Sabtu, 25 Juli 2020

Buku yang Tertukar

Hari ini rapat kenaikan kelas. Semua guru di tempat Aini mengajar diwajibkan hadir, tentu tetap dengan mengikuti protokol kesehatan di masa pandemi. Didorong oleh rasa rindu pada sekolah yang telah lama dirasakannya,  Aini berangkat dengan bersemangat.

Tiba di gerbang Aini berhenti sesaat. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang.

"Selamat pagi, Bu Aini," suara Abah Ihin yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya, membuat Aini terperanjat.

"Tumben ke sekolah," sapa Abah Ihin ramah.

"Kangen dengan suasana sekolah, Bah. Gak enak di rumah terus," timpalnya tak kalah ramah.

Mereka berbincang sejenak, Aini jadi tahu kalau Abah Ihin tidak bekerja dari rumah seperti yang lainnya. Sebagai penjaga dan sekaligus bertanggung jawab memelihara kebersihan sekolah, setiap hari dia tetap harus datang. Pantas saja bunga-bunga di halaman sekolah tetap segar dan rapi, Aini bergumam. Aini selalu kagum pada Abah Ihin. Dengan penghasilan yang tak seberapa, dia tetap melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab.  Abah bilang, ini juga ibadah. Sikap yang layak ditiru, menurut Aini

 Bu Ratna yang baru saja turun dari ojeg menggamit lengan Aini, mengajaknya melangkah bersama menuju ruang guru. Aini langsung menuju bangku yang di depannya ada meja bertuliskan namanya.   Di atas meja imasih ada beberapa buku latihan siswa yang belum sempat dibacanya, tersusun rapi.

Sambil mendengarkan obrolan santai di antara guru yang sudah berkumpul dalam ruangan, Aini menyempatkan diri memeriksa buku tugas siswa, sambil menunggu rapat kenaikan dimulai. Sesekali dia ikut menimpali dan tertawa bersama mereka.

Sebelum Aini selesai mengoreksi, Bapak Kepala Sekolah sudah memasuki ruang guru, rapat pun dumulai. Aini menghentikan kegiatannya  dan tergesa memasukkan beberapa buku tugas ke dalam tas ranselnya.

Rapat kenaikan kelas hari ini berbeda dari biasanya, berlangsung cepat. Tidak ada perdebatan alot untuk menentukan seorang siswa bermasalah masih  layak naik kelas atau tidak.

Semua guru kekurangan data. Ada anak yang dua bulan pertama sering tak masuk pun naik kelas karena  guru wali kelas bersama Guru Bimbingan dan Penyuluhan  sudah melakukan pembinaan, walau hasilnya tak terlihat karena pandemi covid 19 memaksa mereka belajar di rumah saja, tidak ada lagi data kehadiran ril di kelas. Kegiatan belajar daring juga tak efektif. Banyak kendala, guru dan siswa sama -sama tak siap. Kondisi luar biasa melahirkan keputusan fantastis, semua siswa naik kelas.

Selama rapat berlangsung Aini malah sibuk dengan aplikasi note yang ada di gawainya. Sebuah puisi tercipta,

 

Ada yang memfitnah, ada yang difitnah

Siapa memfitnah?

Siapa difitnah?

 

Ada yang diuntungkan ada yang dirugikan

Siapa menguntungkan siapa?

Siapa merugikan siapa?

 

Ada yang berbohong dan ada yang dibohongi.

Siapa pembohong?

Siapa yang dibohongi?

 

Semua berseliweran tak jelas

Semua tak tahu harus percaya pada siapa

 

Ada yang takut, ada yang terlalu berani

Yang takut melepas semua peluang

Yang terlalu berani menentang risiko

 

Ada yang hanya bisa diam

Ada yang terus bergerak

 

Ada aku, kamu, kita, dan mereka

Melangkah ragu

Antara cemas dan harapan

Wakasek kurikulum sudah menutup acara  rapat  Aini pun menutup aplikasi note  setelah menyimpan catatan yang baru ditulisnya lalu memasukkan gawai ke kantong beresleting di bagian luar tas ransel besarnya.

@@@

Pembagian rapot kenaikan kelas baru saja dilakukan. Walau protokoler jaga jarak telah disosialisasikan, pada kenyataannya tak bisa dilaksanakan. Anak-anak yang terlalu lama menyimpan rindu di antara mereka, tak dapat menahan diri untuk saling memeluk. Para guru terus saja mengingatkan. Daerah hijau, status ini yang membuat kecemasan agak berkurang.

 

Aini telah selesai membagikan raport di kelas 8 B saat hendak beranjak meninggalkan kelas, beberapa anak menghampiri,

"Bu, foto bersama dulu." Aini tak segera menjawab, itu artinya harus saling berdekatan dan mengabaikan protokol jaga jarak, pikirnya.

"Kan harus jaga jarak," Aini mencoba menolak.

"Bu, please! Ini hari terakhir kita berkumpul. Setelah ini gak akan ada kesempatan foto bareng,"  bujukan dari wajah-wajah penuh harap ini menggoyahkan hati Aini. Ya, kapan lagi?

"Oke, tapi sebentar saja. Setelah itu kalian segera pulang." wajah-wajah yang tadi harap-harap cemas kini tampak gembira. Siswa kelas 8B mendadak menjadi sangat mudah diatur. Mereka berjajar menghadap kamera dengan gayanya masing-masing.

----

Aini tengah menikmati hari libur pertama. Tak ada lagi kegiatan belajar daring. Kegiatan belajar semester genap telah usai. Para siswa telah pula menerima hasil belajar. Pandangnya tertumbuk pada tas ransel besar yang masih tersandar di kaki meja kecil yang ada di kamar. Aini teringat ada beberapa buku siswa yang ada dalam tas. Aini ingin melanjutkan memeriksa buku tugas siswa, walaupun sudah tak mempengaruhi nilai hasil belajar  karena rapot sudah dibagikan, Aini tetap ingin melakukannya.

 

Ada lima buku yang dikeluarkannya dari dalam tas. Tapi salah satu buku  terlalu kecil sebagai buku tugas, buku siapa ini? Aini membolak balik halaman buku yang ada di tangannya. Bukan, ini bukan buku tugas siswa. Ini buku diari. Punya siapa? Masih diliputi rasa ingin tahu, kembali diperiksanya halaman demi halaman untuk  mencari identitas si pemilik. Aini terkejut, ada namanya di buku itu. Segera ditutupnya halaman buku itu, hatinya bergejolak antara rasa ingin tahu dan rasa bersalah karena membuka catatan harian orang lain.

Sudah hampir sepuluh menit, Aini masih saja ragu-ragu. Buku diari masih ada di tangannya. Terbayang lagi apa yang baru saja dia lihat, namanya.

Ada pertarungan hebat di hati Aini, rasa penasaran dan merasa tidak berhak mengetahui isi tulisan itu, dia sadar bahwa diari adalah sesuatu yang sangat pribadi, tempat seseorang bisa menulis secara jujur tentang rasa. Marah, benci, bahagia, dan ekspresi jiwa lainnya.

Jika aku tidak membaca,   selamanya aku tidak tahu  orang lain bicara apa tentangku. Jika hal baik sih tidak masalah, kalau hal buruk? Aku akan kehilangan kesempatan memperbaiki diri.

"Bismillah..." Dia buka lagi halaman buku itu, mencari tulisan yang tadi sempat dilihatnya.

"Aku kira Bu Aini itu guru hebat, nyatanya sama saja dengan guru lain. Pilih kasih. Apa kurangnya aku dari Septi, dari Rizka, nilai-nilaiku juga bagus seperti mereka, aku juga masuk 10 besar. Tapi Bu Aini tak pernah peduli. Dia pilih kasih.

Satu persatu kata yang terangkai itu dibaca Aini dengan rasa yang campur aduk. Ada rasa tersinggung, sedih, marah, dan entah apa lagi. Aini merasa sedang di hukum tanpa persidangan. Dia jadi ingin tahu, siapa yang menulis?

Dibolak-baliknya lagi halaman buku itu untuk menemukan identitas pemiliknya.  Risan, selalu ini yang muncil di akhir setiap tulisan. Tapi, tak ada nama Risan yang tertera di daftar absen.

Nyaris putus asa, itu yang dirasakan Aini. Sedari tadi mencari, tapi tak juga dia tahu siapa pemilik buku diari itu.

Risan, siapa dia? Dia pasti siswaku karena menulis  namaku dengan sebutan Ibu Aini. Aini melihat lagi ke buku absen, berharap ada nama yang mirip atau mengarah. Tak juga ada. Kini matanya tertuju ke 4 buku latihan siswa yang barus saja dikoreksinya. Aini teringat pada catatan tugas yang telah dikoreksinya saat menjelang rapat. Ada lima nama yang tersisa saat Wakasek Humas mengajak para guru untuk memulai rapat.

Aini segera memeriksa nama nama yang tertera di halaman depan buku dan melanjutkan catatan kemarin dengan menambahkan nama serta nilai keempatnya.

 

AURIA SINTIA, nama ini yang belum ada dalam daftar catatannya. RIS? RIAS? ARIS? Aini memutar-mutar urutan huruf nama Aria,  Mengapa RISAN? Keningnya berkerut, tapi ada senyum kecil di sudut bibir Aini ketika mengetahui Auria mengidolakan artis korea yang memiliki nama depan San. Satu langkah permulaan telah dilalui, Aini kini tahu anak yang menyebutnya guru pilih kasih.

Aini tak pernah menduga, Auria punya pendapat begitu. Selama ini Aini selalu bersikap adil, memberi perhatian pada semua siswa. Kalau ada siswa yang mendapat perhatian lebih, itu karena mereka memang membutuhkan. Doni, Septi, atau beberapa anak lainnya, mereka dalam masalah dan butuh perhatian khusus.

Auria, anak cerdas. Dia rajin dan berprestasi. Tak ada tanda-tanda dia menyimpan masalah. Ada apa dengannya?

"Padahal capek, tapi kalau tidak, Mama pasti makin cuek. Dapet nilai bagus aja Mama cuman bilang, baguslah."

"Lagi-lagi Mama bikin aku malu di depan temannya. Mama selalu bangga-banggain Kak Riri dan nganggap aku gak ada."

"Pa, kenapa sih perginya lama? Mama cuman sayang sama Kak Riri."

dan masih banyak catatan lain yang membuat Aini mengerti, mengapa Auria berprilaku seperti itu. Aiuria merasa diperlakukan berbeda.  Bahkan usaha untuk menarik perhatian mamanya, seolah tak ada arti. Mungkin ini yang membuat dia selalu mencurigai orang lain, termasuk mencurigaiku. Batin Aini.

Auria, ada satu tugasmu yang belum kamu kumpulkan, pesan Aini lewat watsapp. Bisa kamu kirimkan ke ibu? Pesan Aini berikutnya. Pesan yang terkirim itu belum mendapat jawaban hingga sore hari.

Auria justru muncul di rumah Aini untuk menyerahkan buku tugasnya.

"Kita makan seblak dulu, yuk" ajak Aini sambil merengkuh bahu remaja hitam manis itu ke samping rumah, ke warung Bi Ida. Auria tak bisa menolak karena rengkuhan itu cukup kuat dan membuat dia melangkah mengikuti.

"Saya tidak bawa uang," bisiknya dekat telinga Aini.

"Ibu yang traktir."

Kini mereka sudah duduk berdampingan menghadap meja panjang yang menempel ke dinding. Dua mangkuk seblak juga sudah terhidang.

Aini mengajak Auria mengobrol hal-hal yang disukainya, sesekali terdengar derai tawa mereka yang membuat beberapa pengunjung melirik. Keduanya menjadi sangat akrab.

Dua mangkuk seblak sudah kosong. Wajah mereka pun telah memerah karena pedas level 5 yang tadi mereka pesan.

Aini hendak beranjak menghampiri Bi Ida untuk membayar, saat itu dia mendengar suara Auria

"Bu!"

"Ya?"

"E..., saya kan sudah..."

"Mengumpulkan buku tugas?" Air muka Auria berubah pucat.

Kok kaget? Buku tugas yang ini kan?" Aini menunjuk  buku yang tergeletak di meja, buku tugas  yang tadi baru saja diserahkan oleh Auria.

"Eh, Iya...tapi...bukan yang itu, bukan! ...yang dulu."

"Oh, yang itu? Ada." Aini menjawab  santai sambil menyeruput minumannya.

Auria semakin panik. Dia menatap Aini dengan tatapan menghiba.

"Ibu membacanya?" Aini menjawab dengan anggukan kecil dan sebuah senyum.

"Maaf, ya. Ibu terpaksa membaca karena mencari tahu siapa pemilik buku itu," jelasnya. Suasana hening sejenak. Aini asik mengaduk-aduk batu es dalam gelas. Auria memilin-milin ujung tali tas kecil yang dibawanya.

"Bu, maaf." Suara Auria nyaris tak terdengar.

"Hei, kamu kenapa? Minta maaf untuk apa? Fungsi buku diari itu memang untuk curhat, kamu boleh menulis apa saja yang tengah kamu rasakan atau pikirkan. Yang penting, jangan mengumbar kata-kata kasar. Itu bisa membuat jiwamu juga jadi jasar."

"Tapi, saya menulis tentang Ibu," masih dengan suara perlahan, menahan tangis.

Aini menatap Auira dengan senyum menenangkan.

"Ibu gak marah. Ibu hanya ingin kamu tahu," ucapan Aini membuat Auria menghentikan keasikannya memilin-milin ujung tali tasnya.

"Ibu tidak pernah berniat membeda-bedakan kalian, Ibu sayang kalian. Mengapa perlakuan Ibu berbeda? Kebutuhan kalian juga berbeda. Yang Ibu tahu  kamu anak hebat, kuat, dan selalu ceria. Kamu mampu mengatasi masalah-masalahmu dengan cara yang baik. Kamu tidak membutuhkan bantuan. Berbeda dengan beberapa temanmu yang lain. Mereka butuh bantuan. Ibu melakukan itu untuk mereka." Auria mendengarkan dengan seksama.

"Tapi, Bu...Mama..."

"Insya Allah, mamamu juga bangga sama kamu. Terkadang orang tua tidak mau menunjukkan rasa bangganya. Mereka tidak ingin anaknya jadi sombong atau menjadi manja."

Kata-kata Aini rupanya berhasil menenangkan remaja 15 tahun ini. Senyum kecil kembali terlihat di wajahnya.

"Bu, boleh saya kapan-kapan main lagi ke sini?"

"Tentu, Ibu senang kalau ada yang mau main ke sini. Ibu punya banyak buku yang bisa kalian baca."

"Terima kasih,Bu." Aini melingkarkan lengannya  ke tubuh Auria. Ada kabut tipis tiba-tiba menutupi mata Auria. Dia berusaha menahannya agar tak berubah menjadi tetesan air.

"Lain kali hati-hati menjaga buku diarimu."

Pesan Aini saat mengantar Auria ke depan pintu pagar.

 

 #diari #buku #smp 


Teks Laporan Percobaan

Pengantar

Laporan percobaan merupakan laporan yan dibuat untuk melaporkan hasil kegiatan percobaan kepada  orang lain yang berkepentingan atau kepada masyarakat umum.

Teks laporan percobaan berisi paparan tentang tujuan, proses,dan hasil percobaan. Melalui teks laporan percobaan dapat diketahui  rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam kegiatan percobaan serta hasil      atau kesimpulan yang diperoleh.

 

Struktur Isi  Teks Laporan Percobaan

Struktur teks laporan percobaan terdiri atas:

·         judul
·         tujuan
·         alat dan bahan
·         langkah-langkah kegiatan
·         hasil percobaan
·         kesimpulan
 


Ciri-Ciri Teks Laporan Percoba

Teks laporan percobaan memiliki ciri:

  • ·       sesuai fakta yang ditemukan
  • ·         bersifat objektif
  • ·         tidak memasukkan unsur opini atau memihak
  • ·         logis



Kaidah Kebahasaan Teks Laporan Percobaan

Kaidah kebahasaan yang terdapat pada teks laporan percobaan, yaitu

  1. ·         Mengandung kata berantonim dan bersinonim

Contoh kata bersinonim : meninggal dan wafat/ pergi dan berangkat

             Kata berantonim: pergi>< pulang

                                           Berhasil>< gagal

  1. ·         Mengandung kata bilangan

Contoh: Dua ekor ikan berenang di aquarium

·         Masukkan 1 sendok garam ke dalam air

  1. ·         Menggunakan kalimat perintah

Contoh : Tuangkan satu sendok gula      

Rendamlah terlebih dahulub dengan air cuka

  1. ·         Menggunakan kata hubung

Contoh: Setelah berubah warna, angkat dan tiriskan

              Aduk-aduk dengan sendok kemudian saring

 

Langkah-langkah Menulis Teks Laporan Percobaan

Berikut langkah-langkah dalam menyusun teks laporan percobaan.

Lakukan sebuah percobaan kemudian buat catatan mengenai hal-hal berikut:

  1. Judul laporan

  2. Tujuan percobaan

  3. Alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan

  4. langkah percobaan dari awal hingga akhir 

  5. Hasil berupa gejala yang ditemukan dalam  percobaan   dapat dicatat dalam bentuk tabel.

   6. Menulis kesimpulan

 

Gunakan catatan-catatan itu  untuk mengembangkan kerangka teks laporan percobaan sesuai dengan struktur isi.

 

Contoh laporan percobaan         

Tujuan

Tahukah kamu ada pulpen yang tintanya tak terlihat? Kamu bisa menggunakannya untuk menulis pesan rahasia dalam sebuah permainan. 

Berikut, kalian akan melakukan percobaan untuk membuktikan  bahwa asam dapat mengalami oksidasi sehingga warnanya berubah menjai coklat.

 

Alat dan Bahan

  • Lemon
  • Air
  • Sendok
  • Mangkuk
  • Cotton bud (pembersih telinga bayi)
  • Kertas putih
  • Lampu bohlam

 

Langkah-Langkah 

1. Peras  jeruk lemon, dan masukkan airnya ke dalam mangkuk, tambahkan beberapa tetes air. Aduk       menggunakan sendok hingga merata.

2. Celupkan cotton bud ke dalam air jeruk, kemudian tulis pesan di atas kertas putih menggunakan cairan yang menempel pada cotton bud.

3. Keringkan kertas, hingga tulisan tak terlihat!

4. Panaskan kertas putih tadi dengan mendekatkannya pada lampu bohlam yang menyala.

 

Hasil

Tulisan di kertas putih terlihat berwarna coklat setelah di panaskan.


Kesimpulan

jeruk yang mengandung asam dapat teroksidasi (bereaksi dengan oksigen) ketika dipanaskan dan berubah menjadi carbon yang berwarna kecoklatan.

Demikian materi ringkas tentang teks laporan hasil percobaan semoga bisa membantu siswa memahami materi ini.

 

 Salam Literasi

 #struktur #teks #laporan #belajar #daring


Jumat, 24 Juli 2020

Hati yang Mendua #9


      
Ami menghentikan laju motornya di depan rumah Aini kemudian menarik mundur memasuki pintu pagar. Dia meninggalkan motornya tepat di balik pagar, menghadap ke jalan, tampaknya dia tak berniat berlama-lama di rumah Aini.
Dari dalam rumah, lewat jendela bertirai putih, Aini memperhatikan gerak gerik Ami. Ada rasa tak nyaman ketika menyadari Ami tak menyimpan motornya di tempat biasa di dekat pohon palem merah yang tak jauh dari teras. Ami masih marah, batinnya.

Ami hendak mengetuk pintu, tapi Aini sudah muncul.
"Assalamualaikum," Aini lebih dahulu menyapa. Ami menjawab salam seraya langsung duduk di kursi teras.
Ketika Aini pamit ke dalam untuk membuatkan minum, Ami mencegahnya.
"Gak usah, aku gak lama," suara Ami kaku dan dingin.
Dada Aini tiba-tiba sesak. Ini pertama kali dia menghadapi sikap Ami yang seperti ini. Aini bergemin, mematung di tempatnya berdiri. Dia tak berani membayangkan apa yang sesaat lagi akan terjadi.

"Ay, kenapa berdiri aja, kamu gak suka aku di sini? Oke aku pulang,"
Kata-kata Ami membuat Aini tak nyaman, dia segera duduk, dadanya sesak, susah payah dia menahan embun di matanya agar jangan berubah menjadi butiran dan menetes.
"Bukan, bukan begitu... Aku cuman..."
"Cuman apa?" Ami memotong dengan cepat. Aini semakin terpojok, dia tak mampu bicara.
"Begini ya, Ay... aku ini gak ada bedanya dengan laki-laki yang lain. Aku bisa tersinggung, kecewa, atau marah. Sekarang aku ngerasa kamu gak jujur. Aku enggak suka itu." Ami menahan bicaranya. Mengatur nafas agar bisa lebih mengontrol emosi.
"Aku bener-bener gak ngerti, Ay." Suara Ami meninggi, walau dia tetap berusaha agar tak sampai berteriak. Aini mengangkat wajah yang sedari tadi hanya menghadap ke lantai. Dia tak yakin itu suara Amin.
"Aku minta maaf,"
"Maaf untuk apa, Ay? Aku enggak ngerti! Aku enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang aku mau, kamu jujur! Jadi aku tahu harus bagaimana."
Aini tetap bungkam, tapi embun di matanya sudah berubah menjadi butiran yang bergulir di atas pipi cabinya.

Isakan Aini tak mempengaruhi Ami. Dia memandang lurus ke arah jalan raya, tak berusaha membujuk Aini. Air mukanya tetap dingin.

Cuaca sore yang memang panas karena tak jadi hujan, rasanya semakin membakar.
"Sudah siap untuk jujur?" Ami menoleh ke arah Aini.
Lagi-lagi Aini tak menjawab. Mana mungkin aku jujur soal ini, soal hatiku yang ambigu.
"Kalau sekarang kamu belum mau menjelaskan, besok aku kembali. Maaf aku menyusahkanmu, tapi aku tak suka kamu seperti ini." Ami tak menunggu jawaban Aini, dia sudah berdiri dan melangkah menuju motornya yang terparkir di depan pagar. Aini hanya memandang punggungnya tanpa berdaya untuk mencegah.

Ani berlari ke kamar, menghempaskan diri di atas tempat tidur. Tubuhnya menelungkup dengan dua tangan terlipat menyangga kepala. Bahunya naik turun. Sedari tadi dadanya sakit, kini dilepaskannya semua rasa tertekan itu dengan tangisan.

Tuhan mengapa aku harus terperangkap dalam keadaan ini? Sedari dulu aku menyukainya, mengapa dia datang di saat aku telah menerima Ami di hatiku. Aku tak mungkin meninggalkan Ami begitu saja. Dia terlalu baik dan tak pantas disakiti. Pikiran Aini melompat-lompat di antara Ridho dan Ami.

Menjelang Asar, Aini baru keluar dari kamar, matanya sembab, padahal sebelumnya dia sudah gunakan pelembab dan pewarna mata warna agak gelap untuk menutupi agar Ibu tak melihat dan bertanya. Aini terlalu sadar bahwa yang dilakukannya bukan hal benar. Dia tak akan sanggup menceritakan semuanya pada Ibu. Membayangkan reaksi Ibu saja, Aini tak berani.
Mendua hati, bukan keinginanya. Tapi rasa itu datang tiba-tiba. Aini hanya ingin mewujudkan mimpi, tetapi mimpi itu datang tak tepat waktu.
Bersambung







Yang Tak Pernah Hilang #4


Kedatangan suratnya yang mengabarkan akan pulang, menggerakkanku segera berkemas. Besok aku akan ikut berlayar, pulang. Malam terasa sangat panjang, aku seperti bocah kecil yang dijanjikan mainan baru ketika bangun pagi besok, gelisah, tak bisa tidur. Enam bulan bukan waktu sebentar untuk merindukannya. Sekarang saatnya untuk bertemu.

Pukul 10.00 Kapal Badak meninggalkan dermaga.Perjalanan empat jam setengah segera dimulai. Sebentar lagi kami akan melintasi pulau-pulau kecil yang menawarkan keindahannya. Pulau Handeuleum sudah mulai terlihat. Pulau yang hampir seluruh permukaannya ditutupi pohon bakau/mangrove sungguh pemandangan yang mempesona. Dominasi warna hijau di tengah birunya laut. Di sisi luar pulau,  pasir putih tampak berkilau.

Lagi-lagi anganku melayang padanya. Seandainya dia kini berada di sini, bersama menikmati semua keindahan alam ini. Aku membayangkannya duduk di bagian depan kapal, dia mencoba menyentuh buih di permukaan air laut. 
"Hati-hati. Awas jatuh!" kata-kata itu terlontar begitu saja.
"Ada apa?" suara ABK yang duduk di sampingku membuatku kaget. Dia mengikuti arah pandanganku kemudian kembali melihat ke arahku.
"Jangan melamun. Ini di tengah laut!" ucapnya kemudian. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
@@@@
Pertemuan yang telah kutunggu sekian lama, ternyata tak segera bisa terwujud, masih harus mencari saat yang tepat. Kami berada di kota yang sama, tapi belum juga bisa bertemu, sungguh sesuatu yang rasanya bodoh. Terkadang aku ingin nekad mendatangi rumahnya, berkata jujur pada keluarganya bahwa kami saling mencintai, tapi dia selalu melarangku melakukan itu. Aku tak bisa memaksa, dia tentu punya alasan dengan semua sikapnya.

Hari ketiga, akhirnya dia muncul. Aku tak lagi melihat dia sebagai bocah, yang entah kenapa aku mencintainya, kini dia tampak lebih dewasa.
"Apa kabar?" sapanya, menurutku dia terlalu formal dengan pertanyaannya.
"Alhamdulillah, yang pasti sih kabarku, sedang rindu." Dia tertawa kecil sambil mengalihkan pandang, menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"Kamu juga rindu, kan?" lanjutku menggodanya. Kali ini dia tak menjawab. Dia mendekat dan duduk di sampingku.

Bersama dengannya waktu seolah bergerak terlalu cepat. Berbagi cerita tentang hari-hari di tempat yang baru dan sesekali saling mengajuk hati menjadi terlalu indah untuk diungkapkan. 

Seharusnya Eka sudah pulang satu jam yang lalu, tapi hujan deras menahannya. Dia masih di sini bersamaku. Dia gelisah, mungkin lebih tepatnya, dia takut.
"Aku pulang sekarang saja," tiba-tiba dia berdiri dan hendak beranjak, aku menahannya. Di luar hujan sangat deras, Aku tak bisa membiarkannya bermandi hujan.
"Aku takut. Sudah jam sepuluh lewat," suaranya mulai gemetar. Di luar hujan belum juga mereda. Tapi, wajahnya yang pucat dan kepanikan yang terlihat pada sikapnya, membuatku berubah pikiran. Akhirnya kami nekad berjalan di tengah hujan hanya dengan sebuah payung.

Sepanjang jalan, Eka bungkam. Aku tahu dia tentu sangat cemas bagaimana menghadapi keluarganya nanti. 
"Aku antar sampai rumah, ya? Kita hadapi bersama kemarahan orang tuamu," Aku merasa bersalah dan kurasa aku harus bertanggung jawab. Dia tak harus menghadapinya sendiri.
"Gak usah, tidak akan menjadi lebih baik. Mungkin malah akan membuat mereka semakin marah." jawabnya dengan cepat.
Aku tak tahu lagi bagaimana melindunginya. Seratus meter menjelang sampai ke rumahnya, Eka mempercepat langkah dan meninggalkanku, hujan deras mengguyur tubuhnya, Aku tak berusaha mengejar karena  itu yang dia inginkan. Di tempatku berdiri, aku hanya bisa membayangkan, apa yang tengah dihadapinya sekarang.
@@@
Cerita dari Eka

Satu semester hanya terhubung lewat beberapa helai surat, sungguh tak menyenangkan. Hari ini aku pulang. Sejak mengetahui jadwal libur semester,  aku sudah mengabari Rio. Mudah-mudahan saja surat itu sampai sebelum liburan habis. 
Aku tak tahu pasti, dia akan pulang atau tidak. sungguh dalam ketakpastian itu sangat tak menyenangkan.

"Kapal baru berangkat ke pulau kemarin  siang, sore ini kalau tidak ada halangan, datang," kabar ini aku terima dari salah seorang teman kerjanya.
"Rio ikut pulang?" aku tak menahan diri untuk menanyakan, sayangnya aku tak mendapat jawaban pasti. Menunggu sore saja, rasanya sangat lama, walau akhirnya yang kuterima adalah kabar yang aku inginkan.

Pagi-pagi aku sudah bersiap untuk menemuinya, tapi entah mengapa, ada saja penghalang untuk itu. Bahkan kunci vespa yang biasa kukendarai, entah dimana letaknya. 

Liburku hanya tinggal tiga hari lagi, kami belum juga bertemu.
Sore ini, akhirnya dewa penolongku datang.
"Mau kemana?" Ibu langsung bertanya saat melihatku berganti pakaian.
"Mau rapat. Persiapan halal bihalal, " jawabku sekenanya sambil memberi kode kepada temanku, dewa penolongku untuk mengiyakan. Nyaris wajah polosnya membongkar kebohonganku, untungnya luput dari perhatian Ibu.

Kami naik beca yang sama ke arah gedung pertemuan, tempat rapat-rapat kegiatan remaja dilakukan, tapi 200 meter dari rumah, kami berpisah. Aku pindah ke beca lain dan ke arah yang lain. Saatnya membayar semua waktu yang lewat dengan rasa rindu.
"Apa kabar?" Mengapa pertanyaan konyol ini yang terucap. Aku merutuki diri.  ternyata rindu yang terlalu lama bisa membuat orang kehilangan kosa kata, sementara dia hanya menatapku karena pertanyaan aneh itu. Aku semakin gugup.

Bersamanya, bagiku waktu  seperti roket yang meluncur sangat cepat. Tak kusadari  ternyata sudah pukul 10 malam.   Aku mulai panik, entah apa yang akan aku hadapi sampai di rumah nanti. Rio kranya menyadari kepanikanku, dia  bersiap mengantarku pulang, tapi tiba-tiba hujan turun sangat deras. Tapi, aku tak peduli, aku tetap harus pulang. 

Ketakutanku memaksa kami berjalan menembus hujan, Hanya sebuah payung hitam yang melindungi tubuh. Dingin menyergap tak kuhiraukan, seharusnya ini menjadi momen indah, nyatanya pikiranku terus saja dibayangi kemarahan Ayah yang akan kuhadapi di rumah nanti.

Sebelum sampai, aku meminta Rio pulang. Aku tak mau dia mengantarku sampai ke rumah. Aku tahu sebesar apa kemarahan yang akan aku terima, Rio tak perlu tahu. Aku juga tak mau semuanya semakin rumit. 

Di depan pintu kakiku gemetar. perlahan kudorong daun pintu, tak terkunci. Aku melangkah masuk dengan jantung berdebar kencang.Tuhan tolong aku. yang kemudian kuhadapi tepat seperti dugaanku.  Aku menghadapinya dengan diam tanpa berusaha membela diri. 
@@@

Penulis

Rindu Eka dan Rio, adalah rindu berbalut luka
Rindu terlarang yang nyatanya tak pernah hilang
Yang menjadi merah dalam darah
Yang mengalir bersama hirupan nafas
Mewujud puisi bertinta air mata
Haruskah mengalah? atau memang ditakdirkan kalah?









Rabu, 22 Juli 2020

Hati yang Mendua #8



Honda Brio berwarna silver melaju menuju ibu kota kabupaten. Ridho menyetir dengan tenang. Disampingnya Fitri terus bercerita tentang hal-hal menakjubkan yang dialaminya selama hamil, Aini duduk di jok belakang serius menyimak. Ridho dan Aini sesekali beradu tatap lewat kaca spion. Dada Aini selalu berdesir setiap itu terjadi. 
“Kamu mau belanja di mana?” Ridho mengurangi kecepatan.
“Enaknya ke mana ya, Ay?” Fitri malah melempar pertanyaan ke arah Aini. 
“Aku malah gak ngerti. Mana aku tahu tempat belanja perlengkapan bayi, kan belum pengalaman.”
“Kita ke Mall aja, pasti di situ lengkap,” tanpa menunggu persetujuan, Ridho  kembali menginjak pedal gas dan membelokkan setir ke jalan RE. Martadinata kemudian masuk ke halaman parkir sebuah Mall. 

Fitri sibuk memilih berbagai perlengkapan bayi, Aini dan Ridho sesekali dimintainya pendapat. Mereka berdua malah lebih sering saling pandang karena tak mengerti. 
“Seharusnya kamu ajak Mamamu juga, kita bertiga kan sama-sama enggak ngerti harus nyiapin apa aja,” ujar Aini di sela tawanya. 
“Makanya, Ay, kamu cepet nikah. Nanti kita belanja bareng, terus kita beli baju baju yang sama,” 
“Memangnya kalau aku nikah, terus kita pasti hamil bareng, ngaco aja kamu.”
“Eh, katanya kamu pacaran sama guru juga, ya?” pertanyaan Fitri membuat wajah  Aini memucat. Dia harus jawab apa? Bilang iya, lalu Ridho berlalu atau berbohong bilang tak punya pacar?” 
“ Bener itu, Ay?” Ridho malah ikut bertanya. Aini semakin bungkam. 
“Fit, kamu gak beli kereta bayi, tuh ada di pojok sana, bagus-bagus warnanya,” 
Aini mengalihkan topik pembicaan dia menarik lengan fitri ke salah satu pojok, Ridho mengikuti mereka.

“Ay, Kok pertanyaan tadi gak dijawab? Kamu memang sedang menjalin hubungan dengan seseorang?” 
Dalam kendaraan, Ridho kembali menanyakan hal itu dan Aini belum punya kalimat yang tepat untuk menjawab. Tiba-tiba saja sikap Ridho menjadi kaku, dia asik sendiri bersenandung mengikuti lagu-lagu dari sebuah stasiun radio. Aini merasa tak enak hati. Perjalanan pulang menjadi tak menyenangkan.
 @@@

Sudah hampir dua minggu Ami tak menemui Aini. Ada banyak pertanyaan yang mengganggu, sekaligus membuatnya kecewa.
Ami merasa sikap Aini  berubah. Aini tak bahagia saat bersamanya dan Ami yakin ada sesuatul yang terjadi. Ami kecewa Aini tak lagi jujur padanya. 

Dia bukan seperti Aini yang selama ini kukenal, batinnya. Aku harus mendapat jawabannya hari ini. Dia harus menjelaskannya atau semua harus berakhir. 

Sebuah keputusan telah dibuat. Ami bukan tipe orang yang mau menunggu untuk sebuah kepastian. Segera diraihnya kunci motor yang tergeletak di atas meja televisi. Setelah berpamitan, Ami melaju kencang menuju rumah Aini.



Selasa, 21 Juli 2020

Penulisan Kata Depan dan Awalan ke dan di


Partikel di dan ke memiliki dua fungsi dalam sebuah teks, bisa berkedudukan sebagai kata depan dapat pula berperan sebagai awalan.
Penulisan kedua partikel tersebut dibedakan berdasarkan fungsinya. Sebagai kata depan dipisah dari kata yang diikuti sedangkan sebagai awalan digabung dengan kata dasarnya.
Perhatikan contoh berikut:
Penuliaan di dan ke sebagai kata depan
1. Sejak setahun yang lalu kami pindah ke kota ini.
2. Letakkan buku ini di atas meja!
3. Kucing itu bersembunyi di dalam lemari.
Perhatikan penulisan kata di dan ke yang dicetak tebal. Penulisannya terpisah dari kata yang diikuti. Perhatikan pula jenis kata yang diikutinya, yaitu kata yang menunjukkan tempat, lokasi, atau posisi.
Ke atas
Ke bawah
Ke hutan
Ke warung
Di langit
Di bumi
Di Indonesia
Di keheningan malam
Di sini
Di sana
dst
Selanjutnya, perhatikan penggunaan ke dan di sebagai awalan.
Selain berfungsi sebagai kata depan, ke dan di juga berfungsi sebagai awalan.
Awalan di berfungsi membentuk kalimat pasif.
Contoh:
Kalimat aktif
Mereka membangun jembatan gantung.
Bila diubah menjadi kalimat pasif akan menjadi:
Jembatan gantung dibangun oleh mereka. Fungsi di pada kalimat di atas mengubah kalimat aktif menjadi kalimat pasif. Objek yang semula di akhir kalimat (jembatan) menjadi awal kalimat. Penulisan di pada kasus ini digabungkan dengan kata dasarnya (bangun menjadi dibangun).

Awalan ke berfungsi sebagai pembentuk kata benda.
Contoh:
Jujur menjadi kejujuran
Sepi menjadi kesepian
Tidur menjadi ketiduran
Lalai menjadi kelalaian
Ribut menjadi keributan

Penulisan di dan ke pada dua peran di atas harus digabung dengan kata dasar.
Contoh dalam kalimat:
Sejak ibunya meninggal, dia kesepian.
Buku pelajaran diperlukan sebagai sumber belajar.
Tikus itu dikejar oleh kucing.

Demikian uraian ringkas tentang fungsi ke dan di dalam kalimat serta penulisannya. Semoga bermanfaat.





Yang Tak Pernah Hilang #3


 
Cerita dari Rio 3

Malam kembali memelukku dalam dingin belantara hutan lindung Taman Nasional Ujung Kulon, tepatnya di Pulau Peucang.  Serangga malam mulai  memperdengarkan suranya. Satwa liar yang menginjak daun daun kering di halaman tempat kami beristirahat, juga tak lagi membuatku cemas. Aku mulai terbiasa dengan semuanya. 
Rasa lelah membuatku ingin segera berbaring dan lelap. Tapi, entah mengapa, malam ini ternyata ada yang tak biasa, aku  mendengar suara  aneh yang menakutkan,  seperti suara teriakan-teriakan di tengah pesta orang pedalaman.  Suara yang membuatku membayangkan  gerombolan makhluk halus, mungkin sejenis jombi tengah berpesta di tengah hutan.  Kutarik selimut dan membalut seluruh tubuh agar suara-suara aneh tak lagi terdengar, tapi bukan hilang malah  semakin terasa dekat.
Bulu kudukku  meremang. Aku menutup telinga dengan kedua tangan, masih saja terdengar. Entah sudah berapa banyak doa yang aku rapalkan untuk mengusir rasa takut, tapi suara suara aneh itu tak juga hilang. Di puncak rasa takut, kusingkirkan selimut, bangkit, dan melangkah ke luar kamar. Berbekal lampu senter kecil aku melihat ke luar jendela kaca dengan menyibakkan tirai yang menghalangi pandangan. 
Berpasang mata bergerak kian kemari, cahaya lampu senter yang kecil  membuatku tak dapat mengenali dengan  jelas bagian lainnya. Tanganku gemetar. Senter yang ada di tangan nyaris terjatuh ketika sepasang mata terlihat mendekat, semakin dekat. Jantungku berdegup semakin keras membayangkan pemilik mata itu melompat ke arahku. Aku bergidik.
"Ada apa?" Suara Topan yang tiba-tiba sudah ada di belakangku, membuatku hampir terlonjak.
"Eh, itu, Ada suara-suara aneh di luar!"
"Suara apa?"
"Entahlah, hanya matanya yang kelihatan,"
Topan menjenguk ke luar jendela, setelah itu yang terdengar hanya suara tertawanya.
Aku malah jadi bingung.
"Itu sekawanan rusa, suaranya memang begitu," penjelasan Topan membuat aku malah ikut tertawa.
@@@@

Cerita dari Eka #3

Sebagai anak yang berasal dari kota kecil, aku perlu berjuang lebih keras agar tak terlihat culun dan norak. Tapi, karena sebelumnya selalu menjadi siswa yang sangat dekat dengan guru, mendapat perhatian lebih, dan  merasa diistimewakan membuatku jadi tertekan. Di sini aku merasa sendiri. Tak ada yang mengenalku, tak ada yang tahu semua jejakku, apalagi prestasiku. Aku tak suka suasana ini. 
Satu semester  aku jalani masih dengan perasaan gamang.  Semua belum normal dalam pikiranku. Sebagai anak berseragam putih abu, seharusnya ini adalah  masa terindah. Kenyataannya, hidupku menyimpan duka dan kecewa.
Hari inilah kejatuhan terparahku.  Aku tak percaya pada pandanganku. Nilai yang tercantum di raporku sungguh memalukan. Aku seolah melihat masa depan yang aku angankan menguap. 
Mana mungkin, aku yang dulu pernah menjadi juara umum, kini mendapati nilai 5,5 pada pelajaran yang menentukan jurusan yang juga akan menentukan arah masa depanku. Aku terlempar ke jurusan yang tak sesuai dengan cita-citaku.  
"Mana rapornya? Coba lihat!" Kaka menyambut kepulanganku, "Sesuai target?" lanjutnya lagi. Tanpa satu pun kujawab. Aku menyerahkan rapor dan segera berlalu . Tak menunggu lama Kaka sudah  menyusul ke kamar.
"Kenapa bisa begini? Kamu pasti tidak fokus sekolah. Kalau Ayah tahu, dia pasti kecewa," dan serentetan nasihat harus aku dengarkan tanpa berusaha membela diri. 
Selanjutnya, Kaka meninggalkanku dan pergi entah kemana.  Tak lebih dari satu jam, Kaka sudah kembali lagi. 
"Kamu bisa pindah jurusan, semester depan sekolah pagi sore. Di kelas sore hanya belajar mata pelajaran jurusan. Ulangan umum semester depan ikut di dua jurusan, kalau nilai kamu bagus, baru bisa pindah di kelas dua nanti," Aku yang mendengar penjelasan Kaka hanya bisa mengiyakan. Setidaknya aku masih punya kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mampu. 
Yang kemudian aku kerjakan adalah berkemas, saatnya pulang, saatnya bertemu Rio.  Tiba-tiba segala beban sirna tak bersisa.
@@@

Penulis 

Dua anak manusia yang punya cinta, tapi tak mampu melawan kenyataan.  Membiarkan rindu bersemayam dalam hati, menanti saat bisa bertemu dan ungkapkan segala  rasa.
Eka hanya memperhatikan saja tingkah beberapa teman sekelasnya yang tengah bergurau, kebanyakan mereka memang telah saling mengenal. Ada yang pernah satu sekolah di SD, ada juga teman SMP. Anak-anak dari luar kota, seperti dirinya, umumnya masih terlihat canggung dan berhati-hati. 
Sesekali ada yang menghampiri dan bertanya  beberapa hal tentang dirinya. Eka menjawab sekadarnya saja. Dia tak tampak berusaha segera berakrab-akrab dengan mereka. Eka tak mau terdengar aneh. Intonansi Bahasa Sunda yang dikuasainya berbeda dengan Bahasa Sunda mereka. 
Terbiasa dianggap penting, remaja ini seolah kehilangan pijakan. Di sini dia merasa tak diperdulikan. Semua asing. Bahkan saat dia tahu di sekolahnya yang baru tak ada pelajaran seni musik,dia semakin kecewa.
Gitar, sahabatnya sejak SMP, walau tak mahir memainkan, Eka merasa bisa mengungkapkan segala isi hati melalui denting bunyi dawainya. Mengalunkan lagu-lagu balada bertema rindu, menjadi penghiburan. Hanya ini yang dilakukannya untuk mengusir segala gelisah dan rasa rindu.
Satu semester yang berat harus dilalui, jangankan mengukir prestasi, jurusan yang diinginkannya pun tak dapat diraih. Eka nyaris frustasi. Semua mimpinya satu persatu menjauh., 
Cerita Rio agak berbeda, walau menyimpan rindu yang sama. Rio meneggelamkan diri dalam pekerjaan. Prestasi  kerjanya mendapat apresiasi dari atasan. Dia semakin menikmati pekerjaannya. 
Sejak Eka sekolah di Bandung, surat-suratnya tak datang sesering dulu. Surat-surat itu sering tertahan di kantor karena sampai di saat yang tidak tepat, menunggu hingga tiga minggu untuk kemudian ikut berlayar ke Pulau. Rio juga mulai terbiasa dengan hal ini.
Menghadapi dengan cara berbeda, tapi tetap dengan  kerinduan yang sama. 

 


.

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....