaku mengapa
aku bisa tergila-gila pada mata teduhnya
itu, bukankah memang tak ada penjelasan logis bagaimana rasa cinta itu datang,
yang aku tau setiap kali aku beradu pandang dengannya maka dadaku akan berdebar
sangat kencang dan kemudian hilanglah semua beban di hatiku. Semua duka, yang pernah singgah dan membelengguku sirna.
Rama
adalah teman sekantorku. Dia ayah dari
tiga orang anak, Mita, 12 tahun, Eko, 9 tahun, dan Riko, 5 tahun. Istrinya
wanita sunda yang cantik dan anggun, kami telah beberapa kali bertemu pada
even-even kantor yang melibatkan keluarga karyawan. Beberapa kali dialog ringan
dengannya telah dapat membuatku mengambil
kesimpulan, istri yang bagaimana yang dimiliki Rama ini. Sita, itu
namanya, Dia tidak hanya cantik, tetapi juga seorang perempuan hebat, Dia
memang bukan seorang menejer di sebuah
perusahaan, tetapi bisnis yang dia kelola di rumahnya beromset besar, dan telah
menjadikan keluarganya salah satu
keluarga muda yang sukses secara ekonomi.
Pada suatu ketika Rama
datang ke kantor dengan membawa anaknya yang paling kecil, Riko. Kehadiran Rama
dengan anaknya ternyata membuat beberapa teman mengolok-oloknya sebagai Suami
ideal, bahkan ada yang menyebutnya anggota ISTI, Ikatan Suami takut Istri. Aku
sempat melihat sikap rikuh Rama atas semua olok-olok teman-teman itu, tetapi
Dia berusaha menutupinya dengan seringai yang justru membuat Dia senakin
terlihat kikuk, dan aku bersimpati karenanya. Dan kejadian seperti itu tidak
terjadi hanya satu kali saja.
“Nan, boleh aku minta
tolong?” Tanya Rama suatu hari
“Menolong apa Ram?, apa
ada pekerjaan yang belum kamu selesaikan?”
“Bukan Nan, aku mau
nitip Riko, barang beberapa hari” jelasnya kemudian. Sejenak aku bingung, apa
maksudnya menitipkan anaknya beberapa hari?. “ Aku ada tugas ke luar kota, tapi
Sita juga sedang tidak di rumah, Dia sedang ikut lelang pengadaan barang di
sebuah kantor pemerintah di Bandung, si
mbak yang biasa menjaga Riko juga sedang pulang kampung” Rama akhirnya
menghapus kebingunganku.
“Oh… boleh…boleh… Riko
mau kan menginap di rumah tante?” tanyaku kemudian ke bocah kecil 5 tahun itu,
wajah polosnya sebetulnya menunjukkan rasa tidak senang, mana ada anak yang
rela dititipka ke orang lain, yang bukan keluarganya sendiri, tetapi sepertinya
dia sangat sadar betul kesulitan yang dihadapi ayahnya, lalu pelahan Dia
mengangguk.
“OK… kamu jangan sedih
begitu dong, tante janji… nanti setiap sore tante akan bawakan oleh-oleh
untukmu, makanan apa yang paling kamu suka?”
“Kue Donat dan es
krim!!” jawabnya spontan. Dasar anak-anak… kalau dibujuk dengan makanan
kesukaan, Dia mudah sekali melupakan kesedihannya. Dan aku tau itu, karena aku
sudah terbiasa berhadapan dengan para keponakanku. Anak-anak Dina maupun Deni.
Dina
dan Deni memang telah mendahuluiku menikah, bukan salah mereka memang, karena
diusianya yang sudah 27 tahun sudah sepantasnya mereka berdua menikah. Dari perkawinanya dengan Rani,
kekasih yang dipacarinya sejak SMA, Deni mempunyai 2 orang buah hati, sedangkan
Dina menikah dengan Bagas teman sekantornya, merekapun telah mempunyai 2 orang
jagoan.
Ya…
usiaku memang telah berada pada masa kritis,
35 tahun, dan aku belum juga menikah. Bukan tidak ingin aku seperti
kawan-kawanku yang lain, aku juga bukan perempuan frustasi yang tidak mau
menikah setelah ditinggal oleh kekasih pujaan hati. Tuhan memang belum
mengirimkan jodoh untukku, dan aku menerima itu degan ikhlas.
Sejak
kesuksesanku mengurus anak Rama beberapa hari di rumahku, aku menjadi akrab
dengan semua anak-anak Rama, sepertinya mereka memang mendambakan sosok seorang
perempuan dewasa di rumahnya, yang bukan si mbak, yang mau mendengar
cerita-cerita seru mereka saat di sekolah, atau membantu mereka menyelesaikan
PR yang mereka tidak bisa menjawabnya. Rama menjadi sering mengajak
anak-anaknya bertandang ke rumahku, terutama Eko dan Riko. Pertemuan demi
pertemuan itu telah membuat aku dan Rama
semakin dekat lalu debar-debar itupun
tumbuh di hatiku, mungkin juga di hati Rama.
“Nan…” Suatu hari
ketika mengajak anak-anaknya bermain ke rumahku
“hmm…?”
“Mengapa ya akhir-akhir
ini aku jadi sering memikirkan kamu?”
“maksudmu?” hanya suara
itu yang keluar dari mulutku, padahal pada saat yang bersamaan hatiku
berdendang riang.. dan udara panas merambati seluruh tubuhku.
“Ah… sudahlah…”
“lho, kenapa?”
“Mungkin gak penting
untukmu?”
“maksudmu?”
“Tante…tante, Bang Eko
tuh mecahin vas bunga!!” suara Riko memecah kekakuan diantara kami.
“Oh… terus Bang Ekonya
tidak apa-apa?”tanyaku khawatir.
“Bang Ekonya nangis tante, tangannya berdarah…”
mulut kecil Riko berceloteh dengan rasa khawatir. Melompat aku dari tempat
dudukku diikuti oleh Rama menuju ke tempat Eko, ternyata tangannya hanya
berdarah sedikit, aku hanya tersenyum menyadari bahwa tangis Eko bukan karena
luka itu, tetapi karena takut dipersalahkan atas pecahnya vas bunga tersebut.
“Sudah ya Eko, anak laki-laki harus kuat, tuh kayak papa, tidak suka nangis,
soal vas itu jangan khawatir, tante
masih punya uang kok, untuk menggantinya dengan yang baru. Dan pastinya
lebih bagus” bujukanku ternyata cukup ampuh, dan Ekopun menghentikan
tangisannya sesaat kemudian Dia telah
asyik bermain bola di halaman luar bersama adiknya Riko.
“Nan, seandainya kamu yang menjadi ibu mereka…”
tiba-tiba ucapan Rama kembali membelai-belai hatiku, mengguncang dadaku dan
menghangatkan seluruh permukaan kulitku. Digenggamnya tanganku..dan tatapan
matanya tajam menusuk ke dasar hatiku. Aku tak berdaya, tak sepatah katapun
keluar dari mulutku, kunikmati tatapannya, kunikmati sentuhan nafasnya,
kunikmati kecupannya di keningku ah…………
“Papa…” ups…
kutarik tanganku dari genggaman Rama, Rama segera menjauhkan kepalanya dari
keningku.
“Kita pulang yuk..!”
Rupanya Eko dan Riko sudah bosan bermain, dan mereka
ingin pulang. Kulepas mereka di depan pintu rumahku, lalu kecupan Eko dan Rikopun mendarat di pipiku.
“Dadah tante…kami pulang dulu ya…”
“Dadah sayang….” Dan ucapan itu tidak hanya untuk
Riko dan Eko tapi juga untuk Rama.
Sejak
kecupan Rama mendarat dikeningku hari-harikupun
berubah, hidupku menjadi lebih bergairah dan penuh warna. Aku Nanda..aku
bahagia karena seorang laki-laki mencintaiku dan aku merasa sempurna sebagai perempuan.
Aku tidak ingin menjadi
orang kedua!. Tapi, Rama !, pesonanya telah membuat aku merasa
menjadi sangat istimewa, Rama yang telah membuat benih-benih cinta di hatiku
tumbuh dengan suburnya. benih-benih yang
selama ini meranggas, merana karena tumbuh
di lahan yang tanpa hara.
Kedekatanku
dengan Rama akhirnya diketahui pula oleh teman-teman sekantor, mereka mulai
berbisik-bisik dan menggunjingkannya, sepertinya mereka begitu antusias
membahas perjalanan cinta kami yang menurut sebagian dari mereka adalah cinta
terlarang...perselingkuhan seorang suami dengan teman sekantornya.. mereka
tidak paham betapa telah begitu lamanya aku memimpikan saat-saat seperti ini,
saat-saat menjadi wanita yang dicintai seorang lelaki dan aku tak ingin
mengakhirinya.
“Nanda…sebaiknya kamu
tidak melanjutkan kedekatanmu dengan Rama!”
akhirnya Ibupun ikut mengomentari kedekatanku dengan Rama
“Tapi Bu, aku
mencintainya… Rama juga tulus mencintaiku!” jawabku pelahan, tidak mudah bagiku
menyampaikan hal ini, selama ini aku adalah gadis penurut yang selalu mendengar
apa yang Ibu nasihatkan padaku. Aku selalu khawatir akan menambah duka Ibu bila
aku membantah ucapannya.
“Nanda, dalam cinta
segitiga pada akhirnya akan selalu ada yang dikorbankan!”
“Maksud Ibu?”
“Kita semua, Ibu, kamu
dan dua adikmu pernah merasakan betapa sakitnya ketika orang yang kita sayangi tidak lagi utuh menjadi milik kita, terlebih lagi ketika kita
hanya menjadi orang kedua yang menerima sisa-sisa waktu yang ada pada Bapak”
sesaat ibu terdiam, sepertinya pikirannya menerawang pada saat-saat sulit yang
pernah kami lalui, betapa kami kebingungan ketika tiba-tiba sanyo di rumah
mati, atau pada saat kamarku banjir akibat genting yang bocor, Kami harus
mengatasinya berdua saja, ya berdua, karena Bapak sedang di rumah istri
tuanya.Kemudian lanjutnya “ Ibu hanya tidak ingin kamu mengulang penderitaan yang pernah ibu rasakan, Hanya ada satu jalan untuk
menyelesaikan masalah cinta segitiga, Nan, yaitu mengorbankan salah satunya!”
Aku
hanya terdiam menyimak semua yang disampaikan ibu, pada saat yang sama butir
bening mengambang di permukaan mataku, kupalingkan wajahku dari tatapan ibu,
aku tak ingin ibu mengetahui kegalauanku.
“Bu, Nanda sadar betul
bahwa yang Nanda lakukan ini salah, tetapi Bu, usia Nanda telah 35 tahun, dan
terlebih lagi Nanda merasa bahagia bila berada di dekat Rama, Nanda merasa
menjadi wanita sempurna, wanita yang dicintai oleh seorang laki-laki” pelahan
suaraku, terasa pahit ludah yang aku telan, Betapa nelangsanya aku, baru
merasakan dicintai seorang pria pada saat usiaku sudah tidak muda lagi dan yang
mencintaiku itu seorang laki-laki yang telah mempunyai istri dan 3 orang
anak…ah!!
Ibu
kemudian meletakkan tangannya dikepalaku, itu yang selalu dilakukan ibu setiap
kali Ibu tau kami sedang bersedih, dan biasanya kesedihan itu akan semakin
berkurang dan kemudian hilang, tapi tidak kali ini, belaian ibu di kepalaku
telah membuat bola bening di mataku yang sedari tadi aku sembunyikan akhirnya
menetes deras seiring dengan isakanku dalam pelukan ibu.
“Sudahlah Nanda, semua
ini bukan salahmu…ini adalah cobaan yang harus kau hadapi, kamu yang tabah
ya…” bergetar suara ibu, dan akupun
semakin tak mampu menahan isakanku…
Pukul 17.00,
Hand phone-ku berdering, dan tubuhkupun lunglai. Rama mengalami kecelakaan,
teman sekantor yang mengabarkannya padaku, apa yang harus kulakukan, aku tak
mungkin datang ke Rumah Sakit, di sana pasti sudah ada Sita, istrinya, dan Sita
sepertinya telah mulai mencium perselingkuhan Rama suaminnya dengan teman
sekantornya, Aku, Nanda seorang gadis yang telah berusia 35 tahun…ah!!!
Malam bergerak
begitu lamban, matahari seolah enggan untuk segera muncul, jarum panjang jam
dinding di kamarkupun sepertinya tak beranjak dari tempatnya semula. Aku
gelisah, aku mencemaskan keadaan Rama. Bagaimana keadaannya saat ini? Tak seorangpun
yang mengabariku tentang kondisinya saat ini, parahkah akibat kecelakaan itu?
Atau bahkan Rama tidak dapat diselamatkan?. “Ya Tuhan…aku memang hanya orang
kedua, tak ada orang yang akan peduli dengan perasaanku saat ini, semua orang
akan menganggap aku tak berhak atas dirinya, hanya istrinya yang berhak ….ah!!!
dan tangisankupun tak lagi dapat kubendung….
1 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar