Kamis, 06 Agustus 2020

Yang Tak Pernah Hilang #tamat

Bagian sebelumnya
Cerita Rio:
Masih terlalu pagi untuk melakukan aktivitas. Udara dingin sisa hujan tadi malam membuatku kembali menyelusup  di bawah selimut setelah menyelesaikan solat subuh. Lagipula patroli di tanah yang masih becek bukan pekerjaan yang ringan. Menunggu tanah agak kering, juga menjadi alasan mengapa aku masih saja tergeletak di ranjang ini.

Di ambang sadar karena mata masih ingin terpejam, terdengar suara gaduh di luar. Tak lama pintu kamarku diketuk.

Masih dengan kain selimut membungkus tubuh, aku membuka pintu. Welli dan seseorang  berdiri di depan pintu.
"Ada badak mati," ujarny saat aku telah ada di depannya.
"Siapa yang menemukan?" Tanyaku sambil tergesa mengganti pakaian.
"Saya, Pak. Tadi saya lewat Ciranjang menuju Cibandowah. Di perjalanan mencium bau bangkai, waktu saya telusuri ternyata bangkai badak." Laki laki yang datang bersama Weli menjelaskan dengan rinci.
Bagi kami yang bertugas di sini,  kematian badak adalah musibah besar. Satwa langka ini sudah nyaris punah. Kematian satu badak saja merupakan kerugian besar bagi dunia.

Tanpa banyak bertanya lagi, kami langsung menyeberang menuju pos Cibunar.  Dari sini pencarian pun dimulai.   Berjalan kaki menyusuri hutan menuju Cibandowah.   Sebelum sampai ke lokasi yang kami tuju, kami  mencium aroma bangkai yang menyengat. Sempat terjadi perdebatan tentang lokasi dengan warga yang mengantar kami ke lokasi, Setelah berdiskusi sebentar, rombongan dibagi dua, tiga orang melanjutkan perjalanan ke lokasi yang ditunjukkan pelapor dan aku bersama Budi  melakukan pencarian di sekitar Cibandowah. 
Cukup lama kami melakukan pencarian, yang kami cari belum juga terlihat. Medan yang sulit karena jalanan becek dan gelap, menyulitkan pekerjaan. Hari sudah semakin siang, Aku dan Budi memutuskan melakukan pencarian di daerah berbeda agar lebih efisien.

Ini pekerjaan nekad dan penuh risiko. Aku hanya sendiri di antara pohon pohon besar, berjalan di atas jalan setapak yang  licin, yang setiap saat bisa membuatku  terjengkang. Setiap kali seekor ular melintas tak jauh di atas kepala, aku berdiam diri dengan menahan nafas.
Aku terus masuk ke tengah hutan, semakin dalam semakin gelap. Jalan setapak tak lagi terlihat, penuh ilalang dan semak belukar karena tak pernah dilalui manusia. Rasa takut mulai menghantuiku. 
Lelah membuatku memutuskan berbalik arah, kembali mengikuti arah dari mana tadi datang. Sudah lebih satu jam berjalan, aku tersadar, aku berada di jalan yang salah. Aku berada di tengah hutan yang tak kukenali. Aku tersesat.
Hari semakin gelap. Hujan deras memaksaku berhenti berjalan dan berteduh di bawah pohon besar.
Rasa letih, dingin, lapar, juga rasa cemas, hanya kulawan dengan rapalan doa. Aku memasrahkan hidupku pada pertolongan-Nya. Hanya Dia harapanku satu-satunya saat ini hingga akhirnya aku terlelap dan tak tahu apa yang kemudian terjadi. Dua hari kemudian baru ditemukan oleh tim pencari dalam keadaan tak sadar.
"Eka, tahukah kamu apa yang terjadi padaku?"
@@@
Carita Eka:
Mungkin yang kulakukan salah, mencintai tanpa mampu memperjuangkan. Mempertahankan juga mungkin hanya untuk bahagiaku sendiri. 
Pada titik ini, ketika yang kurasakan justru rasa bersalah, aku ingin semua berakhir.
Sebuah surat kutulis, tapi tak juga kukirim, mampukan aku kehilangannya? Mungkin terlalu lama dalam kebimbangan, surat dari Rio yang justru kuterima. 
Rio bercerita tentang sebuah kejadian di hutan yang menimpa dan membuatnya sakit cukup parah. Tentang igauan saat suhu tubuhnya tinggi yang mencemaskan seluruh keluarga. Saat keluarganya nyaris menjemputku ke Bandung, tapi dengan berbagai pertimbangan, dibatalkan. 
Kabar ini membuatku menangis. Betapa tak berdayanya aku. Seharusnya surat itu membuatku segera pulang, tapi aku tak melakukannya. Dan aku hanya berharap Rio memahami keadaanku. Masih saja aku berharap pengertiannya, apa yang bisa kutunjukkan sebagai bukti rasa sayangku? Ternyata aku hanya bisa mengasihi diri sendiri, ini menyebalkan!
Masih patutkah ini disebut mencintai?

@@@
Penulis:
Terlalu banyak aral, terlalu banyak luka, tapi tak memiliki harapan.  semua ini membuat Rio dan Eka akhirnya harus menyerah. Perjuangan yang sia-sia hanya buang buang waktu saja. 
Sebuah surat yang  dikirim Eka  menyelesaikan semua. Surat yang tak pernah dia terima balasannya. 
Sebuah komitmen mengakhiri yang tak pernah secara tegas disepakati. Yang tak bisa menghentikan  keinginan untuk tetap bertemu walau akhirnya jarak menyelesaikan dengan sempurna. 

Pada akhirnya mereka berdua harus melanjutkan hidup dengan jalan nasibnya masing-masing. Tapi,  jejak cinta itu tak pernah hilang, masih saja sering menyeruak dalam ruang ruang kosong.
 Ketika kembara rindu tak menemukan labuh yang diinginkan, dia akan mengganggu di sepanjang hidupmu.

 Tamat

#Terima kasih untuk cerita-cerita yang mewarnai sebagian besar kisah ini.

2 komentar:

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....